Plak! Plak! Plak! Suara telapak tangan yang beradu dengan pipi terus bergema di kantor milik Bagaskara. Delapan pria bertubuh kekar berbaris rapi di ruangan suami Maharatu. Tidak satupun dari mereka yang luput dari tamparan Bagaskara tak terkecuali Ferdy--asisten Bagaskara. “Dasar tidak becus!” hardik Bagaskara murka. “Dan kamu, Ferdy!” Bagaskara berhenti di depan asistennya itu. “Sebenarnya kamu ini bisa kerja tidak. Masa dengan anak buah sebanyak ini. Kamu tidak bisa menemukan istriku. Hah…!” Amarah yang sudah meledak membuat Bagaskara mencengkram kemeja Ferdy kuat-kuat. Tatapan Bagaskara juga seperti singa yang hendak mengoyak tubuh Ferdy. Keringat dingin mulai keluar dari tubuh Ferdy meski di ruangan ber-AC. “Ma … masih ada satu orang saya yang belum kembali bos,” kata Ferdy terbata-bata, “dia saya suruh untuk mengikuti mobil Endra,” imbuhnya. Mata Bagaskara memicing. “Endra?!” “I … iya, Bos. Endra sepertinya juga berusaha menemukan keberadaan Nona. Menurut anak buah sa
Prang! Sanjaya berlari ke dapur saat mendengar suara benda jatuh. “Ma!” pekik Sanjaya saat melihat istrinya mematung di depan minibar. Sementara, di lantai pecahan cangkir berserakan dimana-mana.“Papa.” Mendengar suara Sanjaya, Dahlia menoleh dengan memegangi dada. Tadinya dia berniat untuk membuatkan Sanjaya kopi. Tapi, tiba-tiba saja jantungnya berdebar dan bayangan Danendra sekelebat muncul di pelupuk mata, membuat cangkir yang dia pegang meluncur begitu saja. “Firasat Mama, kok, nggak enak, ya?” imbuh Dahlia yang menatap suaminya intens. Sanjaya menarik tangan istrinya. “Sini ikut Papa!” kata Sanjaya yang membimbing Dahlia ke arah meja makan. Sanjaya lalu menarik kursi untuk Dahlia duduk.“Istighfar!” Sanjaya mengambilkan segelas air untuk Dahlia. “Ini minum dulu!”Dahlia meneguk air pemberian suaminya hingga tandas. “Seharusnya kalau Mama capek bilang sama Papa. Biar Papa buat kopi sendiri.”“Mama nggak Papa kok, Pa. Hanya saja….” Dahlia menggantung ucapannya.“Hanya apa?”
“Gimana keadaan Maharatu?” tanya Danendra pada Nickolas yang masuk ke ruang perawatannya.“Dia sudah mendapatkan perawatan dari dokter,” jawab Nick. “Dia sudah siuman?” “Belum. Kata dokter sepertinya dia syok berat. Selain itu dia juga mengalami dehidrasi,” terang Nick. Dia duduk di kursi samping brankar. “Sudah telpon Om Sanjaya belum?” tanya Nick selanjutnya.“Danendra yang bersandar di brankar rumah sakit menepuk jidatnya. “Aku lupa.” Gegas dia meraih ponsel yang tergeletak di atas nakas. Lalu menghubungi papanya. “Hallo, Pa!” “Hallo Danen, Sayang.” Bukan Sanjaya yang menjawab panggilan Danendra melainkan Dahlia.“Ada Ma?” “Kamu baik-baik saja ‘kan, Nak. Mama khawatir sekali sama kamu,” ujar Dahlia. Bibir Danendra tersenyum tipis. Firasat seorang ibu memang tidak pernah salah. Dia selalu tahu apapun yang terjadi pada anaknya meski tak sedang bersama.“Danen baik, Ma,” bohong Danendra. Karena jelas dia tidak baik-baik saja. Saat ini lengannya terluka, dia juga terbaring di ran
Rahman berjalan tergesa-gesa di lorong rumah sakit dengan dibantu Pangeran. Bahkan karena tergesa-gesa dia hampir jatuh saat tongkatnya terpeleset di lantai rumah sakit. “Hati-hati, Yah!” ucap Pangeran yang dengan gesit memegang bahu ayahnya. “Kita harus segera melihat keadaan kakakmu, Pangeran," ujar Rahman tidak sabaran.Mereka bertiga langsung meluncur ke daerah P setelah Bagaskara menghubungi mereka dan mengatakan tentang kejadian yang menimpa Maharatu. Rupanya inilah jawaban dari kegelisahan yang dirasakan Rahman dan yang menjadi penyebab Maharatu tidak bisa menghubungi Maharatu. Ternyata Maharatu diculik. Menurut Bagaskara tidak baik merahasiakan keadaan Maharatu pada keluarganya. Toh, sekarang Maharatu juga sudah ditemukan dan dalam keadaan yang cukup baik. Jadi, Bagaskara memutuskan untuk mengabari Sandra karena dia tidak terlalu akrab dengan Rahman dan Pangeran. Atau lebih tepatnya tidak pernah bertegur sapa. Sementara, di belakang mereka, Sandra berjalan dengan santai.
