Sasya terbangun dengan selimut putih tebal yang menutupi tubuhnya. Rasanya seluruh tulangnya lepas tadi malam. Agaza benar-benar menyita waktu tidurnya semalaman. Pria itu benar-benar menyiksanya, tapi entah kenapa Sasya menikmatinya. Waktu malamnya dihabiskan bersama Agaza, pria itu ... ah, dia pria yang tahu bagaimana cara memperlakukan seorang istri.
Wanita itu turun, mengikat rambutnya jadi satu dengan asal kemudian beranjak untuk memakai bra kembali. Sasya harus selalu ingat ini, pakai bra saat keluar kamar. Agaza sudah tidak ada di sampingnya, padahal ini baru pukul enam lewat sepuluh menit.
Aroma masakan yang tercium di indra penciumannya membuat langkah Sasya lebih cepat. Agaza tidak boleh lagi berkutik di dapur saat pagi. Sasya harus bisa menjadi istri yang baik mulai sekarang.
"Za!" jeritnya sambil menuruni anak tangga. Prianya menoleh, tersenyum manis dan merentangkan tangan.
&nb
Menu yang ibu mertuanya tentukan adalah kari kambing dengan ekstra cabai. Di bawah meja, Sasya mengetikkan resep cara membuat kari kambing terenak dan mengikuti setiap langkah yang ada di video. Karena daging kambing yang akan dimasak sudah terlebih dahulu dibuat empuk oleh ibu mertuanya, jadilah mereka hanya tinggal meracik bumbu.Kurang dari satu jam keduanya menyelesaikan tantangan memasak. Hanya jadi satu mangkuk, iya karena cuma untuk dicicipi oleh Agaza dan Sekar saja. Karena Agaza belum percaya dengan hasil masakan Sasya, ia segera mengambil masakan buatan istrinya dan buatan Sinta diberikan pada ibunya."Saya yang coba masakan Sasya lebih dulu, Bun," katanya sebelum Sekar protes.Karena itu ucapan Agaza, maka Sekar akan menurut saja. Wanita itu juga lebih tertarik menikmati masakan Sinta yang sudah ia ketahui kualitasnya daripada harus repot-repot mencicipi masakan sang menantu walau hanya seuju
Jam menunjukkan pukul setengah enam sore. Agaza tadi sudah menodongnya untuk dibuatkan masakan, apa pun akan dimakannya. Berhubung pria itu sedang mengerjakan beberapa pekerjaan kantor, jadilah ia meminta Sasya untuk membuatkannya. Untuk sehari ini Agaza ingin melanggar idealisme tentang Sasya yang tidak perlu membuat masakan apa pun untuknya, untuk kali ini saja.Sesampainya di dapur, Sasya membuka kulkas, mencari bahan masakan apa yang bisa diolah. Tapi, ekor matanya menangkap rantang yang terletak di kitchen table. Baru teringat, masih ada kari yang dibuatnya tadi, terus kenapa harus repot memasak lagi?Wanita itu menutup kulkas, mengurungkan niat untuk memasak menu baru. Ia akan menyajikan kari kambing buatannya tadi untuk Agaza, toh pria itu tampak lahap memakan masakannya. Jadi, tidak salah dong kalau Sasya menghidangkan masakan yang sama?Sasya memindahkan masakan itu ke dalam wadah kecil yang ad
Agaza baru masuk kamar setengah jam kemudian disaat Sasya sudah kembali terbangun karena tidak merasakan pelukan hangat sang suami yang biasanya selalu mengisi tiap malamnya."Katanya ngantuk. Kenapa belum tidur?" tanya Agaza. Pria itu menyusun bantal kemudian menjatuhkan kepalanya. Membawa Sasya yang masih duduk untuk masuk dalam dekapannya. Hujan turun lagi, Sasya bisa kedinginan kalau tidak dipeluk."Sudah tidur gue, cuma kebangun lagi." Sasya mencari posisi nyaman dalam pelukan Agaza."Kecarian saya?" tanya pria itu percaya diri.Sasya mendengkus. Meski benar, tapi ia tidak mau mengakuinya. "Kepedean lo! Emang lo siapa harus gue cariin?""Loh, saya 'kan suami yang paling kamu cintai," jawab Agaza, lagi-lagi dengan kepercayaan diri yang tinggi."Memang gue pernah bilang cinta sama lo?"Gak pern
