Hari ini, hari patah hati seorang Laras Maheswari. Pandu Pramana, sosok yang sebulan lalu menyandang status sebagai mantan kekasihnya, kini resmi menikah dengan Jelita anak magang di perusahaan mereka bekerja.
"Masih nggak bisa dipercaya seorang Laras Maheswari kalah sama anak magang," ledek Sarah, sahabat Laras. Dibarengi dengan itu, Pandu dan Jelita berjalan di atas altar dengan senyum rekah. Laras menatap keduanya dengan perasaan bahagia sekaligus sakit. Pandu sudah menjemput bahagianya dengan perempuan yang ia cintai, lantas bagaimana dengan Laras? "2 bulan." Sarah melirik ke arah Laras. "Jelita cuma butuh waktu 2 bulan buat meluluhkan hatinya Pandu. Itu nggak sebanding sama kebersamaan kalian." Faktanya, Laras dan Pandu sudah menjalin hubungan selama 5 tahun dan putus karena ego masing-masing. Mereka menjalin asmara karena berada di satu divisi yang sama. "Mereka cocok," celetuk Laras saat ia menerima lambaian tangan dari Pandu, tidak lupa tersenyum seolah bahagia. Sarah menoleh ke samping. Melirik Laras yang masih fokus ke depan. Pandu dan Jelita sudah berbalik arah, berjalan ke tempat semula. Walau begitu, Sarah bisa melihat kesedihan di mata sahabatnya. "Itu kenapa Pandu lebih milih Jelita. Karena kami nggak cocok, Sar." Meski hubungannya dengan Pandu terkesan lama, Laras merasa mereka tidak cocok dalam segala hal. Entah soal makanan, genre musik, hobi atau hal lainnya. Mereka juga kerap kali beradu argumen padahal hal tersebut tidak terlalu penting. Laras menghembuskan napas panjang. Ia menaruh gelas yang tadi sempat dipegangnya ke atas meja. Di depan sana, kedua mempelai sedang mengucap janji pernikahan dan bertukar cincin. "Cium! Cium! Cium!" teriak para tamu undangan. Tatap Pandu bertubrukan dengan manik milik Laras. Walau terdengar riuh sorakan di mana kedua pengantin diharuskan saling mengecup satu sama lain, Laras justru tidak berkedip sama sekali. Menatap kosong ke depan sana. "Eh, itu Pak Pandu kenapa diam aja? Istrinya malah di anggurin." "Dia lagi liatin Bu Laras." "Ah, kasian juga Bu Laras, ditinggal nikah sama Pak Pandu." "Kalau bukan jodoh itu susah. Semoga aja Bu Laras cepat ketemu jodohnya. Biar kita bisa makan gratis lagi," tawa salah satu tamu undangan yang tidak lain adalah rekan kerja Laras. Namun, beda divisi. Tanpa disadari seseorang sedari tadi menguping pembicaraan ketiga wanita itu. Seseorang yang matanya tidak lepas melihat ke arah di mana Laras berada. Bian Nugraha. Sosok yang tidak banyak bicara, namun ia bisa mematikan lewat tatapan matanya. Sorakan kembali terdengar, kali ini cukup menghebohkan karena Pandu dan Jelita berhasil menyatukan bibirnya di depan para tamu undangan. Namun, hal itu membuat Bian tersenyum miring. Respons Laras cukup ketara bahwa ia terbakar panasnya api cemburu dengan meneguk satu gelas air beralkohol dalam satu tegukan. "Aku ke toilet dulu, Sar," putus Laras. Sarah langsung menoleh. "Mau diantar nggak?" Laras menepuk pundak sahabatnya, menggelengkan kepala lalu tersenyum hangat. Ia langsung pergi menuju toilet yang berada di dalam gedung. Perasaannya hancur. Dadanya terasa sesak. Laras merasa ini lebih sakit ketimbang ia dimarahi atasannya