Prang! Sanjaya berlari ke dapur saat mendengar suara benda jatuh. “Ma!” pekik Sanjaya saat melihat istrinya mematung di depan minibar. Sementara, di lantai pecahan cangkir berserakan dimana-mana.“Papa.” Mendengar suara Sanjaya, Dahlia menoleh dengan memegangi dada. Tadinya dia berniat untuk membuatkan Sanjaya kopi. Tapi, tiba-tiba saja jantungnya berdebar dan bayangan Danendra sekelebat muncul di pelupuk mata, membuat cangkir yang dia pegang meluncur begitu saja. “Firasat Mama, kok, nggak enak, ya?” imbuh Dahlia yang menatap suaminya intens. Sanjaya menarik tangan istrinya. “Sini ikut Papa!” kata Sanjaya yang membimbing Dahlia ke arah meja makan. Sanjaya lalu menarik kursi untuk Dahlia duduk.“Istighfar!” Sanjaya mengambilkan segelas air untuk Dahlia. “Ini minum dulu!”Dahlia meneguk air pemberian suaminya hingga tandas. “Seharusnya kalau Mama capek bilang sama Papa. Biar Papa buat kopi sendiri.”“Mama nggak Papa kok, Pa. Hanya saja….” Dahlia menggantung ucapannya.“Hanya apa?”
“Gimana keadaan Maharatu?” tanya Danendra pada Nickolas yang masuk ke ruang perawatannya.“Dia sudah mendapatkan perawatan dari dokter,” jawab Nick. “Dia sudah siuman?” “Belum. Kata dokter sepertinya dia syok berat. Selain itu dia juga mengalami dehidrasi,” terang Nick. Dia duduk di kursi samping brankar. “Sudah telpon Om Sanjaya belum?” tanya Nick selanjutnya.“Danendra yang bersandar di brankar rumah sakit menepuk jidatnya. “Aku lupa.” Gegas dia meraih ponsel yang tergeletak di atas nakas. Lalu menghubungi papanya. “Hallo, Pa!” “Hallo Danen, Sayang.” Bukan Sanjaya yang menjawab panggilan Danendra melainkan Dahlia.“Ada Ma?” “Kamu baik-baik saja ‘kan, Nak. Mama khawatir sekali sama kamu,” ujar Dahlia. Bibir Danendra tersenyum tipis. Firasat seorang ibu memang tidak pernah salah. Dia selalu tahu apapun yang terjadi pada anaknya meski tak sedang bersama.“Danen baik, Ma,” bohong Danendra. Karena jelas dia tidak baik-baik saja. Saat ini lengannya terluka, dia juga terbaring di ran
Rahman berjalan tergesa-gesa di lorong rumah sakit dengan dibantu Pangeran. Bahkan karena tergesa-gesa dia hampir jatuh saat tongkatnya terpeleset di lantai rumah sakit. “Hati-hati, Yah!” ucap Pangeran yang dengan gesit memegang bahu ayahnya. “Kita harus segera melihat keadaan kakakmu, Pangeran," ujar Rahman tidak sabaran.Mereka bertiga langsung meluncur ke daerah P setelah Bagaskara menghubungi mereka dan mengatakan tentang kejadian yang menimpa Maharatu. Rupanya inilah jawaban dari kegelisahan yang dirasakan Rahman dan yang menjadi penyebab Maharatu tidak bisa menghubungi Maharatu. Ternyata Maharatu diculik. Menurut Bagaskara tidak baik merahasiakan keadaan Maharatu pada keluarganya. Toh, sekarang Maharatu juga sudah ditemukan dan dalam keadaan yang cukup baik. Jadi, Bagaskara memutuskan untuk mengabari Sandra karena dia tidak terlalu akrab dengan Rahman dan Pangeran. Atau lebih tepatnya tidak pernah bertegur sapa. Sementara, di belakang mereka, Sandra berjalan dengan santai.