Setiap hari yang Sasya lewati semenjak perjanjian dengan Agaza dibuat tempo hari berjalan absurd. Sasya nyaris seperti orang gila di rumah. Rutinitasnya hanya sekedar makan-ke kamar mandi-rebahan-nyemil-nonton-shalat terus begitu sampai Agaza pulang dan mengajaknya bicara banyak hal. Sialnya adalah Agaza selalu memamerkan hal indah diluar rumah yang membuat Sasya harus menahan umpatan.Selama itu pula ia berpikir keras. Untuk menepati ucapannya memakai hijab atau membiarkan saja dirinya seperti ini sampai benar-benar siap yang artinya melanggar janji. Tapi, Sasya juga takut kalau melanggar janji, nanti jatuhnya jadi orang munafik. Mana mau Sasya jadi munafik, sudah pahala tidak banyak, ditambah dosa orang munafik, ih ngeri.Dan ... dan jika ia benar-benar pakai hijab, apakah dirinya akan sanggup? Jadi wanita anggun bertutur kata baik dan yang paling penting, dirinya tidak bisa lagi asal bertemu dengan teman prianya tanpa sepenget
Ponsel Sasya berdering dua kali, pertanda ada panggilan telepon masuk. Wanita yang saat ini sedang membaca majalah fashion di dalam kamarnya, meraih benda pipih yang telah mengusik ketenangannya dari atas nakas."Halo?" suara seorang wanita terdengar dari seberang telepon.Sasya mengernyitkan dahinya. Ia sedikit menjauhkan ponsel dari telinga, kemudian membaca id caller si penelepon. Nama Agaza terpampang nyata dari benda pipih tersebut, tapi kenapa yang terdengar malah suara seorang wanita? Pikiran buruk mulai menghinggapi kepal Sasya."Halo? Ada orang di sana?" Suara itu muncul kembali.Berdeham sekali, Sasya menjawab dengan tenang. "Ya?" Namun kendati demikian suara yang keluar malah terdengar seperti cicitan."Ah, ini Mas Agaza pingsan. Saya kasihan kalau harus membangunkannya, sudah malam juga nggak mungkin saya keluar-keluar buat antar Mas Agaz
Memang dari awal gue gak diterima, kan?|¤|Selingkuh. Satu kata yang pantas dilabeli untuk perbuatan Agaza. Ya, Sasya sudah bisa menyimpulkan bahwa suaminya itu selingkuh. Tidak perlu mencari fakta atau pembelaan, karena apa yang Sasya lihat semalam sudah cukup untuk menjelaskan segalanya. Jika Agaza diberi kesempatam untuk memberi penjelasan, pria itu pasti akan mengatakan bahwa wanita itu hanya temannya, saudara jauh, rekan kerja atau sebagainya yang akan membuat Sasya mengasihani dan memberi kesempatan. Dan Sasya tidak akan melakukan itu.Agaza benar-benar ia biarkan tidur diluar, meski di jam dua pagi saat Sasya terbangun, ia menyelimuti suaminya itu. Tidak tega juga melihat tubuh Agaza yang meringkuk tidak nyaman di atas sofa ruang tamu.Ini sabtu, Agaza tidak pergi ke kantor. Pria itu juga tidak lagi berusaha membujuknya atau meminta maaf pada Sasya. Jadilah Sasya juga melakukan hal yang sama. Diam ser
