Mobil Danendra melaju membelah keramaian jalan raya. Dia harus segera sampai di rumah Maharatu untuk memastikan kecurigaannya. “Pak.” Danendra berdiri di ambang pintu pos satpam rumah Maharatu.“Iya, Mas, ada yang bisa saya bantu?” Si satpam yang sedang menikmati kopi menghampiri Danendra. “Mas pulang sendiri?” tanya si satpam karena tidak mendapati keberadaan Maharatu.“Iya, Non Ratu masih ada pekerjaan lain.” Danendra beralasan. Dia harus merahasiakan tentang hilangnya Maharatu agar tidak menimbulkan kepanikan di rumah ini.“Pak saya mau melihat rekaman CCTV yang mengarah ke arah luar, bisa?"Perkataan Danendra membuat Satpam Maharatu menautkan kedua alisnya. “Apa ada masalah, Mas?”Danendra melempar senyum. “Tidak ada. Saya hanya ingin melihat situasi sekitar. Untuk lebih memastikan keamanan, Nona.”“Oo begitu. Tentu boleh, mari ikut dengan saya, Mas.” Satpam tersebut mengajak Danendra ke dalam rumah.Mata Danendra terus berfokus pada layar laptop yang ada di depan mereka. Tangan
Tubuh Maharatu luruh ke lantai, dia menangis sesenggukan di balik pintu karena tidak bisa keluar dari kamar. Tapi tidak. Dia tidak boleh menyerah. Maharatu bangkit lalu berlari ke arah jendela menyibak gorden berwarna putih. Namun, lagi-lagi Maharatu harus menelan kekecewaan ini bukanlah jendela melainkan hanya sebuah dinding berkaca besar yang tidak memiliki cela sama sekali. Kamar ini juga tidak memiliki balkon seperti dirumahnya meski berada di lantai atas. Keadaan kamar mandi juga tidak jauh berbeda, bahkan kamar mandinya sama sekali tidak memiliki ventilasi. Maharatu yang hampir putus asa hanya bisa terduduk di tepi ranjang, keringat dingin pun mulai bercucuran keluar meski dia sedang berada di ruangan yang berpendingin. Wanita itu menoleh saat mendengar gagang pintu diputar dari luar. “Siapa kamu?” Maharatu bangkit lalu berjalan mundur hingga ke terantuk pada dinding kaca kamar itu. Pria yang membawa makanan itu meletakkan nampannya di atas meja kemudian mendekati Maha
Malam sudah semakin larut, tapi sedetik pun mata Danendra dan Nickolas belum bisa terpejam. Mereka masih terus berusaha mencari keberadaan Maharatu. Memperhatikan satu per satu CCTV jalan yang berhasil Nickolas retas. Mereka juga meminta bantuan beberapa kenalan yang memang memiliki kuasa di bidangnya untuk melacak plat nomor mobil yang digunakan si penculik.“Ya.”“Baiklah.”“Terima kasih atas info yang sangat penting ini.” Nicholas mengakhiri panggilannya dengan seorang kenalan.“Mobil yang digunakan pria itu, mobil yang sudah lama menunggak pajak dan mobil itu dibeli atas nama Sutopo pria 50 tahun,” terang Nick.“Argh! Sial!” umpat Danendra setelah tahu siapa pemilik mobil itu. Jalannya untuk menemukan Maharatu semakin sulit saja. Karena penguntit itu jelas-jelas seorang pria muda bukan seorang pria setengah baya. Meski pria itu selalu memakai masker tapi, dari postur tubuhnya Danendra bisa tahu kalau pria itu pria muda.“Sutopo ini bukan orang sembarangan. Dia memiliki jabatan y
“Kalung mahal?!” beo Marisa. “Iya, Ma. Kalung berlian mahal yang sangat cantik,” tutur Hanum. “Pa … kapan kira-kira Hanum bisa ketemu lagi sama Kak Maharatu. Hanum mau gantian kasih hadiah ke dia,” rengek Hanum pada Bagaskara. Gadis itu bahkan sampai menggoyang-goyangkan lengan papanya. “Kalau Papa bilang belum bisa, ya, belum bisa, Hanum!” bentak Bagaskara yang hilang kendali. Ini pertama kalinya bagi Hanum dibentak oleh Bagaskara, mata gadis itu mulai berkaca-kaca. “Papa jahat,” kata Hanum sambil menyeka air mata yang kadung mengalir di pipi putihnya. Gadis itu pun langsung bangkit dari duduknya dan berlari ke lantai atas. “Sebenarnya ada apa denganmu, Gas? Hanya karena permintaan kecil saja, kamu sampai membentak Hanum seperti itu,” ujar Marisa yang bangkit untuk menyusul putrinya. Sepeninggal istri dan anaknya Bagaskara memijat pelipisnya yang semakin berdenyut nyeri. Pria itu juga heran dengan dirinya sendiri. Bagaimana bisa masalah Maharatu bisa memporak-porandakan e
