Nanti kalau kamu sudah cinta saya bilang ya? Soalnya saya bukan peramal yang bisa tahu perasaanmu.
|¤|
SASYA benar-benar menepati kata-katanya sebelum pergi tadi. Wanita itu memborong banyak jenis dan merk make up. Menghabiskan hampir sebulan gaji suaminya. Agaza hanya bisa menghela napas sambil mengeluarkan kartu kreditnya dari dompet, menyerahkan kartu itu kepada pramuniaga dengan perasaan sedikit tidak rela.
Setelah puas karena sudah mendapatkan apa yang ia inginkan sejak lama, Sasya kembali mengajak Agaza turun ke lantai dasar. Masuk ke restoran dan memilih menu makanan untuknya, tanpa perlu repot memesankan untuk Agaza juga. Dan kembali, uang dengan angka lima dan enam nol habis dalam hitungan jam saja. Lagi-lagi Agaza menghela napas, mengecek saldo rekeningnya melalui telepon pintar yang ... yang sudah bisa dipastikan bahwa sebulan ke depan Agaza harus bekerja lebih keras untuk mengembalikan isi rekeningnya.
Kini, wanita itu masih ingin menonton bioskop. Karena katanya, aktor idolanya yang tampan dan tidak ada duanya—tapi ada tiganya—yang berperan sebagai tokoh utama. Agaza kembali menurut, karena yang ia tahu kalau di bioskop tidak akan menghabiskan uang banyak. Paling hanya tiket dan sepaket popcorn. Tapi, pemikiran Agaza kembali dipatahkan lagi dengan tindakan Sasya yang luar biasa. Wanita itu protes karena hanya menonton di kelas biasa, bukan VIP.
"Gue nggak mau nonton disitu! Gue mau nonton yang bisa sambil tidur! Kalau lo nggak beliin tiketnya sekarang juga, lo tidur diluar!" ancam wanita itu dengan wajah galak. Jangan lupakan tempat saat wanita itu mengatakannya. Di tengah keramaian orang yang sedang mengantre untuk membeli popcorn.
Agaza mengangguk, kembali mengantri untuk memesan tiket VIP yang istrinya mau. Setelah mendapatkannya Agaza langsung menyerahkan pada sang istri kemudian ia pamit untuk ke toilet sebentar. Sungguh, Agaza butuh menenangkan pikirannya.
Menurut Agaza, mengajak Sasya ke mal di saat hari liburnya bukan hal yang baik. Niat hati ingin mengistirahatkan tubuh dari penatnya pekerjaan malah mendapat hal sebaliknya. Wanita itu semakin membuat Agaza pusing delapan keliling bolak-balik. Dompet terkuras, dipermalukan, dicuekin, kacau pokoknya.
Saat menonton tadi juga, Sasya sudah seperti orang kampungan. Menjerit-jerit padahal hantunya belum keluar. Setelah keluar dan ditanya 'kenapa?' malah menjawab dengan santai.
"Abisnya pemainnya ganteng banget, sih! Siapa coba yang nggak histeris kalau lihat cowok ganteng gitu?" jawaban yang membuat Agaza tidak habis pikir.
Maka yang Agaza lakukan saat ini adalah membawa Sasya ke rumah kedua orang tuanya. Sasya harus berkenalan lebih jauh dengan ayah dan ibunya. Wanita manja bin ajaib ini pasti akan menyukai suasana hangat di keluarganya.
|¤|
Rumah yang luas dan mewah dengan banyak pilar tinggi sebagai pondasi. Sasya terkagum-kagum melihat interior yang dilihatnya langsung ini. Rumahnya memang mewah, tapi rumah orang tua Agaza ini luar biasa. Papanya benar-benar tidak salah memilihkan suami untuknya. Ingin sekali rasanya Sasya memeluk sang Papa saat ini dan mengatakan terima kasih yang sebanyak-banyaknya karena telah membuat Agaza menjadi suaminya.
Seorang wanita paruh baya dengan wajah manis menuruni undakan tangga sambil tersenyum bahagia saat menatap Agaza. Ketika wanita itu sudah sampai di hadapan mereka, Agaza langsung memeluknya, mengusap punggung wanita itu dengan sayang. Dia ibunya Agaza. Wanita hebat versi Agaza.
