Hari ini, hari patah hati seorang Laras Maheswari. Pandu Pramana, sosok yang sebulan lalu menyandang status sebagai mantan kekasihnya, kini resmi menikah dengan Jelita anak magang di perusahaan mereka bekerja.
"Masih nggak bisa dipercaya seorang Laras Maheswari kalah sama anak magang," ledek Sarah, sahabat Laras. Dibarengi dengan itu, Pandu dan Jelita berjalan di atas altar dengan senyum rekah. Laras menatap keduanya dengan perasaan bahagia sekaligus sakit. Pandu sudah menjemput bahagianya dengan perempuan yang ia cintai, lantas bagaimana dengan Laras? "2 bulan." Sarah melirik ke arah Laras. "Jelita cuma butuh waktu 2 bulan buat meluluhkan hatinya Pandu. Itu nggak sebanding sama kebersamaan kalian." Faktanya, Laras dan Pandu sudah menjalin hubungan selama 5 tahun dan putus karena ego masing-masing. Mereka menjalin asmara karena berada di satu divisi yang sama. "Mereka cocok," celetuk Laras saat ia menerima lambaian tangan dari Pandu, tidak lupa tersenyum seolah bahagia. Sarah menoleh ke samping. Melirik Laras yang masih fokus ke depan. Pandu dan Jelita sudah berbalik arah, berjalan ke tempat semula. Walau begitu, Sarah bisa melihat kesedihan di mata sahabatnya. "Itu kenapa Pandu lebih milih Jelita. Karena kami nggak cocok, Sar." Meski hubungannya dengan Pandu terkesan lama, Laras merasa mereka tidak cocok dalam segala hal. Entah soal makanan, genre musik, hobi atau hal lainnya. Mereka juga kerap kali beradu argumen padahal hal tersebut tidak terlalu penting. Laras menghembuskan napas panjang. Ia menaruh gelas yang tadi sempat dipegangnya ke atas meja. Di depan sana, kedua mempelai sedang mengucap janji pernikahan dan bertukar cincin. "Cium! Cium! Cium!" teriak para tamu undangan. Tatap Pandu bertubrukan dengan manik milik Laras. Walau terdengar riuh sorakan di mana kedua pengantin diharuskan saling mengecup satu sama lain, Laras justru tidak berkedip sama sekali. Menatap kosong ke depan sana. "Eh, itu Pak Pandu kenapa diam aja? Istrinya malah di anggurin." "Dia lagi liatin Bu Laras." "Ah, kasian juga Bu Laras, ditinggal nikah sama Pak Pandu." "Kalau bukan jodoh itu susah. Semoga aja Bu Laras cepat ketemu jodohnya. Biar kita bisa makan gratis lagi," tawa salah satu tamu undangan yang tidak lain adalah rekan kerja Laras. Namun, beda divisi. Tanpa disadari seseorang sedari tadi menguping pembicaraan ketiga wanita itu. Seseorang yang matanya tidak lepas melihat ke arah di mana Laras berada. Bian Nugraha. Sosok yang tidak banyak bicara, namun ia bisa mematikan lewat tatapan matanya. Sorakan kembali terdengar, kali ini cukup menghebohkan karena Pandu dan Jelita berhasil menyatukan bibirnya di depan para tamu undangan. Namun, hal itu membuat Bian tersenyum miring. Respons Laras cukup ketara bahwa ia terbakar panasnya api cemburu dengan meneguk satu gelas air beralkohol dalam satu tegukan. "Aku ke toilet dulu, Sar," putus Laras. Sarah langsung menoleh. "Mau diantar nggak?" Laras menepuk pundak sahabatnya, menggelengkan kepala lalu tersenyum hangat. Ia langsung pergi menuju toilet yang berada di dalam gedung. Perasaannya hancur. Dadanya terasa sesak. Laras merasa ini lebih sakit ketimbang ia dimarahi atasannya sendiri. Sehabis keluar dari kamar mandi, Laras dikejutkan dengan Bian yang sudah berdiri di depan pintu masuk toilet. Kening wanita itu mengerut. Berbagai pertanyaan muncul di benak Laras. Mengapa tetangganya itu bisa berada di sini? "Mas Bian?" Laras langsung menghampiri pria itu. "Mas ngapain ada