Malam sudah semakin larut, tapi sedetik pun mata Danendra dan Nickolas belum bisa terpejam. Mereka masih terus berusaha mencari keberadaan Maharatu. Memperhatikan satu per satu CCTV jalan yang berhasil Nickolas retas. Mereka juga meminta bantuan beberapa kenalan yang memang memiliki kuasa di bidangnya untuk melacak plat nomor mobil yang digunakan si penculik.“Ya.”“Baiklah.”“Terima kasih atas info yang sangat penting ini.” Nicholas mengakhiri panggilannya dengan seorang kenalan.“Mobil yang digunakan pria itu, mobil yang sudah lama menunggak pajak dan mobil itu dibeli atas nama Sutopo pria 50 tahun,” terang Nick.“Argh! Sial!” umpat Danendra setelah tahu siapa pemilik mobil itu. Jalannya untuk menemukan Maharatu semakin sulit saja. Karena penguntit itu jelas-jelas seorang pria muda bukan seorang pria setengah baya. Meski pria itu selalu memakai masker tapi, dari postur tubuhnya Danendra bisa tahu kalau pria itu pria muda.“Sutopo ini bukan orang sembarangan. Dia memiliki jabatan y
“Kalung mahal?!” beo Marisa. “Iya, Ma. Kalung berlian mahal yang sangat cantik,” tutur Hanum. “Pa … kapan kira-kira Hanum bisa ketemu lagi sama Kak Maharatu. Hanum mau gantian kasih hadiah ke dia,” rengek Hanum pada Bagaskara. Gadis itu bahkan sampai menggoyang-goyangkan lengan papanya. “Kalau Papa bilang belum bisa, ya, belum bisa, Hanum!” bentak Bagaskara yang hilang kendali. Ini pertama kalinya bagi Hanum dibentak oleh Bagaskara, mata gadis itu mulai berkaca-kaca. “Papa jahat,” kata Hanum sambil menyeka air mata yang kadung mengalir di pipi putihnya. Gadis itu pun langsung bangkit dari duduknya dan berlari ke lantai atas. “Sebenarnya ada apa denganmu, Gas? Hanya karena permintaan kecil saja, kamu sampai membentak Hanum seperti itu,” ujar Marisa yang bangkit untuk menyusul putrinya. Sepeninggal istri dan anaknya Bagaskara memijat pelipisnya yang semakin berdenyut nyeri. Pria itu juga heran dengan dirinya sendiri. Bagaimana bisa masalah Maharatu bisa memporak-porandakan e
“Lihatlah gaun yang kubawa untukmu, Ra!”Maharatu baru menyadari jika Arlo membawa gaun putih di tangannya.“Gaun … untuk apa?” Maharatu semakin mengeratkan cengkramannya di wastafel. Arlo mulai mengikis jarak dengan Maharatu. “Kamu pasti sangat cantik bila mengenakan gaun pengantin ini, Ratuku.”“Aku sudah bilang kita tidak bisa menikah, Arlo!” teriak Maharatu yang mulai frustasi dengan sikap Arlo. Teriakan Maharatu memancing amarah Arlo. Pria itu menarik tangan Maharatu kasar hingga tubuh Maharatu mendekat ke tubuh Arlo. “Oiya,” ucap Arlo yang tersenyum iblis. “Kalau kamu tidak mau menikah denganku, aku akan membakar villa ini. Supaya kita bisa mati bersama. Dan menjadi pasangan abadi di dunia dan di alam baka,” imbuh Arlo. “Kamu lupa Arlo aku sudah bersuami. Keyakinan yang kuanut mengharamkan seorang wanita memiliki dua suami," tegas Maharatu yang tidak mau terus-menerus diintimidasi oleh Arlo. “Persetan dengan keyakinan atau apa pun itu. Yang aku mau hanya menikah denganmu
“Yang mana satu.” Nickolas menggaruk alisnya. Pasalnya Sutopo memiliki dua villa yang memiliki eksterior yang hampir serupa dengan apa yang disebutkan Maharatu. Danendra melihat ke laptop Nickolas. “Kita datangi keduanya,” usul Danendra. “Letak kedua villa berjauhan, Danen. Keduanya berlawanan arah dari posisi kita sekarang. Jarak tempuhnya juga hampir setengah jam dari sini,” terang Nickolas. “Nomor yang digunakan Maharatu untuk menelpon belum bisa dilacak?” tanya Danendra. “Oiya, aku lupa tadi kamu menyuruhku melacak nomor itu.” Terkadang rasa khawatir yang berlebihan bisa membuat kita bertindak grusa-grusu dan melupakan hal-hal penting. “Ayolah!” kata Nick pada laptopnya. Di saat seperti ini laptopnya malah sedikit lemot. “Bagaimana, Nick, kamu sudah berhasil melacaknya belum?” tanya Danendra yang tidak sabaran. “Sabar Danen, aku sedang berusaha, nih!”“Kita harus berlomba dengan waktu. Kata Maharatu, Arlo mengajaknya menikah.”“Pria itu benar-benar gini.” Nick menyahut. J
