Sudah dua hari ini Agaza sibuk dengan pekerjaannya. Setelah kejadian malam itu, mereka belum pernah terlibat percakapan yang terlalu lama. Paling sekadar menyapa atau saling bertanya kegiatan apa yang keduanya lakukan setiap harinya. Semua cukup, karena kalau berlebihan Sasya takut jantungnya tidak akan kuat.
Agaza itu kalau sudah perhatian manisnya tidak ketulungan!
Tadi setelah Agaza pergi bekerja, Sasya juga pergi dari rumah. Ia menemui teman-teman sosialitanya, membicarakan banyak hal tentang make up, trend fashion, sepatu, serta tas branded. Dibesarkan dari kalangan atas, membuat Sasya tumbuh menjadi gadis manja dan suka menghambur-hamburkan uang-—jauh sekali dari khayalan orang tentang gadis kaya yang mandiri.
Bersama dengan teman-temannya itu, Sasya bertemu di salah satu restoran ternama di ibu kota. Menikmati seporsi makanan kecil dengan harga selangit. Andai saja Sasya bukan orang kaya, maka dirinya juga akan sayang harus menghabiskan uang sebanyak itu. Tapi, berhubung ia punya ayah dan suami kaya, maka tidak ada salahnya sesekali mengeluarkan uang dengan harga fantastis dalam sekali telan.
"Salad di sini enak banget! Sumpah gue, nggak bohong," cetus Riana, seorang Ibu rumah tangga beranak satu. Suaminya pelaut, uang banyak meski jarang pulang.
"Cheese cakenya juga enak!" tambah Merry, seorang model yang tahun depan rencananya akan pensiun.
Mereka asyik dengan menu masing-masing, sedangkan Sasya malah ingin dibuatkan telur mata sapi yang kuningnya berada pas di tengah, dimasak dengan setengah matang.
"Sya, lo mau pesan apa?" tanya Jihan yang kini menyodorkan buku menu.
Sasya menggeleng dan tersenyum kecil. Ia tidak ingin pesan apa pun, mendadak perutnya kenyang mendengar ucapan menu yang teman-temannya sebutkan.
"Jatuh miskin lo semenjak nikah?" kelakar Merry dengan seenak jidatnya. "Sudah pesan aja, nanti gue yang bayar," lanjut wanita itu kemudian.
"Eh?" Sasya kaget, merasa diremehkan. "Enak aja! Suami gue itu pengusaha kaya, asal kalian tahu! Sudah pesan aja, nanti gue yang bayar!" ucap Sasya sombong.
Teman-temannya tersenyum puas, merasa berhasil memancing gengsi Sasya yang selangit. Selalu menguntungkan untuk mereka. Itu juga salah satu alasan mereka betah berteman dengan Sasya, meski sikap wanita itu kadang suka seenaknya dan selalu mau menang sendiri.
Memang begitu, tidak semua teman yang ada di dekat kalian benar-benar tulus. Sebagian dari mereka hanya memanfaatkan kalian sebagai pemuas keinginan rakus mereka.
Sasya kembali terdiam. Memikirkan kira-kira siapa yang bisa membuatkan menu telur mata sapi seperti yang diinginkannya. Kalau di rumah dulu, abangnya bisa membuat menu itu, tapi tidak dengan sekarang. Tidak mungkin juga Sasya menyusul abangnya keluar negeri hanya untuk minta dibuatkan telur mata sapi dengan kuning tepat di tengah dan dimasak setengah matang. Maka, satu-satunya cara adalah belajar membuatnya sendiri. Meski ia ingin dibuatkan dan keinginan itu sepertinya sulit tercapai, maka ia lebih memilih belajar. Soal hasil, lihat sendiri saja nanti.
|¤|
Ini sudah percobaan ke sekian kali, tapi telur mata sapi yang dibuatnya belum ada yang berhasil. Ada yang pecah saat dibuka, pecah saat dibalik, letaknya tidak tepat di tengah dan ini yang terakhir malah tidak bulat, tapi oval.