di sini?" Bian tidak menjawab. Pria itu terus fokus menatap Laras. Tatapan yang tidak Laras mengerti. Namun, ia merasa ada yang tidak beres di sini. "Jangan bilang Papa yang nyuruh Mas Bian ngikutin aku?" tuduh Laras dengan mata menyipit. Laras langsung berdecak sebal karena diamnya Bian sudah bisa dapat diartikan bahwa ini semua memang ulah Papanya sendiri. "Mas Bian pulang aja. Bilang sama Papa kalau aku baik-baik aja," ketus Laras langsung meninggalkan Pandu. Laras pun kembali ke tempat semula. "Lama banget kamu, Ras. Habis ini giliran divisi kita yang foto sama pengantin." Sarah menatap Laras kebingungan. "Loh, mukamu kenapa ditekuk gitu? Keliatan banget belum move on-nya." "Enak aja! Aku udah move on kali. Ayo mereka udah, tuh," tunjuk Laras menggunakan dagunya. Mereka pun bergegas merapat ke pengantin. Semuanya fokus ke depan dan mendengarkan arahan dari fotografer. Laras tersenyum kala lampu jepretan mulai menyala. Meski tidak dapat dipungkiri bahwa hatinya terasa sakit, tetapi lagi dan lagi Laras meyakinkan dirinya bahwa ini adalah pilihan hidup Pandu. Ia tidak bisa mencegah. Ia hanya bisa mendoakan yang terbaik untuk pria itu. Jika Tuhan berkehendak, Laras pun ingin cepat menjemput kebahagiaannya. Usai sesi foto tersebut, Laras menyempatkan waktu menghampiri kedua mempelai. Dari jarak yang tidak terlalu jauh, Laras tidak melepaskan senyumnya. Ia menunjukkan pada semua orang bahwa dirinya tidak lemah. Karena saat ini, kebahagiaan Pandu lah yang paling penting. "Selamat atas pernikahan kamu sama Jelita ya, Pandu, jangan lupa kasih kami ponakan yang lucu," ucap Sarah diakhiri tawa. Pandu menjawab, "Makasih, Sar, udah datang." "Makasih Mbak Sarah." Itu suara Jelita. Sarah hanya tersenyum dan mengangguk sebagai jawaban. Kini, giliran Laras yang bicara. Tidak, Laras bahkan bingung harus mengucapkan apa. Masa iya dirinya harus meng-copy kalimat Sarah. "Selamat ya, Pandu ... Jelita," ucap Laras sebisa mungkin tersenyum. "Makasih Mbak Laras," jawab Jelita lebih dulu. Lalu setelahnya Pandu membalas, "Makasih, Ras. Besok nyusul, ya?" Celetukan itu hanya ditanggapi tawa kecil oleh Laras. Lagian, nyusul ke mana? Ya, kalau nyusul ke pelaminan mana mungkin jodohnya saja belum kelihatan. Pandu ini meledek sekali. "Laras," panggil seseorang setelah Laras pergi menjauh dari keramaian. Wanita itu menoleh. "Mas Bian?" "Dia mantan saya." Laras tidak konek. Maksudnya mantan itu siapa? Pria itu sedang membicarakan siapa. Alhasil Laras hanya mengerutkan keningnya, bingung. "Jelita. Dia mantan saya." Laras langsung membelakkan matanya. Ia tidak salah dengar bukan? Jelita mantannya Bian? Pria yang kini sedang berdiri di depannya? Astaga. Laras bahkan sampai membekap mulutnya sendiri saking tidak percayanya. "Mukanya biasa aja. Saya cuma ngasih tau kamu biar kamu nggak nuduh sembarangan lagi," ucap Bian dengan enteng. "Mas Bian nggak bercanda kan?" tanya Laras. Bodo amat dengan ucapan Bian yang tadi. "Buat apa saya bercanda?" Dunia memang sempit. Laras harus menopang tubuhnya sendiri menerima kenyataan bahwa Bian, benar-benar mantan kekasihnya Jelita. Ini di luar dugaannya. Ke mana saja dirinya selama ini untuk berita sepenting itu saja ia tidak tahu. "Bagus, deh. Jelita memilih pilihan yang tepat." "Pandu mantan kamu bukan? Pilihan yang tepat nikah sama Jelita." Sial. Bian menyebalkan. Pria itu malah menyerang balik. "Kamu nggak mau nikah sama saya? Biar samaan kaya mereka," kata Bian membuat Laras menajamkan