“Sandra aku ingin berbicara denganmu!” Rahman menghentikan Sandra yang akan keluar rumah.“Bicara apa?” Sikap Sandra begitu ketus dan tak acuh pada Rahman. Wanita itu membawa beberapa paper bag yang berisi tas mewah miliknya. Sandra benar-benar sudah kehabisan uang. Sedangkan, Maharatu tak kunjung memberikan uang dan mengaktifkan kartu kreditnya. Minta pada Bagaskara juga percuma, menantunya itu bilang bahwa urusan kartu kredit dan uang bulanan itu urusan Maharatu. Jadi, terpaksa dia harus menjual sebagian koleksi tas mewah miliknya untuk mendapatkan uang.“Coba sekali saja peduli pada putri dan putramu, San!” tutur Rahman.“Memangnya selama ini aku kurang peduli pada mereka?” tampik Sandra yang mulai terlihat kesal. “Kalau kamu peduli, kemarin malam seharusnya kamu ikut merayakan hari ulang tahun Maharatu,” tegur Rahman. Dia memandang lekat ke arah Sandra berharap istrinya itu bisa sadar dan mau menyayangi anak-anak mereka.“Kenapa juga aku harus merayakan ulang tahun anak durhaka
Di tempat lain seorang pria tengah mengamuk sejak semalam. Dia menghancurkan semua benda yang ada di dekatnya. Namanya Arlo, pria berusia 24 tahun yang menyebut dirinya ‘si pengagum'.“Sialan!” teriak Arlo tak terkendali. “Berani-beraninya pria itu mengambil semua kamera dan alat penyadap milikku.”Arlo menyentuh poster Maharatu berukuran besar yang tertempel di dinding kamarnya. "Kamu hanya milikku, Sayang. Aku tidak akan membiarkan pria lain berada di dekatmu," ucap Arlo seolah dia sedang benar-benar berbicara pada Maharatu.Arlo sudah sejak lama mengagumi Maharatu. Bagi Arlo, Maharatu adalah wanita yang sangat sempurna. Dia cantik dan baik.Seiring dengan debut-nya di di dunia entertain, Maharatu dipindahkan ke sekolah elit saat SMP oleh Sandra. Di sanalah Arlo bertemu dengan Maharatu. Arlo adalah anak yang sangat pendiam. Saat SMP anak itu memiliki badan yang sedikit berisi dengan kacamata yang selalu bertengger di hidung. Arlo tidak pernah memiliki teman di sekolah. Bahkan, dia
Setelah pertemuan dengan para koleganya selesai, Bagaskara langsung mengambil penerbangan pertama untuk kembali ke kotanya. Kiriman foto dan juga keterangan dari Danendra yang berkata bahwa si peneror itu semakin berani. Tak telak membuat Bagaskara mengkhawatirkan Maharatu. Dari bandara, Bagaskara langsung menuju ke apartemen Maharatu. Bahkan pria itu mencari alasan pada putri kesayangannya bahwa pertemuan dengan klien diperpanjang hingga dia harus mengundur waktu kepulangannya. Taksi yang ditumpangi Bagaskara berhenti tepat di depan apartemen. Om-om tampan itu melangkah lebar lalu masuk kedalam lift.Bagaskara yang memang sudah tahu kode unit apartemen Danendra langsung merangsek masuk. Karena memang sudah menjadi kesepakatan di awal. Danendra harus memberitahu kode unitnya pada Bagaskara.“Dimana, Maharatu?” cerca Bagaskara pada Danendra yang sedang menyiapkan makanan untuk Maharatu.Danendra sedikit terkejut mendengar suara Bagaskara. Dia lupa, Bagaskara tahu kode unitnya. “Aku ha
Maharatu meregangkan otot-ototnya. Semalam tidurnya sangat nyenyak sekali. Dia mulai beringsut, menyibak tirai jendela kaca besar kamarnya kemudian membuka pintu menuju balkon. Wanita berambut panjang itu keluar ke arah balkon. Menikmati udara segar di pagi hari. “Segar sekali udara di sini,” ujar Maharatu. Pandangannya lalu tertuju ke bawah. Ada pemandangan yang menambah keindahan pagi yang cerah ini. Danendra sedang melakukan push up di taman hanya menggunakan kaos tanpa lengan. Menunjukkan otot bahunya yang liat. Bibir Maharatu melengkung, wanita berhidung lancip itu menopang dagunya dengan bertumpu pada pembatas balkon.“Otot yang bagus. Pasti dia rajin berolahraga,” kata Maharatu yang tidak mengalihkan pandangan dari Danendra.Akan tetapi, tiba-tiba saja Danendra memandang ke arah Maharatu lalu melemparkan senyum. Hal itu jelas membuat Maharatu salah tingkah. Wanita itu langsung membuang muka. Dan dengan langkah cepat, Maharatu masuk ke dalam. Dia memukuli dahinya pelan. “Ya