"Akhirnya kamu berkunjung. Bunda sudah rindu sekali sama kamu!" ucap Sekar dengan kebahagiaan yang membuncah.
Agaza tidak berkata apa pun, ia masih setia memeluk ibunya. Sasya yang sekarang merasa diabaikan, dan itu membuatnya sedikit tidak nyaman.
Sekar melepas pelukannya saat ekor matanya mendapati sosok menantunya yang berdiri di belakang Agaza. Wanita itu tersenyum, tipis. Baiklah, Sasya sekarang mengerti perasaan seorang menantu yang sepertinya kurang disukai mertuanya.
"Halo, Bunda," sapanya sambil melambaikan tangan.
Agaza meringis, melirik ke arah sang ibu yang semakin menatap dengan sinis ke arah istrinya. Pria itu menarik tangan Sasya, menyuruh wanita itu untuk menyalami tangan ibunya. Meski sempat dapat penolakan, tapi pada akhirnya Sasya menurut juga.
"Lain kali harus tahu tata krama," sindir Sekar.
Sasya ingin membalas, sangat. Tapi, ia sadar posisinya. Tahan, ia harus bisa menahan segala pancingan emosi yang coba ibunya Agaza tunjukkan secara terang-terangan padanya. Sekar membawa Agaza menjauh, ke arah ruang tengah. Kini Sasya tahu rasanya jadi Agaza beberapa saat lalu saat mereka di mall.
"Bunda tadi masak soto, soalnya kangen sama kamu. Makan ya, Nak?" tanya Sekar memulai pembicaraan.
Pria itu mengangguk. Setelah ibunya pergi, Agaza langsung menarik lengan kurus istrinya. Bisa ia lihat wajah kuyuh sang istri yang sejak tadi terdiam. Agaza membawa Sasya ke dalam pelukannya, memberi kekuatan dengan pelukan itu.
"Bunda itu orangnya baik, kok, Yang! Kamu harus bisa curi hatinya, ya?" ucap Agaza pelan. Ia mengecup pelan pelipis istrinya.
"Agaza ayo sini makan!" teriak Sekar dari arah ruang makan. "Ah, ajak juga istrimu kalau dia mau," imbuh Sekar.
Tanpa perlu menyahut, Agaza langsung berjalan ke arah ruang makan. Menggenggam tangan Sasya saat berjalan.
"Mau aku bantuin, Bun?" tanya Sasya. Ia melirik ke arah Agaza yang tengah tersenyum padanya.
Mendapat pertanyaan tidak terduga, Sekar menoleh. Wanita paruh baya itu menatap Sasya dengan memicing. Kemudian mengangguk saja menyetujui permintaan menantunya. "Oh silakan. Sajikan untuk saya dan suamimu, ya!" kata wanita itu sembari mengambil duduk di samping Agaza.
Jika tadi Agaza yang merasa dikerjai, kini gantian Sasya yang benar-benar dikerjai ibu mertuanya. Wanita manja itu disuruh mengambilkan makanan untuk suaminya, itu tidak masalah karena Agaza tidak banyak protes. Yang menyebalkan adalah ibu mertuanya, yang meminta lebih banyak sayurnya, ayam suwirnya hanya mau satu sendok, tidak suka kuah, harus pakai cabai giling, dan masih banyak protes dan permintaan aneh lainnya. Wanita itu benar-benar mengerjai Sasya. Kemudian lagi, setelah acara makan selesai—ah ralat, acara makan suami dan ibu mertuanya—Sasya kembali diperlakukan seenaknya. Disuruh mencuci piring dan memanasi sotonya dengan ukuran api yang tidak terlalu besar. Sedangkan Sekar membawa Agaza bercengkerama di ruang keluarga sembari menonton film kesukaan keduanya.
Kalau tidak ingat Sekar itu ibu mertuanya, sudah ia ceburkan di kolam belakang rumah mewah ini. Sungguh!
Di saat ia masih menggerutu akibat tangannya yang pedih terkena sabun cuci piring, dari arah belakang ada yang menyatukan rambutnya, digulung ke atas kemudian pelukan hangat seseorang memberinya efek luar biasa. Saat menoleh, Sasya melihat wajah Agaza yang sedang memejamkan mata.
"Capek, ya? Maaf," ujar Agaza.
