Saat ini semua berkumpul di meja makan restoran hotel yang mereka sewa untuk acara pernikahan Sasya dan Agaza. Kedua orang tua Agaza sudah lebih dulu pulang karena Marina-neneknya Agaza-sudah harus kembali ke negara asalnya, Spanyol. Yap, Agaza memang memiliki darah campuran Spanyol-Arab. Tapi, ayahnya merantau ke Indonesia dan bertemu ibunya yang asli orang Jawa. Menikah dan tinggal di Indonesia sampai Agaza sebesar sekarang. Mereka hanya akan pulang kampung saat libur tiba.
Sekarang hanya ada kedua orang tua Sasya, Bang Ghani, dan Mesya-kakak Agaza, Tante Mika, dan Bude Ria serta suami dua orang tua itu. Yang lain sudah pulang karena harus mengurus rumah dan ada acara lain di hari minggu yang cerah ini.
Segala jenis makanan sudah terhidang di atas meja makan khusus keluarga mereka. Mulai dari masakan Nusantara hingga masakan perpaduan dua budaya. Sasya sendiri lebih suka makan masakan yang setengah matang. Misal, sayur yang direbus hanya lima menit, salmon atau tuna yang di panggang sebentar, kentang rebus, dan makanan sehat rendah lemak kalori lainnya. Kalaupun yang berlemak, Sasya hanya akan memakan sedikit saja.
"Meat?" Sasya menggeleng saat Agaza menawarinya daging rendang. Tidak, makanan seperti itu bukan untuknya. "Ini enak loh, Yang." Sekali lagi, Sasya menggeleng.
Wanita itu mengambil salad dan jus jeruk, menyantap kedua menu itu dengan lahap. Agaza mengernyit, bingung dengan wanita itu. Memang kenyang dengan makan sayur yang beratnya bahkan tidak sampai seperempat kilo itu? Sambil geleng-geleng, Agaza menyantap soup dan sate kerang di hadapannya.
"Agaza pasti lagi heran lihat porsi makan istrinya," celetuk Tante Mika sambil terkekeh.
Sasya mendongak untuk menatap Tante Mika. Lalu beralih pada Agaza yang juga menatap ke arah Tante Mika. Wanita itu menggerutu, memang kenapa sih dengan porsi makannya? Toh, ini makanan sehat kok! Tantenya saja yang tidak tahu betapa lezat dan bergizi makanan ini-untuk orang yang tidak mau gendut sepertinya.
Tante Mika tertawa melihat ekspresi Agaza. "Si Sasya itu nggak mau gendut, makanya jaga porsi makan dan jenis makanannya!" ujarnya penuh kebahagiaan.
Rinjani-Mamanya Sasya-melotot mendengar penuturan iparnya itu. Ia langsung menoleh pada Sasya. Begitu juga dengan Ghani, yang menatap penuh ancaman padanya. Sasya meringis, melirik Papa yang makan dengan tenang. Bantuannya tidak ada sekarang. Berpindah pada Agaza yang menatapnya penuh tanya. Ia kembali meringis, posisinya benar-benar terpojok sekarang. Dasar tante sialan!
"Eh, itu, anu eum ... Sasya nggak diet kok!" alibinya. Ia berpikir keras untuk memilih alasan yang tepat agar bisa mengelabui orang-orang yang menatapnya sekarang. "Aku lagi sakit perut, makanya nggak mau banyak makan. Iya, sakit perut aduhhh." Untuk menambah keapikan actingnya, wanita itu meringis sambil memegangi perutnya.
Agaza yang bereaksi lebih dulu. Pria itu jadi teringat perbuatannya tadi malam yang kembali tidur dengan memeluk Sasya. Apa sesakit itu ya timpahan tangannya? "Perlu ke dokter? Ayo, saya temani periksa, takutnya parah."
"Eh-eh, nggak mau!" bantahnya cepat, kelewat cepat malahan. "Eum, maksudnya nggak perlu ke dokter, lagian ini cuma butuh istirahat doang, kok!" tambahnya lagi.
"Paling juga alasan. Kalian kayak nggak tahu saja, Sasya dengan seribu alasannya," cerocos Tante Mika.
