"Masuk."
Pintu berwarna coklat muda itu terbuka, membawa seorang gadis yang tengah memeluk sebuah paper bag di tangannya.
Alifa, gadis yang dipaksa datang ke ruangan calon suaminya-- Jack atas dasar paksaan ibunya. Ia bisa menolak, tapi ia juga tak tega membiarkan ibunya sedih.
Dengan terpaksa, dan langkah ogah-ogahan, Alifa berhasil datang di tempat yang sangat sunyi dan terlihat dingin itu dengan selamat.
Mata sipitnya memindai ruangan, sepertinya sosok yang akan menjadi calon suaminya itu belum menyadari kehadirannya.
"Ekhm."
"Bahkan dia selalu sibuk dengan kertas itu!" gumam Alifa dengan kesal.
Jika tidak mengingat perkataan ibunya, Alifa ingin sekali melemparkan paper bag di tangannya dengan keras ke arah wajah sang calon suami!
"Aku pergi!" pekik Alifa, sengaja agar Jack mengalihkan pandangannya, dan menatap ke arahnya.
Bukan karena cemburu dengan kertas di tangan Jack, hanya saja ia sedang kesal, mood nya tidak akan pernah baik jika di sandingkan dengan Jack.
"Ah, tunggu!" balas Jack dengan memekik juga. Ia lantas berdiri menghampiri Alifa yang membelakanginya, tepat di depan pintu.
Jack membawa masuk tubuh tegang Alifa ke pelukannya. Meskipun Alifa hanya diam dan membulatkan matanya, Jack hanya memeluk tubuh kecil itu dengan sayang.
"Apa kau merindukanku, Cantik?" tanya Jack. Ia terkekeh saat mendapat pemberontakan di pelukannya.
Tapi dengan segenap tenaganya, Jack tak membiarkan Alifa lepas dari pelukannya, ia sudah terlalu nyaman.
"Maafkan aku, aku selalu terbawa suasana jika mengenai berkas-berkas," jelas Jack dengan lembut.
Ia mengusap-usap punggung Alifa, meskipun Alifa tetap saja berusaha menolaknya.
"Terserah," kata Alifa dengan penuh penekanan.
Ia ingin menjelaskan dari ucapannya tadi, jika ia sangat tak peduli dengan apa yang dikerjakan lelaki jangkung itu.
"Baiklah, ada apa datang ke sini?"
Alifa melepaskan pelukan itu, saat merasa pelukan Jack semakin melonggar. Ia segera mengambil ancang-ancang dengan mundur dan segera mendongkak.
"Sialan! Ini gara-gara mu!" pekik Alifa lagi. Ia merasa jika berbicara dengan Jack tak bisa santai, hanya hawa jahat yang mengelilinginya.
"Kau mengumpat, Sayang," ucap Jack dengan lembut. Ia membawa dirinya untuk mendekati Alifa, dan menggengam jemari lentik itu dengan lembut.
"Duduk, dulu."
Alifa menurut, ia juga membutuhkan kursi untuk ia duduki, karena jujur ia pun merasa pegal jika hanya berdiri saja.
"Kamu sangat cantik," celetuk Jack.
Alifa yang tadi hanya diam sambil meremas kedua lengannya pun melotot dibuatnya. Dadanya bergemuruh saat mendengar pernyataan Jack.
Harusnya ia biasa saja, tapi kenapa perasaan tak nyaman itu datang, membuat Alifa tak paham dengan dirinya sendiri.
"Aku sudah tau kalau kamu akan selalu tampil cantik, dima--"
"Makasih," potong Alifa dengan cepat.
Jack menggelengkan kepalanya melihat tingkah Alifa yang sangat menggemaskan baginya.
Alifa yang ketus membawanya semakin yakin jika ia benar-benar telah memilih Alifa untuk hatinya.
Hati orang takkan pernah salah, 'kan?
"Aku pulang," kata Alifa. Ia berdiri, sedangkan Jack menatap dirinya dengan alis terangkat sebelah.
"Kenapa terburu-buru, hmz?"
"Bukan urusanmu!" kata Alifa tegas. Ia mengabaikan Jack, tugasnya sudah selesai, jadi ia lebih baik pergi dari ruangan, dan kantor milik keluarga Jack itu.
Bunyi sepatu saling bersahutan milik Alifa saja yang Jack dengan saat itu. Pandangan matanya menggelap, menatap punggung kecil itu yang semakin menghilang di telan pintu.