Sasya mendesah lelah karena usahanya belum membuahkan hasil. Bahkan wanita itu tidak menyadari kehadiran Agaza yang sejak tadi duduk di stool bar—mengamati kerepotan istrinya dengan kening berkerut dalam.
Pria itu berdeham kencang untuk mendapat perhatian istrinya. Benar saja, Sasya langsung berbalik dengan mengacungkan spatula sebagai bentuk perlindungan diri. Agaza terkekeh saat melihat wajah Sasya yang kucel dan penuh kewaspadaan.
"Eh, lo kapan pulang?" tanya Sasya gugup. Ia langsung menurunkan tangannya, membuang spatula itu ke bak cuci piring.
"Sudah lima menit," jawabnya tak acuh. Agaza turun dari kursi dan berjalan mendekati Sasya, mengacak gemas rambut istrinya yang diikat asal-asalan. "Lucu banget sih rambutnya!" ucapnya gemas.
Sasya sudah tidak tahu bagaimana rupa wajahnya, apalagi pipinya. Karena tiba-tiba perutnya mulas dan pipinya panas sampai ke telinga saat Agaza mengatakan rambutnya lucu barusan.
SUAMI SIAPA SIH INI?!
"Kamu ngapain di dapur? Mau masak buat saya?" Agaza bertanya singkat sambil melirik ke belakang tubuh Sasya yang bentukannya sudah seperti ... kapal titanic yang menabrak tebing es. Kacau.
"Enak aja! Gue ... gue, eum mau coba bikin camilan aja," jawab Sasya setengah bergumam.
Agaza mengangguk-angguk meski tidak yakin pada jawaban istrinya. Camilan apa sih memangnya sampai menghabiskan telur satu papan? Mana belum ada yang jadi lagi, yang ada cuma telur goreng yang berserakan di atas piring samping kuali.
Merasa tidak dipercayai, Sasya kembali bicara. "Sebenarnya gue pengin telur mata sapi yang kuningnya ada di tengah," katanya pelan, nyaris tidak terdengar. Untungnya rumah mereka sepi.
"Telur goreng?" Sasya mengangguk cepat. "Setengah matang?" Lagi-lagi ia mengangguk cepat. Sangat semangat.
Agaza membuka kemeja putihnya, menyisakan singlet putih yang menampakkan otot-otot lengannya yang sempurna. Tanpa mengatakan banyak hal, pria itu sudah berada dibalik kompor dan berkutat dengan sisa telur mentah yang akan diolah. Agaza hanya menanyakan 'berapa banyak' setelah mendapat jawaban, pria itu kembali sibuk dengan kegiatannya.
Sepuluh menit kemudian lima telur mata sapi dengan kuning bulat sempurna, berada di tengah, di goreng setengah matang sudah berada di depan matanya. Tersedia dengan sangat cantik dan rapi, beserta saus, kecap, dan mayonnaise.
Mata Sasya langsung berbinar bahagia. Ia mengambil satu, memotong di bagian tengah setelah dilumuri saus dan kecap, kemudian memakannya perlahan. Enak. Sangat enak malahan. Ia menoleh ke arah Agaza yang juga sedang menatapnya dalam diam. Menyuapi pria itu. Kemudian fokus pada makannya kembali. Ya ampun, Sasya benar-benar puas dengan masakan Agaza.
"Lain kali, kalau mau sesuatu katakan saja. Jangan menahan diri, dan sok-sokan buat sendiri," celetuk Agaza tiba-tiba. Membuat telur goreng ketiga menggantung di udara dan diletakkan kembali ke piring. Sasya sudah tidak nafsu makan.
"Ikhlas nggak sih lo buatinnya? Kalau nggak ikhlas, biar gue muntahin nih!" ancamnya.
"Muntahin coba," tantang Agaza. Pria itu sudah berdiri di samping Sasya, membungkuk ke arah istrinya. "Ke mulut saya langsung. Sini!" imbuh Agaza.