Sasya menggeram tertahan. Antara mempertahankan actingnya atau mau membalas ucapan menyebalkan dari adik Papanya itu.
"Ini, ini salah saya sebenarnya. Tadi malam saya-"
"Kan sudah Papa bilang, Za, anak Papa ini masih perawan. Kamu main kasar, ya?" tuduh Bagas dengan wajah jahil. Papanya ini bukan ingin menuduh, tapi lebih meminta kejelasan dengan menggoda.
Agaza menggeleng dengan polosnya. "Aduhhh, sakit!" aduh Sasya untuk menghentikan sikap bodoh suaminya. Jangan sampai pria itu mengatakan kalau mereka belum melakukan apa pun, bisa kacau rencana mereka.
"Mau ke kamar?"
"Boleh, deh."
"Ya sudah, kami ke kamar duluan ya semua. Permisi."
Agaza memapah wanita itu. Sebenarnya ia ingin menggendong Sasya karena melihat raut wajah Sasya yang sepertinya sangat kesakitan, tapi begitu Sasya mendelik maka secepat mungkin keinginan itu ia urungkan.
Setibanya di kamar, Sasya langsung naik ke atas kasur. Merebahkan tubuhnya di atas benda empuk berseprai putih itu sambil menggoyangkan kakinya. Nikmatnya.
Agaza juga langsung mengambil sikap. Jika istrinya tidak ingin dibawa ke dokter, maka dirinyalah yang akan menjadi dokter untuk menghilangkan sakit perut sang istri. Pria itu mengambil air hangat dari kamar mandi yang ditampung dalam baskom beserta handuk kecil.
"Sini," perintahnya.
Sasya yang semula sedang memejamkan mata sambil goyang-goyang kaki langsung tersadar. Ia membuka kedua bola matanya dan mendapati Agaza sudah duduk di ranjang dengan memegang baskom berisi air dan handuk di tangannya.
"Mau ngapain?" tanyanya penasaran.
Agaza mendengus. "Kamu sakit perut, 'kan? Sini saya redahin sakitnya!" katanya.
Wanita itu langsung gelagapan. Mana mungkin ia mengatakan kalau tadi hanya berpura-pura sakit saja, kan? Bisa rusak imagenya di depan pria tua ini. Makanya daripada mengakui kebohongan, lebih baik ia melanjutkan permainan.
"Caranya gimana? Memang lo dukun, cuma pakai air bisa hilang sakitnya?"
Agaza meletakkan baskom yang dipegangnya ke atas nakas setelah mencelupkan handuk kecil tadi di dalamnya. Setelah air yang diperas dari handuk benar-benar tuntas, ia membawa benda itu ke atas perut Sasya. Menyingkap kaus yang istrinya gunakan dan mengusap handuk hangat itu ke atas perut rata Sasya. Wanita itu nyaris menjerit kalau saja tidak ingat bahwa dirinya sedang pura-pura sakit. Ia meringis pelan, merasakan hangat di perutnya dan usapan tangan Agaza di puncak kepalanya.
"Lebih baik?" tanya pria itu. Bilasan kedua mulai ia usapkan lagi di perut Sasya. Sungguh, istrinya benar-benar punya tubuh yang ramping. Mulai dari pinggang sampai perut, rata. Hanya menonjol di bagian-bagian tertentu saja.
"Se-sedikit," tapi, jantung gue yang berubah jadi sakit sekarang!
Lama-kelamaan Sasya mulai terbiasa, ia menikmati pijatan tangan Agaza dari balik handuk di sekitaran perutnya. Sesekali merasa geli saat tangan besar itu menyentuh area pinggangnya. Astaga, Sasya bisa dengan mudah jatuh cinta kalau begini caranya!
"Saya tidak sabar mijat perut kamu tanpa penghalang," bisik Agaza. Mencium pipi Sasya sekilas dan kembali duduk tegak. Wanita itu tidak membalas, ia lebih memilih menikmati pijatan Agaza sampai akhirnya jatuh terlelap ke alam mimpi.
|¤|
Sasya ingin cepat pulang daripada harus berlama-lama dengan kedua saudara Papa dan Mamanya itu. Ia meminta Agaza agar membicarakan tentang keinginan mereka pulang pada kedua orang tuanya. Pria itu benar-benar melaksanakan ucapannya yang akan menjadi tipe pria idaman Sasya dan membuat wanita keras kepala itu jatuh cinta.
