"Kamu nggak mau nikah sama saya? Biar samaan kaya mereka," kata Bian membuat Laras menajamkan matanya.
"Laras!" panggil Sarah. Sarah pun datang menghampiri keduanya. "Oh lagi sama Bian, aku kira kamu lagi ngobrol sama siapa." "Aku pulang duluan, ya, Ras? Suamiku kasian pulang-pulang aku nya malah nggak ada di rumah," ujar Sarah. Sarah memang sudah menikah. Suaminya tidak ikut kondangan karena masih ada di luar kota urusan pekerjaan. Saat ini Sarah sedang mengandung anak keduanya. Usia kandungannya baru 2 bulan. "Nggak apa, kamu pulang aja, Sar. Bumil jangan pulang malam-malam," ucap Laras. "Bisa aja kamu, Ras. Oh, iya, kamu pulang sama Bian aja. Rumah kalian deket, tuh. Bisa kan, Bi?" tanya Sarah meminta persetujuan Bian. Laras langsung menolak, "Nggak usah. Astaga, Sar. Aku bisa pulang pesan Taxi. Udah kamu pulang sana, suamimu marah tau rasa nanti." "Ya udah. Titip Laras, ya, Bian. Bye, Ras!" Setelahnya tinggallah Laras dan Bian. Suasana terasa canggung. Laras mengambil minum kemudian meneguknya sedikit. Selain itu, ia tidak mengerti mengapa Bian ada di sini. "Ayo?" ajak Bian. Laras menautkan kedua alisnya. "Ayo ke mana?" "Pulang. Kamu mau nginap di sini?" "Loh, kalau Mas Bian mau pulang, ya, pulang aja. Kenapa jadi ngajak-ngajak aku?" Bian menghembuskan napas kasar. Laras ini tidak mengerti atau pura-pura bodoh si? Tentu saja ia tidak ingin terlihat miris. Tidak tahan, Bian pun menarik tangan Laras keluar gedung dan berakhirlah mereka di parkiran. Bian membawa mobil milik pribadi. "Masuk." Bian membuka pintu tersebut dan memaksa Laras masuk ke dalam mobilnya. Laras langsung menyentak kasar, "Nggak. Kenapa jadi maksa begini? Aku bisa pulang sendiri." "Masuk, Laras." Kali ini dengan intonasi tegas juga dingin. Bian berusaha menggapai lengan wanita itu, tetapi hal tersebut berhasil Laras tepis. Sorot mata tajam ia pancarkan kepada Bian. "Aku bisa pulang sendiri," ucap Laras penuh penekanan. Bian memandang tubuh Laras yang makin menjauh. Entah dari mana rasa kesal itu datang, ia menendang ban mobil cukup kencang dan berkacak pinggang dengan dada naik turun. Akhirnya Laras pulang naik taxi dan diikuti Bian di belakang. Sepanjang perjalanan Bian terus berada di belakang Taxi tersebut. Seolah memantau Laras. "Mbak, mobil belakang kayanya ngikutin kita," ujar si pengemudi Taxi. Laras menoleh ke belakang. Itu mobil Bian. Ia bahkan hapal plat mobil pria itu. Ah, biarkan saja. Lagipula rumah keduanya saling berhadapan, jelas pria itu mengikuti Taxi yang Laras tumpangi. "Lanjut jalan aja, Pak." Laras membuang napas kasar dengan tubuh ia sandarkan ke belakang jok mobil. Sesampainya di rumah. Laras keluar dari Taxi online tersebut usai membayar ongkos perjalanan. Di lain sisi, Bian pun keluar dari dalam mobil yang ia kendari dan berlari kecil menghampiri Laras. "Tunggu," cegah Bian seraya mencekal lengan Laras yang hendak pergi. Karena peka dengan tatapan Laras, Bian pun langsung melepas cekalan itu dan menarik napas sejenak. "Besok kerja?" tanya Bian. Laras menatap Bian tidak percaya. Dari banyaknya pertanyaan, kenapa harus soal pekerjaan yang ia tanyakan? Ia pun menghembuskan