Di dalam mobil.
Kini Laras dan Bian sudah berada di dalam mobil. Usai melakukan drama di cafe, keduanya memutuskan untuk pulang. "Itu cuma akting. Aku nggak sungguh-sungguh, Mas Bian jangan ge'er pokoknya!" ucap Laras kelewat cerewet. Gengsi setengah mati. Namun, Laras berusaha biasa saja. Jika saja ia bisa menghilang, ia mungkin sudah menghilang dari tadi. "Aku panggil Mas Bian pakai kata 'Sayang' itu juga bagian dari akting." Laras mencoba klarifikasi. Laras menoleh ke arah Bian yang sedari tadi tidak menanggapi omongannya. Wanita itu kesal, sebab Bian hanya fokus menyetir bahkan merespon saja tidak. "Mas Bian denger aku ngomong nggak si!" kesalnya. Bian hanya berdeham sebagai respon, membuat Laras makin dibuat kesal. Ia berdecak kesal dan membelakangi Bian sehingga dirinya menghadap ke jendela mobil. Setelah perjalanan penuh keheningan tersebut, mereka akhirnya sampai di rumah. Bian memarkirkan mobilnya di tepi jalan tepat di depan rumah Laras. Laras menggapai pintu hendak keluar, naasnya pintu tersebut masih terkunci. Membuatnya diredam emosi. Sebenarnya, apa si mau Bian ini? "Buka," perintah Laras kesal. "Kenapa dikunci, si?!" Tidak mempedulikan ucapan wanita di depannya. Bian mendekatkan wajahnya ke arah Laras. Karena takut, Laras makin mojok ke pintu. Jantungnya berdegup kencang. "Kenapa takut?" tanya Bian dengan nada meledek. Laras hampir tidak bisa bernapas dibuatnya. "Mas Bian—" "Kenapa, Sayang?" godanya. Sial. Laras mendorong tubuh Bian dengan penuh tenaga. Ia dapat bernapas lega setelah pria itu kembali ke tempat asalnya. Menatap tajam, lalu dengan cepat keluar dari mobil karena pintu sudah terbuka. Di luar mobil. Pria itu menghentikan langkah Laras dengan mencekal lengan wanitanya. Tidak peduli Laras marah. Ia tidak ingin wanita itu pergi begitu saja. "Besok Ibu saya ke sini lagi," ungkap Bian saling berhadapan dengan Laras. Wanita itu mengerutkan keningnya heran. Untuk apa Weni ke sini? Bahkan dalam seminggu tercatat 3 kali berkunjung ke rumah anaknya. Laras tahu itu hak Weni, tetapi tidak biasanya. Weni bahkan terhitung jarang menyapa Bian ke Jakarta, bisa 1 bulan sekali. "Kamu masih cuti 'kan?" tanya Bian. Kecurigaannya makin menjadi-jadi. Ia menatap Bian dengan serius. Sungguh, dirinya tidak mau Weni membuat kepalanya makin pusing. "Kenapa, Ibunya Mas Bian mau ke rumahku lagi?" tanya Laras. Diamnya Bian sudah dapat menjelaskan semuanya. Laras menghembuskan napas kasar. Sebenarnya ia lelah, ingin berteriak bahwa dirinya hancur, tetapi hal itu hanya tertahan di hati. "Aku masuk dulu," ucap Laras bingung harus merespon apa. Terlebih pria di depannya memilih bungkam. Bian mencekal lengan Laras seolah meminta jawaban lebih. Laras dapat melihat dari sorot matanya bahwa pria itu juga sama bingungnya dengan dirinya. Apa ia harus mencoba? Dengan berjalannya waktu rasa patah hatinya pasti terobati. Apakah mereka benar-benar bisa saling menyembuhkan? "Aku setuju sama kesepakatan waktu itu," putus Laras dengan tatapan cukup menyakinkan. Bian makin memegang erat tangan Laras. Tidak menyangka bahwa kalimat tersebut keluar dari mulut wanita di depannya. Bukankah ini sebuah keajaiban bahwasanya Laras setuju menikah dengan Bian? "Kamu setuju kita menikah?" tanya Bian kembali memastikan. Anggukan kepala dari Laras membuat