Bibir Danendra melengkung saat notifikasi pesan di ponselnya muncul. ‘Kamu sudah makan?’‘Belum,’ balas Danendra yang berbohong. Padahal baru saja Nick meninggalkan apartemennya. Sahabatnya itu membawakan makanan untuknya. ‘Kenapa tidak makan?’ Pesan selanjutnya kembali muncul diikuti emotikon marah. ‘Karena tidak ada makanan,’ Bibir Danendra terus melengkung saat membalas pesan dari Maharatu. ‘Astaga,’ Emoticon melongo mengiringi pesan terakhir Maharatu. Lalu detik berikutnya, ponsel Danendra berdering. “Dia langsung telpon,” ucap Danendra senang. Sudah dua hari mereka tidak bertemu sejak kepulangan keduanya dari rumah sakit. Rasa rindu mulai menggerogoti hati Danendra. Pucuk dicinta. Wanita yang Danendra rindui menelponnya. Meski hanya suara tidak masalah baginya. Itu sudah cukup untuk meredam rindu yang semakin mendekam. “Hallo,” sapa Danendra.“Kenapa tidak bilang kalau tidak ada makanan sama sekali,” cerocos Maharatu.“Lupa,” jawab Danendra asal. Bibirnya benar-benar tid
Di sebuah restoran berbintang bergaya Eropa, dua pria dengan kekuasaan di bidangnya masing-masing tengah bertemu di ruang VVIP.“Andai saja Arlo bukan putramu. Bisa kupastikan dia habis di tanganku,” kata Bagaskara yang bersandar di kursi, sementara tangannya berada di atas meja memegang segelas wine. Sutopo, pria yang duduk berhadapan dengan Bagaskara itu hanya tersenyum getir. “Oh, ayolah Bagaskara, kita ini sudah lama menjadi partner. Kamu membutuhkanku untuk menyelimuti bisnis tambang ilegalmu itu. Jadi, mencabut laporan atas Arlo tidak ada apa-apanya bila dibandingkan dengan bantuan yang sudah kuberikan kepadamu selama ini, ” timpal Sutopo yang merasa di atas angin. Karena seorang Bagaskara tidak akan berani macam-macam dengannya. Sudut bibir Bagaskara terangkat. “Kamu mengancamku, Sutopo?! Apa kamu lupa bantuan yang kamu berikan juga tidak gratis.” Bagaskara mengangkat gelasnya. Menandaskan wine yang berada di dalam gelas itu. “Kamu juga harus ingat satu hal. Kalau aku hanc
“Mas, Ratu boleh tanya sesuatu?” tanya Maharatu hati-hati pada Bagaskara. “Tanya soal apa?” Bagaskara memiringkan tubuhnya menghadap Maharatu. Saat ini mereka masih berada di atas ranjang selepas Bagaskara meminta haknya sebagai seorang suami. “Kenapa Mas mencabut laporan Mas terhadap Arlo?” “Karena aku tidak ingin hubungan kita diketahui orang lain,” jawab Bagaskara berbohong. Karena dia tidak mungkin mengatakan yang sebenarnya tentang alasan utamanya mencabut laporan terhadap Arlo. Pria itu lalu beringsut dan bersandar di sandaran ranjang.Maharatu mengikuti gerakan suaminya. Sebenarnya dia ingin menyudahi pembahasan tentang ini, tapi hatinya terus bergejolak. “Tapi Arlo hampir membuat nyawaku melayang, Mas,” protes Maharatu. Matanya mulai mengembun. “Yang terpenting kamu masih hidup sekarang,” ujar Bagaskara yang membuat hati Maharatu semakin teriris.Jemari Maharatu saling bertaut suaranya bergetar saat kembali berucap, “Bagaimana jika saat itu aku tidak selamat. Apa Mas ju
