Danendra merogoh saku celananya, mengeluarkan sekotak rokok lalu menyulutnya. Lelaki berahang tegas itu menghisap dalam-dalam rokok yang terselip antara jari telunjuk dan tengahnya. Membiarkan asapnya berkelana di rongga dada lalu menerbangkannya ke udara.“Tidak ada yang spesial tentangku, Ra,” ucap Danendra yang memasukkan sebelah tangannya ke saku celana. Pandangan berfokus pada rembulan yang sangat terang malam ini.“Aku hanya anak seorang petani yang mencoba peruntungan di kota,” bohong Danendra.“Kalau begitu ceritakan padaku bagaimana kehidupan di desa,” kata Maharatu antusias. Memandang Danendra dari samping semakin memperjelas betapa mancungnya hidung Danendra. Maharatu begitu penasaran dengan kehidupan di pedesaan. Karena di benaknya, kehidupan di desa pasti sangat menyenangkan dan tenang. Hamparan sawah yang menghijau di mana-mana, udara yang bersih dan segar. Lalu suara gemericik air yang terdengar dari aliran sungai yang sebening kaca. “Ayahku seorang petani yang setiap
Tatapan intens Marisa pada Maharatu berubah menjadi tatapan nyalang penuh benci. Setelah tahu bahwa perempuan itulah yang menjadi madunya selama ini. “Jadi dia perempuan itu. Pantas Bagaskara sulit lepas.” Sudut bibir Marisa terangkat. Ucapan sinisnya secara tidak langsung mengakui kecantikan Maharatu lah yang membuat Bagaskara sulit lepas.Tangan Marisa semakin terkepal erat saat melihat putrinya–Hanum–terlihat sangat senang mengobrol dengan ibu tirinya. Ya … meskipun siri, Maharatu tetap bergelar istri. Berbeda dengan para penghangat ranjang Bagaskara yang sebelum-sebelumnya. “Apa dia juga berniat merebut putriku?” geram Marisa yang melihat Maharatu tertawa kecil saat mengobrol dengan Hanum. Dugaan Marisa semakin dikuatkan dengan Maharatu yang memberikan hadiah kalung berlian pada Hanum. “Dasar perempuan tidak tau diri. Aku tidak akan membiarkanmu menjadi istri sah Bagaskara.” Marisa terus memperhatikan gerak-gerik Maharatu hingga perhatiannya terpecah karena mendengar sebuah bis
“Bagaimana kamu bisa masuk?” tanya Maharatu yang terkejut karena Danendra sudah duduk di depan meja makan dengan segelas kopi di depannya.“Tentu saja dengan membuka pintu,” jawab Danendra enteng. Maharatu menghampiri Danendra, menggeser kursi lalu duduk di samping pria itu kemudian berceloteh, “Aku tau dengan membuka pintu, tidak mungkin 'kan, kamu masuk dengan cara nembus dinding.”“Maksudku bagaimana caramu membuka pintunya,” imbuh Maharatu dengan bibir mengerucut dan kedua tangan bersedekap.“Aku menekan kode kombinasi yang ada di depan sana!” Telunjuk pria berkulit putih itu mengarah ke arah pintu, “dan … tara pintu pun terbuka,” kata Danendra dengan senyum yang merekah. Dia sangat suka melihat bibir Maharatu yang mengerucut karena kesal. “Endra …! Aku serius. Jangan pikir karena kamu sudah menyelamatkanku, kamu berhak keluar-masuk unitku tanpa izin!" cerocos Maharatu yang semakin kesal.Melihat Maharatu yang semakin kesal. Akhirnya, Danendra mengalah dan berkata, “Iya … iya …