Bian refleks langsung memeluk tubuh mungil milik wanita di depannya. Pelukan yang cukup erat. Tidak dipungkiri bahwa ia bahagia, bahkan sangat. Pelukan itu kembali terurai. Bian tersenyum. Senyum yang baru Laras lihat semenjak pria itu tinggal dan menjadi tetangganya. Ia merasakan kehangatan dari pria jangkung tersebut. Di depannya, seolah bukan Bian. Si dingin nan menyebalkan itu seakan terhapus dalam hitungan detik. Tin! Tin! Tin! Itu suara klakson motor milik Laura, adik kandung Laras. Si bontot yang kini sedang menempuh pendidikan di SMA. Laura membuka helm-nya. "Nanti dulu mesra-mesranya, bukain gerbang dulu, Kak!" Meski sedikit sebal, Laras membuka gerbang tersebut. Si botot itu tersenyum senang. "Loh, Non Laras yang buka toh? Bapak habis ke toilet sampai buru-buru takut Non Laura nunggu lama," ujar Andi, satpam rumah Laras. "Nggak apa, Pak. Laura juga udah masuk," ujar Laras. "Terima kasih, Non." Dibalas anggukan sama Laras. Bian langsung menahan tangan Laras yang lagi-lagi hendak pergi tanpa mengucapkan sepatah kata. "Apalagi?" tanya Laras. Cup! "Bang Bian!" teriak Laura langsung menggeplak lengan pria itu. Membuat Bian ikut terkejut. Sedangkan yang diberi kecupan malah mematung di tempat. Laura justru yang kesal sendiri melihat adegan mesra tersebut terjadi di depan matanya. Kalian tahu? Laura sampai berkacak pinggang di depan kedua manusia dewasa itu. "Kak Laras kok mau-mau aja si dicium sama Bang Bian?!" gerutu Laura menatap tajam sang Kakak. Laras menelan ludahnya sendiri. Ia juga kaget. Tidak menyangka Bian akan melakukan hal seberani itu. "Memang kenapa?" tanya Bian kebingungan. Memang apa salahnya, itu bahkan hanya kecupan ringan saja. "Itu namanya nggak sopan! Bang Bian main cium Kak Laras aja, kalau ada yang liat selain aku gimana?" cecernya. Laras mengerti maksud sang adik. Ia sontak saja memberi tatapan mencegah kepada Bian. Pria itu mudah sekali terpancing emosi. "Nggak gimana-gimana. Lagian sebentar lagi kamu jadi adik ipar saya," ucap Bian terlalu ceplas-ceplos. Laura melotot tidak percaya. "Kak Laras tolong klarifikasi! Yang diomongin Bang Bian bohong 'kan?" Ia menghembuskan napas kasar. Menatap ke arah sang adik. Kemudian tersenyum kaku. Laras tahu bahwa Laura pasti akan menentang semuanya. Karena suatu hal, Laura— "Nggak! Aku nggak setuju. Kalian jangan sampai menikah! Pokoknya kalian harus putus!" desak Laura teramat kesal. "Kenapa bukan kamu aja yang putus sama adik saya?" ucap Bian membalikkan. Laura terkejut. Tidak. Tidak. Bukan Laura saja, Laras pun ikut tercengang. Dari mana Bian tahu bahwa adiknya memiliki hubungan dengan Laura? Sungguh plot twist. "Saya tau kamu dan Gibran punya hubungan khusus. Lebih baik kalian putus. Anak SMA harusnya fokus belajar, pacaran cuma buang-buang waktu," celetuk Bian cukup menusuk hati Laura. Laras memegang lengan sang adik. "Nggak usah didengerin, masuk sana." Sebenarnya, Laras takut keduanya adu mulut lebih dari ini. Mengingat bagaimana sifat sang adik yang cukup pemberani, apalagi Bian dengan kalimat menyakitkannya. "Memang apa salahnya anak SMA pacaran? Kaya nggak pernah muda aja!" balas Laura mengabaikan perkataan Kakaknya. "Laura," tegur Laras. Setelahnya Laura langsung pergi ke dalam dengan suasana hati tidak baik. Ia pun menatap Bian. "Sebaiknya Mas