Danendra merogoh saku celananya, mengeluarkan sekotak rokok lalu menyulutnya. Lelaki berahang tegas itu menghisap dalam-dalam rokok yang terselip antara jari telunjuk dan tengahnya. Membiarkan asapnya berkelana di rongga dada lalu menerbangkannya ke udara.“Tidak ada yang spesial tentangku, Ra,” ucap Danendra yang memasukkan sebelah tangannya ke saku celana. Pandangan berfokus pada rembulan yang sangat terang malam ini.“Aku hanya anak seorang petani yang mencoba peruntungan di kota,” bohong Danendra.“Kalau begitu ceritakan padaku bagaimana kehidupan di desa,” kata Maharatu antusias. Memandang Danendra dari samping semakin memperjelas betapa mancungnya hidung Danendra. Maharatu begitu penasaran dengan kehidupan di pedesaan. Karena di benaknya, kehidupan di desa pasti sangat menyenangkan dan tenang. Hamparan sawah yang menghijau di mana-mana, udara yang bersih dan segar. Lalu suara gemericik air yang terdengar dari aliran sungai yang sebening kaca. “Ayahku seorang petani yang setiap
Tatapan intens Marisa pada Maharatu berubah menjadi tatapan nyalang penuh benci. Setelah tahu bahwa perempuan itulah yang menjadi madunya selama ini. “Jadi dia perempuan itu. Pantas Bagaskara sulit lepas.” Sudut bibir Marisa terangkat. Ucapan sinisnya secara tidak langsung mengakui kecantikan Maharatu lah yang membuat Bagaskara sulit lepas.Tangan Marisa semakin terkepal erat saat melihat putrinya–Hanum–terlihat sangat senang mengobrol dengan ibu tirinya. Ya … meskipun siri, Maharatu tetap bergelar istri. Berbeda dengan para penghangat ranjang Bagaskara yang sebelum-sebelumnya. “Apa dia juga berniat merebut putriku?” geram Marisa yang melihat Maharatu tertawa kecil saat mengobrol dengan Hanum. Dugaan Marisa semakin dikuatkan dengan Maharatu yang memberikan hadiah kalung berlian pada Hanum. “Dasar perempuan tidak tau diri. Aku tidak akan membiarkanmu menjadi istri sah Bagaskara.” Marisa terus memperhatikan gerak-gerik Maharatu hingga perhatiannya terpecah karena mendengar sebuah bis
Danendra dan Maharatu sedang menikmati kebersamaan di ruang tamu. Keduanya menonton film bersama dengan kepala Maharatu yang berada di pangkuan Danendra. “Suamimu akhir-akhir ini sering sekali berkunjung, Ra?” tanya Danendra yang mengusap-usap rambut Maharatu. “Ndra….” Maharatu mengelus rahang Danendra. Menatap manik kekasihnya dalam-dalam. Seolah berkata kalau saat ini dia tidak ingin membahas tentang Bagaskara. Danendra membuang napas kasar. “Aku cemburu, Ra!” kata Danendra membuang muka.Maharatu bangkit dari posisinya. Ditangkupnya wajah Danendra, agar mata keduanya saling bertemu.“Aku tau kamu cemburu, tapi untuk saat ini aku belum bisa lepas dari Mas Bagas, beri waktu aku sedikit lagi.”Danendra melepaskan tangan Maharatu dari rahangnya dengan kasar. “Sedikit lagi … sedikit lagi … itu terus Ra yang kamu katakan sejak enam bulan lalu. Aku ini lelaki biasa yang juga punya rasa cemburu. Aku tidak bisa terus-terusan melihat kamu dijamah oleh Bagaskara!” Suara Danendra yang bia
“Kamu mau kemana, Sandra?” Rahman yang baru keluar dari kamarnya tertatih-tatih menghampiri sang istri yang membawa dua koper besar.“Mau pergi dari sini,” sarkas Sandra yang terus melangkah tanpa menghiraukan suaminya.Rahman mempercepat langkahnya, meski masih terpincang-pincang karena memang kondisinya yang belum sembuh sempurna. “Pergi kemana?” Tangan Sandra dicekal oleh Rahman. “Lepasin!” Dengan kasar Sandra mengibaskan tangan suaminya. “Yang jelas sejauh mungkin. Karena aku tidak mau kembali hidup kere sama kalian seperti dulu.”Dahi Rahman berkerut. Hidup kere bagaimana? Saat ini hidup mereka bahkan bisa dibilang bergelimang harta. “Lihatlah semua ini Sandra. Kita bergelimang harta sekarang?”“Ya, sekarang, tapi sebentar lagi kita akan jadi kere seperti dulu. Karena anak perempuanmu itu main-main dengan Bagaskara,” ujar Sandra dengan bersungut-sungut. “Bicaramu semakin tidak jelas.”“Kalau ingin lebih jelas, nanti tanya pada putrimu itu.” Sandra memegang kedua kopernya hen