"Aku merindukanmu .... "
Bersambung ....
Alifa mengedarkan pandangannya. Baru saja ia mendapat telpon dari sang mantan kekasih-- Bobby.Dengan penuh paksaan, Alifa mengiyakan ajakan, atau paksaan Bobby dengan berat hati.Ia menunggu datangnya jemputan Bobby di halte yang lumayan dekat dengan kantor Jack.Meskipun rasa takut mulai menjalar, Alifa yakin jika Bobby tak mungkin bisa menyakitinya lagi.Lagi-lagi ia harus merasakan terpaksa. Ia juga jujur masih sangat takut pada lelaki itu, tapi apa boleh buat."Hallo, Sayang."Alifa mendongkak, ia tersenyum paksa saat matanya menatap kehadiran Bobby yang tersenyum lebar dan sangat tulus di depannya."Hai.""Kamu selalu cantik, aku sampai pusing melihatnya," kata Bobby dengan gerlingan mata yang membuat Alifa memutar bola matanya malas.Pernyataan itu seakan angin yang berlalu di
"Siapa dia?"Jack tersadar dari lamunannya. Dengan refleks ia mendorong dengan tenaga wanita yang dengan kurang ajar duduk di pangkuannya.Ia bahkan tidak menatap sosok yang tengah meringis kesakitan itu. Pikirannya hanya dipenuhi wajah kecewa Alifa.Apa boleh Jack berharap jika Alifa tengah cemburu?Ia segera menggelengkan pemikiran nya. Ia segera berdiri, menatap Diana-- wanita yang menjadi mantan tunangannya dulu.Wanita itu tanpa di undang datang dan membuat kesalah pahaman yang telak membuat Alifa mungkin semakin membencinya."Apa kamu sudah kehilangan akalmu, Diana!" pekik Jack dengan keras.Jack teramat kesal karena perlakuan Diana yang se-enaknya datang dan membuat Alifanya salah paham.Jack boleh saja kan memanggil Alifa seperti itu?Beruntung ruangan Jack kedap suara, jadi p
Alifa dan segala amarahnya menjadi satu. Jika biasanya ia hanya bisa diam jika marah, kini bantingan pintu mobil Bobby yang menjadi sasarannya.Tanpa mempedulikan sang punya mobil, Alifa terus menatap tajam ke depan."Kamu kenapa, Sayang?" tanga Bobby khawatir.Wajah memerah Alifa yang sangat kontras, dengan napas memburu membuat Bobby dilanda rasa khawatir berlebih.Alifa adalah segalanya, oke."Bicara sesuatu, ada apa di dalam sana?" tanya Bobby dengan nada yang semakin melembut.Tapi tak ada sahutan dari sosok cantik di sampingnya, Bobby hanya menghela napas pelan."Baiklah kalo kamu belum mau bercerita," putus Bobby.Ia membiarkan Alifa tenang dulu, ia bisa menunggu sebentar. Meskipun sebenarnya rasa penasaran menggeronggoti dirinya, ia tetap bungkam."A-aku ngak tau aku kenapa," kata Alifa dengan suara yang tertahan.Suara itu sangat pelan, beruntung saja Bobby dan telinga peka nya mendengar apa yang di
"Dari mana kamu, Alifa!"Aura mencekam menyambut kedatangan Alifa. Baru kali ini Alifa pulang dengan keadaan yang sudah sangat malam, tepatnya jam sebelas malam."Jawab, Alifa!" bentak Hikmal. Ia berdiri, amarahnya sudah di ubun-ubun, tapi ia berusaha tak melayangkan pukulan pada putrinya."Tenang, Ayah," kata Hida sembari mengusap lengan atas Hikmal dengan sayang.Meskipun ia berusaha menenangkan sang suami, dirinya juga tengah menatap sang putri dengan tatapan kecewa.Ia tak habis pikir jika putrinya bisa pulang semalam ini, dan bersama seorang pria yang mengantarnya.Hida tak bisa berbohong saat ia melihat pemandangan itu. Meskipun setitik bahagia menghinggapi renung hatinya, jika sang putri telah memiliki orang yang ia sayangi.Tapi, mengingat bagaimana ia dan suami telah menjodohkannya, Hida dilanda kecewa."Kenapa kalian peduli?" tanya Alifa dengan tajam. Ia menatap kedua orang tuanya dengan dingin.Harusnya
"Apa sebaiknya kita bicarakan dengan Alifa dulu, Yah?""Tidak perlu. Anak itu harus di beri pelajaran!""Tapi Alifa hanya syok mendengarnya, dan dia mungkin akan tambah syok denga--""Tugasmu meyakinkan dia, Sayang.""Aku tidak yakin akan bisa."Langkah tergesa Alifa menjadi melemah saat mendengar percakapan orang tuanya dari ruang makan.Suaranya yang semangat tak jadi ia keluarkan. Ia semakin merapatkan bibirnya saat mendengar lagi apa yang mereka katakan."Pernikahan mereka akan di majukan.""Kita bicarakan dul--""Keluarga Jack bahkan sudah setuju, Sayang. Tak ada yang harus di khawatirkan."Alifa meremas tas gendong di genggamannya. Ayahnya sangat ambisius untuk menikahkan dirinya, bahkan ibunya saja sudah tak berdaya dengan keputusan sepihak itu.