Sasya kesal dibuatnya. Ia kira Agaza akan mengatakan maaf dan menyuruhnya melanjutkan makan telur goreng yang tertunda, tapi? Ya Tuhan, kenapa sikap suaminya jadi menyebalkan begini sih?!
Disaat Sasya masih sibuk dengan pikirannya sendiri, Agaza sudah semakin membungkukkan tubuhnya. Sebelah tangannya menahan tengkuk Sasya. Pria itu mencium ujung bibir Sasya, menjulurkan lidahnya dan membersihkan ujung bibir Sasya yang terkena saus. Sebelum Sasya sadar, pria itu sudah lebih dulu menjauhkan wajahnya, menaiki tangga dengan tergesa.
"AGAZA! SEKALI LAGI LO AMBIL KESEMPATAN, GUE POTONG BURUNG LO YA!!!"
|¤|
Malam ini Sasya menyuruh Agaza tidur diluar. Wanita itu masih kesal sekaligus malu akan tindakan tiba-tiba yang Agaza lakukan padanya. Wajahnya masih memanas saat mengingat kejadian itu. Berkali-kali merutuki diri, kenapa sadarnya lama sekali?
"Kamu beneran suruh saya tidur di luar, Sya? Banyak nyamuk loh, ini." Pria itu ada di balik pintu yang terkunci, mengetuk pintu itu berkali-kali.
Sasya tidak peduli. Wanita itu tetap pada pendiriannya. Membiarkan Agaza diluar, mengesampingkan kewajibannya yang harus nurut suami.
"Saya tidur di sofa deh kalau tidak boleh satu ranjang," ucap pria itu lagi, masih belum menyerah.
Dan istrinya masih keras kepala. Meski belum tidur dan masih mendengar ocehan Agaza, Sasya malas untuk menyahuti. Kedongkolan masih menghinggapi dirinya. Sampai rasanya pengin motong burungnya Agaza beneran. Lagian sih, orang lagi PMS digodain.
"Saya lain kali tidak akan seperti tadi lagi, deh. Lain kali izin dulu sebelum cium kamu," lagi. Agaza masih berusaha. Di luar ia sudah menggaruk-garuk wajahnya yang digigit nyamuk. Masalahnya tuh sekarang Agaza cuma pakai singlet dan celana selutut, warna hitam pula.
"Makanya jangan modus mulu, lo!" jerit Sasya sambil bangkit. Mencari kunci yang ia letakkan di atas nakas.
Kasihan juga lihat suami digigit nyamuk, lebih bagus 'kan kalau dia yang gigit. Eh.
Pintu terbuka bersamaan dengan Agaza yang terjengkang. Pria itu mengusap bokongnya yang sakit. Mengadu dan minta bantu diusapin yang langsung kena pukul oleh Sasya.
Dikasih mantan minta gebetan sih! Nggak tau diri.
"Galak banget sih Nyonya," ucap Agaza pelan. Pria itu bangkit dengan bantuan Sasya yang berbaik hati.
"Lo sekali lagi nyosor-nyosor kayak tadi beneran gue kunciin lo di luar! Di luar rumah sekalian!" peringatnya ketus.
"Iya, Nyonya." Kali ini suaranya lebih keras. "Tapi, kalau meluk saat tidur boleh, 'kan?" Sasya mengangguk singkat.
Mendapat persetujuan seperti itu membuat sudut bibir Agaza melengkung, membentuk senyum manis. Pria itu langsung memeluk Sasya, mengangkat tubuh kecil istrinya dan membawa berbaring di atas kasur. Agaza menarik selimut untuk menutupi tubuh mereka dan langsung jatuh tertidur dengan menyelipkan kepalanya di ceruk leher istrinya.
