"Dasar Om-om genit!"
Pekikan seorang gadis yang sedang membawa tumpukan buku membuat suasana hening menjadi tegang. Mata sipitnya ia paksa untuk membola, menatap sosok tinggi berkacamata hitam lengkap dengan jas hitamnya.
"Apa kau tak punya mata, hah! Gara-gara kaca mata itu kau menabrakku!" Tangan gadis itu terulur, membuka paksa kacamata hitam yang menganggu pemandangan jalan sosok itu.
"Kau ini kenapa?" kata sosok tinggi di hadapannya kesal, merebut paksa kacamata miliknya ditangan sang gadis yang masih terpaku dengan mulut terbuka.
"Terpesona, huh?" tanya sosok di depannya dengan kedua tangan di lipat, tersenyum sangat manis.
"Aku?"
"Iya."
Gadis itu berdecak, dengan raut wajah yang dibuat jijik karena tingkat percaya diri sang laki-laki dewasa di depannya.
"Jackie Abian. Senang bertemu denganmu, Cantik," goda Jack mengedipkan sebelah matanya.
"Ternyata memang benar, kau seorang Om-om genit!"
Jack tertawa mendengar panggilan itu dari gadis cantik di depannya itu. Memakai kaca mata hitamnya, ia mendekat dua langkah ke hadapan gadis yang terus saja menatapnya penuh kesal.
"Alifa Aderald, nama yang cantik, secantik wajahmu," bisik Jack di depan telinga Alifa.
"Bagaimana kau tau namaku!"
"Hei!" Alifa masih berteriak keras, sedangkan Jack meninggalkannya tanpa kata. Alifa benar-benar kesal dengan sosok Om-om genit seperti itu.
"Sialan!"
***
"Maksud Ayah apa?" Jack yang baru melangkahkan kakinya kedalam ruangannya di hadang dengan pernyataan ayahnya yang membuatnya syok.
Dijodohkan. Jack langsung saja menghela nafasnya, bagaimana ia di jodohkan? Apa dirinya tidak laku sehingga ayahnya cepat memutuhkan untuk menjodohkannya.
"Ayah cuma mau yang terbaik untuk kamu, Nak," kata Bima, ayah Jack. Ia berjalan mendekati sofa yang ada di pojok ruangan, duduk dan menegakan tubuhnya.
"Jack--"
"Ayah. Aku tak mau menikah secepat ini, tolong mengerti." Jack mengacak rambutnya, ia duduk di singgasananya, tanpa mempedulikan tatapan ayahnya yang menajam.
"Jack, jangan permalukan keluarga kita. Ayah sudah menyetujui keputusan ini, dan ... ini adalah wasiat mendiang nenek mu."
"Ayah tak--"
"Demi kebaikanmu, Jack. Malam nanti kamu temui calon istrimu," kata Bima. Ia berdiri, berniat meninggalakan Jack sebelum sebuah ucapan Jack yang membuatnya terbelak.
"Aku sudah mencintai orang lain." Jack mengerutuki mulutnya yang asal bicara. Tapi entah kenapa, pikirannya tertuju pada seorang gadis yang tadi ia temui.
Gadis cantik, matanya sipit, pipi tembam yang sangat putih. Meskipun tingginya hanya sebatas dada nya, tapi gadis itu sangat imut.
"Siapa itu?" tanya Bima. Ia menolehkan kepalanya terkejut. Selama 28 tahun ia hidup bersama Jack, ia tak pernah mendengar kalimat itu dari putra sulungnya.
"Mengapa ayah terkejut?" tanya Jack santai.
"Kau mengucapkan hal itu, Jack. Tentu Ayah terkejut."
"Bukan hal luar biasa, kan?" Jack memutar kursinya, menatap jalanan yang ramai dari ketinggian lantai sepuluh perusahaannya.
Memejamkan matanya, ia yakin perasaan yang ia rasakan itu adalah cinta. Setelah sekian lama ia tak merasakan gemuruh di hatinya sekarang ia mendapatkannya lagi.
"Bagaimana bisa, Jack? Atau ... kau hanya ingin Ayah membatalkan nya karena kau berbicara seperti itu?" tebak Bima. Ia mendekat, duduk di kursi depan Jack, menatap wajah putranya yang tampak serius.
"Aku merasakannya lagi setelah enam tahun lalu, Ayah." Jack memejamkan matanya, jemarinya saling mengeras, ia tak mungkin lemah dengan semua ini lagi.
"Enam tahun? Bukan tiga tahun lalu?" Jack langsung membuka matanya, menatap sang ayah penuh selidik.
"Memangnya kenapa? Aku mencintai dia, dia orang di masalalu ku."
"Kenapa, Jack?"
"Apa maksud Ayah?" Jack berdiri, tubuh jangkungnya menjulang, sorot mata teduhnya menatap sang Ayah dengan sendu.