napas kasar. "Mau aku kerja atau nggak, itu bukan urusan Mas Bian." Laras langsung melenggang pergi. Sungguh ia lelah. Tidak mau berdebat sama sekali. "Ibu saya besok mau ke sini." Langkah Laras terhenti. Berbalik arah, tetapi tidak bergerak maju. Ia menatap Bian dengan jarak yang tidak terlalu jauh. "Lebih baik kamu kerja." Wanita itu makin dibuat tidak mengerti dengan ucapan Bian. Memang apa masalahnya ia masuk kerja atau tidak? "Itu saran saya." Usai mengatakan itu Bian langsung bergegas pergi. Ia berjalan ke arah mobil yang terparkir di tepi jalan depan rumahnya dan memasukannya ke dalam garasi. Laras melihat semuanya, bahkan sampai gerbang itu tertutup kembali. *Keesokan paginya. "Laras kamu nggak berangkat kerja?" teriak sang Ibu sambil mengetuk pintu kamar anaknya. Laras membuka matanya. Pukul 7 pagi. Ia terdiam sebentar, lalu beranjak dari tempat tidur. Rasanya baru saja memejamkan mata, tetapi sudah pagi lagi. "Nggak kerja?" tanya Ibu Laras usai membuka pintu. Laras menggeleng lemah. "Masih cuti, Ma." Ya, dirinya memang mengajukan cuti selama 3 hari. Hal itu disebabkan karena Pandu. Ia ingin mengistirahatkan pikiran dan tubuhnya dari rasa lelah yang terus membuat energinya habis. "Mama udah bikin nasi goreng buat sarapan. Jangan tidur lagi, langsung mandi. Kami tunggu di meja makan." Laras mengangguk dan tersenyum hangat. "Jangan tidur lagi," peringat sang Ibu. "Iya Mamaku yang cantik. Laras langsung mandi." Namun, hal itu langsung mendapat tatapan tajam dari sang Ibu. Wanita itu seakan tahu bahwa anak gadisnya cukup sulit di bangunkan. Laras menghembuskan napas kasar. Mendengar notifikasi dari ponselnya buru-buru ia mengecek. Sarah : [Untung kamu masih cuti kerja, Ras. Semua orang pada bahas pernikahannya Pandu. Padahal masih pagi udah pada gosip aja. Kamu juga dibawa-bawa, Ras.] Laras : [Biarin aja, Sar. Nggak usah di dengerin.] Setelah mengetik balasan untuk Sarah, Laras bergegas ke kamar mandi dan membersihkan diri di dalam sana. Di meja makan. Bian. Laras melihat sosok pria itu duduk dan bergabung di meja makan. Juga, ada Weni—Ibu pria itu. Sontak ia terpaku di tempat. Mengapa tiba-tiba wanita setengah paru baya itu berada di rumahnya sepagi ini? "Pagi, Laras. Makin cantik aja calon menantu Ibu," celetuk Weni asal. Kemudian Weni menambahkan, "Tumben nggak pakai baju kantor, memang sekarang tanggal merah, ya?" "Dia ngambil cuti, Bu." Ibu Laras yang menjawab. "Oh, cuti. Ibu pikir karena libur." Laras hanya membalas dengan senyuman. Ia menatap Bian sebentar, lalu ikut bergabung dengan mereka menikmati nasi goreng buatan sang Ibu. "Oh, ya, denger-denger Laras sekarang lagi sendiri, ya?" tanya Weni dengan tatapan serius. Dengan ragu Laras mengangguk. "Iya, Bu." "Wah, kebetulan yang pas ini. Bian juga lagi sendiri. Biasa, galau habis ditinggal nikah dia." Weni terkekeh pelan. Ingin sekali Laras berteriak, aku juga ambil cuti karena galau ditinggal nikah! Sayangnya kalimat itu tidak pernah terucap. Ia lagi-lagi membalas dengan senyum kikuk. "Gimana kalau kalian berdua kami jodohkan?" tanya Weni menatap Laras dan Bian secara bergantian. Awalnya Laras