“Ada yang harus kamu temui terlebih dulu, Ra.” “Mas Bagas,” tebak Maharatu dengan desau pelan.“Siapa lagi,” jawab Danendra datar. Maharatu mengenakan masker, topi dan kacamata hitam sebelum turun dari mobil. Wanita yang membiarkan rambutnya tergerai itu mengekor di belakang Danendra. Mereka berdua menuju kamar di lantai dua hotel berbintang itu. Danendra berdiri di depan pintu lalu mengetuknya beberapa kali. “Kalian sudah sampai,” sambut Ferdy setelah pintu terbuka, “masuk!”Bagaskara yang semula memandang ke luar melalui jendela kaca besar berbalik setelah tahu Danendra dan Maharatu datang.Bagaskara menghampiri istrinya, mengusap pipi Maharatu lembut. “Aku harus pergi kurang lebih dua minggu ke Eropa bersama Hanum dan Marisa.”“Hem … hati-hati,” ucap Maharatu lirih. Dia hanya menunduk tanpa berniat menatap wajah suaminya.“Setelah pekerjaanmu di Bali selesai. Kamu boleh berlibur di sana,” ujar Bagaskara. Perkataan Bagaskara tentang liburan membuat Maharatu menengadah. Wanita i
“Nggak bilang pa-pa,” tukas Maharatu yang bangkit dari duduknya, meninggalkan Danendra sendirian. Maharatu melangkah lebar-lebar menuju hotel. Bibirnya mengerucut. “Dasar! semua lelaki itu sama saja. Diperlihatkan paha mulus, dada balon, dan tatapan genit sudah lupa semuanya,” gerutu Maharatu sepanjang jalan. "Dada palsu saja dipamerkan. Apa aku juga harus memompa milikku agar sebesar punya Paula." Maharatu menunduk, melihat miliknya yang tidak sebesar milik Paula. Kilasan ingatannya kembali saat Paula yang memakai dress pantai di atas paha dengan belahan dada rendah terang-terangan menggoda Danendra. Sementara Danendra yang ditinggal Maharatu masih linglung. Dia tidak mengerti kenapa Maharatu marah padanya hingga berlalu begitu saja. Dia merasa tidak melakukan kesalahan apa pun. Tapi, kenapa Maharatu marah padanya. "Apa dia sedang PMS?" gumam Danendra yang terus menatap punggung Maharatu yang semakin menjauh. *** Maharatu menatap pantulan wajahnya di cermin. “Haish … si
“Jangan pergi, Ndra. Temani aku,” ucap Maharatu parau. Maharatu mengalungkan kedua tangannya di leher Danendra. Mata Maharatu tampak sayu. “Apa aku tidak secantik, Paula, Ndra?” tanya Maharatu dengan suara lembutnya. “Kenapa bilang seperti itu!” Punggung tangan Danendra terulur menyentuh ranumnya pipi Maharatu. “Buktinya kamu mengabaikanku setelah mengenal Paula. Dan aku tidak suka itu.” Bibir Maharatu mengerucut lucu.Bibir Danendra melengkung. “Kamu cemburu?” asumsi Danendra. “Apa itu cemburu?” “Cemburu itu saat kamu merasa kesal ketika melihat orang yang kamu sukai dekat dengan orang lain,” terang Danendra yang menatap lekat manik wanita yang berada dibawahnya. “Jadi, maksudmu … aku menyukaimu, begitu?” Maharatu menatap netra setajam elang milik Danendra dalam-dalam.“Pertanyaan itu hanya kamu sendiri yang tau jawabannya, Ra!”Maharatu menghembuskan napasnya pelan lalu berucap, “Baiklah mari kita cari tau jawabannya.” Sudut bibira Maharatu terangkat. Lalu, jemari lentiknya
“Argh … kepalaku sakit sekali,” keluh Maharatu yang bersandar pada sandaran ranjang. Dia memegangi kepalanya yang berdenyut-denyut.“Bodoh kamu Maharatu. Hanya karena kesal melihat Endra dan Paula kamu malah hilang kendali dan berakhir teler.” Maharatu menyingkap selimut yang membalut tubuhnya. Berjalan gontai menuju kamar mandi.Wanita itu membasuh wajahnya di wastafel. Melihat pantulan wajahnya yang terlihat kuyu. Maharatu berbalik, bersandar pada wastafel dengan kedua tangan yang bertopang pada pinggir wastafel.“Sebenarnya ada apa denganku ini? Kenapa aku merasa tidak suka dan kesal saat melihat Endra bersama Paula. Dan hati ini … kenapa selalu berdebar saat berdekatan dengan Endra. Apa aku sedang mengalami gangguan kesehatan.” Maharatu terus memegangi dadanya.Jangankan berdekatan dengan Danendra. Hanya teringat wajah Danendra yang tersenyum saja jantungnya sudah dangdutan.“Setelah pulang dari sini, aku akan menemui Dokter Frans untuk menanyakan kondisi yang aku alami saat ini.