Agaza meninggalkannya di kamar hotel mereka sendirian untuk meminta izin pada Papa dan Mamanya yang pasti masih ada di lantai bawah. Entah melakukan apa, yang pasti jauh dari kata sibuk. Kedua orang tua Sasya itu memang suka menghabiskan waktu berdua, yang kadang menumbuhkan rasa iri padanya. Papa tipe pria yang sempurna menurutnya, unggul dalam segala aspek.
Suara pintu dibuka membuat matanya yang tadi masih terpejam segera terbuka kembali dan langsung menoleh ke arah pintu. Agaza masuk dengan membawa kantung plastik dan cup jus jeruk di tangan sebelahnya. Pria itu tidak tersenyum, tapi wajahnya terlihat sangat tanpan, dengan bantuan cahaya matahari yang mengintip malu-malu dari gorden yang sengaja tidak mereka buka.
"Saya tadi beli sup di bawah, kata penjualnya cocok untuk orang sakit dan ... tidak mau gendut," ujar pria itu dengan nada mengejek di akhir kalimat.
"Gue nggak suka sup!" tolaknya. Sasya hanya mengambil jus jeruk dari tangan Agaza dan menyedot minuman itu rakus.
Agaza mengambil duduk di samping Sasya yang masih setengah berbaring. "Ini tidak pakai ayam, diganti sama jamur dan jagung tadi kata penjualnya."
Sasya tetap pada pendiriannya. Wanita itu menggeleng kuat-kuat, bahkan sampai beranjak untuk memperlebar jaraknya dari Agaza. Sasya duduk di ujung, menjauh sejauh mungkin dari suaminya. Tapi, Agaza juga sama keras kepalanya dengan istrinya itu. Ia juga bergerak mendekat dan langsung mengurung tubuh mungil Sasya dengan kedua kakinya, sedangkan kedua tangannya ia gunakan untuk memegang mangkuk dan sendok.
"Mau makan sendiri atau saya suapin?" pria itu menaik-turunkan alisnya, menggoda Sasya dengan wajah datar.
"Nggak mau! Pokoknya gue nggak mau! Titik!" ucapnya masih keras kepala. "Lagian gue nggak sakit, Gaza!" teriaknya frustasi karena Agaza sudah mulai mendekatkan sendok ke bibirnya.
"Saya tahu kamu tidak sakit. Sekarang kamu makan, tadi pagi saladmu bahkan tidak habis setengahnya."
Sasya pasrah, ia menerima suapan pertama dari sendok sup yang Agaza sodorkan padanya. Menelan sup itu dengan susah payah. Ucapannya yang mengatakan tidak suka sup memang benar adanya, ia bahkan bisa alergi jika makan terlalu banyak. "Jangan banyak-banyak! Lima suapan saja, gue nggak bisa makan sup terlalu banyak!"
Jamur yang ada di dalam mulutnya terasa lembut, tapi juga crispy. Entah teknik masak seperti apa yang penjual sup ini gunakan hingga bisa membuat masakan seenak ini. Tapi, keenakan sup jamur yang dimakannya tidak akan bisa melupakan bahwa dirinya alergi, jadi pada suapan ke enam, Sasya benar-benar menutup mulutnya rapat.
"Ini lagi. Masih sedikit loh tadi, Yang."
"Gue nggak bisa banyak makan sup!" katanya ketus. Ia melipat kedua tangannya di depan dada. "Gue alergi."
Agaza terbelalak. Alergi katanya? Aih, wanita ini. Kenapa tidak mengatakan sejak tadi, sih? "Harusnya bilang dari awal, kamu tuh, ish!"
Segera ia singkirkan mangkuk sup dari tangannya, mengganti dengan cup jus jeruk yang tadi sempat Sasya letakkan di atas nakas. Menyerahkan pada gadis itu. Merasa tak cukup, Agaza kembali memberikan segelas air pada istrinya, menyuruh dengan tegas kalau air itu harus habis.
