Kedua wanita beda usia itu sampai pukul sembilan pagi di Rumah Sakit. Sekar langsung masuk ke dalam ruang rawat suaminya, sedangkan Sasya memilih untuk ke apotek rumah sakit untuk meminta penawar alergi yang dirasakannya. Sialan, secepat ini tubuhnya bereaksi terhadap nasi goreng yang tadi pagi dimakannya.
Agaza celingukan saat mendapati hanya bundanya saja yang masuk ke sini, sedang sang istri tidak nampak batang hidungnya.
"Bunda ...," panggil pria itu.
Sekar yang sedang menyuapi sang suami, akhirnya menoleh. Menaikkan sebelah alis, seolah bertanya.
"Itu ... Sasya di mana? Kenapa nggak ikut masuk ke sini?" tanya pria itu lembut.
"Nggak tahu tuh, tadi izin ke apotek sih," jawab Sekar tak acuh. Ia kembali fokus pada sang suami.
Agaza curiga sekaligus khawatir dengan keadaan sang istri. "Tadi pagi, dia sarapan apa, Bun?" tanyanya
Celah gorden yang sudah dibuka Agaza membawa sinar matahari menyelusup masuk ke dalam kamar, menerangi keseluruhan sisi kamar ini. Otomatis juga membangunkan Sasya dari tidur nyenyaknya. Tadi malam itu, rasanya dia benar-benar tidur, tidak seperti yang selama ini dirasakannya—hanya tidur sebentar lalu bangun lagi. Terlalu banyak bergadang.Suara pintu terbuka membuat Sasya ikut menegakkan tubuh, bersandar pada kepala ranjang dengan selimut yang menutupi seluruh tubuh.Agaza masuk dengan setelan kantornya, sudah rapi dan wangi. Pria itu mendekati sang istri, mengecup singkat dahi Sasya."Di bawah ada Kak Meysa, dia mulai tinggal hari ini. Nanti temani mereka ke Rumah Sakit kalau memungkinkan, kalau masih lemas tinggal di rumah saja. Oke?""Iya.""Saya pamit, kalau kamu jadi ikut mereka ke RS kabari saya, ya? Biar saja jemput." Agaza kembali melabuhkan kecup
Ingin mengatakan bahwa ada yang tidak baik-baik saja, tapi rasanya sulit sekali. Tidak ingin yang lain terbebani.|¤|Sepulang dari rumah sakit, Sasya tidak ingin langsung pulang. Dia meminta Agaza membawanya ke rumah orang tuanya, Sasya ingin bertemu Papa dan Mamanya yang cerewet, yang dapat dipastikan akan bertanya banyak tentang 'hidup barunya'.Agaza menoleh ke arah istrinya saat tidak mendapati wanita itu ceriwis seperti biasa, dia mengerutkan dahi bingung, bertanya-tanya apa yang terjadi sehingga wanita itu bungkam sejak tadi."Kamu kenapa, Sya? Kok diam saja dari tadi? Ada masalah?" Akhirnya ia menyuarakan isi kepalanya, tidak tahan terlalu lama dipendam.Sasya ikut menoleh ke arahnya, dia memberikan senyum tipis kepada sang suami yang tampak khawatir, kemudian menggeleng. "I'm okay." Bukan karena tidak ingin berbagi tentang yang terjadi tadi, tapi
Ketika membuka mata untuk pertama kalinya pagi ini, Sasya mendapati sesuatu yang berbeda dari dirinya. Ya, Sasya ingat apa yang terjadi tadi malam, maka dari itu dia merasa aneh. Mengingatnya membuat wajahnya bersemu merah. Tadi malam mereka benar-benar melakukannya? Terlebih ... tadi malam yang menjerit-jerit minta lebih itu dirinya? Aish, memalukan!Karena desisannya, pria dihadapannya menggeliat. Tangannya yang masih bertengger di pinggang Sasya mulai berpindah, menarik Sasya lebih dekat. Memeluk wanita itu erat-erat."Jangan gerak, Sya.""Gue ... mau mandi.""Tadi sebelum tidur 'kan sudah mandi, kenapa mandi lagi sih?""Eum itu ... Za, lepas dong. Gue mules nih."Sasya mulas karena hembusan napas Agaza menerpa wajahnya, dekapan pria itu juga terlalu kencang-nyaris meledakkan jantungnya. Sasya mana kuat bertahan dalam posisi seperti ini terlalu
