Di dalam mobil.
Kini Laras dan Bian sudah berada di dalam mobil. Usai melakukan drama di cafe, keduanya memutuskan untuk pulang. "Itu cuma akting. Aku nggak sungguh-sungguh, Mas Bian jangan ge'er pokoknya!" ucap Laras kelewat cerewet. Gengsi setengah mati. Namun, Laras berusaha biasa saja. Jika saja ia bisa menghilang, ia mungkin sudah menghilang dari tadi. "Aku panggil Mas Bian pakai kata 'Sayang' itu juga bagian dari akting." Laras mencoba klarifikasi. Laras menoleh ke arah Bian yang sedari tadi tidak menanggapi omongannya. Wanita itu kesal, sebab Bian hanya fokus menyetir bahkan merespon saja tidak. "Mas Bian denger aku ngomong nggak si!" kesalnya. Bian hanya berdeham sebagai respon, membuat Laras makin dibuat kesal. Ia berdecak kesal dan membelakangi Bian sehingga dirinya menghadap ke jendela mobil. Setelah perjalanan penuh keheningan tersebut, mereka akhirnya sampai di rumah. Bian memarkirkan mobilnya di tepi jalan tepat di depan rumah Laras. Laras menggapai pintu hendak keluar, naasnya pintu tersebut masih terkunci. Membuatnya diredam emosi. Sebenarnya, apa si mau Bian ini? "Buka," perintah Laras kesal. "Kenapa dikunci, si?!" Tidak mempedulikan ucapan wanita di depannya. Bian mendekatkan wajahnya ke arah Laras. Karena takut, Laras makin mojok ke pintu. Jantungnya berdegup kencang. "Kenapa takut?" tanya Bian dengan nada meledek. Laras hampir tidak bisa bernapas dibuatnya. "Mas Bian—" "Kenapa, Sayang?" godanya. Sial. Laras mendorong tubuh Bian dengan penuh tenaga. Ia dapat bernapas lega setelah pria itu kembali ke tempat asalnya. Menatap tajam, lalu dengan cepat keluar dari mobil karena pintu sudah terbuka. Di luar mobil. Pria itu menghentikan langkah Laras dengan mencekal lengan wanitanya. Tidak peduli Laras marah. Ia tidak ingin wanita itu pergi begitu saja. "Besok Ibu saya ke sini lagi," ungkap Bian saling berhadapan dengan Laras. Wanita itu mengerutkan keningnya heran. Untuk apa Weni ke sini? Bahkan dalam seminggu tercatat 3 kali berkunjung ke rumah anaknya. Laras tahu itu hak Weni, tetapi tidak biasanya. Weni bahkan terhitung jarang menyapa Bian ke Jakarta, bisa 1 bulan sekali. "Kamu masih cuti 'kan?" tanya Bian. Kecurigaannya makin menjadi-jadi. Ia menatap Bian dengan serius. Sungguh, dirinya tidak mau Weni membuat kepalanya makin pusing. "Kenapa, Ibunya Mas Bian mau ke rumahku lagi?" tanya Laras. Diamnya Bian sudah dapat menjelaskan semuanya. Laras menghembuskan napas kasar. Sebenarnya ia lelah, ingin berteriak bahwa dirinya hancur, tetapi hal itu hanya tertahan di hati. "Aku masuk dulu," ucap Laras bingung harus merespon apa. Terlebih pria di depannya memilih bungkam. Bian mencekal lengan Laras seolah meminta jawaban lebih. Laras dapat melihat dari sorot matanya bahwa pria itu juga sama bingungnya dengan dirinya. Apa ia harus mencoba? Dengan berjalannya waktu rasa patah hatinya pasti terobati. Apakah mereka benar-benar bisa saling menyembuhkan? "Aku setuju sama kesepakatan waktu itu," putus Laras dengan tatapan cukup menyakinkan. Bian makin memegang erat tangan Laras. Tidak menyangka bahwa kalimat tersebut keluar dari mulut wanita di depannya. Bukankah ini sebuah keajaiban