“Kita naik ini?!” Mata Maharatu melotot melihat pemandangan yang tidak biasa di depannya. Danendra berdiri di samping motor sport berwarna hitam. Pria itu semakin tampak gagah dan menawan dengan motor seharga ratusan juta.“Iya,” jawab Danendra enteng diiringi senyum di bibir tebalnya. Dia berjalan mendekat pada Maharatu dengan perlengkapan bermotor komplit.“Kamu bercanda ‘kan, Ndra?!” “Memangnya aku pelawak yang bercanda di saat seperti ini.”“Astaga!” Maharatu memijat pelipisnya. Dia sudah berdandan dengan anggun. Dress hitam dengan panjang semata kaki berbelahan tinggi hingga paha tanpa lengan dengan hiasan tali yang menunjukkan punggung putihnya melekat indah di tubuh. Sementara untuk wajah Maharatu meriasnya dengan riasan flawless. Rambut hitamnya juga dibiarkan tergerai indah. Dengan penampilan seperti itu, seharusnya dia naik mobil bukan motor. Ya, meskipun motor yang digunakan Danendra bukan motor ecek-ecek.“Kenapa harus motor, sih, Ndra,” keluh Maharatu yang menghentakka
Danendra dan Maharatu sedang menikmati kebersamaan di ruang tamu. Keduanya menonton film bersama dengan kepala Maharatu yang berada di pangkuan Danendra. “Suamimu akhir-akhir ini sering sekali berkunjung, Ra?” tanya Danendra yang mengusap-usap rambut Maharatu. “Ndra….” Maharatu mengelus rahang Danendra. Menatap manik kekasihnya dalam-dalam. Seolah berkata kalau saat ini dia tidak ingin membahas tentang Bagaskara. Danendra membuang napas kasar. “Aku cemburu, Ra!” kata Danendra membuang muka.Maharatu bangkit dari posisinya. Ditangkupnya wajah Danendra, agar mata keduanya saling bertemu.“Aku tau kamu cemburu, tapi untuk saat ini aku belum bisa lepas dari Mas Bagas, beri waktu aku sedikit lagi.”Danendra melepaskan tangan Maharatu dari rahangnya dengan kasar. “Sedikit lagi … sedikit lagi … itu terus Ra yang kamu katakan sejak enam bulan lalu. Aku ini lelaki biasa yang juga punya rasa cemburu. Aku tidak bisa terus-terusan melihat kamu dijamah oleh Bagaskara!” Suara Danendra yang bia
“Kamu mau kemana, Sandra?” Rahman yang baru keluar dari kamarnya tertatih-tatih menghampiri sang istri yang membawa dua koper besar.“Mau pergi dari sini,” sarkas Sandra yang terus melangkah tanpa menghiraukan suaminya.Rahman mempercepat langkahnya, meski masih terpincang-pincang karena memang kondisinya yang belum sembuh sempurna. “Pergi kemana?” Tangan Sandra dicekal oleh Rahman. “Lepasin!” Dengan kasar Sandra mengibaskan tangan suaminya. “Yang jelas sejauh mungkin. Karena aku tidak mau kembali hidup kere sama kalian seperti dulu.”Dahi Rahman berkerut. Hidup kere bagaimana? Saat ini hidup mereka bahkan bisa dibilang bergelimang harta. “Lihatlah semua ini Sandra. Kita bergelimang harta sekarang?”“Ya, sekarang, tapi sebentar lagi kita akan jadi kere seperti dulu. Karena anak perempuanmu itu main-main dengan Bagaskara,” ujar Sandra dengan bersungut-sungut. “Bicaramu semakin tidak jelas.”“Kalau ingin lebih jelas, nanti tanya pada putrimu itu.” Sandra memegang kedua kopernya hen
