"Perjodohan gila!"
Alifa menggerutu dalam setiap langkah menuju kamarnya. Ia mengepalkan kedua lengannya, dirinya begitu kecewa dengan keputusn sepihak orang tuanya.
Ia dijodohkan, terlebih dengan seseorang yang baru saja ia kenal dan yang membuat dirinya kesal.
Alifa berhenti sekejap, ia menyeritkan keningnya, ada yang salah dengan ponselnya.
"Siapa ini?" Alifa bingung, ia menemukan satu nomor yang tak ia kenal. Nomor itu terus menghubungi dirinya, di susul dengan panggilan dari nomor yang saangat ia kenali, mantan kekasihnya.
"Sialan! Lelaki gila itu menghubungiku ku lagi!"
Kring ... kring ... kring
Dengan terpaksa, dan raut wajah yang tak suka, ia menerima panggilan itu. Mendekatkan ponsel miliknya ke telinga, berjalan ke kamar. "Apa!"
"Aku merindukanmu, Sayang." Alifa menghela nafasnya kasar, mendengar pernyataan suara di sebrang sana membuat Alifa kesal.
"Dengar, urusi saja urusnmu! Mengapa kau selalu saja menggangguku!" pekik Alifa kesal, bahkan ia hampir saja melempar ponselnya saing kesalnya.
"Aku merindukanmu, apa itu salah?" Suara bass itu kembali menyapa indra pendengaran Alifa. Suara yang dulunya sangat Alifa nikmati, sebelum sikap orang itu yang merusak semuanya.
Obsesi gila yang hampir membuat Alifa merenggang nyawa gara-gara lelaki yang sedang menelpon dirinya sekarang, mungkin meneror, bukan menelpon.
"Sangat salah! Aku tak mau di rindu--"
"Jangan munafik, Sayang. Aku tau kamu merindukan diriku, 'kan?"
Alifa mengumpati Bobby, mantan kekasihnya itu dengan kesal.
"Jangan bicara lagi! Aku sudah mua--"
"Aku mencintaimu, Alifa. Siapa yang mencintaimu sebesar diriku, hmz?"
"Diam. Itu semua omong kosong! Apa k--"
"Aku mencintaimu, Alifa!" bentak Bobby.
"Tapi aku mencintai orang lain!" Sadar dengan ucapannnya, Alifa langsung memukul pelan bibirya, bisa-bisanya ia membuat situasi semakin tak terkendali.
Alifa langsung meralat ucapannya, "Ma-maksudku bukan seperti--"
"Siapa orang itu?"
"Apa?"
"Siapa orang yang kamu cintai, selain diriku, Alifa Aderald!" Alifa merinding mendengar suara Bobby yang menjadi dingin.
"Aku akan membunuhnya!" pekik Bobby yang membuat Alifa semakin mengerutuki mulutnya yang sembarangan berucap.
Alifa sudah muak dengan semua ancaman yang di layangkan Bobby terhadapnya.
Alifa memijat keningnya pelan, urusan dengan orang tuanya saja belum jelas, tapi Bobby semakin membuat dirinya kesal.
"Apa maumu?" tanya Alifa dengan malas. Jika sudah begini, ia jelas tau apa yang akan Bobby katakan selanjutnya.
"Kita kencan."
"Tidak. Aku tak mau! Kita sudah tidak--"
"Aku jemput."
"Bobby! Bobby! Sialan!" Alifa melemparkan ponselnya ke atas tempat tidur.
Tak ada pilihan lain, Alifa harus menyetujui keinginan Bobby jika tak mau dirinya kenapa-napa.
"Sialan! Mengapa aku pernah mencintai sosok idiot itu!" dengus Alifa. Ia membanting pintu kamar mandinya dengan kesal.
"Bobby brengsek!"
***
"Mau kemana kamu?"
"Bukan urusan Ayah," balas Alifa tak kalah ketus. Ia melirik ke kiri, tepat pada sosok yang sangat Alifa hindari, Jack.
Pria dewasa itu masih saja duduk di sana, apa dirinya tak bosan? Berbicara bisnis dengan sang Ayah. Alifa mendengus kesal, ia harus bertemu dengan dua lelaki yang sama gilanya.
"Diam disana!" pekik Alifa refleks. Ia melihat Jack yang akan berdiri dari duduknya, bukan percaya diri, tapi Alifa yakin jika Jack akan mendekati dirinya.
"Jaga sikapmu, Alifa," geram Hikmal. Ia menatap tajam Alifa, sedangkan Alifa hanya memutar bola matanya malas menghadapi orang-orang yang memuakan itu di hadapannya.
"Alifa sayang, kamu mau kemana, hmz?" Suara lembut milik ibunya terdengar lembur di telinga Alifa, ia jadi tak tega untuk mengabaikan ibunya begitu saja.
Alifa membalikan badannya, menatap sosok ibunya dengan senyuman yang sangat manis, berharap ibunya akan mengijinkan dirinya pergi, jika tidak, sosok gila-- Bobby-- akan kembali berulah.
"Hentikan senyuman konyolmu itu. Ayah tak akan membiarkan kamu keluar dari rumah ini!"
