"Alifa Aderald?"
"Eh?"
Alifa mendongkak, menatap ke arah sampingnya, tepatnya pada seseorang dengan seragam ojek online yang seperti kebingungan. Alifa juga bingung tentu saja.
"Bagaimana Bapak tau nama saya?" tanya Alifa pelan. Ia masih ingat jika yang di sampingnya itu adalah orang tua, dan ia harus menghormatinya.
Berjalan di pinggiran jalan tak membuat dirinya di kasihani, kan? Alifa tak tau harus menggambarkan pertanyaan bapak itu seperti apa.
"Mbak yang memesan ojek online, kan?" Kening Alifa berkerut. Kapan dirinya memesan sebuah ojek online? Ia tak ingat jika ia memesannya.
"Tidak. Saya tida--"
"Tapi di sini tertera nama Mbak. Dan, ongkosnya juga sudah di bayar, Mbak." Lipatan di kening Alifa semakin terlihat, siapa yang membayarnya? Siapa yang memesankannya.
"Tapi saya tidak memesannya, Pak."
"Sudah, Mbak mungkin ada yang baik hati menolong Mbak nya." Alifa menatap bapak itu tak percaya, siapa yang menolongnya? Apakah ayahnya? Alifa akan menanyakannya nanti.
Sekarang, ia harus menikmati dulu tumpangan gratis ini, meskipun ia harus panas-panasan, tak masalah. "Ayo, Mbak."
Poni gadis itu bergerak seiring sang pemilik menganggukan kepalanya, segera mengambil helm yang di sodorkan, naik dengan tenang.
Meskipun ia masih duduk diam, sesekali menoleh ke belakang, ia merasa sedang ada yang mengamati punggungnya dengan intens.
"Siapa yang nolongin aku?" Pertanyaan itu selalu muncul di hati Alifa. Ia masih tak tenang jika ia belum tau siapa yang berbuat baik padanya.
"Kenapa tidak daritadi, Cantik?"
***"Permisi."Tok ... tok ... tok
"Permisi," sapa Jack lagi. Ia mengetuk pintu berwarna coklat mud itu dengan pelan, berharap seseorang akan muncul di balik pintu. "Permisi, apa ada orang?"
Jack menghela nafas pelan, ia sudah beberapa menit berdiri di depan pintu, ia menggulung lengan kemeja nya sampai ke siku, membuka kacamata hitamnya, sambil mencoba memanggil orng rumah itu.
"Permis--"
"Astaga, maafkan saya, Den. Silahkan masuk," kata seorang wanita paruh baya.
Jack hanya mengangguk, berlajan memasuki rumah itu dengan tenang. Ia berharap jika ia tak bertemu dengan seseorang yang kan dijodohkan dengannya.
Ruangan tamu yang minimalis. Deretan lukisan mempercantik ruangan, tapi mata teduh Jack tak menemukan poto sebuah keluarga, atau poto seorang wanita di ruangan itu.
"Silahkan duduk, Den. Saya panggilkan nyonya dan tuan dulu." Suara itu mengintrupsi jack, ia menolehkan kepalanya, mengangguk singkat.
"Dimana semua poto gadis itu?" gumam Jack. Ia menatap sekeliling, rumah itu sangatlah sepi, ia jadi penasaran bagaimana rupa pemilik rumah ini.
"Astaga, nak Jack, silahkan duduk dulu."
Jack tersenyum canggung, ia mendekat meraih lengan lentik milik wanita yang Jack tebak adalah ibu dari wanita yang akan dijodohkan dengannya.
"Selamat siang, Tante," sapa Jack.
"Silahkan duduk, Nak." Jack menurut, ia mendudukan dirinya, menghela nafas gugup. Kenapa ia harus gugup, ia bahkan belum bertemu dengan calon istrinya.
"Perkenalkan, nama saya Hida. Kamu bisa memanggil saya Bunda."
"Eh?" Jack seperti orang linglung saja, ia menatap Hida dengan kening berkerut. "S-saya Jack, Tan-- Bunda."
"Bunda seneng dengernya," katanya dengan nada sangat riang. Jack semakin canggung saja berada di sini.
Tapi, Jack berharap jika wanita itu akan menolak perjodohan ini, semoga. "Kenapa kamu melamun, Nak?"
"Eh?"
"Kamu kenapa melamun?"
"Saya? Tidak, Tante. Saya hany--"
"Bunda, Nak. Ja--"
"Selamat siang, calon menantuku."
Hikmal, suami Hida turun dari tangga dengan senyuman mengembang. Ia merentangkan kedua tangannya, bermaksud akan memeluk Jack, tapi Jack tidak peka. Ia hanya menatap Hikmal dengan alis terangkat.
"Kau tak mau memeluku, Jack-jack?" kekeh nya.
"Mengapa Om bisa tau nama kecil saya?" tanya Jack bingung. Ayah nya tak mungkin kan memberitahukan nama kecilnya, untuk apa juga.