"Sebenarnya nggak alergi parah, sih. Cuma kalau kebanyakan, lebih dari lima sendok, gue malah bisa jadi demam." Sasya mengerti sorot khawatir pada mata Agaza, maka ia memberi penjelasan tentang alerginya terhadap sup.
Pasti banyak yang bingung dengan alergi Sasya yang satu ini. Terlihat tidak nyata, tapi memang begitu adanya. Bahkan saat ia periksa ke dokter pun tidak mendapat penanganan karena alerginya ini hanya ada pada dirinya sendiri, tidak ada di kasus alergi lainnya. Sasya memang alergi dengan masakan yang di masak dalam api 150 derajat celcius atau di masak dengan waktu cukup lama, misal lebih dari lima belas menit. Itu juga alasan kenapa Sasya lebih suka makan salad dan masakan setengah matang, terlepas dari dirinya yang memang tidak mau gendut.
"Soal pulang gimana? Papa kasih izin, 'kan?" tanya Sasya sebagai pengalihan. Ia tidak bisa diperhatikan dengan intens seperti yang Agaza sering lakukan.
Suaminya mengangguk. "Besok pagi kita pulang, ke rumah saya," katanya pelan. Pria itu mendekat, membawa Sasya ke dalam dekapannya. Astaga, Agaza benar-benar mencintai wanita ini.
Sudah lama. Mungkin sejak ia melihat Sasya pertama kali di pesta ulang tahun wanita itu sembilan tahun silam atau saat ia tahu kalau Sasya yang akan dijodohkan padanya? Entahlah, pastinya Agaza akan berusaha sekuat mungkin agar wanita dalam dekapannya ini bisa balik jatuh cinta padanya. Demi apa pun, Agaza tidak bisa jika harus dipisahkan lagi setelah rasanya semakin dalam, dan keinginan biologisnya semakin besar terhadap wanita ini.
"Jangan pernah minta cerai ya, Yang," bisiknya pelan di telinga Sasya, lalu menciumi puncak kepala istrinya dengan sayang.
|¤|
Sejak bangun dari tidurnya pagi tadi, Sasya sudah merasakan nyeri yang luar biasa di perutnya. Setelah mengecek ternyata benar, bahwa tamu istimewanya datang. Selama membereskan barang mereka, Sasya masih berusaha menahan sakitnya, tapi begitu mereka tiba di rumah milik Agaza ia tidak bisa menahannya lagi. Wanita itu langsung duduk sambil menekuk kakinya di sofa ruang tamu. Sementara suaminya mengurus beberapa perkara pada Pak RT agar tidak terjadi salah paham karena dirinya membawa seorang wanita ke rumahnya. Memang benar, orang sekitar rumahnya tidak tahu jika ia akan menikah karena Agaza sendiri jarang berada di rumah. Begitu Agaza sampai di rumah, yang ia dapati adalah koper Sasya yang masih tergeletak di lantai, sedangkan wanita itu meringkuk di atas sofa sambil meringis kecil. Didekatinya wanita yang berstatus sebagai istrinya itu, mengecek suhu tubuh Sasya dengan punggung tangannya. Ia beralih ke dapur untuk mengambil air dan menyuruh Sasya meminumnya. Wanita berusia dua pulu
Sudah dua hari ini Agaza sibuk dengan pekerjaannya. Setelah kejadian malam itu, mereka belum pernah terlibat percakapan yang terlalu lama. Paling sekadar menyapa atau saling bertanya kegiatan apa yang keduanya lakukan setiap harinya. Semua cukup, karena kalau berlebihan Sasya takut jantungnya tidak akan kuat. Agaza itu kalau sudah perhatian manisnya tidak ketulungan! Tadi setelah Agaza pergi bekerja, Sasya juga pergi dari rumah. Ia menemui teman-teman sosialitanya, membicarakan banyak hal tentang make up, trend fashion, sepatu, serta tas branded. Dibesarkan dari kalangan atas, membuat Sasya tumbuh menjadi gadis manja dan suka menghambur-hamburkan uang-—jauh sekali dari khayalan orang tentang gadis kaya yang mandiri. Bersama dengan teman-temannya itu, Sasya bertemu di salah satu restoran ternama di ibu kota. Menikmati seporsi makanan kecil dengan harga selangit. Andai saja Sasya bukan orang kaya, maka dirinya juga akan sayang harus menghabiskan uang sebanyak itu. Tapi, berhubung ia