Sasya kegelian dengan embusan napas Agaza, tapi tidak banyak protes. Ia tahu suaminya pasti lelah seharian bekerja, membuatkan telur goreng untuknya, ditambah lagi hukuman kecil darinya tadi yang membuat sebagian wajah suaminya memerah akibat gigitan nyamuk. Tangannya mengusap lembut punggung lebar suaminya, membalas pelukan erat dari Agaza dengan pelukan tak kalah erat.
|¤|
Agaza malas bekerja. Hari ini ia ingin menghabiskan waktu dengan mengajak istrinya belanja. Kebetulan juga bahan masakan di kulkas sudah habis, apalagi stok telur yang tidak tersisa satu butir pun—berkat kerja keras istrinya.
"Lo yakin mau ngajak gue belanja bahan masakan?" tanya Sasya sangsi. "Gue lebih suka diajak ke mal sih, beli baju atau make up."
Agaza mengangguk saja, tangannya masih sibuk menari di atas ponsel. Memberitahu pada Sekretarisnya jika ia akan libur sampai senin nanti. "Nanti setelah belanja bahan masakan, kita ke mal," sahutnya tak acuh.
Sasya mencebikkan bibirnya, merasa terabaikan. Wanita itu mengambil ponsel Agaza, mengantongi benda sialan itu. Membuat sang empunya menatap tajam padanya. Namun langsung berganti dengan tatapan khawatir. Agaza tahu kalau Sasya tidak suka diabaikan, dan sialnya hal itu baru saja ia lakukan.
"Sini," Agaza menepuk ruang kosong di sampingnya, mengajak Sasya duduk bersama.
Wanita itu menurut, duduk sambil menyilangkan tangannya di depan dada. Tidak berniat sedikitpun menoleh ke arah sang suami.
"Kamu ... mau belanja make up?" Sasya mengangguk, tapi masih tidak mau menoleh. "Nanti kita beli, ya? Jangan cemberut gitu!" bujuk pria itu.
Tidak lucu 'kan kalau usaha menaklukan hati istrinya gagal hanya karena masalah sepele? Mengabaikan sang pujaan hati misalnya.
"Mau yang keluaran terbaru pokoknya!"
Agaza mengangguk. "Iya, yang paling baru. Yang mahal. Yang banyak," sahutnya frustasi.
Belum sebulan nikah isi ATM sudah mau ludes saja.
"Dengan syarat," lanjut Agaza. Biarlah saldo ATM-nya berkurang banyak, asal ia dapat yang diinginkannya.
Sasya menoleh cepat, memicing tidak suka ke arah Agaza. "Apa? Jangan aneh-aneh ya, lo!" tapi, tetap saja setuju. Yah, asal bisa beli make up incarannya.
"Cium saya sini," ucapnya tanpa beban. "Ini saya minta loh ya, bukan asal nyosor kayak kemarin," imbuh Agaza sebelum kena semprot lagi.
Ini kenapa laki kalau udah nikah pikirannya nggak jauh dari dada, selangkangan sama bibir, sih?!
Pasrah. Sasya menurut lagi. Entahlah sudah berapa kali ia bersikap layaknya istri idaman. Ia mendekat, mengalungkan lengannya di leher Agaza, mengelus pelan belakang kepala pria itu sebelum menyatukan bibirnya. Hanya ciuman ringan, tanpa pergerakan. Sebelum Agaza yang memulainya, melumat bibir Sasya sambil tangannya meremas paha Sasya. Sasya memejamkan matanya, antara menikmati dan mencoba mencari kesadarannya. Tidak ia temukan. Jadi, yang bisa ia lakukan hanya diam, tanpa membalas atau pun menolak perlakuan Agaza. Hingga ketika ia sudah mulai kehabisan napas barulah Agaza melepas tautan bibir mereka, Agaza menempelkan dahi keduanya.
"Agaza mesum!" gumam Sasya di tengah deru napasnya yang masih berlomba.