sendiri. Sehabis keluar dari kamar mandi, Laras dikejutkan dengan Bian yang sudah berdiri di depan pintu masuk toilet. Kening wanita itu mengerut. Berbagai pertanyaan muncul di benak Laras. Mengapa tetangganya itu bisa berada di sini? "Mas Bian?" Laras langsung menghampiri pria itu. "Mas ngapain ada di sini?" Bian tidak menjawab. Pria itu terus fokus menatap Laras. Tatapan yang tidak Laras mengerti. Namun, ia merasa ada yang tidak beres di sini. "Jangan bilang Papa yang nyuruh Mas Bian ngikutin aku?" tuduh Laras dengan mata menyipit. Laras langsung berdecak sebal karena diamnya Bian sudah bisa dapat diartikan bahwa ini semua memang ulah Papanya sendiri. "Mas Bian pulang aja. Bilang sama Papa kalau aku baik-baik aja," ketus Laras langsung meninggalkan Pandu. Laras pun kembali ke tempat semula. "Lama banget kamu, Ras. Habis ini giliran divisi kita yang foto sama pengantin." Sarah menatap Laras kebingungan. "Loh, mukamu kenapa ditekuk gitu? Keliatan banget belum move on-nya." "Enak aja! Aku udah move on kali. Ayo mereka udah, tuh," tunjuk Laras menggunakan dagunya. Mereka pun bergegas merapat ke pengantin. Semuanya fokus ke depan dan mendengarkan arahan dari fotografer. Laras tersenyum kala lampu jepretan mulai menyala. Meski tidak dapat dipungkiri bahwa hatinya terasa sakit, tetapi lagi dan lagi Laras meyakinkan dirinya bahwa ini adalah pilihan hidup Pandu. Ia tidak bisa mencegah. Ia hanya bisa mendoakan yang terbaik untuk pria itu. Jika Tuhan berkehendak, Laras pun ingin cepat menjemput kebahagiaannya. Usai sesi foto tersebut, Laras menyempatkan waktu menghampiri kedua mempelai. Dari jarak yang tidak terlalu jauh, Laras tidak melepaskan senyumnya. Ia menunjukkan pada semua orang bahwa dirinya tidak lemah. Karena saat ini, kebahagiaan Pandu lah yang paling penting. "Selamat atas pernikahan kamu sama Jelita ya, Pandu, jangan lupa kasih kami ponakan yang lucu," ucap Sarah diakhiri tawa. Pandu menjawab, "Makasih, Sar, udah datang." "Makasih Mbak Sarah." Itu suara Jelita. Sarah hanya tersenyum dan mengangguk sebagai jawaban. Kini, giliran Laras yang bicara. Tidak, Laras bahkan bingung harus mengucapkan apa. Masa iya dirinya harus meng-copy kalimat Sarah. "Selamat ya, Pandu ... Jelita," ucap Laras sebisa mungkin tersenyum. "Makasih Mbak Laras," jawab Jelita lebih dulu. Lalu setelahnya Pandu membalas, "Makasih, Ras. Besok nyusul, ya?" Celetukan itu hanya ditanggapi tawa kecil oleh Laras. Lagian, nyusul ke mana? Ya, kalau nyusul ke pelaminan mana mungkin jodohnya saja belum kelihatan. Pandu ini meledek sekali. "Laras," panggil seseorang setelah Laras pergi menjauh dari keramaian. Wanita itu menoleh. "Mas Bian?" "Dia mantan saya." Laras tidak konek. Maksudnya mantan itu siapa? Pria itu sedang membicarakan siapa. Alhasil Laras hanya mengerutkan keningnya, bingung. "Jelita. Dia mantan saya." Laras langsung membelakkan matanya. Ia tidak salah dengar bukan? Jelita mantannya Bian? Pria yang kini sedang berdiri di depannya? Astaga. Laras bahkan sampai membekap mulutnya sendiri saking tidak percayanya. "Mukanya biasa aja. Saya cuma ngasih tau kamu biar kamu nggak nuduh sembarangan lagi," ucap Bian dengan enteng. "Mas