Agaza menggerutu saat Tisya masuk membawa beberapa berkas lagi. Kali ini bukan tandatangan yang dibutuhkan, melainkan koreksian pada berkas perencanaan yang akan dilakukan untuk menjalin kerja sama dengan perusahaan furniture lain. Mungkin menggaet pengusaha-pengusaha kecil atau membangun relasi dengan pihak luar—selain pusat perusahaan mereka. Entahlah, Agaza juga tidak tahu karena belum membacanya.Meskipun mendapat posisi sebagai kepala cabang, Agaza selalu memiliki keinginan bisa membangun relasi diluar dari yang perusahaan pusat bangun. Dia ingin bagian yang dikelolanya bisa mandiri tanpa melupakan bahwa mereka punya perusahaan pusat."Ada lagi yang perlu saya kerjakan, Tisya?" tanyanya.Tisya menggeleng. "Sepertinya sih tidak, Pak. Tapi, nggak tahu kalau tiba-tiba bagian keuangan mengirim laporannya, mengingat ini sudah mendekati tenggat yang Bapak kasih.""Saya ka
Ini awalnya kan aku yang mau ngerjain, kok malah aku yang dikerjain, sih?|¤|Sasya berusaha mendorong tubuh Agaza yang menghimpitnya. Pria itu menahan tengkuknya agar tidak bergerak terlalu banyak, sementara bibirnya membungkam bibir mungil sang istri yang sedari tadi masih tidak membalas.Jujur saja, Sasya kewalahan menghadapi serangan suaminya. Agaza seperti pria yang sudah ahli dalam melakukan hal ini, itu juga yang sejak tadi malam bersarang di kepalanya. Ia berpikir apakah memang dirinya bukan yang pertama untuk Agaza?"Za!" protes Sasya begitu pergulatan dua benda kenyal tersebut terlepas.Agaza sengaja melepaskan ciumannya saat merasa bahwa Sasya sudah kehabisan napas. Ingin melanjutkan sebelum kegiatannya terhenti karena mendengar langkah kaki mendekat. Agaza buru-buru menjauhkan badan, Sasya melakukan hal yang sama. Keduanya merapikan tampilan, takut
Weekend seperti ini seharusnya digunakan sebaik mungkin berjalan-jalan keluar untuk menikmati udara segar setelah satu pekan yang menyesakkan, tapi menurut Agaza di waktu liburnya harus digunakan sebaik mungkin untuk bermesraan bersama istrinya.Sejak tadi pria itu tidak kunjung melepaskan istrinya yang hendak keluar dari dekapannya. Wanita dalam pelukannya sudah mengomel dan mengabsen nama binatang di dalam hatinya, tapi Agaza tak kunjung menuruti ucapannya.Sasya menggigit bahu Agaza berharap pria itu mau melepaskannya, tapi tidak. Harapan memang tidak pernah sesuai kenyataan. Alih-alih kesakitan dan melepaskan pelukannya, pria itu malah semakin erat memeluknya dan tertawa."Gemas banget sih punya istri," gumamnya."Gue nggak bisa napas, Agaza!""Mau dikasih napas buatan?" Agaza mendongak hanya untuk menatap iris kecokelatan milik istrinya dengan raut wajah po