"Kau melupakan aku? Ckck, ternyata Jack-jack sudah dewasa," katanya lagi. Ia mendekati Jack, menepuk bahu Jack.
Tidak terasa, jika Jack sangatlah tinggi. Ia hanya sebatas bahunya, Hikma menatap kagum putra sahabatnya itu. Semoga perjodohannya ini akan berjalan dengan baik.
"Baiklah, kita mulai perbincangan ini. Bagaimana, Jack?" Nada serius dari perkataan Hikmal membuat Jack yakin dengan usaha mereka menjodohkan putri mereka dengan dirinya.
Jack semakin bingung, bagaimana menolak perjodohan ini. Ia akan mempertahankan cintanya kepada gadis yang ia temui tadi pagi. Apakah impian itu akn sulit Jack laksanakan?
"Putri saya baru menginjak umur 21, kuliah jurusan seni musik semester lima."
"Tapi umur saya sudah 28, Om."
"Lalu?" tanya Hikmal bingung. Ia menatap sang istri yang sama bingunya dengan dirinya.
"Tentu saja aku tidak mau."
Bersambung ...."A-apa tidak masalah? Saya jauh lebih tua dibandingkan putri Om," elak Jack.Jack tidak membayangkan akan di jodohkan dengan seseorang yang lebih muda darinya. Apa Ayahnya sudah tidak waras?"Nak, pernikahan itu tak masalah jika kalian terpaut umur yang jauh. Bukan masalah sepele, bahkan umur kalian tak sangat jauh, kan?" Jack mengangguk. Perkataan ibu dari calon istrinya menenangkan.Tapi tetap saja, Jack tak bisa menerima perjodohan itu. Perjodohan yang akan menjadi pernikahan tak bisa ia pertahankan, apalagi ia sudah terlanjur mencintai gadis lain."Tapi, cinta itu penting, kan?" tanya Jack hati-hati. Ia menatap Hikmal yang seperti bingung dengan pa yang di ucapkan Jack."Cinta itu datang karena terbiasa, Nak.""Tida--""Maksud Ayah apa, hah!" potong seorang gadis dengan emosi. Ia tak mengetuk bahkan mengucapkan salam, ia terlanjur emosi.Sebelumnya ia di telpon ayahnya, jika ia akan di jodohkan dengan seorang le
"Perjodohan gila!"Alifa menggerutu dalam setiap langkah menuju kamarnya. Ia mengepalkan kedua lengannya, dirinya begitu kecewa dengan keputusn sepihak orang tuanya.Ia dijodohkan, terlebih dengan seseorang yang baru saja ia kenal dan yang membuat dirinya kesal.Alifa berhenti sekejap, ia menyeritkan keningnya, ada yang salah dengan ponselnya."Siapa ini?" Alifa bingung, ia menemukan satu nomor yang tak ia kenal. Nomor itu terus menghubungi dirinya, di susul dengan panggilan dari nomor yang saangat ia kenali, mantan kekasihnya."Sialan! Lelaki gila itu menghubungiku ku lagi!"Kring ... kring ... kringDengan terpaksa, dan raut wajah yang tak suka, ia menerima panggilan itu. Mendekatkan ponsel miliknya ke telinga, berjalan ke kamar. "Apa!""Aku merindukanmu, Sayang." Alifa menghela nafasnya kasar, mendengar pernyataan suara di sebrang sana membuat Alifa kesal."Dengar, urusi saja urusnmu! Mengapa kau sel
"Masuk."Pintu berwarna coklat muda itu terbuka, membawa seorang gadis yang tengah memeluk sebuah paper bag di tangannya.Alifa, gadis yang dipaksa datang ke ruangan calon suaminya-- Jack atas dasar paksaan ibunya. Ia bisa menolak, tapi ia juga tak tega membiarkan ibunya sedih.Dengan terpaksa, dan langkah ogah-ogahan, Alifa berhasil datang di tempat yang sangat sunyi dan terlihat dingin itu dengan selamat.Mata sipitnya memindai ruangan, sepertinya sosok yang akan menjadi calon suaminya itu belum menyadari kehadirannya."Ekhm.""Bahkan dia selalu sibuk dengan kertas itu!" gumam Alifa dengan kesal.Jika tidak mengingat perkataan ibunya, Alifa ingin sekali melemparkan paper bag di tangannya dengan keras ke arah wajah sang calon suami!"Aku pergi!" pekik Alifa, sengaja agar Jack mengalihkan pandangannya, dan menatap ke arahnya.Bukan karena cemburu dengan kertas di tangan Jack, hanya saja ia sedang kesal, mood nya ti