Sasya cemberut, membalik tubuhnya agar bisa melihat wajah tampan Agaza. Pria itu tidak tersenyum, wajahnya datar tanpa ekspresi. Mungkinkah ini raut wajah tidak enak Agaza karena melihat Sasya yang diperlakukan seenaknya oleh ibunya sendiri? Kalau memang begitu, Sasya akan merasa senang. Setidaknya sejak tadi Agaza memperhatikan dirinya.
"Bunda tuh cuma mau nguji kamu doang, Yang. Bisa atau tidaknya kamu lolos ujian ya tergantung dari kerja kerasmu," kata Agaza berbisik di ceruk leher istrinya. Pria itu membungkuk dan menumpukan tubuhnya pada Sasya yang bersandar di wastafel. "Mau 'kan lolos pengujian Bunda? Untuk kita?" tanya Agaza, sedikit tidak yakin.
Sebenarnya Sasya sendiri juga tidak tahu alasannya sampai mau menuruti perintah ibu mertuanya. Ia bisa saja menolak, tentu saja. Tapi, yang dilakukannya malah sebaliknya. Ada apa sih sebenarnya dengan Sasya? Dirinya sendiri juga bingung. Mendengar penuturan Agaza tadi membuatnya lebih bingung lagi, pasalnya saat Agaza mengatakan hal itu tadi ia malah sudah bertekad untuk lolos ujian ibu mertuanya, tanpa permintaan Agaza dikalimat selajutnya.
Perlahan Agaza menjauhkan wajahnya tanpa melepaskan pelukan di tubuh Sasya. Pria itu kembali mendekat ke wajah Sasya, mencium kening istrinya dengan lembut. Agaza meresapi dengan baik rasa dari ciumannya, nyaman dan Agaza ingin terus seperti ini.
"Mau 'kan, Yang, berjuang untuk kita?" ulang Agaza.
Sasya hanya mampu mengangguk kecil. Membalas pelukan Agaza dengan mengalungkan lengannya di leher suaminya, merapatkan tubuhnya hingga kini ia yang bertopang pada tubuh Agaza.
Sebuah dehaman membuat keduanya terlonjak kaget, kemudian saling melepaskan pelukan. Menatap ke arah pintu dapur, sudah berdiri Sekar dengan wajah tidak sukanya. Wanita itu menatap tajam kepada sang menantu.
"Kamu dicariin suami saya tuh," ucapnya sinis.
Dari yang Sasya tahu, pernikahan keduanya terjadi karena adanya janji dari ayahnya Agaza yang entah berapa tahun lalu pernah dibantu Papanya. Ayah mertuanya itu berjanji akan menikahkan Agaza dengan Sasya jika ia menang tender dari bantuan Papanya Sasya. Hal itu benar-benar terjadi, tanpa sepengetahuan Sekar. Jadi, wajah saja jika saat ini wanita paruh baya itu tidak menyukai Sasya—ralat, belum menyukai lebih tepatnya.
Sasya membersihkan tangannya sekali lagi, kemudian keluar dapur untuk menemui ayah mertuanya.
Pria paruh baya yang masih tampak gagah itu tersenyum cerah saat matanya menangkap sosok Sasya yang berjalan mendekat. Sasya langsung memberi salam kepada ayah mertuanya itu. Seperti yang Sekar katakan. Ia harus lebih punya tata krama.
"Akhirnya kita bisa bertemu juga! Sebagai ayah dan anak," ucap pria itu dengan semangat sambil menyuruh Sasya duduk di sampingnya. "Gimana kabarmu, Nak? Agaza memperlakukanmu dengan baik, 'kan?" tanya ayah mertuanya.
"Baik, Ayah. Agaza juga memperlakukan aku dengan baik," jawabnya agak canggung.
Pasalnya ayah mertuanya ini bersikap terlalu ramah, layaknya seorang ayah yang bicara kepada puterinya. Persis seperti yang pria itu katakan barusan. Jadi, Sasya juga harus bisa mengambil sikap dan tindakan sebaik mungkin agar ayah mertuanya tidak menilainya buruk.
"Ayah tuh sudah kepengin dari lama sebenarnya melamarmu untuk Agaza, tapi kata Papamu anaknya ini masih belum siap terus. Padahal Ayah tahu kalau yang belum siap itu Papamu, belum siap ditinggalkan puteri cantiknya ini."