Yang bisa Sasya lakukan dari tadi hanya berjalan dan mendorong troli. Mereka sedang berada di modern market--sesuai dengan permintaan sang istri. Sasya yang memang seumur hidupnya tidak pernah ke pasar jadi tidak tahu keperluan apa saja yang biasa dibutuhkan untuk masak-memasak di dapur. Beberapa kali mengusulkan jenis makanan, tapi Agaza menolak. Ya, bagaimana tidak menolak jika yang ditawarkan itu makanan cepat saji? Agaza 'kan bukan penikmat makanan tidak sehat itu. Sesekali boleh, tapi bukan diletakkan sebagai persediaan. Kakinya sudah pegal, tapi sang suami belum juga selesai mencari stok makanan yang dibutuhkan. Akhirnya Sasya duduk, di bawah troli yang sedari tadi didorongnya. Bodo amat dengan tatapan aneh orang kepadanya. Agaza yang merasa tidak lagi mendengar protes dan keluhan dari sang istri langsung memutar lehernya ke belakang, mencari keberadaan Sasya yang ternyata sudah duduk dengan tidak tahu malunya di lorong market ini. Di antara sayur-mayur segar. Ia terkekeh dan
Nanti kalau kamu sudah cinta saya bilang ya? Soalnya saya bukan peramal yang bisa tahu perasaanmu.|¤|SASYA benar-benar menepati kata-katanya sebelum pergi tadi. Wanita itu memborong banyak jenis dan merk make up. Menghabiskan hampir sebulan gaji suaminya. Agaza hanya bisa menghela napas sambil mengeluarkan kartu kreditnya dari dompet, menyerahkan kartu itu kepada pramuniaga dengan perasaan sedikit tidak rela.Setelah puas karena sudah mendapatkan apa yang ia inginkan sejak lama, Sasya kembali mengajak Agaza turun ke lantai dasar. Masuk ke restoran dan memilih menu makanan untuknya, tanpa perlu repot memesankan untuk Agaza juga. Dan kembali, uang dengan angka lima dan enam nol habis dalam hitungan jam saja. Lagi-lagi Agaza menghela napas, mengecek saldo rekeningnya melalui telepon pintar yang ... yang sudah bisa dipastikan bahwa sebulan ke depan Agaza harus bekerja lebih keras untuk mengembalikan isi rekeni
Namanya manusia. Kalau tidak menyukai, bisa jadi ia membenci.|¤|Yang sejak awal Sasya tahu tentang ibu mertuanya adalah wanita itu tidak menyukainya, belum menyukai lebih tepatnya. Kini ditambah fakta baru kalau ternyata ibu mertuanya memang membenci dirinya yang tiba-tiba datang sebagai menantu, padahal wanita itu sudah menyiapkan perempuan lain untuk Agaza. Dan karena Sasya, rencananya itu gagal, yang lebih parahnya lagi perempuan itu tetap ingin dinikahkan dengan Agaza. Tidak masalah walaupun jadi istri kedua.Tadi, Sekar memang mengajaknya naik ke lantai dua. Wanita itu membawa Sasya ke dalam ruangan yang ada di pojok lantai dua itu. Di sanalah Sasya diperlihatkan banyak potret ibu mertuanya bersama dengan Agaza, ayah mertuanya, dan perempuan yang diinginkan Sekar. Namanya Sinta. Gadis keturunan asli Jawa yang punya profesi sebagai chef di salah satu restoran mewah di Jakarta pusat. Wajah cantik, tutur
Sasya terbangun dengan selimut putih tebal yang menutupi tubuhnya. Rasanya seluruh tulangnya lepas tadi malam. Agaza benar-benar menyita waktu tidurnya semalaman. Pria itu benar-benar menyiksanya, tapi entah kenapa Sasya menikmatinya. Waktu malamnya dihabiskan bersama Agaza, pria itu ... ah, dia pria yang tahu bagaimana cara memperlakukan seorang istri.Wanita itu turun, mengikat rambutnya jadi satu dengan asal kemudian beranjak untuk memakai bra kembali. Sasya harus selalu ingat ini, pakai bra saat keluar kamar. Agaza sudah tidak ada di sampingnya, padahal ini baru pukul enam lewat sepuluh menit.Aroma masakan yang tercium di indra penciumannya membuat langkah Sasya lebih cepat. Agaza tidak boleh lagi berkutik di dapur saat pagi. Sasya harus bisa menjadi istri yang baik mulai sekarang."Za!" jeritnya sambil menuruni anak tangga. Prianya menoleh, tersenyum manis dan merentangkan tangan.&nb