Dua wanita cantik yang saling bersahabat tengah adu skill bermain tenis di lapangan indoor. Danendra duduk di kursi penonton memperhatikan dari jauh gerakan lincah dari Maharatu dan Jeslin. Ternyata Maharatu pintar juga bermain tenis. Lapangan pun begitu ramai dengan sorak-sorai beberapa penonton yang kebanyakan dari kalangan selebriti dan kalangan menengah ke atas. “Dia terlihat sangat cantik dengan pakaian itu dan aku suka,” gumam Danendra di kursi penonton. Dia bersedekap dada. Tidak sedetik pun Danendra mengalihkan pandangannya dari Maharatu yang terlihat cantik dengan baju tenis berwarna hitam dengan bawahan rok di atas lutut. Maharatu mengikat rambutnya tinggi-tinggi, membuat surai legam itu seolah menari mengikuti gerak lincah Maharatu memukul dan menampik bola. Keringat yang mengucur membuat kulit putih Maharatu sedikit mengkilap. Dan Danendra menikmati semua itu. Maharatu dan Jeslin menepi ke pinggir lapangan setelah pertandingan di menangkan oleh Maharatu. "Kapan aku b
Danendra semakin dibuat gelisah saat melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Sudah hampir setengah jam Maharatu berada di kamar mandi. Namun, belum juga ada tanda-tanda wanita itu kembali ke area bermain tenis. Danendra bangkit dari duduknya, kaki jenjangnya melangkah lebar menuju toilet wanita. Sudah hampir lima belas menit dia berdiri di depan pintu toilet. Menunggu Maharatu keluar karena tidak mungkin dia menerobos masuk ke dalam toilet wanita. “Kamu … Endra, 'kan?” Tunjuk Jeslin pada Danendra yang berdiri di depan toilet wanita. “Bodyguard Maharatu?” “Iya benar, saya bodyguard Nona Maharatu,” jawab Danendra sesopan mungkin. “Kamu ngapain disini?” Jeslin tampak mengernyitkan dahinya karena wajah Danendra terlihat gelisah. “Begini… tadi Nona Maharatu bilang akan pergi ke toilet, tapi ini sudah lebih dari tiga puluh menit dan Nona belum juga kembali,” terang Danendra. “Astaga kamu benar juga. Dia tadi juga bilang padaku kalau dia mau ke toilet. Karena terl
Mobil Danendra melaju membelah keramaian jalan raya. Dia harus segera sampai di rumah Maharatu untuk memastikan kecurigaannya. “Pak.” Danendra berdiri di ambang pintu pos satpam rumah Maharatu.“Iya, Mas, ada yang bisa saya bantu?” Si satpam yang sedang menikmati kopi menghampiri Danendra. “Mas pulang sendiri?” tanya si satpam karena tidak mendapati keberadaan Maharatu.“Iya, Non Ratu masih ada pekerjaan lain.” Danendra beralasan. Dia harus merahasiakan tentang hilangnya Maharatu agar tidak menimbulkan kepanikan di rumah ini.“Pak saya mau melihat rekaman CCTV yang mengarah ke arah luar, bisa?"Perkataan Danendra membuat Satpam Maharatu menautkan kedua alisnya. “Apa ada masalah, Mas?”Danendra melempar senyum. “Tidak ada. Saya hanya ingin melihat situasi sekitar. Untuk lebih memastikan keamanan, Nona.”“Oo begitu. Tentu boleh, mari ikut dengan saya, Mas.” Satpam tersebut mengajak Danendra ke dalam rumah.Mata Danendra terus berfokus pada layar laptop yang ada di depan mereka. Tangan
Tubuh Maharatu luruh ke lantai, dia menangis sesenggukan di balik pintu karena tidak bisa keluar dari kamar. Tapi tidak. Dia tidak boleh menyerah. Maharatu bangkit lalu berlari ke arah jendela menyibak gorden berwarna putih. Namun, lagi-lagi Maharatu harus menelan kekecewaan ini bukanlah jendela melainkan hanya sebuah dinding berkaca besar yang tidak memiliki cela sama sekali. Kamar ini juga tidak memiliki balkon seperti dirumahnya meski berada di lantai atas. Keadaan kamar mandi juga tidak jauh berbeda, bahkan kamar mandinya sama sekali tidak memiliki ventilasi. Maharatu yang hampir putus asa hanya bisa terduduk di tepi ranjang, keringat dingin pun mulai bercucuran keluar meski dia sedang berada di ruangan yang berpendingin. Wanita itu menoleh saat mendengar gagang pintu diputar dari luar. “Siapa kamu?” Maharatu bangkit lalu berjalan mundur hingga ke terantuk pada dinding kaca kamar itu. Pria yang membawa makanan itu meletakkan nampannya di atas meja kemudian mendekati Maha