Sesuai dengan rencana yang dibuatnya, Alifa tengah duduk dengan nyaman di sebuah restoran, tengah menunggu Jack.Iya, Jack. Semula Alifa ingin mengunjungi kantor Jack, tentu karena paksaan ayahnya, jika bukan Alifa lebih memilih tidur seharian."Laki-laki itu mengapa sangat lambat!" gerutu Alifa. Ia hampir setengah jam menunggu kedatangan Jack.Apa ayahnya lupa memberitahu pertemuan mereka pada Jack?"Maaf terlambat."Alifa mendengus mendengar suara itu. Ia menatap tajam Jack yang entah kenapa semakin tampan di matanya.Jas hitam yang ia sampaikan di tangan kanannya, dengan kemeja biru laut yang ia lipat sampai siku membuat Jack semakin tampan.Oh, iya, jangan lupakan kaca mata berframe hitam yang membingkai rahang tegasnya.Ternyata memang benar dugaan awalnya itu, lelaki seperti Jack, yang berpenampilan
"Tolong, aku cuma mau sendirian dulu.""Ngak bisa gitu, Sayang. Aku ngak mung--""Bobby! Aku cuma mau nenangin diri!" bentak Alifa kesal. Ia menumpukan dagunya di kedua tangannya. Taman kota yang lumayan ramai harusnya bukan tempat Alifa. Harusnya ia pulang saja, bukan malah mengajak Bobby untuk pergi ke tempat ramai ini."Calm down, Baby. Aku akan membeli minuman untukmu dulu. Okay?" Alifa mengangguk kecil. Ia tak menatap Bobby yang tengah penasaran akan kekasih hatinya itu.Bobby melenggang, meninggalkan Alifa yang tengah termenung di duduknya. Bobby ingin menuruti perkataan Alifa tentang menyendiri. Bobby sangat gantle, kan?"Ada apa denganmu, Sayang?" bisik Bobby pada dirinya sendiri. Ia menoleh ke belakang, tepat pada Alifa yang masih di sana, tak bergeser se-incipun.Melihat kekasihnya yang tengah murung, entah karena apa membuat Bobby khawatir. Ia takut jika Alifa terkena masalah yang besar.
"Aku sangat mencintaimu. Wanita yang kamu lihat kemarin hanya masalaluku. Sahabat dekatku, tak lebih."Alifa diam tak membalas pengakuan Jack. Ia hanya meremas kemeja belakang Jack dengan erat, dengan wajah yang terbenam sempurna di dada bidang Jack.Alifa ingin mengelak, ingin menutup telinganya dengan rapat, tapi, mendengar suara Jack yang penuh kelembutan dan terdengar tulus membuatnya luluh."Aku akan mengenalkanmu pada Diana," kata Jack dengan tegas. Mendengar itu Alifa langsung mundur dan melepaskan paksa pelukan mereka dan menatap Jack dengan tatapan sulit di artikan."Iya, aku ngak mau ada kesalah pahaman di antara kita, Alifa.""Kenapa?" gumam Alifa namun masih bisa di dengar Jack dengan jelas.Jack tersenyum dan membawa kedua tangan Alifa kedalam genggaman lengan besarnya. "Karena kamu calon istriku."Perasaan Jack sangat tulus, ia sangat mencintai Alifa dengan hatinya. Bukan hanya karena perjodohan,