Agaza terkekeh pelan mendengar gumaman Sasya. Ia menarik pinggang Sasya agar merapat, tidur di atas sofa dengan keadaan tubuh ditimpa Sasya. Sebentar saja, Agaza ingin memeluk wanita itu sebelum beraktivitas hari ini. Entah sejak kapan dirinya bersikap mesum seperti ini, pikirannya hanya bibir Sasya terus, sesekali juga memikirkan cara memasuki wanita itu.
|¤|
Yang bisa Sasya lakukan dari tadi hanya berjalan dan mendorong troli. Mereka sedang berada di modern market--sesuai dengan permintaan sang istri. Sasya yang memang seumur hidupnya tidak pernah ke pasar jadi tidak tahu keperluan apa saja yang biasa dibutuhkan untuk masak-memasak di dapur. Beberapa kali mengusulkan jenis makanan, tapi Agaza menolak. Ya, bagaimana tidak menolak jika yang ditawarkan itu makanan cepat saji? Agaza 'kan bukan penikmat makanan tidak sehat itu. Sesekali boleh, tapi bukan diletakkan sebagai persediaan. Kakinya sudah pegal, tapi sang suami belum juga selesai mencari stok makanan yang dibutuhkan. Akhirnya Sasya duduk, di bawah troli yang sedari tadi didorongnya. Bodo amat dengan tatapan aneh orang kepadanya. Agaza yang merasa tidak lagi mendengar protes dan keluhan dari sang istri langsung memutar lehernya ke belakang, mencari keberadaan Sasya yang ternyata sudah duduk dengan tidak tahu malunya di lorong market ini. Di antara sayur-mayur segar. Ia terkekeh dan
Nanti kalau kamu sudah cinta saya bilang ya? Soalnya saya bukan peramal yang bisa tahu perasaanmu.|¤|SASYA benar-benar menepati kata-katanya sebelum pergi tadi. Wanita itu memborong banyak jenis dan merk make up. Menghabiskan hampir sebulan gaji suaminya. Agaza hanya bisa menghela napas sambil mengeluarkan kartu kreditnya dari dompet, menyerahkan kartu itu kepada pramuniaga dengan perasaan sedikit tidak rela.Setelah puas karena sudah mendapatkan apa yang ia inginkan sejak lama, Sasya kembali mengajak Agaza turun ke lantai dasar. Masuk ke restoran dan memilih menu makanan untuknya, tanpa perlu repot memesankan untuk Agaza juga. Dan kembali, uang dengan angka lima dan enam nol habis dalam hitungan jam saja. Lagi-lagi Agaza menghela napas, mengecek saldo rekeningnya melalui telepon pintar yang ... yang sudah bisa dipastikan bahwa sebulan ke depan Agaza harus bekerja lebih keras untuk mengembalikan isi rekeni
Namanya manusia. Kalau tidak menyukai, bisa jadi ia membenci.|¤|Yang sejak awal Sasya tahu tentang ibu mertuanya adalah wanita itu tidak menyukainya, belum menyukai lebih tepatnya. Kini ditambah fakta baru kalau ternyata ibu mertuanya memang membenci dirinya yang tiba-tiba datang sebagai menantu, padahal wanita itu sudah menyiapkan perempuan lain untuk Agaza. Dan karena Sasya, rencananya itu gagal, yang lebih parahnya lagi perempuan itu tetap ingin dinikahkan dengan Agaza. Tidak masalah walaupun jadi istri kedua.Tadi, Sekar memang mengajaknya naik ke lantai dua. Wanita itu membawa Sasya ke dalam ruangan yang ada di pojok lantai dua itu. Di sanalah Sasya diperlihatkan banyak potret ibu mertuanya bersama dengan Agaza, ayah mertuanya, dan perempuan yang diinginkan Sekar. Namanya Sinta. Gadis keturunan asli Jawa yang punya profesi sebagai chef di salah satu restoran mewah di Jakarta pusat. Wajah cantik, tutur