Memang sejak kelulusannya tahun lalu dari pendidikan S2-nya Sasya tidak pernah mau diajak bicara mengenai pernikahan, hingga beberapa bulan lalu Papa memutuskan ingin menikahkannya tanpa bisa melakukan negosiasi. Soalnya dulu sebelum dirinya menempuh pendidikan S1, ia pernah mengatakan pada sang Papa bahwa tidak ingin menikah sebelum usianya benar-benar matang. Tanpa disangka, ternyata usia matang versi Papa ya sekarang ini.
"Apalagi Agaza tuh ya, Sya ...,"
"Ayah! Saya rindu!" kata Agaza penuh penekanan. Memotong kalimat ayahnya yang pasti akan aneh-aneh.
Karlex—Ayahnya Agaza—menoleh cepat ke sumber suara, melihat puteranya yang tampan menatapnya dengan wajah datar. Berbanding terbalik dengan kalimat luar biasa yang anaknya itu katakan. Tapi, tak urung juga memunculkan senyum manis di wajah pria paruh baya itu. Setelah anaknya dekat, dengan cepat Karlex memeluk Agaza dengan erat. Menyalurkan rindu yang entah sejak kapan sudah memenuhi relung hatinya.
"Awas loh kalau ayah ngomong yang aneh-aneh sama istriku," bisik Agaza penuh ancaman.
Karlex langsung terbahak. Harusnya ia sudah bisa menebak sejak awal kalau Agaza yang tiba-tiba mengatakan rindu pasti ada maksud lain. Anaknya yang datar ini bahkan hampir tidak pernah mau mengungkapkan perasaannya pada keluarga sendiri, dan sekarang jika ia sudah berani mengatakan hal seperti itu berarti memang terjadi sesuatu pada diri anaknya.
"Ayah kenapa ketawa kayak gitu?" tanya Sekar dari arah belakang. Membawakan dua gelas teh yang masih mengepulkan asap.
"Tidak, Bun. Tadi Agaza bisikin sesuatu yang lucu, makanya Ayah ketawa."
Sekar mengernyitkan dahinya bingung. Agaza? Mengatakan kalimat lucu? Memang bisa, ya? Sekar saja baru tahu fakta itu. Sedangkan Sasya ikut tersenyum, apalagi melihat wajah Agaza yang semakin datar saja setelah pelukan ayah-anak itu terlepas.
"Ah, ya sudah ini di minum tehnya," ujar Sekar dengan wajah semringah. "Kamu, ikut saya ke atas!" lanjutnya sambil melirik sinis ke arah Sasya.
"Bun, nggak baik ah sama menantu kayak gitu!" tegur Karlex dengan wajah berwibawa.
"Belain saja terus! Buat menantumu ini besar kepala!" sahut Sekar dengan kesal. Wanita itu bahkan berjalan sambil menghentak-hentakkan kakinya. Keduanya menaiki undakan tangga persis seperti pembantu dan majikan. Iya, Sekar majikannya dan Sasya pembantunya.
|¤|
Namanya manusia. Kalau tidak menyukai, bisa jadi ia membenci.|¤|Yang sejak awal Sasya tahu tentang ibu mertuanya adalah wanita itu tidak menyukainya, belum menyukai lebih tepatnya. Kini ditambah fakta baru kalau ternyata ibu mertuanya memang membenci dirinya yang tiba-tiba datang sebagai menantu, padahal wanita itu sudah menyiapkan perempuan lain untuk Agaza. Dan karena Sasya, rencananya itu gagal, yang lebih parahnya lagi perempuan itu tetap ingin dinikahkan dengan Agaza. Tidak masalah walaupun jadi istri kedua.Tadi, Sekar memang mengajaknya naik ke lantai dua. Wanita itu membawa Sasya ke dalam ruangan yang ada di pojok lantai dua itu. Di sanalah Sasya diperlihatkan banyak potret ibu mertuanya bersama dengan Agaza, ayah mertuanya, dan perempuan yang diinginkan Sekar. Namanya Sinta. Gadis keturunan asli Jawa yang punya profesi sebagai chef di salah satu restoran mewah di Jakarta pusat. Wajah cantik, tutur
Sasya terbangun dengan selimut putih tebal yang menutupi tubuhnya. Rasanya seluruh tulangnya lepas tadi malam. Agaza benar-benar menyita waktu tidurnya semalaman. Pria itu benar-benar menyiksanya, tapi entah kenapa Sasya menikmatinya. Waktu malamnya dihabiskan bersama Agaza, pria itu ... ah, dia pria yang tahu bagaimana cara memperlakukan seorang istri.Wanita itu turun, mengikat rambutnya jadi satu dengan asal kemudian beranjak untuk memakai bra kembali. Sasya harus selalu ingat ini, pakai bra saat keluar kamar. Agaza sudah tidak ada di sampingnya, padahal ini baru pukul enam lewat sepuluh menit.Aroma masakan yang tercium di indra penciumannya membuat langkah Sasya lebih cepat. Agaza tidak boleh lagi berkutik di dapur saat pagi. Sasya harus bisa menjadi istri yang baik mulai sekarang."Za!" jeritnya sambil menuruni anak tangga. Prianya menoleh, tersenyum manis dan merentangkan tangan.&nb