Rumah Sakit Prima Sakti. Sasya membaca nama tempat yang Agaza tuju. Mereka berhenti di lahan parkir yang cukup luas. Tanpa perlu repot-repot memposisikan mobil, Agaza melompat turun. Membawa serta dua wanita bersamanya.Ketiga orang itu melintasi koridor dengan cepat. Berlari kecil, menerobos orang-orang yang meraung di lorong sempit koridor rumah sakit.Hingga tiba di depan sebuah kamar yang sunyi senyap. Bunda masuk, Agaza langsung memeluk Sasya. Menciumi puncak kepala istrinya. Entahlah, Sasya juga tidak tahu apa yang terjadi sebenarnya. Sekitar dua puluh menit, bunda keluar dengan keadaan yang lebih kacau."Ayo masuk," katanya lirih.Agaza masuk, dengan Sasya yang masih di dalam dekapannya. Aroma obat langsung menyelinap ke rongga pernapasan Sasya.Terdengar suara orang batuk, Agaza melepas pelukannya. Berjalan cepat ke satu-satunya ranjang di ruangan
Kedua wanita beda usia itu sampai pukul sembilan pagi di Rumah Sakit. Sekar langsung masuk ke dalam ruang rawat suaminya, sedangkan Sasya memilih untuk ke apotek rumah sakit untuk meminta penawar alergi yang dirasakannya. Sialan, secepat ini tubuhnya bereaksi terhadap nasi goreng yang tadi pagi dimakannya.Agaza celingukan saat mendapati hanya bundanya saja yang masuk ke sini, sedang sang istri tidak nampak batang hidungnya."Bunda ...," panggil pria itu.Sekar yang sedang menyuapi sang suami, akhirnya menoleh. Menaikkan sebelah alis, seolah bertanya."Itu ... Sasya di mana? Kenapa nggak ikut masuk ke sini?" tanya pria itu lembut."Nggak tahu tuh, tadi izin ke apotek sih," jawab Sekar tak acuh. Ia kembali fokus pada sang suami.Agaza curiga sekaligus khawatir dengan keadaan sang istri. "Tadi pagi, dia sarapan apa, Bun?" tanyanya
"Yang harus kamu tahu, setiap orang itu bisa berubah."|¤|Agaza masih belum mau bicara padanya sejak dua hari lalu, ya sudah dua hari berlalu dan semuanya masih sama. Pria itu mungkin marah pada Sasya karena dengan seenaknya membicarakan hal yang tidak-tidak tentang sahabatnya, tapi Sasya juga kesal karena apa yang dia lihat bukan hal yang diada-adakan, semuanya memang terjadi. Sayangnya Sasya tidak punya bukti.Soal mencari kerja bahkan Sasya tidak melakukannya, alasannya karena tidak berani meminta izin keluar pada Agaza. Bicara saja tidak mau, boro-boro memberi izin. Begitu yang wanita itu pikirkan.Maka selama itu pula Sasya hanya diam di rumah, mencoba beberapa resep masakan dan membagikan hasilnya kepada tetangga. Kalau menurutnya gagal, Sasya akan membuang hasil kerja kerasnya itu ke tong sampah. Jangan harap Sasya akan memakannya, karena semua makanan dimasak dengan matang, dia hanya me
"Coba pikirkan kembali, kira-kira apa yang salah dari dirimu?"|¤|Sasya akui bahwa mencari kerja tanpa relasi memanglah sulit. Kalau dihitung-hitung, sudah hampir dua minggu dirinya berkeliling mencari perusahaan yang membuka lowongan pekerjaan, tapi selama itu pula dirinya tidak mendapatkan hasil yang memuaskan. Namun, hatinya meyakini bahwa dia akan mendapat apa yang dibutuhkannya saat ini, yaitu pekerjaan.Wanita itu masuk ke dalam gedung berwarna pastel di depannya, berdoa semoga ini menjadi rezekinya."Oh iya, Mbak, kebetulan kami sedang mencari office girl di sini, mari saya antar masuk ke dalam." Begitu ujaran satpam ketika Sasya bertanya apakah perusahaan tersebut membuka lowongan pekerjaan atau tidak.Office girl katanya? Memang wajah Sasya dan setelannya terlihat seperti orang yang akan melamar menjadi tukang membuat kopi?