masih terdiam. Mencerna apa yang barusan ia dengar. Tetap berpikir positif. Mungkin wanita itu tengah bergurau. Untuk itu, Laras tidak mau ambil pusing ia melanjutkan sarapannya. "Gimana, kamu setuju 'kan menikah dengan Bian, Laras?" tanya Weni secara terang-terangan. Mendengar pertanyaan seperti itu membuat Laras tidak bisa berkedip sama sekali. Ia bahkan sampai tersedak nasi goreng yang dimakan. Sial. Kenapa pembicaraan seperti ini membuatnya gemetar sekaligus membeku di tempat."Ya ampun, makannya pelan-pelan Sayang," ujar Weni padahal Laras tersedak pun karena ulah perkataannya. Laras langsung meneguk segelas air putih hingga menyisihkan setengah. Ia menatap Bian sebentar, mengapa pria itu bisa setenang ini? "Maaf, maksud Tante Weni tadi apa, ya?" tanya Laras kembali memastikan. Weni menegakkan tubuhnya. Ia bahkan menebar senyum. "Menikah. Kamu dan Bian. Orang tua kamu juga pasti nggak akan keberatan, kok. Iya 'kan, Bu, Pak?" Sontak kepala Laras langsung miring ke samping. Di sana ada orang tuanya. Sang Ibu bahkan sampai menarik napas seolah ini adalah hal berat untuknya. "Mama dan Papa memang berniat mengenalkan kamu dengan Bian agar lebih dekat lagi. Kami nggak akan memaksa karena semua keputusan ada di tangan kamu," ungkap sang Ibu. Pun dengan sang Ayah yang langsung menimpali, "Papa selalu dukung keputusan kamu, Laras." Tidak. Laras tidak mau seperti ini. Ia bahkan masih belum mengerti maksudnya. Sejak 3 bulan yang lalu Bian pindah ke depa
Selepas kejadian semalam, sorenya Laras bertemu dengan Sarah. Mereka berada di sebuah cafe bernama Cafe Favorit Kita. "Asli, aku pusing banget, Sar!" seru Laras memegang kepalanya dengan kedua tangannya. "Ya udah memang kenapa kalau nikah sama Bian? Dia udah mapan, Ras. Punya rumah, mobil, kerja juga enak. Jabatannya direktur lagi, kurang apa coba?" tanya Sarah dengan pemikirannya. "Masalahnya aku nggak suka sama Mas Bian, Sar. Nikah itu bukan perkara nikah doang, loh," resah Laras. "Oke-oke. Aku paham yang kamu maksud. Tapi gini, kamu kan udah lumayan lama kenal Bian, memang nggak ada rasa apa pun gitu? Rasa nyaman mungkin?" "Dia tetangga aku. Aku ngeliat dia cuma sebagai tetanggaku, nggak lebih." "Kalau kamu nggak suka, bisa nolak. Hidup itu jangan dibawa ribet, Ras. Lagian, baru pengenalan 'kan?" "Masalahnya aku sama Mas Bian nggak terlalu deket, Sar." Laras mengungkapkan keresahannya. Tidak. Bahkan lebih. Laras bingung menjelaskannya seperti apa. Apalagi setelah Bian
Di dalam mobil. Kini Laras dan Bian sudah berada di dalam mobil. Usai melakukan drama di cafe, keduanya memutuskan untuk pulang. "Itu cuma akting. Aku nggak sungguh-sungguh, Mas Bian jangan ge'er pokoknya!" ucap Laras kelewat cerewet. Gengsi setengah mati. Namun, Laras berusaha biasa saja. Jika saja ia bisa menghilang, ia mungkin sudah menghilang dari tadi. "Aku panggil Mas Bian pakai kata 'Sayang' itu juga bagian dari akting." Laras mencoba klarifikasi. Laras menoleh ke arah Bian yang sedari tadi tidak menanggapi omongannya. Wanita itu kesal, sebab Bian hanya fokus menyetir bahkan merespon saja tidak. "Mas Bian denger aku ngomong nggak si!" kesalnya. Bian hanya berdeham sebagai respon, membuat Laras makin dibuat kesal. Ia berdecak kesal dan membelakangi Bian sehingga dirinya menghadap ke jendela mobil. Setelah perjalanan penuh keheningan tersebut, mereka akhirnya sampai di rumah. Bian memarkirkan mobilnya di tepi jalan tepat di depan rumah Laras. Laras menggapai pintu