Bian nggak bercanda kan?" tanya Laras. Bodo amat dengan ucapan Bian yang tadi. "Buat apa saya bercanda?" Dunia memang sempit. Laras harus menopang tubuhnya sendiri menerima kenyataan bahwa Bian, benar-benar mantan kekasihnya Jelita. Ini di luar dugaannya. Ke mana saja dirinya selama ini untuk berita sepenting itu saja ia tidak tahu. "Bagus, deh. Jelita memilih pilihan yang tepat." "Pandu mantan kamu bukan? Pilihan yang tepat nikah sama Jelita." Sial. Bian menyebalkan. Pria itu malah menyerang balik. "Kamu nggak mau nikah sama saya? Biar samaan kaya mereka," kata Bian membuat Laras menajamkan matanya."Kamu nggak mau nikah sama saya? Biar samaan kaya mereka," kata Bian membuat Laras menajamkan matanya. "Laras!" panggil Sarah. Sarah pun datang menghampiri keduanya. "Oh lagi sama Bian, aku kira kamu lagi ngobrol sama siapa." "Aku pulang duluan, ya, Ras? Suamiku kasian pulang-pulang aku nya malah nggak ada di rumah," ujar Sarah. Sarah memang sudah menikah. Suaminya tidak ikut kondangan karena masih ada di luar kota urusan pekerjaan. Saat ini Sarah sedang mengandung anak keduanya. Usia kandungannya baru 2 bulan. "Nggak apa, kamu pulang aja, Sar. Bumil jangan pulang malam-malam," ucap Laras. "Bisa aja kamu, Ras. Oh, iya, kamu pulang sama Bian aja. Rumah kalian deket, tuh. Bisa kan, Bi?" tanya Sarah meminta persetujuan Bian. Laras langsung menolak, "Nggak usah. Astaga, Sar. Aku bisa pulang pesan Taxi. Udah kamu pulang sana, suamimu marah tau rasa nanti." "Ya udah. Titip Laras, ya, Bian. Bye, Ras!" Setelahnya tinggallah Laras dan Bian. Suasana terasa canggung. Lara
"Ya ampun, makannya pelan-pelan Sayang," ujar Weni padahal Laras tersedak pun karena ulah perkataannya. Laras langsung meneguk segelas air putih hingga menyisihkan setengah. Ia menatap Bian sebentar, mengapa pria itu bisa setenang ini? "Maaf, maksud Tante Weni tadi apa, ya?" tanya Laras kembali memastikan. Weni menegakkan tubuhnya. Ia bahkan menebar senyum. "Menikah. Kamu dan Bian. Orang tua kamu juga pasti nggak akan keberatan, kok. Iya 'kan, Bu, Pak?" Sontak kepala Laras langsung miring ke samping. Di sana ada orang tuanya. Sang Ibu bahkan sampai menarik napas seolah ini adalah hal berat untuknya. "Mama dan Papa memang berniat mengenalkan kamu dengan Bian agar lebih dekat lagi. Kami nggak akan memaksa karena semua keputusan ada di tangan kamu," ungkap sang Ibu. Pun dengan sang Ayah yang langsung menimpali, "Papa selalu dukung keputusan kamu, Laras." Tidak. Laras tidak mau seperti ini. Ia bahkan masih belum mengerti maksudnya. Sejak 3 bulan yang lalu Bian pindah ke depa
Selepas kejadian semalam, sorenya Laras bertemu dengan Sarah. Mereka berada di sebuah cafe bernama Cafe Favorit Kita. "Asli, aku pusing banget, Sar!" seru Laras memegang kepalanya dengan kedua tangannya. "Ya udah memang kenapa kalau nikah sama Bian? Dia udah mapan, Ras. Punya rumah, mobil, kerja juga enak. Jabatannya direktur lagi, kurang apa coba?" tanya Sarah dengan pemikirannya. "Masalahnya aku nggak suka sama Mas Bian, Sar. Nikah itu bukan perkara nikah doang, loh," resah Laras. "Oke-oke. Aku paham yang kamu maksud. Tapi gini, kamu kan udah lumayan lama kenal Bian, memang nggak ada rasa apa pun gitu? Rasa nyaman mungkin?" "Dia tetangga aku. Aku ngeliat dia cuma sebagai tetanggaku, nggak lebih." "Kalau kamu nggak suka, bisa nolak. Hidup itu jangan dibawa ribet, Ras. Lagian, baru pengenalan 'kan?" "Masalahnya aku sama Mas Bian nggak terlalu deket, Sar." Laras mengungkapkan keresahannya. Tidak. Bahkan lebih. Laras bingung menjelaskannya seperti apa. Apalagi setelah Bian