matanya."Kamu nggak mau nikah sama saya? Biar samaan kaya mereka," kata Bian membuat Laras menajamkan matanya. "Laras!" panggil Sarah. Sarah pun datang menghampiri keduanya. "Oh lagi sama Bian, aku kira kamu lagi ngobrol sama siapa." "Aku pulang duluan, ya, Ras? Suamiku kasian pulang-pulang aku nya malah nggak ada di rumah," ujar Sarah. Sarah memang sudah menikah. Suaminya tidak ikut kondangan karena masih ada di luar kota urusan pekerjaan. Saat ini Sarah sedang mengandung anak keduanya. Usia kandungannya baru 2 bulan. "Nggak apa, kamu pulang aja, Sar. Bumil jangan pulang malam-malam," ucap Laras. "Bisa aja kamu, Ras. Oh, iya, kamu pulang sama Bian aja. Rumah kalian deket, tuh. Bisa kan, Bi?" tanya Sarah meminta persetujuan Bian. Laras langsung menolak, "Nggak usah. Astaga, Sar. Aku bisa pulang pesan Taxi. Udah kamu pulang sana, suamimu marah tau rasa nanti." "Ya udah. Titip Laras, ya, Bian. Bye, Ras!" Setelahnya tinggallah Laras dan Bian. Suasana terasa canggung. Lara
"Ya ampun, makannya pelan-pelan Sayang," ujar Weni padahal Laras tersedak pun karena ulah perkataannya. Laras langsung meneguk segelas air putih hingga menyisihkan setengah. Ia menatap Bian sebentar, mengapa pria itu bisa setenang ini? "Maaf, maksud Tante Weni tadi apa, ya?" tanya Laras kembali memastikan. Weni menegakkan tubuhnya. Ia bahkan menebar senyum. "Menikah. Kamu dan Bian. Orang tua kamu juga pasti nggak akan keberatan, kok. Iya 'kan, Bu, Pak?" Sontak kepala Laras langsung miring ke samping. Di sana ada orang tuanya. Sang Ibu bahkan sampai menarik napas seolah ini adalah hal berat untuknya. "Mama dan Papa memang berniat mengenalkan kamu dengan Bian agar lebih dekat lagi. Kami nggak akan memaksa karena semua keputusan ada di tangan kamu," ungkap sang Ibu. Pun dengan sang Ayah yang langsung menimpali, "Papa selalu dukung keputusan kamu, Laras." Tidak. Laras tidak mau seperti ini. Ia bahkan masih belum mengerti maksudnya. Sejak 3 bulan yang lalu Bian pindah ke depa
Selepas kejadian semalam, sorenya Laras bertemu dengan Sarah. Mereka berada di sebuah cafe bernama Cafe Favorit Kita. "Asli, aku pusing banget, Sar!" seru Laras memegang kepalanya dengan kedua tangannya. "Ya udah memang kenapa kalau nikah sama Bian? Dia udah mapan, Ras. Punya rumah, mobil, kerja juga enak. Jabatannya direktur lagi, kurang apa coba?" tanya Sarah dengan pemikirannya. "Masalahnya aku nggak suka sama Mas Bian, Sar. Nikah itu bukan perkara nikah doang, loh," resah Laras. "Oke-oke. Aku paham yang kamu maksud. Tapi gini, kamu kan udah lumayan lama kenal Bian, memang nggak ada rasa apa pun gitu? Rasa nyaman mungkin?" "Dia tetangga aku. Aku ngeliat dia cuma sebagai tetanggaku, nggak lebih." "Kalau kamu nggak suka, bisa nolak. Hidup itu jangan dibawa ribet, Ras. Lagian, baru pengenalan 'kan?" "Masalahnya aku sama Mas Bian nggak terlalu deket, Sar." Laras mengungkapkan keresahannya. Tidak. Bahkan lebih. Laras bingung menjelaskannya seperti apa. Apalagi setelah Bian
Di dalam mobil. Kini Laras dan Bian sudah berada di dalam mobil. Usai melakukan drama di cafe, keduanya memutuskan untuk pulang. "Itu cuma akting. Aku nggak sungguh-sungguh, Mas Bian jangan ge'er pokoknya!" ucap Laras kelewat cerewet. Gengsi setengah mati. Namun, Laras berusaha biasa saja. Jika saja ia bisa menghilang, ia mungkin sudah menghilang dari tadi. "Aku panggil Mas Bian pakai kata 'Sayang' itu juga bagian dari akting." Laras mencoba klarifikasi. Laras menoleh ke arah Bian yang sedari tadi tidak menanggapi omongannya. Wanita itu kesal, sebab Bian hanya fokus menyetir bahkan merespon saja tidak. "Mas Bian denger aku ngomong nggak si!" kesalnya. Bian hanya berdeham sebagai respon, membuat Laras makin dibuat kesal. Ia berdecak kesal dan membelakangi Bian sehingga dirinya menghadap ke jendela mobil. Setelah perjalanan penuh keheningan tersebut, mereka akhirnya sampai di rumah. Bian memarkirkan mobilnya di tepi jalan tepat di depan rumah Laras. Laras menggapai pintu