Menu yang ibu mertuanya tentukan adalah kari kambing dengan ekstra cabai. Di bawah meja, Sasya mengetikkan resep cara membuat kari kambing terenak dan mengikuti setiap langkah yang ada di video. Karena daging kambing yang akan dimasak sudah terlebih dahulu dibuat empuk oleh ibu mertuanya, jadilah mereka hanya tinggal meracik bumbu.Kurang dari satu jam keduanya menyelesaikan tantangan memasak. Hanya jadi satu mangkuk, iya karena cuma untuk dicicipi oleh Agaza dan Sekar saja. Karena Agaza belum percaya dengan hasil masakan Sasya, ia segera mengambil masakan buatan istrinya dan buatan Sinta diberikan pada ibunya."Saya yang coba masakan Sasya lebih dulu, Bun," katanya sebelum Sekar protes.Karena itu ucapan Agaza, maka Sekar akan menurut saja. Wanita itu juga lebih tertarik menikmati masakan Sinta yang sudah ia ketahui kualitasnya daripada harus repot-repot mencicipi masakan sang menantu walau hanya seuju
Jam menunjukkan pukul setengah enam sore. Agaza tadi sudah menodongnya untuk dibuatkan masakan, apa pun akan dimakannya. Berhubung pria itu sedang mengerjakan beberapa pekerjaan kantor, jadilah ia meminta Sasya untuk membuatkannya. Untuk sehari ini Agaza ingin melanggar idealisme tentang Sasya yang tidak perlu membuat masakan apa pun untuknya, untuk kali ini saja.Sesampainya di dapur, Sasya membuka kulkas, mencari bahan masakan apa yang bisa diolah. Tapi, ekor matanya menangkap rantang yang terletak di kitchen table. Baru teringat, masih ada kari yang dibuatnya tadi, terus kenapa harus repot memasak lagi?Wanita itu menutup kulkas, mengurungkan niat untuk memasak menu baru. Ia akan menyajikan kari kambing buatannya tadi untuk Agaza, toh pria itu tampak lahap memakan masakannya. Jadi, tidak salah dong kalau Sasya menghidangkan masakan yang sama?Sasya memindahkan masakan itu ke dalam wadah kecil yang ad
Agaza baru masuk kamar setengah jam kemudian disaat Sasya sudah kembali terbangun karena tidak merasakan pelukan hangat sang suami yang biasanya selalu mengisi tiap malamnya."Katanya ngantuk. Kenapa belum tidur?" tanya Agaza. Pria itu menyusun bantal kemudian menjatuhkan kepalanya. Membawa Sasya yang masih duduk untuk masuk dalam dekapannya. Hujan turun lagi, Sasya bisa kedinginan kalau tidak dipeluk."Sudah tidur gue, cuma kebangun lagi." Sasya mencari posisi nyaman dalam pelukan Agaza."Kecarian saya?" tanya pria itu percaya diri.Sasya mendengkus. Meski benar, tapi ia tidak mau mengakuinya. "Kepedean lo! Emang lo siapa harus gue cariin?""Loh, saya 'kan suami yang paling kamu cintai," jawab Agaza, lagi-lagi dengan kepercayaan diri yang tinggi."Memang gue pernah bilang cinta sama lo?"Gak pern
Setiap hari yang Sasya lewati semenjak perjanjian dengan Agaza dibuat tempo hari berjalan absurd. Sasya nyaris seperti orang gila di rumah. Rutinitasnya hanya sekedar makan-ke kamar mandi-rebahan-nyemil-nonton-shalat terus begitu sampai Agaza pulang dan mengajaknya bicara banyak hal. Sialnya adalah Agaza selalu memamerkan hal indah diluar rumah yang membuat Sasya harus menahan umpatan.Selama itu pula ia berpikir keras. Untuk menepati ucapannya memakai hijab atau membiarkan saja dirinya seperti ini sampai benar-benar siap yang artinya melanggar janji. Tapi, Sasya juga takut kalau melanggar janji, nanti jatuhnya jadi orang munafik. Mana mau Sasya jadi munafik, sudah pahala tidak banyak, ditambah dosa orang munafik, ih ngeri.Dan ... dan jika ia benar-benar pakai hijab, apakah dirinya akan sanggup? Jadi wanita anggun bertutur kata baik dan yang paling penting, dirinya tidak bisa lagi asal bertemu dengan teman prianya tanpa sepenget