Bibir Danendra melengkung saat notifikasi pesan di ponselnya muncul. ‘Kamu sudah makan?’‘Belum,’ balas Danendra yang berbohong. Padahal baru saja Nick meninggalkan apartemennya. Sahabatnya itu membawakan makanan untuknya. ‘Kenapa tidak makan?’ Pesan selanjutnya kembali muncul diikuti emotikon marah. ‘Karena tidak ada makanan,’ Bibir Danendra terus melengkung saat membalas pesan dari Maharatu. ‘Astaga,’ Emoticon melongo mengiringi pesan terakhir Maharatu. Lalu detik berikutnya, ponsel Danendra berdering. “Dia langsung telpon,” ucap Danendra senang. Sudah dua hari mereka tidak bertemu sejak kepulangan keduanya dari rumah sakit. Rasa rindu mulai menggerogoti hati Danendra. Pucuk dicinta. Wanita yang Danendra rindui menelponnya. Meski hanya suara tidak masalah baginya. Itu sudah cukup untuk meredam rindu yang semakin mendekam. “Hallo,” sapa Danendra.“Kenapa tidak bilang kalau tidak ada makanan sama sekali,” cerocos Maharatu.“Lupa,” jawab Danendra asal. Bibirnya benar-benar tid
Di sebuah restoran berbintang bergaya Eropa, dua pria dengan kekuasaan di bidangnya masing-masing tengah bertemu di ruang VVIP.“Andai saja Arlo bukan putramu. Bisa kupastikan dia habis di tanganku,” kata Bagaskara yang bersandar di kursi, sementara tangannya berada di atas meja memegang segelas wine. Sutopo, pria yang duduk berhadapan dengan Bagaskara itu hanya tersenyum getir. “Oh, ayolah Bagaskara, kita ini sudah lama menjadi partner. Kamu membutuhkanku untuk menyelimuti bisnis tambang ilegalmu itu. Jadi, mencabut laporan atas Arlo tidak ada apa-apanya bila dibandingkan dengan bantuan yang sudah kuberikan kepadamu selama ini, ” timpal Sutopo yang merasa di atas angin. Karena seorang Bagaskara tidak akan berani macam-macam dengannya. Sudut bibir Bagaskara terangkat. “Kamu mengancamku, Sutopo?! Apa kamu lupa bantuan yang kamu berikan juga tidak gratis.” Bagaskara mengangkat gelasnya. Menandaskan wine yang berada di dalam gelas itu. “Kamu juga harus ingat satu hal. Kalau aku hanc
“Mas, Ratu boleh tanya sesuatu?” tanya Maharatu hati-hati pada Bagaskara. “Tanya soal apa?” Bagaskara memiringkan tubuhnya menghadap Maharatu. Saat ini mereka masih berada di atas ranjang selepas Bagaskara meminta haknya sebagai seorang suami. “Kenapa Mas mencabut laporan Mas terhadap Arlo?” “Karena aku tidak ingin hubungan kita diketahui orang lain,” jawab Bagaskara berbohong. Karena dia tidak mungkin mengatakan yang sebenarnya tentang alasan utamanya mencabut laporan terhadap Arlo. Pria itu lalu beringsut dan bersandar di sandaran ranjang.Maharatu mengikuti gerakan suaminya. Sebenarnya dia ingin menyudahi pembahasan tentang ini, tapi hatinya terus bergejolak. “Tapi Arlo hampir membuat nyawaku melayang, Mas,” protes Maharatu. Matanya mulai mengembun. “Yang terpenting kamu masih hidup sekarang,” ujar Bagaskara yang membuat hati Maharatu semakin teriris.Jemari Maharatu saling bertaut suaranya bergetar saat kembali berucap, “Bagaimana jika saat itu aku tidak selamat. Apa Mas ju
Danendra merogoh saku celananya, mengeluarkan sekotak rokok lalu menyulutnya. Lelaki berahang tegas itu menghisap dalam-dalam rokok yang terselip antara jari telunjuk dan tengahnya. Membiarkan asapnya berkelana di rongga dada lalu menerbangkannya ke udara.“Tidak ada yang spesial tentangku, Ra,” ucap Danendra yang memasukkan sebelah tangannya ke saku celana. Pandangan berfokus pada rembulan yang sangat terang malam ini.“Aku hanya anak seorang petani yang mencoba peruntungan di kota,” bohong Danendra.“Kalau begitu ceritakan padaku bagaimana kehidupan di desa,” kata Maharatu antusias. Memandang Danendra dari samping semakin memperjelas betapa mancungnya hidung Danendra. Maharatu begitu penasaran dengan kehidupan di pedesaan. Karena di benaknya, kehidupan di desa pasti sangat menyenangkan dan tenang. Hamparan sawah yang menghijau di mana-mana, udara yang bersih dan segar. Lalu suara gemericik air yang terdengar dari aliran sungai yang sebening kaca. “Ayahku seorang petani yang setiap