Benar-benar menyebalkan.Sasya menyediakan makanan dan teh di dapur, sedangkan Agaza mengobrol dengan tamu mereka yang Sasya curigai sebagai selingkuhan suaminya itu. Oh, bahkan Agaza menyuruhnya menyiapkan semua ini tanpa merasa bersalah setelah membuatnya kelelahan hampir dua belas jam terakhir.Bukankah Agaza seperti memiliki kepribadian ganda? Mudah sekali berubah!Gerakan tangan Sasya terlampaui cepat saat memindahkan banyak camilan ke dalam wadah yang telah diambilnya, membuat satu gelas minuman lagi dengan rasa tidak rela. Benar-benar tidak rela!Setelah semuanya selesai, wanita itu meletakkan wadah berisi camilan dan gelas-gelas ke atas nampan. Membawa makanan dan minuman dengan langkah kaki cepat menuju ruang tamu.Sampai di sana dia mendapati pemandangan yang menyesakkan dada. Tidak kuat terlalu lama menahan bawaannya karena tangannya lemas, Sasy
"Membiasakan diri memang perlu untuk beberapa hal."|¤|Siklusnya masih sama. Ketika bangun pagi, Agaza akan langsung salat subuh, mandi, sarapan, dan langsung pergi kerja. Meskipun sudah jadi maniak, tapi jika urusan pekerjaan memang tidak bisa ditinggal. Dia akan kembali jadi sosok Agaza yang ambisius dan cuek seolah tidak pernah terjadi apa pun antara dirinya dan sang istri di hari sebelumnya.Di kantor, sudah banyak tugas yang menunggu diselesaikan.Ditambah kenyataan bahwa hari ini sang sekretaris tidak bisa hadir karena anaknya masih sakit. Agaza bukan bos kejam yang akan menahan seorang ibu di tempat pekerjaan sementara anaknya bertarung dengan kematian di rumah.Untungnya Agaza mandiri, dia bisa langsung menerima berkas yang harus dilihatnya. Namun, hal itu ternyata tidak begitu baik untuknya, karena jadi banyak orang yang masuk ke dalam ruanganny
"Yang harus kamu tahu, setiap orang itu bisa berubah."|¤|Agaza masih belum mau bicara padanya sejak dua hari lalu, ya sudah dua hari berlalu dan semuanya masih sama. Pria itu mungkin marah pada Sasya karena dengan seenaknya membicarakan hal yang tidak-tidak tentang sahabatnya, tapi Sasya juga kesal karena apa yang dia lihat bukan hal yang diada-adakan, semuanya memang terjadi. Sayangnya Sasya tidak punya bukti.Soal mencari kerja bahkan Sasya tidak melakukannya, alasannya karena tidak berani meminta izin keluar pada Agaza. Bicara saja tidak mau, boro-boro memberi izin. Begitu yang wanita itu pikirkan.Maka selama itu pula Sasya hanya diam di rumah, mencoba beberapa resep masakan dan membagikan hasilnya kepada tetangga. Kalau menurutnya gagal, Sasya akan membuang hasil kerja kerasnya itu ke tong sampah. Jangan harap Sasya akan memakannya, karena semua makanan dimasak dengan matang, dia hanya me
"Coba pikirkan kembali, kira-kira apa yang salah dari dirimu?"|¤|Sasya akui bahwa mencari kerja tanpa relasi memanglah sulit. Kalau dihitung-hitung, sudah hampir dua minggu dirinya berkeliling mencari perusahaan yang membuka lowongan pekerjaan, tapi selama itu pula dirinya tidak mendapatkan hasil yang memuaskan. Namun, hatinya meyakini bahwa dia akan mendapat apa yang dibutuhkannya saat ini, yaitu pekerjaan.Wanita itu masuk ke dalam gedung berwarna pastel di depannya, berdoa semoga ini menjadi rezekinya."Oh iya, Mbak, kebetulan kami sedang mencari office girl di sini, mari saya antar masuk ke dalam." Begitu ujaran satpam ketika Sasya bertanya apakah perusahaan tersebut membuka lowongan pekerjaan atau tidak.Office girl katanya? Memang wajah Sasya dan setelannya terlihat seperti orang yang akan melamar menjadi tukang membuat kopi?
