Bibir Danendra melengkung saat notifikasi pesan di ponselnya muncul. ‘Kamu sudah makan?’‘Belum,’ balas Danendra yang berbohong. Padahal baru saja Nick meninggalkan apartemennya. Sahabatnya itu membawakan makanan untuknya. ‘Kenapa tidak makan?’ Pesan selanjutnya kembali muncul diikuti emotikon marah. ‘Karena tidak ada makanan,’ Bibir Danendra terus melengkung saat membalas pesan dari Maharatu. ‘Astaga,’ Emoticon melongo mengiringi pesan terakhir Maharatu. Lalu detik berikutnya, ponsel Danendra berdering. “Dia langsung telpon,” ucap Danendra senang. Sudah dua hari mereka tidak bertemu sejak kepulangan keduanya dari rumah sakit. Rasa rindu mulai menggerogoti hati Danendra. Pucuk dicinta. Wanita yang Danendra rindui menelponnya. Meski hanya suara tidak masalah baginya. Itu sudah cukup untuk meredam rindu yang semakin mendekam. “Hallo,” sapa Danendra.“Kenapa tidak bilang kalau tidak ada makanan sama sekali,” cerocos Maharatu.“Lupa,” jawab Danendra asal. Bibirnya benar-benar tid
Di sebuah restoran berbintang bergaya Eropa, dua pria dengan kekuasaan di bidangnya masing-masing tengah bertemu di ruang VVIP.“Andai saja Arlo bukan putramu. Bisa kupastikan dia habis di tanganku,” kata Bagaskara yang bersandar di kursi, sementara tangannya berada di atas meja memegang segelas wine. Sutopo, pria yang duduk berhadapan dengan Bagaskara itu hanya tersenyum getir. “Oh, ayolah Bagaskara, kita ini sudah lama menjadi partner. Kamu membutuhkanku untuk menyelimuti bisnis tambang ilegalmu itu. Jadi, mencabut laporan atas Arlo tidak ada apa-apanya bila dibandingkan dengan bantuan yang sudah kuberikan kepadamu selama ini, ” timpal Sutopo yang merasa di atas angin. Karena seorang Bagaskara tidak akan berani macam-macam dengannya. Sudut bibir Bagaskara terangkat. “Kamu mengancamku, Sutopo?! Apa kamu lupa bantuan yang kamu berikan juga tidak gratis.” Bagaskara mengangkat gelasnya. Menandaskan wine yang berada di dalam gelas itu. “Kamu juga harus ingat satu hal. Kalau aku hanc
“Mas, Ratu boleh tanya sesuatu?” tanya Maharatu hati-hati pada Bagaskara. “Tanya soal apa?” Bagaskara memiringkan tubuhnya menghadap Maharatu. Saat ini mereka masih berada di atas ranjang selepas Bagaskara meminta haknya sebagai seorang suami. “Kenapa Mas mencabut laporan Mas terhadap Arlo?” “Karena aku tidak ingin hubungan kita diketahui orang lain,” jawab Bagaskara berbohong. Karena dia tidak mungkin mengatakan yang sebenarnya tentang alasan utamanya mencabut laporan terhadap Arlo. Pria itu lalu beringsut dan bersandar di sandaran ranjang.Maharatu mengikuti gerakan suaminya. Sebenarnya dia ingin menyudahi pembahasan tentang ini, tapi hatinya terus bergejolak. “Tapi Arlo hampir membuat nyawaku melayang, Mas,” protes Maharatu. Matanya mulai mengembun. “Yang terpenting kamu masih hidup sekarang,” ujar Bagaskara yang membuat hati Maharatu semakin teriris.Jemari Maharatu saling bertaut suaranya bergetar saat kembali berucap, “Bagaimana jika saat itu aku tidak selamat. Apa Mas ju
Danendra merogoh saku celananya, mengeluarkan sekotak rokok lalu menyulutnya. Lelaki berahang tegas itu menghisap dalam-dalam rokok yang terselip antara jari telunjuk dan tengahnya. Membiarkan asapnya berkelana di rongga dada lalu menerbangkannya ke udara.“Tidak ada yang spesial tentangku, Ra,” ucap Danendra yang memasukkan sebelah tangannya ke saku celana. Pandangan berfokus pada rembulan yang sangat terang malam ini.“Aku hanya anak seorang petani yang mencoba peruntungan di kota,” bohong Danendra.“Kalau begitu ceritakan padaku bagaimana kehidupan di desa,” kata Maharatu antusias. Memandang Danendra dari samping semakin memperjelas betapa mancungnya hidung Danendra. Maharatu begitu penasaran dengan kehidupan di pedesaan. Karena di benaknya, kehidupan di desa pasti sangat menyenangkan dan tenang. Hamparan sawah yang menghijau di mana-mana, udara yang bersih dan segar. Lalu suara gemericik air yang terdengar dari aliran sungai yang sebening kaca. “Ayahku seorang petani yang setiap