“Maaf.” Maharatu memeluk tubuh Danendra dari belakang. Pria itu sedang berada di balkon, melukis sesuatu yang abstrak. Sesuatu yang mencerminkan perasaannya saat ini.Danendra memejamkan mata, mencoba meredam rasa sakit yang mencabik-cabik di hati. Karena pelukan kekasihnya. Pelukan yang Danendra tahu pasti sebabnya.Danendra meletakkan kuasnya. Tangannya menyentuh tangan Maharatu dengan lembut, berniat melepaskan pelukan Maharatu sejenak sebelum berbalik badan. Namun, Maharatu justru semakin mengeratkan pelukannya.“Jangan berbalik, kumohon,” lirih Maharatu dengan suara parau, “biarkan seperti ini. Aku masih ingin memelukmu, Ndra.”Hening, tidak ada suara. Hingga setelah beberapa saat, terdengar isakan kecil dari Maharatu. Danendra dapat merasakan kaos yang dipakainya basah di bagian belakang. Wanitanya sedang menangis. Tak tahan mendengar isakan Maharatu yang semakin menyayat hati. Danendra melepas pelukan Maharatu, berbalik badan lalu membawa wanitanya itu ke dalam dekapannya. “T
Maharatu mengembuskan napas panjang. Dari pantulan cermin dapat dia lihat, Sandra sudah berdiri di belakangnya dengan wajah masam. Maharatu lalu berbalik badan. “Kenapa pagi-pagi sekali Mama sudah berdiri di situ. Jatah bulanan yang kukasih, kurang? Tapi, maaf Ma. Ratu nggak bisa kasih Mama credit card lagi,” ujar Maharatu. “Ck!” Sandra berdecak membuang muka ke samping sejenak lalu menatap wajah putrinya dengan amarah yang berkobar. “Apa kamu pikir setiap Mama datang padamu selalu karena uang?” bibir Sandra mencebik, tak terima dengan praduga Maharatu. “Tentu saja, karena sejak dulu Mama memang begitu. Selalu uang … uang … dan uang,” ketus Maharatu dengan senyum mengejek. “Terserah kamu, Ra, mau berpikir bagaimana. Mama hanya ingin memperingatkanmu?” Dahi Maharatu berkerut. “Untuk?!” Kini giliran Sandra yang tersenyum mengejek. “Jangan main-main dengan Bagaskara. Semalam Mama lihat kamu keluar dari kamar Endra!” Deg! Maharatu kaget dengan perkataan mamanya. Sial sekali bagin
“Terima kasih karena sudah bicara pada, Pangeran,” ucap Maharatu yang menyandarkan kepalanya di pundak Danendra. Danendra mengusap pipi Maharatu lembut. “Kalian hanya miskomunikasi saja, sebenarnya.” “Kamu benar Sayang, seharusnya aku bertanya pelan-pelan pada Pangeran. Apa alasan yang mendasari dia bekerja bukannya malah langsung marah seperti tadi." Masih saja ada rasa sesal yang bercokol di hati Maharatu. “Sebenarnya kamu itu marah bukan karena Pangeran bekerja, tapi karena Pangeran dipermalukan di depan semua orang, ‘kan? Tapi sayangnya, kamu tidak tau haru melampiaskanya pada siapa? Jalan termudah, ya, kamu melampiaskanya pada Pangeran” “Kakak mana yang terima adiknya di hina seperti tadi, Ndra. Di depan semua orang lagi.” Keduanya sedang berada di kamar tamu, tempat Danendra tidur saat berada di rumah Maharatu. “Kata Pangeran, tadi Ayang kasih saran supaya dia buka usaha sendiri, ya?” sambung Maharatu. Mendengar panggilan Ayang dari Maharatu, sudut bibir Danendra terang