"Ayah diam! Aku masih marah kepada Ayah!" Alifa membuang pandangannya, menatap kembali ibunya dengan lembut, membawa tubuhnya ke hadapan sang ibu.
"Bunda, aku mau pergi sebentar. Boleh, ya?" tanya Alifa dengan mengerjapkan matanya lucu, membuat sepasang mata menatap dirinya gemas.
"Tidak. Sayang, jangan beri izin pada gadis nakal itu," kata Hikmal dengan setengah bercanda.
"Ayolah, Bunda. Ya?"
"Tetap tidak--"
"Ayah menyebalkan!"
"Boleh," kata Hida. Alifa langsung menatap sang ibu dengan mata berbinar, ia memegang kedua lengan halus ibunya, menggenggam dengan senyuman yang sangat manis.
"Bunda memang sangat baik. Terima--"
"Tapi," kata Hima menjeda ucapannya. Ia menelisik ekspresi sang putri dan sang suami yang terlihat bingung. Hima melanjutkan ucapannya, "Kamu harus pergi bersama Jack, calon suamimu."
Alifa terbelak. "Tidak. Aku akan pergi sendir--"
"Ya sudah, tidak Bunda izinkan."
"Bunda menyebalkan," ucap Alifa merengek. Ia mencebikan bibirnya, sembari mengembungkan kedua pipinya yang membuatnya semakin imut.
"Berhenti membuat ekspresi seperti itu. Apa kamu tak malu di lihat calon suamimu sendiri?" celetuk Hikma dengan kekehan di akhirnya.
Bersambung ….
"Masuk."Pintu berwarna coklat muda itu terbuka, membawa seorang gadis yang tengah memeluk sebuah paper bag di tangannya.Alifa, gadis yang dipaksa datang ke ruangan calon suaminya-- Jack atas dasar paksaan ibunya. Ia bisa menolak, tapi ia juga tak tega membiarkan ibunya sedih.Dengan terpaksa, dan langkah ogah-ogahan, Alifa berhasil datang di tempat yang sangat sunyi dan terlihat dingin itu dengan selamat.Mata sipitnya memindai ruangan, sepertinya sosok yang akan menjadi calon suaminya itu belum menyadari kehadirannya."Ekhm.""Bahkan dia selalu sibuk dengan kertas itu!" gumam Alifa dengan kesal.Jika tidak mengingat perkataan ibunya, Alifa ingin sekali melemparkan paper bag di tangannya dengan keras ke arah wajah sang calon suami!"Aku pergi!" pekik Alifa, sengaja agar Jack mengalihkan pandangannya, dan menatap ke arahnya.Bukan karena cemburu dengan kertas di tangan Jack, hanya saja ia sedang kesal, mood nya ti
Alifa mengedarkan pandangannya. Baru saja ia mendapat telpon dari sang mantan kekasih-- Bobby.Dengan penuh paksaan, Alifa mengiyakan ajakan, atau paksaan Bobby dengan berat hati.Ia menunggu datangnya jemputan Bobby di halte yang lumayan dekat dengan kantor Jack.Meskipun rasa takut mulai menjalar, Alifa yakin jika Bobby tak mungkin bisa menyakitinya lagi.Lagi-lagi ia harus merasakan terpaksa. Ia juga jujur masih sangat takut pada lelaki itu, tapi apa boleh buat."Hallo, Sayang."Alifa mendongkak, ia tersenyum paksa saat matanya menatap kehadiran Bobby yang tersenyum lebar dan sangat tulus di depannya."Hai.""Kamu selalu cantik, aku sampai pusing melihatnya," kata Bobby dengan gerlingan mata yang membuat Alifa memutar bola matanya malas.Pernyataan itu seakan angin yang berlalu di
"Siapa dia?"Jack tersadar dari lamunannya. Dengan refleks ia mendorong dengan tenaga wanita yang dengan kurang ajar duduk di pangkuannya.Ia bahkan tidak menatap sosok yang tengah meringis kesakitan itu. Pikirannya hanya dipenuhi wajah kecewa Alifa.Apa boleh Jack berharap jika Alifa tengah cemburu?Ia segera menggelengkan pemikiran nya. Ia segera berdiri, menatap Diana-- wanita yang menjadi mantan tunangannya dulu.Wanita itu tanpa di undang datang dan membuat kesalah pahaman yang telak membuat Alifa mungkin semakin membencinya."Apa kamu sudah kehilangan akalmu, Diana!" pekik Jack dengan keras.Jack teramat kesal karena perlakuan Diana yang se-enaknya datang dan membuat Alifanya salah paham.Jack boleh saja kan memanggil Alifa seperti itu?Beruntung ruangan Jack kedap suara, jadi p