Ponsel Sasya berdering dua kali, pertanda ada panggilan telepon masuk. Wanita yang saat ini sedang membaca majalah fashion di dalam kamarnya, meraih benda pipih yang telah mengusik ketenangannya dari atas nakas."Halo?" suara seorang wanita terdengar dari seberang telepon.Sasya mengernyitkan dahinya. Ia sedikit menjauhkan ponsel dari telinga, kemudian membaca id caller si penelepon. Nama Agaza terpampang nyata dari benda pipih tersebut, tapi kenapa yang terdengar malah suara seorang wanita? Pikiran buruk mulai menghinggapi kepal Sasya."Halo? Ada orang di sana?" Suara itu muncul kembali.Berdeham sekali, Sasya menjawab dengan tenang. "Ya?" Namun kendati demikian suara yang keluar malah terdengar seperti cicitan."Ah, ini Mas Agaza pingsan. Saya kasihan kalau harus membangunkannya, sudah malam juga nggak mungkin saya keluar-keluar buat antar Mas Agaz
Memang dari awal gue gak diterima, kan?|¤|Selingkuh. Satu kata yang pantas dilabeli untuk perbuatan Agaza. Ya, Sasya sudah bisa menyimpulkan bahwa suaminya itu selingkuh. Tidak perlu mencari fakta atau pembelaan, karena apa yang Sasya lihat semalam sudah cukup untuk menjelaskan segalanya. Jika Agaza diberi kesempatam untuk memberi penjelasan, pria itu pasti akan mengatakan bahwa wanita itu hanya temannya, saudara jauh, rekan kerja atau sebagainya yang akan membuat Sasya mengasihani dan memberi kesempatan. Dan Sasya tidak akan melakukan itu.Agaza benar-benar ia biarkan tidur diluar, meski di jam dua pagi saat Sasya terbangun, ia menyelimuti suaminya itu. Tidak tega juga melihat tubuh Agaza yang meringkuk tidak nyaman di atas sofa ruang tamu.Ini sabtu, Agaza tidak pergi ke kantor. Pria itu juga tidak lagi berusaha membujuknya atau meminta maaf pada Sasya. Jadilah Sasya juga melakukan hal yang sama. Diam ser
"Yang harus kamu tahu, setiap orang itu bisa berubah."|¤|Agaza masih belum mau bicara padanya sejak dua hari lalu, ya sudah dua hari berlalu dan semuanya masih sama. Pria itu mungkin marah pada Sasya karena dengan seenaknya membicarakan hal yang tidak-tidak tentang sahabatnya, tapi Sasya juga kesal karena apa yang dia lihat bukan hal yang diada-adakan, semuanya memang terjadi. Sayangnya Sasya tidak punya bukti.Soal mencari kerja bahkan Sasya tidak melakukannya, alasannya karena tidak berani meminta izin keluar pada Agaza. Bicara saja tidak mau, boro-boro memberi izin. Begitu yang wanita itu pikirkan.Maka selama itu pula Sasya hanya diam di rumah, mencoba beberapa resep masakan dan membagikan hasilnya kepada tetangga. Kalau menurutnya gagal, Sasya akan membuang hasil kerja kerasnya itu ke tong sampah. Jangan harap Sasya akan memakannya, karena semua makanan dimasak dengan matang, dia hanya me
"Coba pikirkan kembali, kira-kira apa yang salah dari dirimu?"|¤|Sasya akui bahwa mencari kerja tanpa relasi memanglah sulit. Kalau dihitung-hitung, sudah hampir dua minggu dirinya berkeliling mencari perusahaan yang membuka lowongan pekerjaan, tapi selama itu pula dirinya tidak mendapatkan hasil yang memuaskan. Namun, hatinya meyakini bahwa dia akan mendapat apa yang dibutuhkannya saat ini, yaitu pekerjaan.Wanita itu masuk ke dalam gedung berwarna pastel di depannya, berdoa semoga ini menjadi rezekinya."Oh iya, Mbak, kebetulan kami sedang mencari office girl di sini, mari saya antar masuk ke dalam." Begitu ujaran satpam ketika Sasya bertanya apakah perusahaan tersebut membuka lowongan pekerjaan atau tidak.Office girl katanya? Memang wajah Sasya dan setelannya terlihat seperti orang yang akan melamar menjadi tukang membuat kopi?