bahwasanya Laras setuju menikah dengan Bian? "Kamu setuju kita menikah?" tanya Bian kembali memastikan. Anggukan kepala dari Laras membuat Bian refleks langsung memeluk tubuh mungil milik wanita di depannya. Pelukan yang cukup erat. Tidak dipungkiri bahwa ia bahagia, bahkan sangat. Pelukan itu kembali terurai. Bian tersenyum. Senyum yang baru Laras lihat semenjak pria itu tinggal dan menjadi tetangganya. Ia merasakan kehangatan dari pria jangkung tersebut. Di depannya, seolah bukan Bian. Si dingin nan menyebalkan itu seakan terhapus dalam hitungan detik. Tin! Tin! Tin! Itu suara klakson motor milik Laura, adik kandung Laras. Si bontot yang kini sedang menempuh pendidikan di SMA. Laura membuka helm-nya. "Nanti dulu mesra-mesranya, bukain gerbang dulu, Kak!" Meski sedikit sebal, Laras membuka gerbang tersebut. Si botot itu tersenyum senang. "Loh, Non Laras yang buka toh? Bapak habis ke toilet sampai buru-buru takut Non Laura nunggu lama," ujar Andi, satpam rumah Laras. "Nggak apa, Pak. Laura juga udah masuk," ujar Laras. "Terima kasih, Non." Dibalas anggukan sama Laras. Bian langsung menahan tangan Laras yang lagi-lagi hendak pergi tanpa mengucapkan sepatah kata. "Apalagi?" tanya Laras. Cup! "Bang Bian!" teriak Laura langsung menggeplak lengan pria itu. Membuat Bian ikut terkejut. Sedangkan yang diberi kecupan malah mematung di tempat. Laura justru yang kesal sendiri melihat adegan mesra tersebut terjadi di depan matanya. Kalian tahu? Laura sampai berkacak pinggang di depan kedua manusia dewasa itu. "Kak Laras kok mau-mau aja si dicium sama Bang Bian?!" gerutu Laura menatap tajam sang Kakak. Laras menelan ludahnya sendiri. Ia juga kaget. Tidak menyangka Bian akan melakukan hal seberani itu. "Memang kenapa?" tanya Bian kebingungan. Memang apa salahnya, itu bahkan hanya kecupan ringan saja. "Itu namanya nggak sopan! Bang Bian main cium Kak Laras aja, kalau ada yang liat selain aku gimana?" cecernya. Laras mengerti maksud sang adik. Ia sontak saja memberi tatapan mencegah kepada Bian. Pria itu mudah sekali terpancing emosi. "Nggak gimana-gimana. Lagian sebentar lagi kamu jadi adik ipar saya," ucap Bian terlalu ceplas-ceplos. Laura melotot tidak percaya. "Kak Laras tolong klarifikasi! Yang diomongin Bang Bian bohong 'kan?" Ia menghembuskan napas kasar. Menatap ke arah sang adik. Kemudian tersenyum kaku. Laras tahu bahwa Laura pasti akan menentang semuanya. Karena suatu hal, Laura— "Nggak! Aku nggak setuju. Kalian jangan sampai menikah! Pokoknya kalian harus putus!" desak Laura teramat kesal. "Kenapa bukan kamu aja yang putus sama adik saya?" ucap Bian membalikkan. Laura terkejut. Tidak. Tidak. Bukan Laura saja, Laras pun ikut tercengang. Dari mana Bian tahu bahwa adiknya memiliki hubungan dengan Laura? Sungguh plot twist. "Saya tau kamu dan Gibran punya hubungan khusus. Lebih baik kalian putus. Anak SMA harusnya fokus belajar, pacaran cuma buang-buang waktu," celetuk Bian cukup menusuk hati Laura. Laras memegang lengan sang adik. "Nggak usah didengerin, masuk sana." Sebenarnya, Laras takut keduanya adu mulut lebih dari ini. Mengingat bagaimana sifat sang adik yang cukup pemberani, apalagi Bian dengan