Bian pulang." "Kamu ngusir saya?" tanya Bian dengan tatapan polos. Sungguh, Laras tambah pusing dibuatnya. Ia seakan tidak diberi napas sejenak. "Nggak. Bukan itu maksudku. Ini udah sore. Aku juga mau bersih-bersih. Mau mandi, Mas." Laras menjelaskan. Bian mengangguk setuju. "Jam 7 saya tunggu di luar."Keesokan harinya. Hari ini adalah hari terakhir Laras cuti bekerja. Entah apa yang akan terjadi di kemudian hari, ia akan menghadapinya. Mengingat sekarang kedatangan orang tua Bian, Laras sudah rapi dengan baju tergolong sopan. "Kamu beneran mau menikah dengan Bian, Nak?" tanya sang Ayah, Yusuf. Laras tersenyum hangat kemungkinan mengangguk lirih. Meski masih ada keraguan di hatinya, Laras tetap yakin bahwa bersama Bian hidupnya pasti jauh lebih baik dan bahagia. Ia mendambakan rumah tangga yang rukun serta harmonis bersama pria itu. Ya, Laras menaruh banyak harapan pada pernikahannya. Yusuf mengusap pundak sang anak. "Papa harap kamu selalu bahagia, Nak.""Laras pun berharap yang sama, Pa," ungkapnya. Suara bising dari pintu luar membuat Laras dan Ayahnya berjalan menghampiri suara tersebut. Sesampainya, Bian serta keluarganya sudah ada di depan. Laras mendadak panas dingin, sebab yang datang bukan hanya Weni saja, melainkan Wahyu selaku Ayahnya Bian pun ikut hadir. "Mari masu
Di dalam mobil. "Tumben kamu diem aja," celetuk Bian dengan pandangan ke depan. Karena tingkat rasa penasaran yang tinggi, Laras pun dengan berani menanyakan hal yang mengganggu di hatinya. Ia bahkan sampai memiringkan tubuhnya menghadap pria itu. "Kalau mau tanya soal yang tadi, jawaban saya masih sama," ujar Bian lebih dulu. Laras berdecak sebal. Ia bukan ingin mengungkit kejadian di Mall tadi, hanya saja ia penasaran kenapa wanita itu ada di sana, lalu ke mana Pandu? "Iya, aku percaya Mas Bian sama Jelita nggak pelukan, tapi Mas tau nggak kenapa Jelita ada di Mall tadi?" "Saya bukan suaminya, jadi saya nggak tau." Jawaban Bian makin membuat Laras tidak mood untuk bicara. Ia menatap pria itu kesal, lalu kembali duduk seperti biasa. Merasa ada yang berbeda dari wanita di sampingnya, Bian pun menoleh tidak lama dari itu kembali fokus menyetir. "Saya nggak tau kenapa Jelita ada di sana. Dia juga nggak bilang apa-apa. Siapa tau memang lagi belanja sama suaminya," ujar Bian beru
Setelah cuti panjang, hari ini Laras kembali disibukkan dengan aktivitasnya sebagai seorang pegawai kantor yang hari-harinya berkutat di depan komputer. Sayangnya, baru saja ia menginjakkan kaki di kantor tercinta omongan tidak sedap dari beberapa pegawai masuk ke dalam indera pendengarannya. Mereka tidak tanggung-tanggung membahas perihal cinta segitiga antara ia, Pandu dan Jelita. Ah, tidak. Lebih tepatnya cinta segi empat. Bian pun ikut andil. "Kayanya Jelita masih ada hubungan sama mantan pacarnya, deh, kemarin aku liat mereka ketemuan di cafe. Kaya lagi ngobrol serius gitu," ungkap si ketua gosip di kantor. Wanita di sampingnya pun menyahut. "Maksud kamu, Pak Bian?" "Iya, Pak Bian rekan bisnisnya Pak Hendra."Laras yang sedang di dalam toilet pun sampai enggan keluar dari bilik kamar mandi karena kepo sendiri, mengingat nama Bian tercetus dari kedua mulut wanita itu. "Tapi, tadi aku nggak sengaja denger dari Mas Pandu, kalau Mbak Laras mau nikah sama Pak Bian.""Kamu serius?