Setelah mengucapkan ijab kabul tanpa kesalahan, kini Agaza bersanding dengan Sasya—istrinya—di pelaminan yang berada di bagian paling depan gedung pernikahan mereka. Menebar senyum manis—yang palsu—pada semua tamu yang melihat ke arah mereka. Sasya bahkan berkali-kali menggerutu karena acaranya lama sekali berakhir. Dan Agaza berusaha untuk memberi pengertian pada istri kecilnya itu. "Sebentar lagi, lima menit. Setelah itu kita langsung ke kamar, saya juga sudah lelah."Begitulah ucapannya empat menit tujuh belas detik yang lalu. Sasya masih harus menunggu beberapa detik untuk mengajak suaminya meninggalkan acara super mewah itu. Dia ingin istirahat dan sedikit bermain-main dengan Agaza. Pria pedofil yang beruntung menjadi suaminya."Ayo pergi, gue capek nih!" katanya serampangan. Tidak pakai etika sama sekali. Agaza menurut, menarik pinggang ramping istrinya untuk turun dari atas pelaminan dan berpamitan kepada kedua orang tua mereka. Yang dibalas dengan godaan dari semua yang mend
Saat ini semua berkumpul di meja makan restoran hotel yang mereka sewa untuk acara pernikahan Sasya dan Agaza. Kedua orang tua Agaza sudah lebih dulu pulang karena Marina-neneknya Agaza-sudah harus kembali ke negara asalnya, Spanyol. Yap, Agaza memang memiliki darah campuran Spanyol-Arab. Tapi, ayahnya merantau ke Indonesia dan bertemu ibunya yang asli orang Jawa. Menikah dan tinggal di Indonesia sampai Agaza sebesar sekarang. Mereka hanya akan pulang kampung saat libur tiba. Sekarang hanya ada kedua orang tua Sasya, Bang Ghani, dan Mesya-kakak Agaza, Tante Mika, dan Bude Ria serta suami dua orang tua itu. Yang lain sudah pulang karena harus mengurus rumah dan ada acara lain di hari minggu yang cerah ini. Segala jenis makanan sudah terhidang di atas meja makan khusus keluarga mereka. Mulai dari masakan Nusantara hingga masakan perpaduan dua budaya. Sasya sendiri lebih suka makan masakan yang setengah matang. Misal, sayur yang direbus hanya lima menit, salmon atau tuna yang di pangga
Sejak bangun dari tidurnya pagi tadi, Sasya sudah merasakan nyeri yang luar biasa di perutnya. Setelah mengecek ternyata benar, bahwa tamu istimewanya datang. Selama membereskan barang mereka, Sasya masih berusaha menahan sakitnya, tapi begitu mereka tiba di rumah milik Agaza ia tidak bisa menahannya lagi. Wanita itu langsung duduk sambil menekuk kakinya di sofa ruang tamu. Sementara suaminya mengurus beberapa perkara pada Pak RT agar tidak terjadi salah paham karena dirinya membawa seorang wanita ke rumahnya. Memang benar, orang sekitar rumahnya tidak tahu jika ia akan menikah karena Agaza sendiri jarang berada di rumah. Begitu Agaza sampai di rumah, yang ia dapati adalah koper Sasya yang masih tergeletak di lantai, sedangkan wanita itu meringkuk di atas sofa sambil meringis kecil. Didekatinya wanita yang berstatus sebagai istrinya itu, mengecek suhu tubuh Sasya dengan punggung tangannya. Ia beralih ke dapur untuk mengambil air dan menyuruh Sasya meminumnya. Wanita berusia dua pulu