Suara ketukan membuat Pangeran yang sedang duduk di meja belajarnya menoleh. “Boleh, Mas masuk!” Danendra berdiri di ambang pintu dengan senyum yang mengembang. “Silakan, Mas!” Setelah mendapat izin dari pemilik kamar, Danendra masuk ke dalam kamar. “Interior yang bagus,” puji Danendra setelah menelisik setiap sudut kamar Pangeran. Tanpa menunggu dipersilakan oleh yang punya kamar, Danendra duduk di tepi ranjang. “Desain yang bagus.” Danendra melongok gambar yang sedang dibuat Pangeran di buku gambar. “Terima kasih, Mas.” Pangeran meletakkan pensil lalu menggeser kursinya agar menghadap ke arah Danendra secara langsung. “Daripada kerja di tempat lain, kenapa nggak buka usaha sendiri saja,” saran Danendra pada Pangeran. “Buka usaha apa, Mas?” “Costum kaos misalnya. Kan, kamu pintar gambar.” “Maksudnya?!” “Kamu buat desain yang bagus terus coba aplikasikan desain yang kamu buat itu ke dalam kaos. Post hasilnya di media sosial. Lalu tawarkan di sana. Untuk desain tulisan
Di dalam mobil Maharatu sangat cemas. Dia mengkhawatirkan keadaan Pangeran. “Kira-kira, Endra bisa beresin masalah Pangeran, nggak, ya, Sa?”“Pasti bisa, kamu tenang saja!”Di saat kalut seperti ini ponsel Maharatu justru berdering. “Ck, Mas Bagas telpon lagi,” keluh Maharatu saat menatap layar ponselnya.“Angkat!” titah Sasa. “Hallo, Mas,” sapa Ratu yang memandang ke arah Sasa. “Kamu dimana? Kenapa tidak ada di apartemen?”“Maaf, Ratu masih di cafe tempat meet and great.”“Pekerjaanmu belum selesai?”“Sudah, sih, tapi—”“Tapi apa?” tanya Bagaskara sedikit cemas. “Ada masalah dengan Pangeran.”“Baiklah selesaikan dulu masalahmu baru setelah itu pulang?”“Em … Mas. Malam ini Ratu boleh pulang ke rumah Ayah, soalnya masalah Pangeran agak rumit.” Dengan hati-hati Maharatu meminta ijin pada Bagaskara. Sebenarnya Bagaskara sangat ingin bersama Maharatu malam ini, tapi karena mendengar suara Maharatu yang begitu cemas Bagaskara mencoba memberi kelonggaran.“ Baiklah, tapi untuk malam
Maharatu yang sudah tidak tahan melihat pelayan itu terus dihina hendak melangkah. Namun, Sasa memegang lengan Maharatu, mencegah langkahnya. “Lepas, Sa!” hardik Maharatu. Tatapan Maharatu nyalang, matanya sudah berkaca-kaca. Dia berusaha melepaskan tangan Sasa yang memegangi lengannya. “Mau kemana?” Tatapan Sasa tidak kalah tajam. “Tentu saja merobek mulut gadis itu!” sarkas Maharatu.“Lalu setelah itu apa?” Sasa semakin mengencangkan pegangannya di lengan Maharatu, “memberitahu semua orang bahwa pelayan yang dihina itu adalah adikmu, adik seorang aktris ternama, MA-HA-RA-TU, iya?” Sengaja Sasa menekankan nama ‘Maharatu’, untuk mengingatkan Maharatu tentang posisinya saat ini dan komitmen Maharatu untuk menyembunyikan identitas keluarganya.“Tapi, aku tidak bisa melihat Pangeran dihina, Sa!” Wajah Maharatu memelas. Kakak mana yang terima adiknya dihina di depan banyak orang. Apalagi Pangeran hanya menunduk saat dihina tanpa membela diri. Hati Maharatu hancur. Dia baru saja kel
“Kalian sudah baikan?” tanya Sasa saat masuk ke dalam mobil.Sasa bicara begitu karena melihat Maharatu dan Danendra saling melempar canda. “Memangnya kapan kami bertengkar?!” ujar Maharatu.“Kalau tidak bertengkar kenapa kemarin diem-dieman?” selidik Sasa.Maharatu mencubit dua pipi Sasa dengan gemas. “Kemarin kami sama-sama masih capek, pulang dari Bali harus langsung kerja, dan itu juga gara-gara kamu yang tidak memberi kami kesempatan untuk istirahat sejenak, iya, ‘kan, Ndra?”“Benar sekali itu. Sasa ini memang cocok jadi kompeni,” canda Danendra menimpali.“Oiya?!” Sasa bersedep dada dengan mata yang mendelik. Seolah sulit untuk percaya pada perkataan Maharatu dan Danendra.Danendra dan Maharatu saling lirik dari kaca spion. Mereka harus bermain rapi agar Sasa tidak mencurigai hubungan keduanya.“Tentu saja, apalagi kami sempat main petak umpet di Bali,” ujar Danendra yang sengaja memantik rasa penasaran Sasa pada hal lain. “Petak umpet, kenapa?” Danendra tersenyum samar, umpa