"Laras!" panggil seseorang. Laras yang merasa terpanggil pun langsung menoleh. Di sana sudah ada Bian bersama Hendra di sampingnya. Kedua pria itu datang menghampiri Laras dan Pandu. "Udah selesai?" tanya Bian. Laras kebingungan sendiri sebelum akhirnya ia mengangguk lirih. "Kamu belum pulang Pandu?" Kali ini Hendra yang bicara. "Ini mau pulang, Pak." Pandu menatap Laras sebentar. "Lain kali kita bicara, Ras."Setelah kepergian Pandu. "Laporan yang saya minta udah kamu kirim?" tanya Hendra. "Udah, Pak. Udah saya kirim ke email Bapak." Hal itu langsung diangguki oleh Hendra. Bian berujar, "Udah 'kan? Ayo pulang." "Buru-buru amat lo, Bi. Mau ajak karyawan gue ke mana?" goda Hendra. Sebenarnya, Hendra dan Bian itu bukan sekadar rekan bisnis saja. Mereka sudah sahabatan dari zaman kuliah. "Nggak usah kepo jadi orang," sinis Bian, lalu ia menoleh ke arah Laras. "Ayo, Ras?""Nasib kamu bagus, Ras. Putus dari Pandu, dapetnya Bian. Tapi hati-hati, Bian suka nerkam orang," ujar Hend
Waktu berjalan begitu cepat bagi Laras. Wanita dengan gaun pengantin itu mencoba tersenyum ramah karena hari ini adalah hari di mana ia menyandang status bagian dari keluarga Nugraha. "Kak udah belum? Semuanya udah nunggu," ujar Laura datang dari bilik pintu. "Kamu udah nggak marah lagi sama Kakak?" tanya Laras, sebab sang adik sempat mendiamkannya kala tahu ia dan Bian resmi akan menikah. "Nggak ada waktu buat bahas itu. Cepet keluar, Mama dari tadi udah bawel di bawah."Laras mengangguk paham. Ia pun berjalan keluar kamar hotel karena pernikahan berlangsung di dalam gedung. "Aku udah putus sama Gibran," ungkap Laura tiba-tiba. Gibran itu adik kandungnya Bian. Bian yang sebentar lagi akan menjadi suaminya Laras, juga Kakak iparnya Laura. "Kamu serius?" kaget Laras. Laura terdiam sebentar, lalu menjawab. "Aku mau kuliah dulu. Seperti yang Kak Laras bilang, aku harus jadi orang sukses. Banggain Mama, Papa sama Kak Laras." Laras tersenyum mendengar bijaknya jawaban sang adik. Me
Pagi hari pun tiba. Laras membuka matanya perlahan. Menyadari hanya tersisa dirinya yang tidur di atas ranjang. Dengan setengah sadar, matanya mengedar ke arah lain mencari keberadaan suaminya. Nihil. Ia tidak menemukan Bian di dalam kamar. Lantas, ke mana pria itu pergi? Ia pun memutuskan turun dari ranjang. Membuka pintu kamar, lalu menuju ke ruangan lain, siapa tau Bian ada di sana. Akhirnya langkah Laras berhenti di dapur. Ia mendudukkan pantatnya di atas kursi meja makan karena di sana sudah tersedia sarapan pagi, nasi goreng. "Mas masak?" tanya Laras menatap nasi goreng yang tersaji di depannya. Lalu pandangannya tidak sengaja melihat kertas putih di atas meja, tepat di samping kanan sebelah nasi goreng. Ia menatap Bian kebingungan. "Itu kontrak pernikahan selama 1 tahun, seperti yang dulu kita sepakati," jelas Bian. Laras pikir, Bian lupa akan kesepakatan waktu itu. Laras pikir, mereka menikah atas dasar suka sama suka. Ternyata wanita itu salah, ekspektasinya ketinggian.
"Laura, antar makanan ke rumah Kakakmu sana," teriak sang Ibu. Laura menuruni anak tangga dengan ponsel di tangannya. "Emang Kak Laras udah pindah?" "Udah. Makanya kamu jangan di kamar terus. Kerjaannya main HP terus. Sesekali bantu Mama beres-beres, ngepel, cuci piring atau apalah yang bisa kamu kerjain," omel wanita di depannya itu. Laura mengerucutkan bibirnya sebal. "Mana sini makanannya?""Jangan dibuang, loh," ancam sang Ibu. "Siapa juga yang mau buang makanan, Ma. Mubazir yang ada," jawab Laura. "Kamu ini. Udah sana berangkat, titip salam buat Kakak kamu, ya."Hal itu hanya dibalas anggukan oleh Laura. Ia bergegas pergi keluar dengan tangan yang menenteng makanan untuk sang Kakak. Usai menyeberangi jalan, Laura masuk ke dalam rumah tersebut untungnya gerbang tidak dikunci. Entah ke mana satpam yang jaga. Ia pun menekan bel hingga tiga kali. Menunggu pintu dua tersebut terbuka. "Laura, ngapain kamu ke sini?" Laras langsung salah fokus ke bawaan adiknya. "Bawain makanan?"