Jarum pendek di jam dinding kamar mereka sudah menunjukkan pukul sebelas ketika keduanya masuk ke dalam kamar. Sasya mengempaskan tubuhnya ke atas ranjang, lelah sekali rasanya setelah menjalani hari ini. Sedangkan Agaza memilih untuk membersihkan tubuhnya, dia memang tidak sempat mandi saat di rumah kedua orang tuanya, sibuk ndusel-ndusel seperti anak kucing pada Sasya.Ketika Agaza keluar dengan pakaian yang sudah lengkap pun, Sasya masih tidak beranjak. Dia masih memejamkan mata meskipun telinga mendengar suara pintu kamar mandi terbuka."Kamu nggak mandi, Sayang?" tanya Agaza seraya meletakkan handuk ke atas sofa di kamar mereka."Taruh handuk di tempat lo ngambil, Za!" peringat Sasya, sudah terlalu hafal dengan kebiasaan buruk sang suami.Agaza menurut. Pria itu kembali berjalan menuju sofa kamar mereka, mengambil handuk yang dilemparkannya, lalu beralih melangkah ke atas
Makan malam sudah tersaji di atas meja makan dengan berbagai macam lauk yang Sekar masak. Semua hasil kerja kera Sekar, ya memang begitu kenyataannya. Mertuanya itu belum bisa percaya dengan kemampuan memasaknya.Agaza datang bersama Sinta, membuat mood Sasya yang sudah anjlok menjadi hancur berantakan. Sungguh, lama-lama dia muak juga dengan tingkah Sinta yang menyebalkan. Perempuan itu seperti tidak tahu malu, sudah jelas Agaza adalah suami orang lain, tapi bisa-bisanya dia masih menggodanya."Eh kalian pergi bareng tadi kesini? Wah, Bunda senang banget loh. Agaza harus sering-sering ngobrol sama Sinta," kata Sekar antusias."Ekhem!" deham Karlex cukup kencang, memperingatkan istrinya.Seolah tidak mendengar teguran itu, Sekar malah membawa Sinta dan Agaza di sisi kanan dan kirinya, menghela keduanya ke meja makan tanpa perduli bahwa kini Sasya sedang memperhatikan mereka. T
"Membiasakan diri memang perlu untuk beberapa hal."|¤|Siklusnya masih sama. Ketika bangun pagi, Agaza akan langsung salat subuh, mandi, sarapan, dan langsung pergi kerja. Meskipun sudah jadi maniak, tapi jika urusan pekerjaan memang tidak bisa ditinggal. Dia akan kembali jadi sosok Agaza yang ambisius dan cuek seolah tidak pernah terjadi apa pun antara dirinya dan sang istri di hari sebelumnya.Di kantor, sudah banyak tugas yang menunggu diselesaikan.Ditambah kenyataan bahwa hari ini sang sekretaris tidak bisa hadir karena anaknya masih sakit. Agaza bukan bos kejam yang akan menahan seorang ibu di tempat pekerjaan sementara anaknya bertarung dengan kematian di rumah.Untungnya Agaza mandiri, dia bisa langsung menerima berkas yang harus dilihatnya. Namun, hal itu ternyata tidak begitu baik untuknya, karena jadi banyak orang yang masuk ke dalam ruanganny