Keesokan harinya. Hari ini adalah hari terakhir Laras cuti bekerja. Entah apa yang akan terjadi di kemudian hari, ia akan menghadapinya. Mengingat sekarang kedatangan orang tua Bian, Laras sudah rapi dengan baju tergolong sopan. "Kamu beneran mau menikah dengan Bian, Nak?" tanya sang Ayah, Yusuf. Laras tersenyum hangat kemungkinan mengangguk lirih. Meski masih ada keraguan di hatinya, Laras tetap yakin bahwa bersama Bian hidupnya pasti jauh lebih baik dan bahagia. Ia mendambakan rumah tangga yang rukun serta harmonis bersama pria itu. Ya, Laras menaruh banyak harapan pada pernikahannya. Yusuf mengusap pundak sang anak. "Papa harap kamu selalu bahagia, Nak.""Laras pun berharap yang sama, Pa," ungkapnya. Suara bising dari pintu luar membuat Laras dan Ayahnya berjalan menghampiri suara tersebut. Sesampainya, Bian serta keluarganya sudah ada di depan. Laras mendadak panas dingin, sebab yang datang bukan hanya Weni saja, melainkan Wahyu selaku Ayahnya Bian pun ikut hadir. "Mari masu
Di dalam mobil. "Tumben kamu diem aja," celetuk Bian dengan pandangan ke depan. Karena tingkat rasa penasaran yang tinggi, Laras pun dengan berani menanyakan hal yang mengganggu di hatinya. Ia bahkan sampai memiringkan tubuhnya menghadap pria itu. "Kalau mau tanya soal yang tadi, jawaban saya masih sama," ujar Bian lebih dulu. Laras berdecak sebal. Ia bukan ingin mengungkit kejadian di Mall tadi, hanya saja ia penasaran kenapa wanita itu ada di sana, lalu ke mana Pandu? "Iya, aku percaya Mas Bian sama Jelita nggak pelukan, tapi Mas tau nggak kenapa Jelita ada di Mall tadi?" "Saya bukan suaminya, jadi saya nggak tau." Jawaban Bian makin membuat Laras tidak mood untuk bicara. Ia menatap pria itu kesal, lalu kembali duduk seperti biasa. Merasa ada yang berbeda dari wanita di sampingnya, Bian pun menoleh tidak lama dari itu kembali fokus menyetir. "Saya nggak tau kenapa Jelita ada di sana. Dia juga nggak bilang apa-apa. Siapa tau memang lagi belanja sama suaminya," ujar Bian beru
Setelah cuti panjang, hari ini Laras kembali disibukkan dengan aktivitasnya sebagai seorang pegawai kantor yang hari-harinya berkutat di depan komputer. Sayangnya, baru saja ia menginjakkan kaki di kantor tercinta omongan tidak sedap dari beberapa pegawai masuk ke dalam indera pendengarannya. Mereka tidak tanggung-tanggung membahas perihal cinta segitiga antara ia, Pandu dan Jelita. Ah, tidak. Lebih tepatnya cinta segi empat. Bian pun ikut andil. "Kayanya Jelita masih ada hubungan sama mantan pacarnya, deh, kemarin aku liat mereka ketemuan di cafe. Kaya lagi ngobrol serius gitu," ungkap si ketua gosip di kantor. Wanita di sampingnya pun menyahut. "Maksud kamu, Pak Bian?" "Iya, Pak Bian rekan bisnisnya Pak Hendra."Laras yang sedang di dalam toilet pun sampai enggan keluar dari bilik kamar mandi karena kepo sendiri, mengingat nama Bian tercetus dari kedua mulut wanita itu. "Tapi, tadi aku nggak sengaja denger dari Mas Pandu, kalau Mbak Laras mau nikah sama Pak Bian.""Kamu serius?