Hari itu, Jelita datang menemui Bian untuk yang pertama kalinya setelah ia menikah dengan Pandu. Entah punya keberanian dari mana, wanita tersebut meminta Bian untuk tidak menikah dengan Laras. Hal yang membuat hati Bian hampir goyah dibuatnya. *Flashback. "Kenapa, Li?" tanya Bian usai mendatangi wanita itu. Awalnya Jelita hanya terdiam. Mata wanita itu sembab, terlihat seperti orang yang habis menangis. Tentu hal tersebut menarik perhatian Bian. "Kamu habis nangis?" tanya Bian lagi. Jelita dengan mata yang kembali berair pun menatap Bian cukup prihatin. Sedangkan yang ditatap malah kebingungan sendiri. "Oke, nggak apa-apa kalau kamu belum mau cerita. Tapi, bisa kamu kasih tau aku kenapa kamu nyuruh aku ke sini?" tanya Bian. Ia mencoba menulusuri apa yang sebenarnya terjadi dengan Jelita. "Aku hamil, Mas." Tiga kata itu yang membuat Bian terdiam. Ia terus menerka-nerka maksud dari ucapan yang wanita di depannya lontarkan barusan. "Mas Pandu menikahi aku bukan karena cinta, ta
Rumah orang tua Laras. Wanita sengaja bermain ke sana karena ingin merilekskan pikiran. Setelah kejadian kemarin, pikirannya seakan penuh. Ia tidak mampu mencerna apa pun dalam waktu singkat. Bahkan ia masih menggunakan setelan kantor. Belum pulang ke rumahnya. "Kamu udah makan?" tanya sang Ibu. Laras mengangguk pelan. "Papa ke mana, Ma?" "Ada di halaman belakang. Lagi liat-liat burung sama Robi, anaknya Pak RT yang baru pulang dari Jerman itu.""Robi yang dulu culun pake kacamata itu, Ma?" tanya Laras ikut memastikan. "Iya, tapi jangan sangka kamu. Robi yang sekarang dia banyak berubah, kulitnya juga makin putih. Kaya bule-bule Jerman gitu," kompor Ibunya. Laras mencoba membayangkan bagaimana rupa Robi yang sekarang, sebab mungkin sudah 5 tahun setelah pria itu memutuskan pergi ke Jerman ia tidak pernah melihat dan tahu kabarnya bahkan di sosial media pun mereka tidak berteman. "Oh, iya, kamu kenapa ke sini? Belum pulang ke rumah." Ibunya tersadar. Laras langsung gelapan send
Satu bulan berlalu. Semenjak kejadian di mana Laras marah besar kepada Bian karena pria itu telah membantu Jelita sang mantan pacar untuk tinggal sementara waktu di apartemennya, saat ini kedua pasangan suami istri itu bak orang asing yang tinggal satu rumah. Awalnya Laras sengaja mendiamkan Bian supaya pria itu berpikir. Namun, Bian malah ikut membisu sepanjang ia puasa berbicara pada suaminya. Laras pikir, Bian akan membujuknya. Pria itu berusaha agar ia tidak marah lagi. Sayangnya, yang dilakukan Bian justru berbanding terbalik. Tidak ada sapaan hangat. Hanya keasingan yang Laras rasakan sebulan belakang ini. "Kamu belum juga baikan sama Bian, Ras?" tanya Sarah. Saat ini Laras sedang bermain ke rumah sahabatnya itu. Menjenguk sang ponakan. "Aku nggak tau harus mulai dari mana." Laras menghadap ke arah Sarah. "Menurut kamu, mungkin nggak Mas Bian balik lagi sama Jelita?""Tadinya aku nggak mau berpikir ke sana, tapi akhir-akhir ini Mas Bian sering pulang malam. Bukan sekali dua