Di dalam mobil. Kini Laras dan Bian sudah berada di dalam mobil. Usai melakukan drama di cafe, keduanya memutuskan untuk pulang. "Itu cuma akting. Aku nggak sungguh-sungguh, Mas Bian jangan ge'er pokoknya!" ucap Laras kelewat cerewet. Gengsi setengah mati. Namun, Laras berusaha biasa saja. Jika saja ia bisa menghilang, ia mungkin sudah menghilang dari tadi. "Aku panggil Mas Bian pakai kata 'Sayang' itu juga bagian dari akting." Laras mencoba klarifikasi. Laras menoleh ke arah Bian yang sedari tadi tidak menanggapi omongannya. Wanita itu kesal, sebab Bian hanya fokus menyetir bahkan merespon saja tidak. "Mas Bian denger aku ngomong nggak si!" kesalnya. Bian hanya berdeham sebagai respon, membuat Laras makin dibuat kesal. Ia berdecak kesal dan membelakangi Bian sehingga dirinya menghadap ke jendela mobil. Setelah perjalanan penuh keheningan tersebut, mereka akhirnya sampai di rumah. Bian memarkirkan mobilnya di tepi jalan tepat di depan rumah Laras. Laras menggapai pintu
Di dalam mobil. Kini Laras dan Bian sudah berada di dalam mobil. Usai melakukan drama di cafe, keduanya memutuskan untuk pulang. "Itu cuma akting. Aku nggak sungguh-sungguh, Mas Bian jangan ge'er pokoknya!" ucap Laras kelewat cerewet. Gengsi setengah mati. Namun, Laras berusaha biasa saja. Jika saja ia bisa menghilang, ia mungkin sudah menghilang dari tadi. "Aku panggil Mas Bian pakai kata 'Sayang' itu juga bagian dari akting." Laras mencoba klarifikasi. Laras menoleh ke arah Bian yang sedari tadi tidak menanggapi omongannya. Wanita itu kesal, sebab Bian hanya fokus menyetir bahkan merespon saja tidak. "Mas Bian denger aku ngomong nggak si!" kesalnya. Bian hanya berdeham sebagai respon, membuat Laras makin dibuat kesal. Ia berdecak kesal dan membelakangi Bian sehingga dirinya menghadap ke jendela mobil. Setelah perjalanan penuh keheningan tersebut, mereka akhirnya sampai di rumah. Bian memarkirkan mobilnya di tepi jalan tepat di depan rumah Laras. Laras menggapai pintu
Selepas kejadian semalam, sorenya Laras bertemu dengan Sarah. Mereka berada di sebuah cafe bernama Cafe Favorit Kita. "Asli, aku pusing banget, Sar!" seru Laras memegang kepalanya dengan kedua tangannya. "Ya udah memang kenapa kalau nikah sama Bian? Dia udah mapan, Ras. Punya rumah, mobil, kerja juga enak. Jabatannya direktur lagi, kurang apa coba?" tanya Sarah dengan pemikirannya. "Masalahnya aku nggak suka sama Mas Bian, Sar. Nikah itu bukan perkara nikah doang, loh," resah Laras. "Oke-oke. Aku paham yang kamu maksud. Tapi gini, kamu kan udah lumayan lama kenal Bian, memang nggak ada rasa apa pun gitu? Rasa nyaman mungkin?" "Dia tetangga aku. Aku ngeliat dia cuma sebagai tetanggaku, nggak lebih." "Kalau kamu nggak suka, bisa nolak. Hidup itu jangan dibawa ribet, Ras. Lagian, baru pengenalan 'kan?" "Masalahnya aku sama Mas Bian nggak terlalu deket, Sar." Laras mengungkapkan keresahannya. Tidak. Bahkan lebih. Laras bingung menjelaskannya seperti apa. Apalagi setelah Bian