"Laras!" panggil seseorang. Laras yang merasa terpanggil pun langsung menoleh. Di sana sudah ada Bian bersama Hendra di sampingnya. Kedua pria itu datang menghampiri Laras dan Pandu. "Udah selesai?" tanya Bian. Laras kebingungan sendiri sebelum akhirnya ia mengangguk lirih. "Kamu belum pulang Pandu?" Kali ini Hendra yang bicara. "Ini mau pulang, Pak." Pandu menatap Laras sebentar. "Lain kali kita bicara, Ras."Setelah kepergian Pandu. "Laporan yang saya minta udah kamu kirim?" tanya Hendra. "Udah, Pak. Udah saya kirim ke email Bapak." Hal itu langsung diangguki oleh Hendra. Bian berujar, "Udah 'kan? Ayo pulang." "Buru-buru amat lo, Bi. Mau ajak karyawan gue ke mana?" goda Hendra. Sebenarnya, Hendra dan Bian itu bukan sekadar rekan bisnis saja. Mereka sudah sahabatan dari zaman kuliah. "Nggak usah kepo jadi orang," sinis Bian, lalu ia menoleh ke arah Laras. "Ayo, Ras?""Nasib kamu bagus, Ras. Putus dari Pandu, dapetnya Bian. Tapi hati-hati, Bian suka nerkam orang," ujar Hend
Rumah orang tua Laras. Wanita sengaja bermain ke sana karena ingin merilekskan pikiran. Setelah kejadian kemarin, pikirannya seakan penuh. Ia tidak mampu mencerna apa pun dalam waktu singkat. Bahkan ia masih menggunakan setelan kantor. Belum pulang ke rumahnya. "Kamu udah makan?" tanya sang Ibu. Laras mengangguk pelan. "Papa ke mana, Ma?" "Ada di halaman belakang. Lagi liat-liat burung sama Robi, anaknya Pak RT yang baru pulang dari Jerman itu.""Robi yang dulu culun pake kacamata itu, Ma?" tanya Laras ikut memastikan. "Iya, tapi jangan sangka kamu. Robi yang sekarang dia banyak berubah, kulitnya juga makin putih. Kaya bule-bule Jerman gitu," kompor Ibunya. Laras mencoba membayangkan bagaimana rupa Robi yang sekarang, sebab mungkin sudah 5 tahun setelah pria itu memutuskan pergi ke Jerman ia tidak pernah melihat dan tahu kabarnya bahkan di sosial media pun mereka tidak berteman. "Oh, iya, kamu kenapa ke sini? Belum pulang ke rumah." Ibunya tersadar. Laras langsung gelapan send
Satu bulan berlalu. Semenjak kejadian di mana Laras marah besar kepada Bian karena pria itu telah membantu Jelita sang mantan pacar untuk tinggal sementara waktu di apartemennya, saat ini kedua pasangan suami istri itu bak orang asing yang tinggal satu rumah. Awalnya Laras sengaja mendiamkan Bian supaya pria itu berpikir. Namun, Bian malah ikut membisu sepanjang ia puasa berbicara pada suaminya. Laras pikir, Bian akan membujuknya. Pria itu berusaha agar ia tidak marah lagi. Sayangnya, yang dilakukan Bian justru berbanding terbalik. Tidak ada sapaan hangat. Hanya keasingan yang Laras rasakan sebulan belakang ini. "Kamu belum juga baikan sama Bian, Ras?" tanya Sarah. Saat ini Laras sedang bermain ke rumah sahabatnya itu. Menjenguk sang ponakan. "Aku nggak tau harus mulai dari mana." Laras menghadap ke arah Sarah. "Menurut kamu, mungkin nggak Mas Bian balik lagi sama Jelita?""Tadinya aku nggak mau berpikir ke sana, tapi akhir-akhir ini Mas Bian sering pulang malam. Bukan sekali dua