Menu yang ibu mertuanya tentukan adalah kari kambing dengan ekstra cabai. Di bawah meja, Sasya mengetikkan resep cara membuat kari kambing terenak dan mengikuti setiap langkah yang ada di video. Karena daging kambing yang akan dimasak sudah terlebih dahulu dibuat empuk oleh ibu mertuanya, jadilah mereka hanya tinggal meracik bumbu.Kurang dari satu jam keduanya menyelesaikan tantangan memasak. Hanya jadi satu mangkuk, iya karena cuma untuk dicicipi oleh Agaza dan Sekar saja. Karena Agaza belum percaya dengan hasil masakan Sasya, ia segera mengambil masakan buatan istrinya dan buatan Sinta diberikan pada ibunya."Saya yang coba masakan Sasya lebih dulu, Bun," katanya sebelum Sekar protes.Karena itu ucapan Agaza, maka Sekar akan menurut saja. Wanita itu juga lebih tertarik menikmati masakan Sinta yang sudah ia ketahui kualitasnya daripada harus repot-repot mencicipi masakan sang menantu walau hanya seuju
Jam menunjukkan pukul setengah enam sore. Agaza tadi sudah menodongnya untuk dibuatkan masakan, apa pun akan dimakannya. Berhubung pria itu sedang mengerjakan beberapa pekerjaan kantor, jadilah ia meminta Sasya untuk membuatkannya. Untuk sehari ini Agaza ingin melanggar idealisme tentang Sasya yang tidak perlu membuat masakan apa pun untuknya, untuk kali ini saja.Sesampainya di dapur, Sasya membuka kulkas, mencari bahan masakan apa yang bisa diolah. Tapi, ekor matanya menangkap rantang yang terletak di kitchen table. Baru teringat, masih ada kari yang dibuatnya tadi, terus kenapa harus repot memasak lagi?Wanita itu menutup kulkas, mengurungkan niat untuk memasak menu baru. Ia akan menyajikan kari kambing buatannya tadi untuk Agaza, toh pria itu tampak lahap memakan masakannya. Jadi, tidak salah dong kalau Sasya menghidangkan masakan yang sama?Sasya memindahkan masakan itu ke dalam wadah kecil yang ad
"Yang harus kamu tahu, setiap orang itu bisa berubah."|¤|Agaza masih belum mau bicara padanya sejak dua hari lalu, ya sudah dua hari berlalu dan semuanya masih sama. Pria itu mungkin marah pada Sasya karena dengan seenaknya membicarakan hal yang tidak-tidak tentang sahabatnya, tapi Sasya juga kesal karena apa yang dia lihat bukan hal yang diada-adakan, semuanya memang terjadi. Sayangnya Sasya tidak punya bukti.Soal mencari kerja bahkan Sasya tidak melakukannya, alasannya karena tidak berani meminta izin keluar pada Agaza. Bicara saja tidak mau, boro-boro memberi izin. Begitu yang wanita itu pikirkan.Maka selama itu pula Sasya hanya diam di rumah, mencoba beberapa resep masakan dan membagikan hasilnya kepada tetangga. Kalau menurutnya gagal, Sasya akan membuang hasil kerja kerasnya itu ke tong sampah. Jangan harap Sasya akan memakannya, karena semua makanan dimasak dengan matang, dia hanya me
"Coba pikirkan kembali, kira-kira apa yang salah dari dirimu?"|¤|Sasya akui bahwa mencari kerja tanpa relasi memanglah sulit. Kalau dihitung-hitung, sudah hampir dua minggu dirinya berkeliling mencari perusahaan yang membuka lowongan pekerjaan, tapi selama itu pula dirinya tidak mendapatkan hasil yang memuaskan. Namun, hatinya meyakini bahwa dia akan mendapat apa yang dibutuhkannya saat ini, yaitu pekerjaan.Wanita itu masuk ke dalam gedung berwarna pastel di depannya, berdoa semoga ini menjadi rezekinya."Oh iya, Mbak, kebetulan kami sedang mencari office girl di sini, mari saya antar masuk ke dalam." Begitu ujaran satpam ketika Sasya bertanya apakah perusahaan tersebut membuka lowongan pekerjaan atau tidak.Office girl katanya? Memang wajah Sasya dan setelannya terlihat seperti orang yang akan melamar menjadi tukang membuat kopi?