kalimat menyakitkannya. "Memang apa salahnya anak SMA pacaran? Kaya nggak pernah muda aja!" balas Laura mengabaikan perkataan Kakaknya. "Laura," tegur Laras. Setelahnya Laura langsung pergi ke dalam dengan suasana hati tidak baik. Ia pun menatap Bian. "Sebaiknya Mas Bian pulang." "Kamu ngusir saya?" tanya Bian dengan tatapan polos. Sungguh, Laras tambah pusing dibuatnya. Ia seakan tidak diberi napas sejenak. "Nggak. Bukan itu maksudku. Ini udah sore. Aku juga mau bersih-bersih. Mau mandi, Mas." Laras menjelaskan. Bian mengangguk setuju. "Jam 7 saya tunggu di luar."Hari ini, hari patah hati seorang Laras Maheswari. Pandu Pramana, sosok yang sebulan lalu menyandang status sebagai mantan kekasihnya, kini resmi menikah dengan Jelita anak magang di perusahaan mereka bekerja. "Masih nggak bisa dipercaya seorang Laras Maheswari kalah sama anak magang," ledek Sarah, sahabat Laras. Dibarengi dengan itu, Pandu dan Jelita berjalan di atas altar dengan senyum rekah. Laras menatap keduanya dengan perasaan bahagia sekaligus sakit. Pandu sudah menjemput bahagianya dengan perempuan yang ia cintai, lantas bagaimana dengan Laras? "2 bulan." Sarah melirik ke arah Laras. "Jelita cuma butuh waktu 2 bulan buat meluluhkan hatinya Pandu. Itu nggak sebanding sama kebersamaan kalian." Faktanya, Laras dan Pandu sudah menjalin hubungan selama 5 tahun dan putus karena ego masing-masing. Mereka menjalin asmara karena berada di satu divisi yang sama. "Mereka cocok," celetuk Laras saat ia menerima lambaian tangan dari Pandu, tidak lupa tersenyum seolah bahagia. Sarah me
"Kamu nggak mau nikah sama saya? Biar samaan kaya mereka," kata Bian membuat Laras menajamkan matanya. "Laras!" panggil Sarah. Sarah pun datang menghampiri keduanya. "Oh lagi sama Bian, aku kira kamu lagi ngobrol sama siapa." "Aku pulang duluan, ya, Ras? Suamiku kasian pulang-pulang aku nya malah nggak ada di rumah," ujar Sarah. Sarah memang sudah menikah. Suaminya tidak ikut kondangan karena masih ada di luar kota urusan pekerjaan. Saat ini Sarah sedang mengandung anak keduanya. Usia kandungannya baru 2 bulan. "Nggak apa, kamu pulang aja, Sar. Bumil jangan pulang malam-malam," ucap Laras. "Bisa aja kamu, Ras. Oh, iya, kamu pulang sama Bian aja. Rumah kalian deket, tuh. Bisa kan, Bi?" tanya Sarah meminta persetujuan Bian. Laras langsung menolak, "Nggak usah. Astaga, Sar. Aku bisa pulang pesan Taxi. Udah kamu pulang sana, suamimu marah tau rasa nanti." "Ya udah. Titip Laras, ya, Bian. Bye, Ras!" Setelahnya tinggallah Laras dan Bian. Suasana terasa canggung. Lara
"Ya ampun, makannya pelan-pelan Sayang," ujar Weni padahal Laras tersedak pun karena ulah perkataannya. Laras langsung meneguk segelas air putih hingga menyisihkan setengah. Ia menatap Bian sebentar, mengapa pria itu bisa setenang ini? "Maaf, maksud Tante Weni tadi apa, ya?" tanya Laras kembali memastikan. Weni menegakkan tubuhnya. Ia bahkan menebar senyum. "Menikah. Kamu dan Bian. Orang tua kamu juga pasti nggak akan keberatan, kok. Iya 'kan, Bu, Pak?" Sontak kepala Laras langsung miring ke samping. Di sana ada orang tuanya. Sang Ibu bahkan sampai menarik napas seolah ini adalah hal berat untuknya. "Mama dan Papa memang berniat mengenalkan kamu dengan Bian agar lebih dekat lagi. Kami nggak akan memaksa karena semua keputusan ada di tangan kamu," ungkap sang Ibu. Pun dengan sang Ayah yang langsung menimpali, "Papa selalu dukung keputusan kamu, Laras." Tidak. Laras tidak mau seperti ini. Ia bahkan masih belum mengerti maksudnya. Sejak 3 bulan yang lalu Bian pindah ke depa