Di dalam rumah. Pukul 8 malam. "Mandinya udah?" tanya Bian melihat Laras yang sudah rapi menuruni anak tangga. Laras pun mengangguk lirih. Ia berjalan menuju dapur, mengecek apakah ada bahan baku yang bisa ia masak untuk makan malam nanti. Sedangkan sang suami yang sedang duduk di ruang tamu dengan televisi menyala pun ikut berjalan ke arah dapur. "Mau masak?" Lagi, lagi Bian bertanya. Laras tanpa mengeluarkan kalimat hanya bisa mengangguk seperti biasa. Wanita itu mengeluarkan sayur, telur juga mi instan. Ia berniat memasak mi pedas. "Mas mau makan mi?" tawar Laras biar sekalian ia buatkan. FYI, Bi Sri sedari siang sudah pulang lebih dulu karena sang anak jatuh sakit. Itu sebabnya tidak ada makan malam hari ini. Bian pun ikut mengecek bahan baku di dalam kulkas. "Saya lagi kepengen makan nasi goreng ayam suir. Kamu bisa buatkan?" Tangannya berhenti di dekat kompor. Air sudah ia rebus. Mi juga sudah dibuka. Kenapa tiba-tiba pria itu request menu makanan yang biasanya tinggal m
Sore hari."Aku nggak bisa, Mas." Jelita menatap Bian sungguh-sungguh. "Aku nggak bisa lagi bertahan sama Mas Pandu," lirihnya. Bian membuang napas ke arah lain. Saat ini mereka sedang bertemu di sebuah taman yang terdapat jembatan di dalamnya. "Kamu harus ingat anak yang kamu kandung Jelita," ucap Bian cukup tegas, tetapi tersirat rasa khawatir di dalamnya. Jelita menunduk lemah. Ia tahu Bian pasti marah akan keputusannya itu. Namun, bertahan dengan Pandu begitu sulit. Ia merasa Pandu tidak sesayang itu padanya. "Aku bisa besarin anakku sendiri," ucapnya pelan. Entah kenapa, Bian merasa jengah sendiri. Mendengar hal itu dari mulut wanita di depannya membuat gejolak amarah hampir meledak, tetapi sebisa mungkin ia tahan. "Saya bantu kamu bicara sama Pandu," putus Bian. Jelita menahan. Ia menggelengkan kepala. "Aku mohon, Mas. Aku nggak mau balik lagi sama Mas Pandu."Wajah memelas itu membuat Bian merasa iba. Entah sudah berapa kali Jelita memohon padanya. Wanita itu bahkan ter
Pukul sebelas siang. "Laras bahenol!" teriak Bima dengan berkas di tangannya. Laras sontak menghentikan langkahnya. Menyipitkan mata melihat Bima yang tengah berjalan ke arahnya. Ada apa? Pikirnya. "Udah ketemu sama suami lo?" tanya Bima tiba-tiba. "Mas Bian maksud kamu?" Bima kemudian mengangguk cepat. "Iya. Tadi dia ke sini, nanyain lo. Lagian lo pergi kenapa nggak izin dulu sama suami coba.""Kamu nggak jawab yang aneh-aneh kan?" "Nggak. Cuma gue bilang lo nggak di kantor, izin masuk siang. Kenapa si, lo emang dari mana jam segini baru datang," cecer Bima. "Makasih infonya, Bim." Bima mengerutkan keningnya heran. Laras memang ada aja tingkahnya. Wanita itu terlihat santai sekali. Ia bahkan menggelengkan kepalanya. "Ras, akhirnya datang juga kamu." Sarah menghampiri sahabatnya itu. "Kamu ditunggu Pak Hendra di ruangannya.""Kenapa, bukannya rapat nanti siang jam 1 ya?" tanya Laras kebingungan sendiri. "Laporan terakhir itu, udah selesaikan?" tanya Sarah ikut menerka. "Uda
Beberapa waktu ke belakang, Laras menyadari bahwa perasaannya terhadap Pandu sudah menghilang. Ia seakan mati rasa. Perasaan yang menggebu-gebu itu telah pudar seiring berjalannya waktu. Yang ia rasakan saat ini hanya bagaimana mempertahankan hubungan pernikahan dengan Bian.Laras sudah jatuh hati pada pria itu. Pada suaminya sendiri. Suami kontraknya. Suami yang tidak pernah memperjuangkan dirinya. Suami yang bahkan tak pernah menunjukan rasa cinta dan kasih sayang. Dingin. Laras merasa hanya ia yang berjuang, sedangkan Bian tidak cukup mengerti. Pria itu seolah tak tersentuh. "Mau ke mana?" Bian berdiri tegak melihat Laras yang hendak keluar dari kamar mereka. Laras menatap suaminya dengan tatapan dingin. Setelahnya berlalu keluar kamar. Padahal jam sudah menunjukkan pukul 10 malam. Mau ke mana wanita itu? Pikir Bian. Ia mengikuti Laras sampai di kamar sebelah. Pikirnya makin kacau. Tidak mungkin wanita itu tidur di kamar ini kan? "Laras—""Aku mau tidur di sini," ungkap wanita i