Tatapan intens Marisa pada Maharatu berubah menjadi tatapan nyalang penuh benci. Setelah tahu bahwa perempuan itulah yang menjadi madunya selama ini. “Jadi dia perempuan itu. Pantas Bagaskara sulit lepas.” Sudut bibir Marisa terangkat. Ucapan sinisnya secara tidak langsung mengakui kecantikan Maharatu lah yang membuat Bagaskara sulit lepas.Tangan Marisa semakin terkepal erat saat melihat putrinya–Hanum–terlihat sangat senang mengobrol dengan ibu tirinya. Ya … meskipun siri, Maharatu tetap bergelar istri. Berbeda dengan para penghangat ranjang Bagaskara yang sebelum-sebelumnya. “Apa dia juga berniat merebut putriku?” geram Marisa yang melihat Maharatu tertawa kecil saat mengobrol dengan Hanum. Dugaan Marisa semakin dikuatkan dengan Maharatu yang memberikan hadiah kalung berlian pada Hanum. “Dasar perempuan tidak tau diri. Aku tidak akan membiarkanmu menjadi istri sah Bagaskara.” Marisa terus memperhatikan gerak-gerik Maharatu hingga perhatiannya terpecah karena mendengar sebuah bis
“Bagaimana kamu bisa masuk?” tanya Maharatu yang terkejut karena Danendra sudah duduk di depan meja makan dengan segelas kopi di depannya.“Tentu saja dengan membuka pintu,” jawab Danendra enteng. Maharatu menghampiri Danendra, menggeser kursi lalu duduk di samping pria itu kemudian berceloteh, “Aku tau dengan membuka pintu, tidak mungkin 'kan, kamu masuk dengan cara nembus dinding.”“Maksudku bagaimana caramu membuka pintunya,” imbuh Maharatu dengan bibir mengerucut dan kedua tangan bersedekap.“Aku menekan kode kombinasi yang ada di depan sana!” Telunjuk pria berkulit putih itu mengarah ke arah pintu, “dan … tara pintu pun terbuka,” kata Danendra dengan senyum yang merekah. Dia sangat suka melihat bibir Maharatu yang mengerucut karena kesal. “Endra …! Aku serius. Jangan pikir karena kamu sudah menyelamatkanku, kamu berhak keluar-masuk unitku tanpa izin!" cerocos Maharatu yang semakin kesal.Melihat Maharatu yang semakin kesal. Akhirnya, Danendra mengalah dan berkata, “Iya … iya …
“Ada yang harus kamu temui terlebih dulu, Ra.” “Mas Bagas,” tebak Maharatu dengan desau pelan.“Siapa lagi,” jawab Danendra datar. Maharatu mengenakan masker, topi dan kacamata hitam sebelum turun dari mobil. Wanita yang membiarkan rambutnya tergerai itu mengekor di belakang Danendra. Mereka berdua menuju kamar di lantai dua hotel berbintang itu. Danendra berdiri di depan pintu lalu mengetuknya beberapa kali. “Kalian sudah sampai,” sambut Ferdy setelah pintu terbuka, “masuk!”Bagaskara yang semula memandang ke luar melalui jendela kaca besar berbalik setelah tahu Danendra dan Maharatu datang.Bagaskara menghampiri istrinya, mengusap pipi Maharatu lembut. “Aku harus pergi kurang lebih dua minggu ke Eropa bersama Hanum dan Marisa.”“Hem … hati-hati,” ucap Maharatu lirih. Dia hanya menunduk tanpa berniat menatap wajah suaminya.“Setelah pekerjaanmu di Bali selesai. Kamu boleh berlibur di sana,” ujar Bagaskara. Perkataan Bagaskara tentang liburan membuat Maharatu menengadah. Wanita i
“Nggak bilang pa-pa,” tukas Maharatu yang bangkit dari duduknya, meninggalkan Danendra sendirian. Maharatu melangkah lebar-lebar menuju hotel. Bibirnya mengerucut. “Dasar! semua lelaki itu sama saja. Diperlihatkan paha mulus, dada balon, dan tatapan genit sudah lupa semuanya,” gerutu Maharatu sepanjang jalan. "Dada palsu saja dipamerkan. Apa aku juga harus memompa milikku agar sebesar punya Paula." Maharatu menunduk, melihat miliknya yang tidak sebesar milik Paula. Kilasan ingatannya kembali saat Paula yang memakai dress pantai di atas paha dengan belahan dada rendah terang-terangan menggoda Danendra. Sementara Danendra yang ditinggal Maharatu masih linglung. Dia tidak mengerti kenapa Maharatu marah padanya hingga berlalu begitu saja. Dia merasa tidak melakukan kesalahan apa pun. Tapi, kenapa Maharatu marah padanya. "Apa dia sedang PMS?" gumam Danendra yang terus menatap punggung Maharatu yang semakin menjauh. *** Maharatu menatap pantulan wajahnya di cermin. “Haish … si