Selepas kejadian semalam, sorenya Laras bertemu dengan Sarah. Mereka berada di sebuah cafe bernama Cafe Favorit Kita. "Asli, aku pusing banget, Sar!" seru Laras memegang kepalanya dengan kedua tangannya. "Ya udah memang kenapa kalau nikah sama Bian? Dia udah mapan, Ras. Punya rumah, mobil, kerja juga enak. Jabatannya direktur lagi, kurang apa coba?" tanya Sarah dengan pemikirannya. "Masalahnya aku nggak suka sama Mas Bian, Sar. Nikah itu bukan perkara nikah doang, loh," resah Laras. "Oke-oke. Aku paham yang kamu maksud. Tapi gini, kamu kan udah lumayan lama kenal Bian, memang nggak ada rasa apa pun gitu? Rasa nyaman mungkin?" "Dia tetangga aku. Aku ngeliat dia cuma sebagai tetanggaku, nggak lebih." "Kalau kamu nggak suka, bisa nolak. Hidup itu jangan dibawa ribet, Ras. Lagian, baru pengenalan 'kan?" "Masalahnya aku sama Mas Bian nggak terlalu deket, Sar." Laras mengungkapkan keresahannya. Tidak. Bahkan lebih. Laras bingung menjelaskannya seperti apa. Apalagi setelah Bian
Di dalam mobil. Kini Laras dan Bian sudah berada di dalam mobil. Usai melakukan drama di cafe, keduanya memutuskan untuk pulang. "Itu cuma akting. Aku nggak sungguh-sungguh, Mas Bian jangan ge'er pokoknya!" ucap Laras kelewat cerewet. Gengsi setengah mati. Namun, Laras berusaha biasa saja. Jika saja ia bisa menghilang, ia mungkin sudah menghilang dari tadi. "Aku panggil Mas Bian pakai kata 'Sayang' itu juga bagian dari akting." Laras mencoba klarifikasi. Laras menoleh ke arah Bian yang sedari tadi tidak menanggapi omongannya. Wanita itu kesal, sebab Bian hanya fokus menyetir bahkan merespon saja tidak. "Mas Bian denger aku ngomong nggak si!" kesalnya. Bian hanya berdeham sebagai respon, membuat Laras makin dibuat kesal. Ia berdecak kesal dan membelakangi Bian sehingga dirinya menghadap ke jendela mobil. Setelah perjalanan penuh keheningan tersebut, mereka akhirnya sampai di rumah. Bian memarkirkan mobilnya di tepi jalan tepat di depan rumah Laras. Laras menggapai pintu
Selepas kejadian semalam, sorenya Laras bertemu dengan Sarah. Mereka berada di sebuah cafe bernama Cafe Favorit Kita. "Asli, aku pusing banget, Sar!" seru Laras memegang kepalanya dengan kedua tangannya. "Ya udah memang kenapa kalau nikah sama Bian? Dia udah mapan, Ras. Punya rumah, mobil, kerja juga enak. Jabatannya direktur lagi, kurang apa coba?" tanya Sarah dengan pemikirannya. "Masalahnya aku nggak suka sama Mas Bian, Sar. Nikah itu bukan perkara nikah doang, loh," resah Laras. "Oke-oke. Aku paham yang kamu maksud. Tapi gini, kamu kan udah lumayan lama kenal Bian, memang nggak ada rasa apa pun gitu? Rasa nyaman mungkin?" "Dia tetangga aku. Aku ngeliat dia cuma sebagai tetanggaku, nggak lebih." "Kalau kamu nggak suka, bisa nolak. Hidup itu jangan dibawa ribet, Ras. Lagian, baru pengenalan 'kan?" "Masalahnya aku sama Mas Bian nggak terlalu deket, Sar." Laras mengungkapkan keresahannya. Tidak. Bahkan lebih. Laras bingung menjelaskannya seperti apa. Apalagi setelah Bian