“Lihatlah gaun yang kubawa untukmu, Ra!”Maharatu baru menyadari jika Arlo membawa gaun putih di tangannya.“Gaun … untuk apa?” Maharatu semakin mengeratkan cengkramannya di wastafel. Arlo mulai mengikis jarak dengan Maharatu. “Kamu pasti sangat cantik bila mengenakan gaun pengantin ini, Ratuku.”“Aku sudah bilang kita tidak bisa menikah, Arlo!” teriak Maharatu yang mulai frustasi dengan sikap Arlo. Teriakan Maharatu memancing amarah Arlo. Pria itu menarik tangan Maharatu kasar hingga tubuh Maharatu mendekat ke tubuh Arlo. “Oiya,” ucap Arlo yang tersenyum iblis. “Kalau kamu tidak mau menikah denganku, aku akan membakar villa ini. Supaya kita bisa mati bersama. Dan menjadi pasangan abadi di dunia dan di alam baka,” imbuh Arlo. “Kamu lupa Arlo aku sudah bersuami. Keyakinan yang kuanut mengharamkan seorang wanita memiliki dua suami," tegas Maharatu yang tidak mau terus-menerus diintimidasi oleh Arlo. “Persetan dengan keyakinan atau apa pun itu. Yang aku mau hanya menikah denganmu
“Yang mana satu.” Nickolas menggaruk alisnya. Pasalnya Sutopo memiliki dua villa yang memiliki eksterior yang hampir serupa dengan apa yang disebutkan Maharatu. Danendra melihat ke laptop Nickolas. “Kita datangi keduanya,” usul Danendra. “Letak kedua villa berjauhan, Danen. Keduanya berlawanan arah dari posisi kita sekarang. Jarak tempuhnya juga hampir setengah jam dari sini,” terang Nickolas. “Nomor yang digunakan Maharatu untuk menelpon belum bisa dilacak?” tanya Danendra. “Oiya, aku lupa tadi kamu menyuruhku melacak nomor itu.” Terkadang rasa khawatir yang berlebihan bisa membuat kita bertindak grusa-grusu dan melupakan hal-hal penting. “Ayolah!” kata Nick pada laptopnya. Di saat seperti ini laptopnya malah sedikit lemot. “Bagaimana, Nick, kamu sudah berhasil melacaknya belum?” tanya Danendra yang tidak sabaran. “Sabar Danen, aku sedang berusaha, nih!”“Kita harus berlomba dengan waktu. Kata Maharatu, Arlo mengajaknya menikah.”“Pria itu benar-benar gini.” Nick menyahut. J
Arlo sudah berada di halaman belakang villa tempat dia memarkirkan mobil. Dia meraba kantong celananya untuk mencari kunci mobilnya. “Astaga aku sampai melupakan kuncinya.” Arlo menepuk jidatnya lalu terkekeh pelan. “Maharatu benar-benar membuatku melupakan semuanya,” imbuh Arlo yang setengah berlari ke arah pintu utama.Sengaja Arlo memilih villa ini untuk menyembunyikan Maharatu. Meski tidak begitu besar, tapi villa ini terletak di tengah perkebunan teh yang sudah lama terbengkalai. Jauh dari keramaian dan begitu terpencil. Villa berlantai dua ini memiliki dua kamar tidur di lantai atas. Sementara lantai dasar digunakan sebagai ruang makan, ruang tamu, dan dapur yang menjadi satu tanpa ada dinding pembatas.Arlo memutar kunci. Dan, saat pintu terbuka. Sebuah pemandangan mengejutkan tampak di depan matanya. Maharatu naik ke atas kabinet dapur. Bersiap untuk melompat keluar dari jendela. “Maharatu!” teriak Arlo murka. Dia juga merutuki dirinya yang ceroboh. Lupa menutup jendela itu
Plak! Plak! Plak! Suara telapak tangan yang beradu dengan pipi terus bergema di kantor milik Bagaskara. Delapan pria bertubuh kekar berbaris rapi di ruangan suami Maharatu. Tidak satupun dari mereka yang luput dari tamparan Bagaskara tak terkecuali Ferdy--asisten Bagaskara. “Dasar tidak becus!” hardik Bagaskara murka. “Dan kamu, Ferdy!” Bagaskara berhenti di depan asistennya itu. “Sebenarnya kamu ini bisa kerja tidak. Masa dengan anak buah sebanyak ini. Kamu tidak bisa menemukan istriku. Hah…!” Amarah yang sudah meledak membuat Bagaskara mencengkram kemeja Ferdy kuat-kuat. Tatapan Bagaskara juga seperti singa yang hendak mengoyak tubuh Ferdy. Keringat dingin mulai keluar dari tubuh Ferdy meski di ruangan ber-AC. “Ma … masih ada satu orang saya yang belum kembali bos,” kata Ferdy terbata-bata, “dia saya suruh untuk mengikuti mobil Endra,” imbuhnya. Mata Bagaskara memicing. “Endra?!” “I … iya, Bos. Endra sepertinya juga berusaha menemukan keberadaan Nona. Menurut anak buah sa