Jarum pendek di jam dinding kamar mereka sudah menunjukkan pukul sebelas ketika keduanya masuk ke dalam kamar. Sasya mengempaskan tubuhnya ke atas ranjang, lelah sekali rasanya setelah menjalani hari ini. Sedangkan Agaza memilih untuk membersihkan tubuhnya, dia memang tidak sempat mandi saat di rumah kedua orang tuanya, sibuk ndusel-ndusel seperti anak kucing pada Sasya.Ketika Agaza keluar dengan pakaian yang sudah lengkap pun, Sasya masih tidak beranjak. Dia masih memejamkan mata meskipun telinga mendengar suara pintu kamar mandi terbuka."Kamu nggak mandi, Sayang?" tanya Agaza seraya meletakkan handuk ke atas sofa di kamar mereka."Taruh handuk di tempat lo ngambil, Za!" peringat Sasya, sudah terlalu hafal dengan kebiasaan buruk sang suami.Agaza menurut. Pria itu kembali berjalan menuju sofa kamar mereka, mengambil handuk yang dilemparkannya, lalu beralih melangkah ke atas
Makan malam sudah tersaji di atas meja makan dengan berbagai macam lauk yang Sekar masak. Semua hasil kerja kera Sekar, ya memang begitu kenyataannya. Mertuanya itu belum bisa percaya dengan kemampuan memasaknya.Agaza datang bersama Sinta, membuat mood Sasya yang sudah anjlok menjadi hancur berantakan. Sungguh, lama-lama dia muak juga dengan tingkah Sinta yang menyebalkan. Perempuan itu seperti tidak tahu malu, sudah jelas Agaza adalah suami orang lain, tapi bisa-bisanya dia masih menggodanya."Eh kalian pergi bareng tadi kesini? Wah, Bunda senang banget loh. Agaza harus sering-sering ngobrol sama Sinta," kata Sekar antusias."Ekhem!" deham Karlex cukup kencang, memperingatkan istrinya.Seolah tidak mendengar teguran itu, Sekar malah membawa Sinta dan Agaza di sisi kanan dan kirinya, menghela keduanya ke meja makan tanpa perduli bahwa kini Sasya sedang memperhatikan mereka. T
"Membiasakan diri memang perlu untuk beberapa hal."|¤|Siklusnya masih sama. Ketika bangun pagi, Agaza akan langsung salat subuh, mandi, sarapan, dan langsung pergi kerja. Meskipun sudah jadi maniak, tapi jika urusan pekerjaan memang tidak bisa ditinggal. Dia akan kembali jadi sosok Agaza yang ambisius dan cuek seolah tidak pernah terjadi apa pun antara dirinya dan sang istri di hari sebelumnya.Di kantor, sudah banyak tugas yang menunggu diselesaikan.Ditambah kenyataan bahwa hari ini sang sekretaris tidak bisa hadir karena anaknya masih sakit. Agaza bukan bos kejam yang akan menahan seorang ibu di tempat pekerjaan sementara anaknya bertarung dengan kematian di rumah.Untungnya Agaza mandiri, dia bisa langsung menerima berkas yang harus dilihatnya. Namun, hal itu ternyata tidak begitu baik untuknya, karena jadi banyak orang yang masuk ke dalam ruanganny