“Maaf.” Maharatu memeluk tubuh Danendra dari belakang. Pria itu sedang berada di balkon, melukis sesuatu yang abstrak. Sesuatu yang mencerminkan perasaannya saat ini.Danendra memejamkan mata, mencoba meredam rasa sakit yang mencabik-cabik di hati. Karena pelukan kekasihnya. Pelukan yang Danendra tahu pasti sebabnya.Danendra meletakkan kuasnya. Tangannya menyentuh tangan Maharatu dengan lembut, berniat melepaskan pelukan Maharatu sejenak sebelum berbalik badan. Namun, Maharatu justru semakin mengeratkan pelukannya.“Jangan berbalik, kumohon,” lirih Maharatu dengan suara parau, “biarkan seperti ini. Aku masih ingin memelukmu, Ndra.”Hening, tidak ada suara. Hingga setelah beberapa saat, terdengar isakan kecil dari Maharatu. Danendra dapat merasakan kaos yang dipakainya basah di bagian belakang. Wanitanya sedang menangis. Tak tahan mendengar isakan Maharatu yang semakin menyayat hati. Danendra melepas pelukan Maharatu, berbalik badan lalu membawa wanitanya itu ke dalam dekapannya. “T
Maharatu mengembuskan napas panjang. Dari pantulan cermin dapat dia lihat, Sandra sudah berdiri di belakangnya dengan wajah masam. Maharatu lalu berbalik badan. “Kenapa pagi-pagi sekali Mama sudah berdiri di situ. Jatah bulanan yang kukasih, kurang? Tapi, maaf Ma. Ratu nggak bisa kasih Mama credit card lagi,” ujar Maharatu. “Ck!” Sandra berdecak membuang muka ke samping sejenak lalu menatap wajah putrinya dengan amarah yang berkobar. “Apa kamu pikir setiap Mama datang padamu selalu karena uang?” bibir Sandra mencebik, tak terima dengan praduga Maharatu. “Tentu saja, karena sejak dulu Mama memang begitu. Selalu uang … uang … dan uang,” ketus Maharatu dengan senyum mengejek. “Terserah kamu, Ra, mau berpikir bagaimana. Mama hanya ingin memperingatkanmu?” Dahi Maharatu berkerut. “Untuk?!” Kini giliran Sandra yang tersenyum mengejek. “Jangan main-main dengan Bagaskara. Semalam Mama lihat kamu keluar dari kamar Endra!” Deg! Maharatu kaget dengan perkataan mamanya. Sial sekali bagin
“Terima kasih karena sudah bicara pada, Pangeran,” ucap Maharatu yang menyandarkan kepalanya di pundak Danendra. Danendra mengusap pipi Maharatu lembut. “Kalian hanya miskomunikasi saja, sebenarnya.” “Kamu benar Sayang, seharusnya aku bertanya pelan-pelan pada Pangeran. Apa alasan yang mendasari dia bekerja bukannya malah langsung marah seperti tadi." Masih saja ada rasa sesal yang bercokol di hati Maharatu. “Sebenarnya kamu itu marah bukan karena Pangeran bekerja, tapi karena Pangeran dipermalukan di depan semua orang, ‘kan? Tapi sayangnya, kamu tidak tau haru melampiaskanya pada siapa? Jalan termudah, ya, kamu melampiaskanya pada Pangeran” “Kakak mana yang terima adiknya di hina seperti tadi, Ndra. Di depan semua orang lagi.” Keduanya sedang berada di kamar tamu, tempat Danendra tidur saat berada di rumah Maharatu. “Kata Pangeran, tadi Ayang kasih saran supaya dia buka usaha sendiri, ya?” sambung Maharatu. Mendengar panggilan Ayang dari Maharatu, sudut bibir Danendra terang
Suara ketukan membuat Pangeran yang sedang duduk di meja belajarnya menoleh. “Boleh, Mas masuk!” Danendra berdiri di ambang pintu dengan senyum yang mengembang. “Silakan, Mas!” Setelah mendapat izin dari pemilik kamar, Danendra masuk ke dalam kamar. “Interior yang bagus,” puji Danendra setelah menelisik setiap sudut kamar Pangeran. Tanpa menunggu dipersilakan oleh yang punya kamar, Danendra duduk di tepi ranjang. “Desain yang bagus.” Danendra melongok gambar yang sedang dibuat Pangeran di buku gambar. “Terima kasih, Mas.” Pangeran meletakkan pensil lalu menggeser kursinya agar menghadap ke arah Danendra secara langsung. “Daripada kerja di tempat lain, kenapa nggak buka usaha sendiri saja,” saran Danendra pada Pangeran. “Buka usaha apa, Mas?” “Costum kaos misalnya. Kan, kamu pintar gambar.” “Maksudnya?!” “Kamu buat desain yang bagus terus coba aplikasikan desain yang kamu buat itu ke dalam kaos. Post hasilnya di media sosial. Lalu tawarkan di sana. Untuk desain tulisan