Hari ini, hari patah hati seorang Laras Maheswari. Pandu Pramana, sosok yang sebulan lalu menyandang status sebagai mantan kekasihnya, kini resmi menikah dengan Jelita anak magang di perusahaan mereka bekerja. "Masih nggak bisa dipercaya seorang Laras Maheswari kalah sama anak magang," ledek Sarah, sahabat Laras. Dibarengi dengan itu, Pandu dan Jelita berjalan di atas altar dengan senyum rekah. Laras menatap keduanya dengan perasaan bahagia sekaligus sakit. Pandu sudah menjemput bahagianya dengan perempuan yang ia cintai, lantas bagaimana dengan Laras? "2 bulan." Sarah melirik ke arah Laras. "Jelita cuma butuh waktu 2 bulan buat meluluhkan hatinya Pandu. Itu nggak sebanding sama kebersamaan kalian." Faktanya, Laras dan Pandu sudah menjalin hubungan selama 5 tahun dan putus karena ego masing-masing. Mereka menjalin asmara karena berada di satu divisi yang sama. "Mereka cocok," celetuk Laras saat ia menerima lambaian tangan dari Pandu, tidak lupa tersenyum seolah bahagia. Sarah me
Di dalam mobil. Kini Laras dan Bian sudah berada di dalam mobil. Usai melakukan drama di cafe, keduanya memutuskan untuk pulang. "Itu cuma akting. Aku nggak sungguh-sungguh, Mas Bian jangan ge'er pokoknya!" ucap Laras kelewat cerewet. Gengsi setengah mati. Namun, Laras berusaha biasa saja. Jika saja ia bisa menghilang, ia mungkin sudah menghilang dari tadi. "Aku panggil Mas Bian pakai kata 'Sayang' itu juga bagian dari akting." Laras mencoba klarifikasi. Laras menoleh ke arah Bian yang sedari tadi tidak menanggapi omongannya. Wanita itu kesal, sebab Bian hanya fokus menyetir bahkan merespon saja tidak. "Mas Bian denger aku ngomong nggak si!" kesalnya. Bian hanya berdeham sebagai respon, membuat Laras makin dibuat kesal. Ia berdecak kesal dan membelakangi Bian sehingga dirinya menghadap ke jendela mobil. Setelah perjalanan penuh keheningan tersebut, mereka akhirnya sampai di rumah. Bian memarkirkan mobilnya di tepi jalan tepat di depan rumah Laras. Laras menggapai pintu
Selepas kejadian semalam, sorenya Laras bertemu dengan Sarah. Mereka berada di sebuah cafe bernama Cafe Favorit Kita. "Asli, aku pusing banget, Sar!" seru Laras memegang kepalanya dengan kedua tangannya. "Ya udah memang kenapa kalau nikah sama Bian? Dia udah mapan, Ras. Punya rumah, mobil, kerja juga enak. Jabatannya direktur lagi, kurang apa coba?" tanya Sarah dengan pemikirannya. "Masalahnya aku nggak suka sama Mas Bian, Sar. Nikah itu bukan perkara nikah doang, loh," resah Laras. "Oke-oke. Aku paham yang kamu maksud. Tapi gini, kamu kan udah lumayan lama kenal Bian, memang nggak ada rasa apa pun gitu? Rasa nyaman mungkin?" "Dia tetangga aku. Aku ngeliat dia cuma sebagai tetanggaku, nggak lebih." "Kalau kamu nggak suka, bisa nolak. Hidup itu jangan dibawa ribet, Ras. Lagian, baru pengenalan 'kan?" "Masalahnya aku sama Mas Bian nggak terlalu deket, Sar." Laras mengungkapkan keresahannya. Tidak. Bahkan lebih. Laras bingung menjelaskannya seperti apa. Apalagi setelah Bian