Arlo sudah berada di halaman belakang villa tempat dia memarkirkan mobil. Dia meraba kantong celananya untuk mencari kunci mobilnya. “Astaga aku sampai melupakan kuncinya.” Arlo menepuk jidatnya lalu terkekeh pelan. “Maharatu benar-benar membuatku melupakan semuanya,” imbuh Arlo yang setengah berlari ke arah pintu utama.Sengaja Arlo memilih villa ini untuk menyembunyikan Maharatu. Meski tidak begitu besar, tapi villa ini terletak di tengah perkebunan teh yang sudah lama terbengkalai. Jauh dari keramaian dan begitu terpencil. Villa berlantai dua ini memiliki dua kamar tidur di lantai atas. Sementara lantai dasar digunakan sebagai ruang makan, ruang tamu, dan dapur yang menjadi satu tanpa ada dinding pembatas.Arlo memutar kunci. Dan, saat pintu terbuka. Sebuah pemandangan mengejutkan tampak di depan matanya. Maharatu naik ke atas kabinet dapur. Bersiap untuk melompat keluar dari jendela. “Maharatu!” teriak Arlo murka. Dia juga merutuki dirinya yang ceroboh. Lupa menutup jendela itu
Plak! Plak! Plak! Suara telapak tangan yang beradu dengan pipi terus bergema di kantor milik Bagaskara. Delapan pria bertubuh kekar berbaris rapi di ruangan suami Maharatu. Tidak satupun dari mereka yang luput dari tamparan Bagaskara tak terkecuali Ferdy--asisten Bagaskara. “Dasar tidak becus!” hardik Bagaskara murka. “Dan kamu, Ferdy!” Bagaskara berhenti di depan asistennya itu. “Sebenarnya kamu ini bisa kerja tidak. Masa dengan anak buah sebanyak ini. Kamu tidak bisa menemukan istriku. Hah…!” Amarah yang sudah meledak membuat Bagaskara mencengkram kemeja Ferdy kuat-kuat. Tatapan Bagaskara juga seperti singa yang hendak mengoyak tubuh Ferdy. Keringat dingin mulai keluar dari tubuh Ferdy meski di ruangan ber-AC. “Ma … masih ada satu orang saya yang belum kembali bos,” kata Ferdy terbata-bata, “dia saya suruh untuk mengikuti mobil Endra,” imbuhnya. Mata Bagaskara memicing. “Endra?!” “I … iya, Bos. Endra sepertinya juga berusaha menemukan keberadaan Nona. Menurut anak buah sa
Prang! Sanjaya berlari ke dapur saat mendengar suara benda jatuh. “Ma!” pekik Sanjaya saat melihat istrinya mematung di depan minibar. Sementara, di lantai pecahan cangkir berserakan dimana-mana.“Papa.” Mendengar suara Sanjaya, Dahlia menoleh dengan memegangi dada. Tadinya dia berniat untuk membuatkan Sanjaya kopi. Tapi, tiba-tiba saja jantungnya berdebar dan bayangan Danendra sekelebat muncul di pelupuk mata, membuat cangkir yang dia pegang meluncur begitu saja. “Firasat Mama, kok, nggak enak, ya?” imbuh Dahlia yang menatap suaminya intens. Sanjaya menarik tangan istrinya. “Sini ikut Papa!” kata Sanjaya yang membimbing Dahlia ke arah meja makan. Sanjaya lalu menarik kursi untuk Dahlia duduk.“Istighfar!” Sanjaya mengambilkan segelas air untuk Dahlia. “Ini minum dulu!”Dahlia meneguk air pemberian suaminya hingga tandas. “Seharusnya kalau Mama capek bilang sama Papa. Biar Papa buat kopi sendiri.”“Mama nggak Papa kok, Pa. Hanya saja….” Dahlia menggantung ucapannya.“Hanya apa?”
“Gimana keadaan Maharatu?” tanya Danendra pada Nickolas yang masuk ke ruang perawatannya.“Dia sudah mendapatkan perawatan dari dokter,” jawab Nick. “Dia sudah siuman?” “Belum. Kata dokter sepertinya dia syok berat. Selain itu dia juga mengalami dehidrasi,” terang Nick. Dia duduk di kursi samping brankar. “Sudah telpon Om Sanjaya belum?” tanya Nick selanjutnya.“Danendra yang bersandar di brankar rumah sakit menepuk jidatnya. “Aku lupa.” Gegas dia meraih ponsel yang tergeletak di atas nakas. Lalu menghubungi papanya. “Hallo, Pa!” “Hallo Danen, Sayang.” Bukan Sanjaya yang menjawab panggilan Danendra melainkan Dahlia.“Ada Ma?” “Kamu baik-baik saja ‘kan, Nak. Mama khawatir sekali sama kamu,” ujar Dahlia. Bibir Danendra tersenyum tipis. Firasat seorang ibu memang tidak pernah salah. Dia selalu tahu apapun yang terjadi pada anaknya meski tak sedang bersama.“Danen baik, Ma,” bohong Danendra. Karena jelas dia tidak baik-baik saja. Saat ini lengannya terluka, dia juga terbaring di ran