"Ya ampun, makannya pelan-pelan Sayang," ujar Weni padahal Laras tersedak pun karena ulah perkataannya. Laras langsung meneguk segelas air putih hingga menyisihkan setengah. Ia menatap Bian sebentar, mengapa pria itu bisa setenang ini? "Maaf, maksud Tante Weni tadi apa, ya?" tanya Laras kembali memastikan. Weni menegakkan tubuhnya. Ia bahkan menebar senyum. "Menikah. Kamu dan Bian. Orang tua kamu juga pasti nggak akan keberatan, kok. Iya 'kan, Bu, Pak?" Sontak kepala Laras langsung miring ke samping. Di sana ada orang tuanya. Sang Ibu bahkan sampai menarik napas seolah ini adalah hal berat untuknya. "Mama dan Papa memang berniat mengenalkan kamu dengan Bian agar lebih dekat lagi. Kami nggak akan memaksa karena semua keputusan ada di tangan kamu," ungkap sang Ibu. Pun dengan sang Ayah yang langsung menimpali, "Papa selalu dukung keputusan kamu, Laras." Tidak. Laras tidak mau seperti ini. Ia bahkan masih belum mengerti maksudnya. Sejak 3 bulan yang lalu Bian pindah ke depa
"Kamu nggak mau nikah sama saya? Biar samaan kaya mereka," kata Bian membuat Laras menajamkan matanya. "Laras!" panggil Sarah. Sarah pun datang menghampiri keduanya. "Oh lagi sama Bian, aku kira kamu lagi ngobrol sama siapa." "Aku pulang duluan, ya, Ras? Suamiku kasian pulang-pulang aku nya malah nggak ada di rumah," ujar Sarah. Sarah memang sudah menikah. Suaminya tidak ikut kondangan karena masih ada di luar kota urusan pekerjaan. Saat ini Sarah sedang mengandung anak keduanya. Usia kandungannya baru 2 bulan. "Nggak apa, kamu pulang aja, Sar. Bumil jangan pulang malam-malam," ucap Laras. "Bisa aja kamu, Ras. Oh, iya, kamu pulang sama Bian aja. Rumah kalian deket, tuh. Bisa kan, Bi?" tanya Sarah meminta persetujuan Bian. Laras langsung menolak, "Nggak usah. Astaga, Sar. Aku bisa pulang pesan Taxi. Udah kamu pulang sana, suamimu marah tau rasa nanti." "Ya udah. Titip Laras, ya, Bian. Bye, Ras!" Setelahnya tinggallah Laras dan Bian. Suasana terasa canggung. Lara
Hari ini, hari patah hati seorang Laras Maheswari. Pandu Pramana, sosok yang sebulan lalu menyandang status sebagai mantan kekasihnya, kini resmi menikah dengan Jelita anak magang di perusahaan mereka bekerja. "Masih nggak bisa dipercaya seorang Laras Maheswari kalah sama anak magang," ledek Sarah, sahabat Laras. Dibarengi dengan itu, Pandu dan Jelita berjalan di atas altar dengan senyum rekah. Laras menatap keduanya dengan perasaan bahagia sekaligus sakit. Pandu sudah menjemput bahagianya dengan perempuan yang ia cintai, lantas bagaimana dengan Laras? "2 bulan." Sarah melirik ke arah Laras. "Jelita cuma butuh waktu 2 bulan buat meluluhkan hatinya Pandu. Itu nggak sebanding sama kebersamaan kalian." Faktanya, Laras dan Pandu sudah menjalin hubungan selama 5 tahun dan putus karena ego masing-masing. Mereka menjalin asmara karena berada di satu divisi yang sama. "Mereka cocok," celetuk Laras saat ia menerima lambaian tangan dari Pandu, tidak lupa tersenyum seolah bahagia. Sarah me