Di dalam rumah. Pukul 8 malam. "Mandinya udah?" tanya Bian melihat Laras yang sudah rapi menuruni anak tangga. Laras pun mengangguk lirih. Ia berjalan menuju dapur, mengecek apakah ada bahan baku yang bisa ia masak untuk makan malam nanti. Sedangkan sang suami yang sedang duduk di ruang tamu dengan televisi menyala pun ikut berjalan ke arah dapur. "Mau masak?" Lagi, lagi Bian bertanya. Laras tanpa mengeluarkan kalimat hanya bisa mengangguk seperti biasa. Wanita itu mengeluarkan sayur, telur juga mi instan. Ia berniat memasak mi pedas. "Mas mau makan mi?" tawar Laras biar sekalian ia buatkan. FYI, Bi Sri sedari siang sudah pulang lebih dulu karena sang anak jatuh sakit. Itu sebabnya tidak ada makan malam hari ini. Bian pun ikut mengecek bahan baku di dalam kulkas. "Saya lagi kepengen makan nasi goreng ayam suir. Kamu bisa buatkan?" Tangannya berhenti di dekat kompor. Air sudah ia rebus. Mi juga sudah dibuka. Kenapa tiba-tiba pria itu request menu makanan yang biasanya tinggal m
Sore hari."Aku nggak bisa, Mas." Jelita menatap Bian sungguh-sungguh. "Aku nggak bisa lagi bertahan sama Mas Pandu," lirihnya. Bian membuang napas ke arah lain. Saat ini mereka sedang bertemu di sebuah taman yang terdapat jembatan di dalamnya. "Kamu harus ingat anak yang kamu kandung Jelita," ucap Bian cukup tegas, tetapi tersirat rasa khawatir di dalamnya. Jelita menunduk lemah. Ia tahu Bian pasti marah akan keputusannya itu. Namun, bertahan dengan Pandu begitu sulit. Ia merasa Pandu tidak sesayang itu padanya. "Aku bisa besarin anakku sendiri," ucapnya pelan. Entah kenapa, Bian merasa jengah sendiri. Mendengar hal itu dari mulut wanita di depannya membuat gejolak amarah hampir meledak, tetapi sebisa mungkin ia tahan. "Saya bantu kamu bicara sama Pandu," putus Bian. Jelita menahan. Ia menggelengkan kepala. "Aku mohon, Mas. Aku nggak mau balik lagi sama Mas Pandu."Wajah memelas itu membuat Bian merasa iba. Entah sudah berapa kali Jelita memohon padanya. Wanita itu bahkan ter
Pukul sebelas siang. "Laras bahenol!" teriak Bima dengan berkas di tangannya. Laras sontak menghentikan langkahnya. Menyipitkan mata melihat Bima yang tengah berjalan ke arahnya. Ada apa? Pikirnya. "Udah ketemu sama suami lo?" tanya Bima tiba-tiba. "Mas Bian maksud kamu?" Bima kemudian mengangguk cepat. "Iya. Tadi dia ke sini, nanyain lo. Lagian lo pergi kenapa nggak izin dulu sama suami coba.""Kamu nggak jawab yang aneh-aneh kan?" "Nggak. Cuma gue bilang lo nggak di kantor, izin masuk siang. Kenapa si, lo emang dari mana jam segini baru datang," cecer Bima. "Makasih infonya, Bim." Bima mengerutkan keningnya heran. Laras memang ada aja tingkahnya. Wanita itu terlihat santai sekali. Ia bahkan menggelengkan kepalanya. "Ras, akhirnya datang juga kamu." Sarah menghampiri sahabatnya itu. "Kamu ditunggu Pak Hendra di ruangannya.""Kenapa, bukannya rapat nanti siang jam 1 ya?" tanya Laras kebingungan sendiri. "Laporan terakhir itu, udah selesaikan?" tanya Sarah ikut menerka. "Uda
Beberapa waktu ke belakang, Laras menyadari bahwa perasaannya terhadap Pandu sudah menghilang. Ia seakan mati rasa. Perasaan yang menggebu-gebu itu telah pudar seiring berjalannya waktu. Yang ia rasakan saat ini hanya bagaimana mempertahankan hubungan pernikahan dengan Bian.Laras sudah jatuh hati pada pria itu. Pada suaminya sendiri. Suami kontraknya. Suami yang tidak pernah memperjuangkan dirinya. Suami yang bahkan tak pernah menunjukan rasa cinta dan kasih sayang. Dingin. Laras merasa hanya ia yang berjuang, sedangkan Bian tidak cukup mengerti. Pria itu seolah tak tersentuh. "Mau ke mana?" Bian berdiri tegak melihat Laras yang hendak keluar dari kamar mereka. Laras menatap suaminya dengan tatapan dingin. Setelahnya berlalu keluar kamar. Padahal jam sudah menunjukkan pukul 10 malam. Mau ke mana wanita itu? Pikir Bian. Ia mengikuti Laras sampai di kamar sebelah. Pikirnya makin kacau. Tidak mungkin wanita itu tidur di kamar ini kan? "Laras—""Aku mau tidur di sini," ungkap wanita i