Benar-benar menyebalkan.Sasya menyediakan makanan dan teh di dapur, sedangkan Agaza mengobrol dengan tamu mereka yang Sasya curigai sebagai selingkuhan suaminya itu. Oh, bahkan Agaza menyuruhnya menyiapkan semua ini tanpa merasa bersalah setelah membuatnya kelelahan hampir dua belas jam terakhir.Bukankah Agaza seperti memiliki kepribadian ganda? Mudah sekali berubah!Gerakan tangan Sasya terlampaui cepat saat memindahkan banyak camilan ke dalam wadah yang telah diambilnya, membuat satu gelas minuman lagi dengan rasa tidak rela. Benar-benar tidak rela!Setelah semuanya selesai, wanita itu meletakkan wadah berisi camilan dan gelas-gelas ke atas nampan. Membawa makanan dan minuman dengan langkah kaki cepat menuju ruang tamu.Sampai di sana dia mendapati pemandangan yang menyesakkan dada. Tidak kuat terlalu lama menahan bawaannya karena tangannya lemas, Sasy
Weekend seperti ini seharusnya digunakan sebaik mungkin berjalan-jalan keluar untuk menikmati udara segar setelah satu pekan yang menyesakkan, tapi menurut Agaza di waktu liburnya harus digunakan sebaik mungkin untuk bermesraan bersama istrinya.Sejak tadi pria itu tidak kunjung melepaskan istrinya yang hendak keluar dari dekapannya. Wanita dalam pelukannya sudah mengomel dan mengabsen nama binatang di dalam hatinya, tapi Agaza tak kunjung menuruti ucapannya.Sasya menggigit bahu Agaza berharap pria itu mau melepaskannya, tapi tidak. Harapan memang tidak pernah sesuai kenyataan. Alih-alih kesakitan dan melepaskan pelukannya, pria itu malah semakin erat memeluknya dan tertawa."Gemas banget sih punya istri," gumamnya."Gue nggak bisa napas, Agaza!""Mau dikasih napas buatan?" Agaza mendongak hanya untuk menatap iris kecokelatan milik istrinya dengan raut wajah po
Ini awalnya kan aku yang mau ngerjain, kok malah aku yang dikerjain, sih?|¤|Sasya berusaha mendorong tubuh Agaza yang menghimpitnya. Pria itu menahan tengkuknya agar tidak bergerak terlalu banyak, sementara bibirnya membungkam bibir mungil sang istri yang sedari tadi masih tidak membalas.Jujur saja, Sasya kewalahan menghadapi serangan suaminya. Agaza seperti pria yang sudah ahli dalam melakukan hal ini, itu juga yang sejak tadi malam bersarang di kepalanya. Ia berpikir apakah memang dirinya bukan yang pertama untuk Agaza?"Za!" protes Sasya begitu pergulatan dua benda kenyal tersebut terlepas.Agaza sengaja melepaskan ciumannya saat merasa bahwa Sasya sudah kehabisan napas. Ingin melanjutkan sebelum kegiatannya terhenti karena mendengar langkah kaki mendekat. Agaza buru-buru menjauhkan badan, Sasya melakukan hal yang sama. Keduanya merapikan tampilan, takut
Agaza menggerutu saat Tisya masuk membawa beberapa berkas lagi. Kali ini bukan tandatangan yang dibutuhkan, melainkan koreksian pada berkas perencanaan yang akan dilakukan untuk menjalin kerja sama dengan perusahaan furniture lain. Mungkin menggaet pengusaha-pengusaha kecil atau membangun relasi dengan pihak luar—selain pusat perusahaan mereka. Entahlah, Agaza juga tidak tahu karena belum membacanya.Meskipun mendapat posisi sebagai kepala cabang, Agaza selalu memiliki keinginan bisa membangun relasi diluar dari yang perusahaan pusat bangun. Dia ingin bagian yang dikelolanya bisa mandiri tanpa melupakan bahwa mereka punya perusahaan pusat."Ada lagi yang perlu saya kerjakan, Tisya?" tanyanya.Tisya menggeleng. "Sepertinya sih tidak, Pak. Tapi, nggak tahu kalau tiba-tiba bagian keuangan mengirim laporannya, mengingat ini sudah mendekati tenggat yang Bapak kasih.""Saya ka