"Aku tak ingin menikah dengan pilihanmu, aku ingin menikahi gadis-ku."
"Siapa namanya?" tanya Bima serius. Ia tak akan percaya begitu saja dengan putranya itu. Bisa jadi dia hanya mengarang cerita agar ia tak jadi menjodohkan dirinya. Bima tau bagaimana putranya itu.
"Namanya Ali--"
Kring!
"Sebentar, Jack. Hallo?" Bima menjauhi Jack, keluar ruangan dengan ponsel yang ia dekatkan di telinganya, meninggalkan Jack yang sedang tersenyum.
"Mengapa sangat mudah untuk jatuh cinta padamu, Cantik."
Bersambung ...."Alifa Aderald?""Eh?"Alifa mendongkak, menatap ke arah sampingnya, tepatnya pada seseorang dengan seragam ojek online yang seperti kebingungan. Alifa juga bingung tentu saja."Bagaimana Bapak tau nama saya?" tanya Alifa pelan. Ia masih ingat jika yang di sampingnya itu adalah orang tua, dan ia harus menghormatinya.Berjalan di pinggiran jalan tak membuat dirinya di kasihani, kan? Alifa tak tau harus menggambarkan pertanyaan bapak itu seperti apa."Mbak yang memesan ojek online, kan?" Kening Alifa berkerut. Kapan dirinya memesan sebuah ojek online? Ia tak ingat jika ia memesannya."Tidak. Saya tida--""Tapi di sini tertera nama Mbak. Dan, ongkosnya juga sudah di bayar, Mbak." Lipatan di kening Alifa semakin terlihat, siapa yang membayarnya? Siapa yang memesankannya."Tapi saya tidak memesannya, Pak.""Sudah, Mbak mungkin ada yang baik hati menolong Mbak nya." Alifa menatap bapak itu tak percaya, siapa yang m
"A-apa tidak masalah? Saya jauh lebih tua dibandingkan putri Om," elak Jack.Jack tidak membayangkan akan di jodohkan dengan seseorang yang lebih muda darinya. Apa Ayahnya sudah tidak waras?"Nak, pernikahan itu tak masalah jika kalian terpaut umur yang jauh. Bukan masalah sepele, bahkan umur kalian tak sangat jauh, kan?" Jack mengangguk. Perkataan ibu dari calon istrinya menenangkan.Tapi tetap saja, Jack tak bisa menerima perjodohan itu. Perjodohan yang akan menjadi pernikahan tak bisa ia pertahankan, apalagi ia sudah terlanjur mencintai gadis lain."Tapi, cinta itu penting, kan?" tanya Jack hati-hati. Ia menatap Hikmal yang seperti bingung dengan pa yang di ucapkan Jack."Cinta itu datang karena terbiasa, Nak.""Tida--""Maksud Ayah apa, hah!" potong seorang gadis dengan emosi. Ia tak mengetuk bahkan mengucapkan salam, ia terlanjur emosi.Sebelumnya ia di telpon ayahnya, jika ia akan di jodohkan dengan seorang le
"Perjodohan gila!"Alifa menggerutu dalam setiap langkah menuju kamarnya. Ia mengepalkan kedua lengannya, dirinya begitu kecewa dengan keputusn sepihak orang tuanya.Ia dijodohkan, terlebih dengan seseorang yang baru saja ia kenal dan yang membuat dirinya kesal.Alifa berhenti sekejap, ia menyeritkan keningnya, ada yang salah dengan ponselnya."Siapa ini?" Alifa bingung, ia menemukan satu nomor yang tak ia kenal. Nomor itu terus menghubungi dirinya, di susul dengan panggilan dari nomor yang saangat ia kenali, mantan kekasihnya."Sialan! Lelaki gila itu menghubungiku ku lagi!"Kring ... kring ... kringDengan terpaksa, dan raut wajah yang tak suka, ia menerima panggilan itu. Mendekatkan ponsel miliknya ke telinga, berjalan ke kamar. "Apa!""Aku merindukanmu, Sayang." Alifa menghela nafasnya kasar, mendengar pernyataan suara di sebrang sana membuat Alifa kesal."Dengar, urusi saja urusnmu! Mengapa kau sel
"Masuk."Pintu berwarna coklat muda itu terbuka, membawa seorang gadis yang tengah memeluk sebuah paper bag di tangannya.Alifa, gadis yang dipaksa datang ke ruangan calon suaminya-- Jack atas dasar paksaan ibunya. Ia bisa menolak, tapi ia juga tak tega membiarkan ibunya sedih.Dengan terpaksa, dan langkah ogah-ogahan, Alifa berhasil datang di tempat yang sangat sunyi dan terlihat dingin itu dengan selamat.Mata sipitnya memindai ruangan, sepertinya sosok yang akan menjadi calon suaminya itu belum menyadari kehadirannya."Ekhm.""Bahkan dia selalu sibuk dengan kertas itu!" gumam Alifa dengan kesal.Jika tidak mengingat perkataan ibunya, Alifa ingin sekali melemparkan paper bag di tangannya dengan keras ke arah wajah sang calon suami!"Aku pergi!" pekik Alifa, sengaja agar Jack mengalihkan pandangannya, dan menatap ke arahnya.Bukan karena cemburu dengan kertas di tangan Jack, hanya saja ia sedang kesal, mood nya ti