Namanya manusia. Kalau tidak menyukai, bisa jadi ia membenci.|¤|Yang sejak awal Sasya tahu tentang ibu mertuanya adalah wanita itu tidak menyukainya, belum menyukai lebih tepatnya. Kini ditambah fakta baru kalau ternyata ibu mertuanya memang membenci dirinya yang tiba-tiba datang sebagai menantu, padahal wanita itu sudah menyiapkan perempuan lain untuk Agaza. Dan karena Sasya, rencananya itu gagal, yang lebih parahnya lagi perempuan itu tetap ingin dinikahkan dengan Agaza. Tidak masalah walaupun jadi istri kedua.Tadi, Sekar memang mengajaknya naik ke lantai dua. Wanita itu membawa Sasya ke dalam ruangan yang ada di pojok lantai dua itu. Di sanalah Sasya diperlihatkan banyak potret ibu mertuanya bersama dengan Agaza, ayah mertuanya, dan perempuan yang diinginkan Sekar. Namanya Sinta. Gadis keturunan asli Jawa yang punya profesi sebagai chef di salah satu restoran mewah di Jakarta pusat. Wajah cantik, tutur
Nanti kalau kamu sudah cinta saya bilang ya? Soalnya saya bukan peramal yang bisa tahu perasaanmu.|¤|SASYA benar-benar menepati kata-katanya sebelum pergi tadi. Wanita itu memborong banyak jenis dan merk make up. Menghabiskan hampir sebulan gaji suaminya. Agaza hanya bisa menghela napas sambil mengeluarkan kartu kreditnya dari dompet, menyerahkan kartu itu kepada pramuniaga dengan perasaan sedikit tidak rela.Setelah puas karena sudah mendapatkan apa yang ia inginkan sejak lama, Sasya kembali mengajak Agaza turun ke lantai dasar. Masuk ke restoran dan memilih menu makanan untuknya, tanpa perlu repot memesankan untuk Agaza juga. Dan kembali, uang dengan angka lima dan enam nol habis dalam hitungan jam saja. Lagi-lagi Agaza menghela napas, mengecek saldo rekeningnya melalui telepon pintar yang ... yang sudah bisa dipastikan bahwa sebulan ke depan Agaza harus bekerja lebih keras untuk mengembalikan isi rekeni
Yang bisa Sasya lakukan dari tadi hanya berjalan dan mendorong troli. Mereka sedang berada di modern market--sesuai dengan permintaan sang istri. Sasya yang memang seumur hidupnya tidak pernah ke pasar jadi tidak tahu keperluan apa saja yang biasa dibutuhkan untuk masak-memasak di dapur. Beberapa kali mengusulkan jenis makanan, tapi Agaza menolak. Ya, bagaimana tidak menolak jika yang ditawarkan itu makanan cepat saji? Agaza 'kan bukan penikmat makanan tidak sehat itu. Sesekali boleh, tapi bukan diletakkan sebagai persediaan. Kakinya sudah pegal, tapi sang suami belum juga selesai mencari stok makanan yang dibutuhkan. Akhirnya Sasya duduk, di bawah troli yang sedari tadi didorongnya. Bodo amat dengan tatapan aneh orang kepadanya. Agaza yang merasa tidak lagi mendengar protes dan keluhan dari sang istri langsung memutar lehernya ke belakang, mencari keberadaan Sasya yang ternyata sudah duduk dengan tidak tahu malunya di lorong market ini. Di antara sayur-mayur segar. Ia terkekeh dan
Sudah dua hari ini Agaza sibuk dengan pekerjaannya. Setelah kejadian malam itu, mereka belum pernah terlibat percakapan yang terlalu lama. Paling sekadar menyapa atau saling bertanya kegiatan apa yang keduanya lakukan setiap harinya. Semua cukup, karena kalau berlebihan Sasya takut jantungnya tidak akan kuat. Agaza itu kalau sudah perhatian manisnya tidak ketulungan! Tadi setelah Agaza pergi bekerja, Sasya juga pergi dari rumah. Ia menemui teman-teman sosialitanya, membicarakan banyak hal tentang make up, trend fashion, sepatu, serta tas branded. Dibesarkan dari kalangan atas, membuat Sasya tumbuh menjadi gadis manja dan suka menghambur-hamburkan uang-—jauh sekali dari khayalan orang tentang gadis kaya yang mandiri. Bersama dengan teman-temannya itu, Sasya bertemu di salah satu restoran ternama di ibu kota. Menikmati seporsi makanan kecil dengan harga selangit. Andai saja Sasya bukan orang kaya, maka dirinya juga akan sayang harus menghabiskan uang sebanyak itu. Tapi, berhubung ia