"Ya ampun, makannya pelan-pelan Sayang," ujar Weni padahal Laras tersedak pun karena ulah perkataannya. Laras langsung meneguk segelas air putih hingga menyisihkan setengah. Ia menatap Bian sebentar, mengapa pria itu bisa setenang ini? "Maaf, maksud Tante Weni tadi apa, ya?" tanya Laras kembali memastikan. Weni menegakkan tubuhnya. Ia bahkan menebar senyum. "Menikah. Kamu dan Bian. Orang tua kamu juga pasti nggak akan keberatan, kok. Iya 'kan, Bu, Pak?" Sontak kepala Laras langsung miring ke samping. Di sana ada orang tuanya. Sang Ibu bahkan sampai menarik napas seolah ini adalah hal berat untuknya. "Mama dan Papa memang berniat mengenalkan kamu dengan Bian agar lebih dekat lagi. Kami nggak akan memaksa karena semua keputusan ada di tangan kamu," ungkap sang Ibu. Pun dengan sang Ayah yang langsung menimpali, "Papa selalu dukung keputusan kamu, Laras." Tidak. Laras tidak mau seperti ini. Ia bahkan masih belum mengerti maksudnya. Sejak 3 bulan yang lalu Bian pindah ke depa
"Kamu nggak mau nikah sama saya? Biar samaan kaya mereka," kata Bian membuat Laras menajamkan matanya. "Laras!" panggil Sarah. Sarah pun datang menghampiri keduanya. "Oh lagi sama Bian, aku kira kamu lagi ngobrol sama siapa." "Aku pulang duluan, ya, Ras? Suamiku kasian pulang-pulang aku nya malah nggak ada di rumah," ujar Sarah. Sarah memang sudah menikah. Suaminya tidak ikut kondangan karena masih ada di luar kota urusan pekerjaan. Saat ini Sarah sedang mengandung anak keduanya. Usia kandungannya baru 2 bulan. "Nggak apa, kamu pulang aja, Sar. Bumil jangan pulang malam-malam," ucap Laras. "Bisa aja kamu, Ras. Oh, iya, kamu pulang sama Bian aja. Rumah kalian deket, tuh. Bisa kan, Bi?" tanya Sarah meminta persetujuan Bian. Laras langsung menolak, "Nggak usah. Astaga, Sar. Aku bisa pulang pesan Taxi. Udah kamu pulang sana, suamimu marah tau rasa nanti." "Ya udah. Titip Laras, ya, Bian. Bye, Ras!" Setelahnya tinggallah Laras dan Bian. Suasana terasa canggung. Lara
Hari ini, hari patah hati seorang Laras Maheswari. Pandu Pramana, sosok yang sebulan lalu menyandang status sebagai mantan kekasihnya, kini resmi menikah dengan Jelita anak magang di perusahaan mereka bekerja. "Masih nggak bisa dipercaya seorang Laras Maheswari kalah sama anak magang," ledek Sarah, sahabat Laras. Dibarengi dengan itu, Pandu dan Jelita berjalan di atas altar dengan senyum rekah. Laras menatap keduanya dengan perasaan bahagia sekaligus sakit. Pandu sudah menjemput bahagianya dengan perempuan yang ia cintai, lantas bagaimana dengan Laras? "2 bulan." Sarah melirik ke arah Laras. "Jelita cuma butuh waktu 2 bulan buat meluluhkan hatinya Pandu. Itu nggak sebanding sama kebersamaan kalian." Faktanya, Laras dan Pandu sudah menjalin hubungan selama 5 tahun dan putus karena ego masing-masing. Mereka menjalin asmara karena berada di satu divisi yang sama. "Mereka cocok," celetuk Laras saat ia menerima lambaian tangan dari Pandu, tidak lupa tersenyum seolah bahagia. Sarah me