Sesampainya di depan rumah. "Aku masuk dulu. Mas langsung berangkat lagi aja," ujar Laras membuka pintu mobil dan meninggalkan Bian di dalam sana. Ia tahu Bian hari ini lembur, ia juga masih kesal perkara bentakan tadi. Apalagi pria itu sama sekali tidak meminta maaf. Itu lah alasan kenapa Laras buru-buru masuk ke dalam rumah. *Malam harinya. "Udah jam 8, kenapa masih di sini?" tanya Ibu Laras menghampiri sang anak yang sedang melamun di kamarnya. Kamar yang dulu ia tempati sebelum menikah dengan Bian. Laras menoleh, menatap sang Ibu dengan tatapan penuh. Ia terdiam sejenak. Seolah memberitahu sang Ibu bahwa dirinya sedang kelelahan melalui tatapannya. "Lagi ada masalah sama Bian?" tanyanya. "Laras sama Mas Bian baik-baik aja, Ma." Ia pun meneliti isi kamarnya. "Kamar Laras masih sama, ya, nggak ada yang berubah."Tangannya mengelus kasur lembut miliknya itu. "Seprei masih sama. Nggak pernah Mama ganti, ya?""Semenjak kamu nggak tinggal sama kita, Mama jarang ke kamar kamu. Mam
"Gimana, Bro, kepanasan nggak?" tanya seseorang dari balik telepon. Bian mendapat pesan berupa foto di mana Laras dan Pandu berada di kantor dengan tangan pria itu mencekal lengan Laras. Bukannya apa, hanya saja Bian bingung sendiri, kenapa Laras masih saja dekat dengan mantan yang telah meninggalkannya? Padahal ia sudah melarang wanita itu sebelumnya. "Biasa aja. Mereka lagi bahas kerjaan kayanya," balas Bian menebak-nebak. "Bahas kerjaan masa sambil pegangan gitu," kompor Hendra yang tidak lain adalah Bos Laras sendiri. Hendra pun melirik kedua manusia yang tidak sengaja ia pergoki tersebut. Ia seakan menguping kemudian melaporkannya kepada Bian, sahabatnya. "Mereka lagi bahas Jelita, gue denger nama Jelita disebut," ujar Hendra. Bian berdiri dari tempak duduknya, lalu menahan satu tangannya di atas meja kerja. Apalagi yang terjadi, kenapa Jelita dibawa-bawa? Pikir pria itu. "Terus bilang apalagi mereka?" tanya Bian makin penasaran. Waktu Hendra hendak menoleh kembali, Laras
"Kayanya lo terlalu posesif jadi suami, Bro." Bima menyeruput kopinya dengan santai. "Yang gue lakuin demi kebaikan Jelita. Gue nggak mau dia stress, apalagi dia lagi hamil muda," balas Pandu. "Bukan karena Laras 'kan?" tuding Bima sengaja.Lama Pandu terdiam akhirnya pria itu menjawab, "Mungkin itu salah satunya. Gue menghindari pertengkaran di antara mereka.""Gue setuju si. Ya, kalau dipikir-pikir kisah kalian berempat tuh unik juga.""Unik?"Bima mengangguk dengan tatapan mengarah ke sang partner kerja. "Lo sama Jelita. Laras sama Pak Bian. Kalian, kaya tukeran pasangan. Tapi dunia sempit banget buat kalian berempat.""Mungkin nggak kalau Laras sama Pak Bian itu nikah sirih?" celetuk Bima tiba-tiba. "Omongan lo itu yang selalu nyebar gosip nggak jelas, Bim." Pandu seolah sedang menerawang sesuatu. "Yang gue liat, kayanya Pak Bian emang ada rasa sama Laras.""Karena dia sempat jadi bodyguard-nya Laras?" Pandu mengangguk setuju. "Karena setiap kali gue jalan sama Laras, dia sela