Jarum pendek di jam dinding kamar mereka sudah menunjukkan pukul sebelas ketika keduanya masuk ke dalam kamar. Sasya mengempaskan tubuhnya ke atas ranjang, lelah sekali rasanya setelah menjalani hari ini. Sedangkan Agaza memilih untuk membersihkan tubuhnya, dia memang tidak sempat mandi saat di rumah kedua orang tuanya, sibuk ndusel-ndusel seperti anak kucing pada Sasya.Ketika Agaza keluar dengan pakaian yang sudah lengkap pun, Sasya masih tidak beranjak. Dia masih memejamkan mata meskipun telinga mendengar suara pintu kamar mandi terbuka."Kamu nggak mandi, Sayang?" tanya Agaza seraya meletakkan handuk ke atas sofa di kamar mereka."Taruh handuk di tempat lo ngambil, Za!" peringat Sasya, sudah terlalu hafal dengan kebiasaan buruk sang suami.Agaza menurut. Pria itu kembali berjalan menuju sofa kamar mereka, mengambil handuk yang dilemparkannya, lalu beralih melangkah ke atas
Makan malam sudah tersaji di atas meja makan dengan berbagai macam lauk yang Sekar masak. Semua hasil kerja kera Sekar, ya memang begitu kenyataannya. Mertuanya itu belum bisa percaya dengan kemampuan memasaknya.Agaza datang bersama Sinta, membuat mood Sasya yang sudah anjlok menjadi hancur berantakan. Sungguh, lama-lama dia muak juga dengan tingkah Sinta yang menyebalkan. Perempuan itu seperti tidak tahu malu, sudah jelas Agaza adalah suami orang lain, tapi bisa-bisanya dia masih menggodanya."Eh kalian pergi bareng tadi kesini? Wah, Bunda senang banget loh. Agaza harus sering-sering ngobrol sama Sinta," kata Sekar antusias."Ekhem!" deham Karlex cukup kencang, memperingatkan istrinya.Seolah tidak mendengar teguran itu, Sekar malah membawa Sinta dan Agaza di sisi kanan dan kirinya, menghela keduanya ke meja makan tanpa perduli bahwa kini Sasya sedang memperhatikan mereka. T
"Membiasakan diri memang perlu untuk beberapa hal."|¤|Siklusnya masih sama. Ketika bangun pagi, Agaza akan langsung salat subuh, mandi, sarapan, dan langsung pergi kerja. Meskipun sudah jadi maniak, tapi jika urusan pekerjaan memang tidak bisa ditinggal. Dia akan kembali jadi sosok Agaza yang ambisius dan cuek seolah tidak pernah terjadi apa pun antara dirinya dan sang istri di hari sebelumnya.Di kantor, sudah banyak tugas yang menunggu diselesaikan.Ditambah kenyataan bahwa hari ini sang sekretaris tidak bisa hadir karena anaknya masih sakit. Agaza bukan bos kejam yang akan menahan seorang ibu di tempat pekerjaan sementara anaknya bertarung dengan kematian di rumah.Untungnya Agaza mandiri, dia bisa langsung menerima berkas yang harus dilihatnya. Namun, hal itu ternyata tidak begitu baik untuknya, karena jadi banyak orang yang masuk ke dalam ruanganny