Alifa mengedarkan pandangannya. Baru saja ia mendapat telpon dari sang mantan kekasih-- Bobby.Dengan penuh paksaan, Alifa mengiyakan ajakan, atau paksaan Bobby dengan berat hati.Ia menunggu datangnya jemputan Bobby di halte yang lumayan dekat dengan kantor Jack.Meskipun rasa takut mulai menjalar, Alifa yakin jika Bobby tak mungkin bisa menyakitinya lagi.Lagi-lagi ia harus merasakan terpaksa. Ia juga jujur masih sangat takut pada lelaki itu, tapi apa boleh buat."Hallo, Sayang."Alifa mendongkak, ia tersenyum paksa saat matanya menatap kehadiran Bobby yang tersenyum lebar dan sangat tulus di depannya."Hai.""Kamu selalu cantik, aku sampai pusing melihatnya," kata Bobby dengan gerlingan mata yang membuat Alifa memutar bola matanya malas.Pernyataan itu seakan angin yang berlalu di
"Siapa dia?"Jack tersadar dari lamunannya. Dengan refleks ia mendorong dengan tenaga wanita yang dengan kurang ajar duduk di pangkuannya.Ia bahkan tidak menatap sosok yang tengah meringis kesakitan itu. Pikirannya hanya dipenuhi wajah kecewa Alifa.Apa boleh Jack berharap jika Alifa tengah cemburu?Ia segera menggelengkan pemikiran nya. Ia segera berdiri, menatap Diana-- wanita yang menjadi mantan tunangannya dulu.Wanita itu tanpa di undang datang dan membuat kesalah pahaman yang telak membuat Alifa mungkin semakin membencinya."Apa kamu sudah kehilangan akalmu, Diana!" pekik Jack dengan keras.Jack teramat kesal karena perlakuan Diana yang se-enaknya datang dan membuat Alifanya salah paham.Jack boleh saja kan memanggil Alifa seperti itu?Beruntung ruangan Jack kedap suara, jadi p
Alifa dan segala amarahnya menjadi satu. Jika biasanya ia hanya bisa diam jika marah, kini bantingan pintu mobil Bobby yang menjadi sasarannya.Tanpa mempedulikan sang punya mobil, Alifa terus menatap tajam ke depan."Kamu kenapa, Sayang?" tanga Bobby khawatir.Wajah memerah Alifa yang sangat kontras, dengan napas memburu membuat Bobby dilanda rasa khawatir berlebih.Alifa adalah segalanya, oke."Bicara sesuatu, ada apa di dalam sana?" tanya Bobby dengan nada yang semakin melembut.Tapi tak ada sahutan dari sosok cantik di sampingnya, Bobby hanya menghela napas pelan."Baiklah kalo kamu belum mau bercerita," putus Bobby.Ia membiarkan Alifa tenang dulu, ia bisa menunggu sebentar. Meskipun sebenarnya rasa penasaran menggeronggoti dirinya, ia tetap bungkam."A-aku ngak tau aku kenapa," kata Alifa dengan suara yang tertahan.Suara itu sangat pelan, beruntung saja Bobby dan telinga peka nya mendengar apa yang di
"Dari mana kamu, Alifa!"Aura mencekam menyambut kedatangan Alifa. Baru kali ini Alifa pulang dengan keadaan yang sudah sangat malam, tepatnya jam sebelas malam."Jawab, Alifa!" bentak Hikmal. Ia berdiri, amarahnya sudah di ubun-ubun, tapi ia berusaha tak melayangkan pukulan pada putrinya."Tenang, Ayah," kata Hida sembari mengusap lengan atas Hikmal dengan sayang.Meskipun ia berusaha menenangkan sang suami, dirinya juga tengah menatap sang putri dengan tatapan kecewa.Ia tak habis pikir jika putrinya bisa pulang semalam ini, dan bersama seorang pria yang mengantarnya.Hida tak bisa berbohong saat ia melihat pemandangan itu. Meskipun setitik bahagia menghinggapi renung hatinya, jika sang putri telah memiliki orang yang ia sayangi.Tapi, mengingat bagaimana ia dan suami telah menjodohkannya, Hida dilanda kecewa."Kenapa kalian peduli?" tanya Alifa dengan tajam. Ia menatap kedua orang tuanya dengan dingin.Harusnya
"Apa sebaiknya kita bicarakan dengan Alifa dulu, Yah?""Tidak perlu. Anak itu harus di beri pelajaran!""Tapi Alifa hanya syok mendengarnya, dan dia mungkin akan tambah syok denga--""Tugasmu meyakinkan dia, Sayang.""Aku tidak yakin akan bisa."Langkah tergesa Alifa menjadi melemah saat mendengar percakapan orang tuanya dari ruang makan.Suaranya yang semangat tak jadi ia keluarkan. Ia semakin merapatkan bibirnya saat mendengar lagi apa yang mereka katakan."Pernikahan mereka akan di majukan.""Kita bicarakan dul--""Keluarga Jack bahkan sudah setuju, Sayang. Tak ada yang harus di khawatirkan."Alifa meremas tas gendong di genggamannya. Ayahnya sangat ambisius untuk menikahkan dirinya, bahkan ibunya saja sudah tak berdaya dengan keputusan sepihak itu.