Benar-benar menyebalkan.Sasya menyediakan makanan dan teh di dapur, sedangkan Agaza mengobrol dengan tamu mereka yang Sasya curigai sebagai selingkuhan suaminya itu. Oh, bahkan Agaza menyuruhnya menyiapkan semua ini tanpa merasa bersalah setelah membuatnya kelelahan hampir dua belas jam terakhir.Bukankah Agaza seperti memiliki kepribadian ganda? Mudah sekali berubah!Gerakan tangan Sasya terlampaui cepat saat memindahkan banyak camilan ke dalam wadah yang telah diambilnya, membuat satu gelas minuman lagi dengan rasa tidak rela. Benar-benar tidak rela!Setelah semuanya selesai, wanita itu meletakkan wadah berisi camilan dan gelas-gelas ke atas nampan. Membawa makanan dan minuman dengan langkah kaki cepat menuju ruang tamu.Sampai di sana dia mendapati pemandangan yang menyesakkan dada. Tidak kuat terlalu lama menahan bawaannya karena tangannya lemas, Sasy
Weekend seperti ini seharusnya digunakan sebaik mungkin berjalan-jalan keluar untuk menikmati udara segar setelah satu pekan yang menyesakkan, tapi menurut Agaza di waktu liburnya harus digunakan sebaik mungkin untuk bermesraan bersama istrinya.Sejak tadi pria itu tidak kunjung melepaskan istrinya yang hendak keluar dari dekapannya. Wanita dalam pelukannya sudah mengomel dan mengabsen nama binatang di dalam hatinya, tapi Agaza tak kunjung menuruti ucapannya.Sasya menggigit bahu Agaza berharap pria itu mau melepaskannya, tapi tidak. Harapan memang tidak pernah sesuai kenyataan. Alih-alih kesakitan dan melepaskan pelukannya, pria itu malah semakin erat memeluknya dan tertawa."Gemas banget sih punya istri," gumamnya."Gue nggak bisa napas, Agaza!""Mau dikasih napas buatan?" Agaza mendongak hanya untuk menatap iris kecokelatan milik istrinya dengan raut wajah po
Ini awalnya kan aku yang mau ngerjain, kok malah aku yang dikerjain, sih?|¤|Sasya berusaha mendorong tubuh Agaza yang menghimpitnya. Pria itu menahan tengkuknya agar tidak bergerak terlalu banyak, sementara bibirnya membungkam bibir mungil sang istri yang sedari tadi masih tidak membalas.Jujur saja, Sasya kewalahan menghadapi serangan suaminya. Agaza seperti pria yang sudah ahli dalam melakukan hal ini, itu juga yang sejak tadi malam bersarang di kepalanya. Ia berpikir apakah memang dirinya bukan yang pertama untuk Agaza?"Za!" protes Sasya begitu pergulatan dua benda kenyal tersebut terlepas.Agaza sengaja melepaskan ciumannya saat merasa bahwa Sasya sudah kehabisan napas. Ingin melanjutkan sebelum kegiatannya terhenti karena mendengar langkah kaki mendekat. Agaza buru-buru menjauhkan badan, Sasya melakukan hal yang sama. Keduanya merapikan tampilan, takut
Agaza menggerutu saat Tisya masuk membawa beberapa berkas lagi. Kali ini bukan tandatangan yang dibutuhkan, melainkan koreksian pada berkas perencanaan yang akan dilakukan untuk menjalin kerja sama dengan perusahaan furniture lain. Mungkin menggaet pengusaha-pengusaha kecil atau membangun relasi dengan pihak luar—selain pusat perusahaan mereka. Entahlah, Agaza juga tidak tahu karena belum membacanya.Meskipun mendapat posisi sebagai kepala cabang, Agaza selalu memiliki keinginan bisa membangun relasi diluar dari yang perusahaan pusat bangun. Dia ingin bagian yang dikelolanya bisa mandiri tanpa melupakan bahwa mereka punya perusahaan pusat."Ada lagi yang perlu saya kerjakan, Tisya?" tanyanya.Tisya menggeleng. "Sepertinya sih tidak, Pak. Tapi, nggak tahu kalau tiba-tiba bagian keuangan mengirim laporannya, mengingat ini sudah mendekati tenggat yang Bapak kasih.""Saya ka