Alifa dan segala amarahnya menjadi satu. Jika biasanya ia hanya bisa diam jika marah, kini bantingan pintu mobil Bobby yang menjadi sasarannya.Tanpa mempedulikan sang punya mobil, Alifa terus menatap tajam ke depan."Kamu kenapa, Sayang?" tanga Bobby khawatir.Wajah memerah Alifa yang sangat kontras, dengan napas memburu membuat Bobby dilanda rasa khawatir berlebih.Alifa adalah segalanya, oke."Bicara sesuatu, ada apa di dalam sana?" tanya Bobby dengan nada yang semakin melembut.Tapi tak ada sahutan dari sosok cantik di sampingnya, Bobby hanya menghela napas pelan."Baiklah kalo kamu belum mau bercerita," putus Bobby.Ia membiarkan Alifa tenang dulu, ia bisa menunggu sebentar. Meskipun sebenarnya rasa penasaran menggeronggoti dirinya, ia tetap bungkam."A-aku ngak tau aku kenapa," kata Alifa dengan suara yang tertahan.Suara itu sangat pelan, beruntung saja Bobby dan telinga peka nya mendengar apa yang di
"Dari mana kamu, Alifa!"Aura mencekam menyambut kedatangan Alifa. Baru kali ini Alifa pulang dengan keadaan yang sudah sangat malam, tepatnya jam sebelas malam."Jawab, Alifa!" bentak Hikmal. Ia berdiri, amarahnya sudah di ubun-ubun, tapi ia berusaha tak melayangkan pukulan pada putrinya."Tenang, Ayah," kata Hida sembari mengusap lengan atas Hikmal dengan sayang.Meskipun ia berusaha menenangkan sang suami, dirinya juga tengah menatap sang putri dengan tatapan kecewa.Ia tak habis pikir jika putrinya bisa pulang semalam ini, dan bersama seorang pria yang mengantarnya.Hida tak bisa berbohong saat ia melihat pemandangan itu. Meskipun setitik bahagia menghinggapi renung hatinya, jika sang putri telah memiliki orang yang ia sayangi.Tapi, mengingat bagaimana ia dan suami telah menjodohkannya, Hida dilanda kecewa."Kenapa kalian peduli?" tanya Alifa dengan tajam. Ia menatap kedua orang tuanya dengan dingin.Harusnya
"Apa sebaiknya kita bicarakan dengan Alifa dulu, Yah?""Tidak perlu. Anak itu harus di beri pelajaran!""Tapi Alifa hanya syok mendengarnya, dan dia mungkin akan tambah syok denga--""Tugasmu meyakinkan dia, Sayang.""Aku tidak yakin akan bisa."Langkah tergesa Alifa menjadi melemah saat mendengar percakapan orang tuanya dari ruang makan.Suaranya yang semangat tak jadi ia keluarkan. Ia semakin merapatkan bibirnya saat mendengar lagi apa yang mereka katakan."Pernikahan mereka akan di majukan.""Kita bicarakan dul--""Keluarga Jack bahkan sudah setuju, Sayang. Tak ada yang harus di khawatirkan."Alifa meremas tas gendong di genggamannya. Ayahnya sangat ambisius untuk menikahkan dirinya, bahkan ibunya saja sudah tak berdaya dengan keputusan sepihak itu.
Sesuai dengan rencana yang dibuatnya, Alifa tengah duduk dengan nyaman di sebuah restoran, tengah menunggu Jack.Iya, Jack. Semula Alifa ingin mengunjungi kantor Jack, tentu karena paksaan ayahnya, jika bukan Alifa lebih memilih tidur seharian."Laki-laki itu mengapa sangat lambat!" gerutu Alifa. Ia hampir setengah jam menunggu kedatangan Jack.Apa ayahnya lupa memberitahu pertemuan mereka pada Jack?"Maaf terlambat."Alifa mendengus mendengar suara itu. Ia menatap tajam Jack yang entah kenapa semakin tampan di matanya.Jas hitam yang ia sampaikan di tangan kanannya, dengan kemeja biru laut yang ia lipat sampai siku membuat Jack semakin tampan.Oh, iya, jangan lupakan kaca mata berframe hitam yang membingkai rahang tegasnya.Ternyata memang benar dugaan awalnya itu, lelaki seperti Jack, yang berpenampilan
"Tolong, aku cuma mau sendirian dulu.""Ngak bisa gitu, Sayang. Aku ngak mung--""Bobby! Aku cuma mau nenangin diri!" bentak Alifa kesal. Ia menumpukan dagunya di kedua tangannya. Taman kota yang lumayan ramai harusnya bukan tempat Alifa. Harusnya ia pulang saja, bukan malah mengajak Bobby untuk pergi ke tempat ramai ini."Calm down, Baby. Aku akan membeli minuman untukmu dulu. Okay?" Alifa mengangguk kecil. Ia tak menatap Bobby yang tengah penasaran akan kekasih hatinya itu.Bobby melenggang, meninggalkan Alifa yang tengah termenung di duduknya. Bobby ingin menuruti perkataan Alifa tentang menyendiri. Bobby sangat gantle, kan?"Ada apa denganmu, Sayang?" bisik Bobby pada dirinya sendiri. Ia menoleh ke belakang, tepat pada Alifa yang masih di sana, tak bergeser se-incipun.Melihat kekasihnya yang tengah murung, entah karena apa membuat Bobby khawatir. Ia takut jika Alifa terkena masalah yang besar.