Jarum pendek di jam dinding kamar mereka sudah menunjukkan pukul sebelas ketika keduanya masuk ke dalam kamar. Sasya mengempaskan tubuhnya ke atas ranjang, lelah sekali rasanya setelah menjalani hari ini. Sedangkan Agaza memilih untuk membersihkan tubuhnya, dia memang tidak sempat mandi saat di rumah kedua orang tuanya, sibuk ndusel-ndusel seperti anak kucing pada Sasya.Ketika Agaza keluar dengan pakaian yang sudah lengkap pun, Sasya masih tidak beranjak. Dia masih memejamkan mata meskipun telinga mendengar suara pintu kamar mandi terbuka."Kamu nggak mandi, Sayang?" tanya Agaza seraya meletakkan handuk ke atas sofa di kamar mereka."Taruh handuk di tempat lo ngambil, Za!" peringat Sasya, sudah terlalu hafal dengan kebiasaan buruk sang suami.Agaza menurut. Pria itu kembali berjalan menuju sofa kamar mereka, mengambil handuk yang dilemparkannya, lalu beralih melangkah ke atas
Makan malam sudah tersaji di atas meja makan dengan berbagai macam lauk yang Sekar masak. Semua hasil kerja kera Sekar, ya memang begitu kenyataannya. Mertuanya itu belum bisa percaya dengan kemampuan memasaknya.Agaza datang bersama Sinta, membuat mood Sasya yang sudah anjlok menjadi hancur berantakan. Sungguh, lama-lama dia muak juga dengan tingkah Sinta yang menyebalkan. Perempuan itu seperti tidak tahu malu, sudah jelas Agaza adalah suami orang lain, tapi bisa-bisanya dia masih menggodanya."Eh kalian pergi bareng tadi kesini? Wah, Bunda senang banget loh. Agaza harus sering-sering ngobrol sama Sinta," kata Sekar antusias."Ekhem!" deham Karlex cukup kencang, memperingatkan istrinya.Seolah tidak mendengar teguran itu, Sekar malah membawa Sinta dan Agaza di sisi kanan dan kirinya, menghela keduanya ke meja makan tanpa perduli bahwa kini Sasya sedang memperhatikan mereka. T
"Membiasakan diri memang perlu untuk beberapa hal."|¤|Siklusnya masih sama. Ketika bangun pagi, Agaza akan langsung salat subuh, mandi, sarapan, dan langsung pergi kerja. Meskipun sudah jadi maniak, tapi jika urusan pekerjaan memang tidak bisa ditinggal. Dia akan kembali jadi sosok Agaza yang ambisius dan cuek seolah tidak pernah terjadi apa pun antara dirinya dan sang istri di hari sebelumnya.Di kantor, sudah banyak tugas yang menunggu diselesaikan.Ditambah kenyataan bahwa hari ini sang sekretaris tidak bisa hadir karena anaknya masih sakit. Agaza bukan bos kejam yang akan menahan seorang ibu di tempat pekerjaan sementara anaknya bertarung dengan kematian di rumah.Untungnya Agaza mandiri, dia bisa langsung menerima berkas yang harus dilihatnya. Namun, hal itu ternyata tidak begitu baik untuknya, karena jadi banyak orang yang masuk ke dalam ruanganny