Alifa mengedarkan pandangannya. Baru saja ia mendapat telpon dari sang mantan kekasih-- Bobby.Dengan penuh paksaan, Alifa mengiyakan ajakan, atau paksaan Bobby dengan berat hati.Ia menunggu datangnya jemputan Bobby di halte yang lumayan dekat dengan kantor Jack.Meskipun rasa takut mulai menjalar, Alifa yakin jika Bobby tak mungkin bisa menyakitinya lagi.Lagi-lagi ia harus merasakan terpaksa. Ia juga jujur masih sangat takut pada lelaki itu, tapi apa boleh buat."Hallo, Sayang."Alifa mendongkak, ia tersenyum paksa saat matanya menatap kehadiran Bobby yang tersenyum lebar dan sangat tulus di depannya."Hai.""Kamu selalu cantik, aku sampai pusing melihatnya," kata Bobby dengan gerlingan mata yang membuat Alifa memutar bola matanya malas.Pernyataan itu seakan angin yang berlalu di
"Siapa dia?"Jack tersadar dari lamunannya. Dengan refleks ia mendorong dengan tenaga wanita yang dengan kurang ajar duduk di pangkuannya.Ia bahkan tidak menatap sosok yang tengah meringis kesakitan itu. Pikirannya hanya dipenuhi wajah kecewa Alifa.Apa boleh Jack berharap jika Alifa tengah cemburu?Ia segera menggelengkan pemikiran nya. Ia segera berdiri, menatap Diana-- wanita yang menjadi mantan tunangannya dulu.Wanita itu tanpa di undang datang dan membuat kesalah pahaman yang telak membuat Alifa mungkin semakin membencinya."Apa kamu sudah kehilangan akalmu, Diana!" pekik Jack dengan keras.Jack teramat kesal karena perlakuan Diana yang se-enaknya datang dan membuat Alifanya salah paham.Jack boleh saja kan memanggil Alifa seperti itu?Beruntung ruangan Jack kedap suara, jadi p
Alifa dan segala amarahnya menjadi satu. Jika biasanya ia hanya bisa diam jika marah, kini bantingan pintu mobil Bobby yang menjadi sasarannya.Tanpa mempedulikan sang punya mobil, Alifa terus menatap tajam ke depan."Kamu kenapa, Sayang?" tanga Bobby khawatir.Wajah memerah Alifa yang sangat kontras, dengan napas memburu membuat Bobby dilanda rasa khawatir berlebih.Alifa adalah segalanya, oke."Bicara sesuatu, ada apa di dalam sana?" tanya Bobby dengan nada yang semakin melembut.Tapi tak ada sahutan dari sosok cantik di sampingnya, Bobby hanya menghela napas pelan."Baiklah kalo kamu belum mau bercerita," putus Bobby.Ia membiarkan Alifa tenang dulu, ia bisa menunggu sebentar. Meskipun sebenarnya rasa penasaran menggeronggoti dirinya, ia tetap bungkam."A-aku ngak tau aku kenapa," kata Alifa dengan suara yang tertahan.Suara itu sangat pelan, beruntung saja Bobby dan telinga peka nya mendengar apa yang di
"Dari mana kamu, Alifa!"Aura mencekam menyambut kedatangan Alifa. Baru kali ini Alifa pulang dengan keadaan yang sudah sangat malam, tepatnya jam sebelas malam."Jawab, Alifa!" bentak Hikmal. Ia berdiri, amarahnya sudah di ubun-ubun, tapi ia berusaha tak melayangkan pukulan pada putrinya."Tenang, Ayah," kata Hida sembari mengusap lengan atas Hikmal dengan sayang.Meskipun ia berusaha menenangkan sang suami, dirinya juga tengah menatap sang putri dengan tatapan kecewa.Ia tak habis pikir jika putrinya bisa pulang semalam ini, dan bersama seorang pria yang mengantarnya.Hida tak bisa berbohong saat ia melihat pemandangan itu. Meskipun setitik bahagia menghinggapi renung hatinya, jika sang putri telah memiliki orang yang ia sayangi.Tapi, mengingat bagaimana ia dan suami telah menjodohkannya, Hida dilanda kecewa."Kenapa kalian peduli?" tanya Alifa dengan tajam. Ia menatap kedua orang tuanya dengan dingin.Harusnya