Sesampainya di depan rumah. "Aku masuk dulu. Mas langsung berangkat lagi aja," ujar Laras membuka pintu mobil dan meninggalkan Bian di dalam sana. Ia tahu Bian hari ini lembur, ia juga masih kesal perkara bentakan tadi. Apalagi pria itu sama sekali tidak meminta maaf. Itu lah alasan kenapa Laras buru-buru masuk ke dalam rumah. *Malam harinya. "Udah jam 8, kenapa masih di sini?" tanya Ibu Laras menghampiri sang anak yang sedang melamun di kamarnya. Kamar yang dulu ia tempati sebelum menikah dengan Bian. Laras menoleh, menatap sang Ibu dengan tatapan penuh. Ia terdiam sejenak. Seolah memberitahu sang Ibu bahwa dirinya sedang kelelahan melalui tatapannya. "Lagi ada masalah sama Bian?" tanyanya. "Laras sama Mas Bian baik-baik aja, Ma." Ia pun meneliti isi kamarnya. "Kamar Laras masih sama, ya, nggak ada yang berubah."Tangannya mengelus kasur lembut miliknya itu. "Seprei masih sama. Nggak pernah Mama ganti, ya?""Semenjak kamu nggak tinggal sama kita, Mama jarang ke kamar kamu. Mam
"Gimana, Bro, kepanasan nggak?" tanya seseorang dari balik telepon. Bian mendapat pesan berupa foto di mana Laras dan Pandu berada di kantor dengan tangan pria itu mencekal lengan Laras. Bukannya apa, hanya saja Bian bingung sendiri, kenapa Laras masih saja dekat dengan mantan yang telah meninggalkannya? Padahal ia sudah melarang wanita itu sebelumnya. "Biasa aja. Mereka lagi bahas kerjaan kayanya," balas Bian menebak-nebak. "Bahas kerjaan masa sambil pegangan gitu," kompor Hendra yang tidak lain adalah Bos Laras sendiri. Hendra pun melirik kedua manusia yang tidak sengaja ia pergoki tersebut. Ia seakan menguping kemudian melaporkannya kepada Bian, sahabatnya. "Mereka lagi bahas Jelita, gue denger nama Jelita disebut," ujar Hendra. Bian berdiri dari tempak duduknya, lalu menahan satu tangannya di atas meja kerja. Apalagi yang terjadi, kenapa Jelita dibawa-bawa? Pikir pria itu. "Terus bilang apalagi mereka?" tanya Bian makin penasaran. Waktu Hendra hendak menoleh kembali, Laras
"Kayanya lo terlalu posesif jadi suami, Bro." Bima menyeruput kopinya dengan santai. "Yang gue lakuin demi kebaikan Jelita. Gue nggak mau dia stress, apalagi dia lagi hamil muda," balas Pandu. "Bukan karena Laras 'kan?" tuding Bima sengaja.Lama Pandu terdiam akhirnya pria itu menjawab, "Mungkin itu salah satunya. Gue menghindari pertengkaran di antara mereka.""Gue setuju si. Ya, kalau dipikir-pikir kisah kalian berempat tuh unik juga.""Unik?"Bima mengangguk dengan tatapan mengarah ke sang partner kerja. "Lo sama Jelita. Laras sama Pak Bian. Kalian, kaya tukeran pasangan. Tapi dunia sempit banget buat kalian berempat.""Mungkin nggak kalau Laras sama Pak Bian itu nikah sirih?" celetuk Bima tiba-tiba. "Omongan lo itu yang selalu nyebar gosip nggak jelas, Bim." Pandu seolah sedang menerawang sesuatu. "Yang gue liat, kayanya Pak Bian emang ada rasa sama Laras.""Karena dia sempat jadi bodyguard-nya Laras?" Pandu mengangguk setuju. "Karena setiap kali gue jalan sama Laras, dia sela