Sejak bangun dari tidurnya pagi tadi, Sasya sudah merasakan nyeri yang luar biasa di perutnya. Setelah mengecek ternyata benar, bahwa tamu istimewanya datang. Selama membereskan barang mereka, Sasya masih berusaha menahan sakitnya, tapi begitu mereka tiba di rumah milik Agaza ia tidak bisa menahannya lagi. Wanita itu langsung duduk sambil menekuk kakinya di sofa ruang tamu. Sementara suaminya mengurus beberapa perkara pada Pak RT agar tidak terjadi salah paham karena dirinya membawa seorang wanita ke rumahnya. Memang benar, orang sekitar rumahnya tidak tahu jika ia akan menikah karena Agaza sendiri jarang berada di rumah. Begitu Agaza sampai di rumah, yang ia dapati adalah koper Sasya yang masih tergeletak di lantai, sedangkan wanita itu meringkuk di atas sofa sambil meringis kecil. Didekatinya wanita yang berstatus sebagai istrinya itu, mengecek suhu tubuh Sasya dengan punggung tangannya. Ia beralih ke dapur untuk mengambil air dan menyuruh Sasya meminumnya. Wanita berusia dua pulu
Saat ini semua berkumpul di meja makan restoran hotel yang mereka sewa untuk acara pernikahan Sasya dan Agaza. Kedua orang tua Agaza sudah lebih dulu pulang karena Marina-neneknya Agaza-sudah harus kembali ke negara asalnya, Spanyol. Yap, Agaza memang memiliki darah campuran Spanyol-Arab. Tapi, ayahnya merantau ke Indonesia dan bertemu ibunya yang asli orang Jawa. Menikah dan tinggal di Indonesia sampai Agaza sebesar sekarang. Mereka hanya akan pulang kampung saat libur tiba. Sekarang hanya ada kedua orang tua Sasya, Bang Ghani, dan Mesya-kakak Agaza, Tante Mika, dan Bude Ria serta suami dua orang tua itu. Yang lain sudah pulang karena harus mengurus rumah dan ada acara lain di hari minggu yang cerah ini. Segala jenis makanan sudah terhidang di atas meja makan khusus keluarga mereka. Mulai dari masakan Nusantara hingga masakan perpaduan dua budaya. Sasya sendiri lebih suka makan masakan yang setengah matang. Misal, sayur yang direbus hanya lima menit, salmon atau tuna yang di pangga
Setelah mengucapkan ijab kabul tanpa kesalahan, kini Agaza bersanding dengan Sasya—istrinya—di pelaminan yang berada di bagian paling depan gedung pernikahan mereka. Menebar senyum manis—yang palsu—pada semua tamu yang melihat ke arah mereka. Sasya bahkan berkali-kali menggerutu karena acaranya lama sekali berakhir. Dan Agaza berusaha untuk memberi pengertian pada istri kecilnya itu. "Sebentar lagi, lima menit. Setelah itu kita langsung ke kamar, saya juga sudah lelah."Begitulah ucapannya empat menit tujuh belas detik yang lalu. Sasya masih harus menunggu beberapa detik untuk mengajak suaminya meninggalkan acara super mewah itu. Dia ingin istirahat dan sedikit bermain-main dengan Agaza. Pria pedofil yang beruntung menjadi suaminya."Ayo pergi, gue capek nih!" katanya serampangan. Tidak pakai etika sama sekali. Agaza menurut, menarik pinggang ramping istrinya untuk turun dari atas pelaminan dan berpamitan kepada kedua orang tua mereka. Yang dibalas dengan godaan dari semua yang mend