Benar-benar menyebalkan.Sasya menyediakan makanan dan teh di dapur, sedangkan Agaza mengobrol dengan tamu mereka yang Sasya curigai sebagai selingkuhan suaminya itu. Oh, bahkan Agaza menyuruhnya menyiapkan semua ini tanpa merasa bersalah setelah membuatnya kelelahan hampir dua belas jam terakhir.Bukankah Agaza seperti memiliki kepribadian ganda? Mudah sekali berubah!Gerakan tangan Sasya terlampaui cepat saat memindahkan banyak camilan ke dalam wadah yang telah diambilnya, membuat satu gelas minuman lagi dengan rasa tidak rela. Benar-benar tidak rela!Setelah semuanya selesai, wanita itu meletakkan wadah berisi camilan dan gelas-gelas ke atas nampan. Membawa makanan dan minuman dengan langkah kaki cepat menuju ruang tamu.Sampai di sana dia mendapati pemandangan yang menyesakkan dada. Tidak kuat terlalu lama menahan bawaannya karena tangannya lemas, Sasy
Weekend seperti ini seharusnya digunakan sebaik mungkin berjalan-jalan keluar untuk menikmati udara segar setelah satu pekan yang menyesakkan, tapi menurut Agaza di waktu liburnya harus digunakan sebaik mungkin untuk bermesraan bersama istrinya.Sejak tadi pria itu tidak kunjung melepaskan istrinya yang hendak keluar dari dekapannya. Wanita dalam pelukannya sudah mengomel dan mengabsen nama binatang di dalam hatinya, tapi Agaza tak kunjung menuruti ucapannya.Sasya menggigit bahu Agaza berharap pria itu mau melepaskannya, tapi tidak. Harapan memang tidak pernah sesuai kenyataan. Alih-alih kesakitan dan melepaskan pelukannya, pria itu malah semakin erat memeluknya dan tertawa."Gemas banget sih punya istri," gumamnya."Gue nggak bisa napas, Agaza!""Mau dikasih napas buatan?" Agaza mendongak hanya untuk menatap iris kecokelatan milik istrinya dengan raut wajah po
Ini awalnya kan aku yang mau ngerjain, kok malah aku yang dikerjain, sih?|¤|Sasya berusaha mendorong tubuh Agaza yang menghimpitnya. Pria itu menahan tengkuknya agar tidak bergerak terlalu banyak, sementara bibirnya membungkam bibir mungil sang istri yang sedari tadi masih tidak membalas.Jujur saja, Sasya kewalahan menghadapi serangan suaminya. Agaza seperti pria yang sudah ahli dalam melakukan hal ini, itu juga yang sejak tadi malam bersarang di kepalanya. Ia berpikir apakah memang dirinya bukan yang pertama untuk Agaza?"Za!" protes Sasya begitu pergulatan dua benda kenyal tersebut terlepas.Agaza sengaja melepaskan ciumannya saat merasa bahwa Sasya sudah kehabisan napas. Ingin melanjutkan sebelum kegiatannya terhenti karena mendengar langkah kaki mendekat. Agaza buru-buru menjauhkan badan, Sasya melakukan hal yang sama. Keduanya merapikan tampilan, takut
Agaza menggerutu saat Tisya masuk membawa beberapa berkas lagi. Kali ini bukan tandatangan yang dibutuhkan, melainkan koreksian pada berkas perencanaan yang akan dilakukan untuk menjalin kerja sama dengan perusahaan furniture lain. Mungkin menggaet pengusaha-pengusaha kecil atau membangun relasi dengan pihak luar—selain pusat perusahaan mereka. Entahlah, Agaza juga tidak tahu karena belum membacanya.Meskipun mendapat posisi sebagai kepala cabang, Agaza selalu memiliki keinginan bisa membangun relasi diluar dari yang perusahaan pusat bangun. Dia ingin bagian yang dikelolanya bisa mandiri tanpa melupakan bahwa mereka punya perusahaan pusat."Ada lagi yang perlu saya kerjakan, Tisya?" tanyanya.Tisya menggeleng. "Sepertinya sih tidak, Pak. Tapi, nggak tahu kalau tiba-tiba bagian keuangan mengirim laporannya, mengingat ini sudah mendekati tenggat yang Bapak kasih.""Saya ka