Benar-benar menyebalkan.Sasya menyediakan makanan dan teh di dapur, sedangkan Agaza mengobrol dengan tamu mereka yang Sasya curigai sebagai selingkuhan suaminya itu. Oh, bahkan Agaza menyuruhnya menyiapkan semua ini tanpa merasa bersalah setelah membuatnya kelelahan hampir dua belas jam terakhir.Bukankah Agaza seperti memiliki kepribadian ganda? Mudah sekali berubah!Gerakan tangan Sasya terlampaui cepat saat memindahkan banyak camilan ke dalam wadah yang telah diambilnya, membuat satu gelas minuman lagi dengan rasa tidak rela. Benar-benar tidak rela!Setelah semuanya selesai, wanita itu meletakkan wadah berisi camilan dan gelas-gelas ke atas nampan. Membawa makanan dan minuman dengan langkah kaki cepat menuju ruang tamu.Sampai di sana dia mendapati pemandangan yang menyesakkan dada. Tidak kuat terlalu lama menahan bawaannya karena tangannya lemas, Sasy
Weekend seperti ini seharusnya digunakan sebaik mungkin berjalan-jalan keluar untuk menikmati udara segar setelah satu pekan yang menyesakkan, tapi menurut Agaza di waktu liburnya harus digunakan sebaik mungkin untuk bermesraan bersama istrinya.Sejak tadi pria itu tidak kunjung melepaskan istrinya yang hendak keluar dari dekapannya. Wanita dalam pelukannya sudah mengomel dan mengabsen nama binatang di dalam hatinya, tapi Agaza tak kunjung menuruti ucapannya.Sasya menggigit bahu Agaza berharap pria itu mau melepaskannya, tapi tidak. Harapan memang tidak pernah sesuai kenyataan. Alih-alih kesakitan dan melepaskan pelukannya, pria itu malah semakin erat memeluknya dan tertawa."Gemas banget sih punya istri," gumamnya."Gue nggak bisa napas, Agaza!""Mau dikasih napas buatan?" Agaza mendongak hanya untuk menatap iris kecokelatan milik istrinya dengan raut wajah po
Ini awalnya kan aku yang mau ngerjain, kok malah aku yang dikerjain, sih?|¤|Sasya berusaha mendorong tubuh Agaza yang menghimpitnya. Pria itu menahan tengkuknya agar tidak bergerak terlalu banyak, sementara bibirnya membungkam bibir mungil sang istri yang sedari tadi masih tidak membalas.Jujur saja, Sasya kewalahan menghadapi serangan suaminya. Agaza seperti pria yang sudah ahli dalam melakukan hal ini, itu juga yang sejak tadi malam bersarang di kepalanya. Ia berpikir apakah memang dirinya bukan yang pertama untuk Agaza?"Za!" protes Sasya begitu pergulatan dua benda kenyal tersebut terlepas.Agaza sengaja melepaskan ciumannya saat merasa bahwa Sasya sudah kehabisan napas. Ingin melanjutkan sebelum kegiatannya terhenti karena mendengar langkah kaki mendekat. Agaza buru-buru menjauhkan badan, Sasya melakukan hal yang sama. Keduanya merapikan tampilan, takut
Agaza menggerutu saat Tisya masuk membawa beberapa berkas lagi. Kali ini bukan tandatangan yang dibutuhkan, melainkan koreksian pada berkas perencanaan yang akan dilakukan untuk menjalin kerja sama dengan perusahaan furniture lain. Mungkin menggaet pengusaha-pengusaha kecil atau membangun relasi dengan pihak luar—selain pusat perusahaan mereka. Entahlah, Agaza juga tidak tahu karena belum membacanya.Meskipun mendapat posisi sebagai kepala cabang, Agaza selalu memiliki keinginan bisa membangun relasi diluar dari yang perusahaan pusat bangun. Dia ingin bagian yang dikelolanya bisa mandiri tanpa melupakan bahwa mereka punya perusahaan pusat."Ada lagi yang perlu saya kerjakan, Tisya?" tanyanya.Tisya menggeleng. "Sepertinya sih tidak, Pak. Tapi, nggak tahu kalau tiba-tiba bagian keuangan mengirim laporannya, mengingat ini sudah mendekati tenggat yang Bapak kasih.""Saya ka