"Ya ampun, makannya pelan-pelan Sayang," ujar Weni padahal Laras tersedak pun karena ulah perkataannya. Laras langsung meneguk segelas air putih hingga menyisihkan setengah. Ia menatap Bian sebentar, mengapa pria itu bisa setenang ini? "Maaf, maksud Tante Weni tadi apa, ya?" tanya Laras kembali memastikan. Weni menegakkan tubuhnya. Ia bahkan menebar senyum. "Menikah. Kamu dan Bian. Orang tua kamu juga pasti nggak akan keberatan, kok. Iya 'kan, Bu, Pak?" Sontak kepala Laras langsung miring ke samping. Di sana ada orang tuanya. Sang Ibu bahkan sampai menarik napas seolah ini adalah hal berat untuknya. "Mama dan Papa memang berniat mengenalkan kamu dengan Bian agar lebih dekat lagi. Kami nggak akan memaksa karena semua keputusan ada di tangan kamu," ungkap sang Ibu. Pun dengan sang Ayah yang langsung menimpali, "Papa selalu dukung keputusan kamu, Laras." Tidak. Laras tidak mau seperti ini. Ia bahkan masih belum mengerti maksudnya. Sejak 3 bulan yang lalu Bian pindah ke depa
"Kamu nggak mau nikah sama saya? Biar samaan kaya mereka," kata Bian membuat Laras menajamkan matanya. "Laras!" panggil Sarah. Sarah pun datang menghampiri keduanya. "Oh lagi sama Bian, aku kira kamu lagi ngobrol sama siapa." "Aku pulang duluan, ya, Ras? Suamiku kasian pulang-pulang aku nya malah nggak ada di rumah," ujar Sarah. Sarah memang sudah menikah. Suaminya tidak ikut kondangan karena masih ada di luar kota urusan pekerjaan. Saat ini Sarah sedang mengandung anak keduanya. Usia kandungannya baru 2 bulan. "Nggak apa, kamu pulang aja, Sar. Bumil jangan pulang malam-malam," ucap Laras. "Bisa aja kamu, Ras. Oh, iya, kamu pulang sama Bian aja. Rumah kalian deket, tuh. Bisa kan, Bi?" tanya Sarah meminta persetujuan Bian. Laras langsung menolak, "Nggak usah. Astaga, Sar. Aku bisa pulang pesan Taxi. Udah kamu pulang sana, suamimu marah tau rasa nanti." "Ya udah. Titip Laras, ya, Bian. Bye, Ras!" Setelahnya tinggallah Laras dan Bian. Suasana terasa canggung. Lara
Hari ini, hari patah hati seorang Laras Maheswari. Pandu Pramana, sosok yang sebulan lalu menyandang status sebagai mantan kekasihnya, kini resmi menikah dengan Jelita anak magang di perusahaan mereka bekerja. "Masih nggak bisa dipercaya seorang Laras Maheswari kalah sama anak magang," ledek Sarah, sahabat Laras. Dibarengi dengan itu, Pandu dan Jelita berjalan di atas altar dengan senyum rekah. Laras menatap keduanya dengan perasaan bahagia sekaligus sakit. Pandu sudah menjemput bahagianya dengan perempuan yang ia cintai, lantas bagaimana dengan Laras? "2 bulan." Sarah melirik ke arah Laras. "Jelita cuma butuh waktu 2 bulan buat meluluhkan hatinya Pandu. Itu nggak sebanding sama kebersamaan kalian." Faktanya, Laras dan Pandu sudah menjalin hubungan selama 5 tahun dan putus karena ego masing-masing. Mereka menjalin asmara karena berada di satu divisi yang sama. "Mereka cocok," celetuk Laras saat ia menerima lambaian tangan dari Pandu, tidak lupa tersenyum seolah bahagia. Sarah me