Di dalam mobil Maharatu sangat cemas. Dia mengkhawatirkan keadaan Pangeran. “Kira-kira, Endra bisa beresin masalah Pangeran, nggak, ya, Sa?”“Pasti bisa, kamu tenang saja!”Di saat kalut seperti ini ponsel Maharatu justru berdering. “Ck, Mas Bagas telpon lagi,” keluh Maharatu saat menatap layar ponselnya.“Angkat!” titah Sasa. “Hallo, Mas,” sapa Ratu yang memandang ke arah Sasa. “Kamu dimana? Kenapa tidak ada di apartemen?”“Maaf, Ratu masih di cafe tempat meet and great.”“Pekerjaanmu belum selesai?”“Sudah, sih, tapi—”“Tapi apa?” tanya Bagaskara sedikit cemas. “Ada masalah dengan Pangeran.”“Baiklah selesaikan dulu masalahmu baru setelah itu pulang?”“Em … Mas. Malam ini Ratu boleh pulang ke rumah Ayah, soalnya masalah Pangeran agak rumit.” Dengan hati-hati Maharatu meminta ijin pada Bagaskara. Sebenarnya Bagaskara sangat ingin bersama Maharatu malam ini, tapi karena mendengar suara Maharatu yang begitu cemas Bagaskara mencoba memberi kelonggaran.“ Baiklah, tapi untuk malam
Maharatu yang sudah tidak tahan melihat pelayan itu terus dihina hendak melangkah. Namun, Sasa memegang lengan Maharatu, mencegah langkahnya. “Lepas, Sa!” hardik Maharatu. Tatapan Maharatu nyalang, matanya sudah berkaca-kaca. Dia berusaha melepaskan tangan Sasa yang memegangi lengannya. “Mau kemana?” Tatapan Sasa tidak kalah tajam. “Tentu saja merobek mulut gadis itu!” sarkas Maharatu.“Lalu setelah itu apa?” Sasa semakin mengencangkan pegangannya di lengan Maharatu, “memberitahu semua orang bahwa pelayan yang dihina itu adalah adikmu, adik seorang aktris ternama, MA-HA-RA-TU, iya?” Sengaja Sasa menekankan nama ‘Maharatu’, untuk mengingatkan Maharatu tentang posisinya saat ini dan komitmen Maharatu untuk menyembunyikan identitas keluarganya.“Tapi, aku tidak bisa melihat Pangeran dihina, Sa!” Wajah Maharatu memelas. Kakak mana yang terima adiknya dihina di depan banyak orang. Apalagi Pangeran hanya menunduk saat dihina tanpa membela diri. Hati Maharatu hancur. Dia baru saja kel
“Kalian sudah baikan?” tanya Sasa saat masuk ke dalam mobil.Sasa bicara begitu karena melihat Maharatu dan Danendra saling melempar canda. “Memangnya kapan kami bertengkar?!” ujar Maharatu.“Kalau tidak bertengkar kenapa kemarin diem-dieman?” selidik Sasa.Maharatu mencubit dua pipi Sasa dengan gemas. “Kemarin kami sama-sama masih capek, pulang dari Bali harus langsung kerja, dan itu juga gara-gara kamu yang tidak memberi kami kesempatan untuk istirahat sejenak, iya, ‘kan, Ndra?”“Benar sekali itu. Sasa ini memang cocok jadi kompeni,” canda Danendra menimpali.“Oiya?!” Sasa bersedep dada dengan mata yang mendelik. Seolah sulit untuk percaya pada perkataan Maharatu dan Danendra.Danendra dan Maharatu saling lirik dari kaca spion. Mereka harus bermain rapi agar Sasa tidak mencurigai hubungan keduanya.“Tentu saja, apalagi kami sempat main petak umpet di Bali,” ujar Danendra yang sengaja memantik rasa penasaran Sasa pada hal lain. “Petak umpet, kenapa?” Danendra tersenyum samar, umpa