"Ya ampun, makannya pelan-pelan Sayang," ujar Weni padahal Laras tersedak pun karena ulah perkataannya.
Laras langsung meneguk segelas air putih hingga menyisihkan setengah. Ia menatap Bian sebentar, mengapa pria itu bisa setenang ini? "Maaf, maksud Tante Weni tadi apa, ya?" tanya Laras kembali memastikan. Weni menegakkan tubuhnya. Ia bahkan menebar senyum. "Menikah. Kamu dan Bian. Orang tua kamu juga pasti nggak akan keberatan, kok. Iya 'kan, Bu, Pak?" Sontak kepala Laras langsung miring ke samping. Di sana ada orang tuanya. Sang Ibu bahkan sampai menarik napas seolah ini adalah hal berat untuknya. "Mama dan Papa memang berniat mengenalkan kamu dengan Bian agar lebih dekat lagi. Kami nggak akan memaksa karena semua keputusan ada di tangan kamu," ungkap sang Ibu. Pun dengan sang Ayah yang langsung menimpali, "Papa selalu dukung keputusan kamu, Laras." Tidak. Laras tidak mau seperti ini. Ia bahkan masih belum mengerti maksudnya. Sejak 3 bulan yang lalu Bian pindah ke depan rumah dan menjadi tetangga mereka, tidak pernah terpikirkan bahwa pria itu akan menjadi suaminya. Tunggu, bukan 'kah Laras bisa menolak? "Maaf semuanya, tapi untuk hal ini Laras keberatan." Ia menatap Ibu dan Ayahnya. "Laras mungkin bisa terima waktu Mas Bian selalu ngikutin ke mana Laras pergi karena itu perintah Papa yang khawatir sama Laras. Laras juga nggak keberatan Mama dan Papa nitipin Laras ke Mas Bian waktu kalian pergi ke luar kota." Laras menarik napas sejenak. "Tapi untuk mengenal lebih jauh, bahkan sampai membina rumah tangga bersama Mas Bian, Laras pikir itu bukan keputusan yang tepat. Mas Bian juga pasti sepemikiran sama Laras." "Nggak." Bian menolak. "Saya pikir kamu salah. Kita bisa menikah, bukannya kita saling membutuhkan?" Laras membelalakkan matanya. Membutuhkan apa maksudnya? Astaga, Bian ini mengacau sekali. Ia bahkan sampai memberi kode, tetapi pria itu justru abai. "Sejak—" "Kalian bisa bicarakan lagi setelah sarapannya selesai," ucap Yusuf, Ayahnya Laras. Pria setengah paruh baya itu sengaja memotong. Seolah mengerti kondisi yang terjadi, Bian tersenyum tipis dan mengangguk lirih. Ia tidak boleh gegabah. Kemudian mereka melanjutkan sarapannya dengan keheningan yang melanda. Usai sarapan. "Kita perlu bicara," ujar Laras bangkit dari tempat duduknya. Diikuti dengan Bian di belakang. Setelah sampai di tempat yang lumayan sepi. Laras membalikkan badannya dan langsung menghadap Bian. Sungguh, saat sarapan tadi Laras sangat tidak mood. Ia kesal dengan Bian. "Maksud Mas Bian di meja makan tadi apa?" todong Laras. Mereka berada di belakang rumah. Tepatnya di area kolam renang pribadi milik keluarga Laras. Berharap para orang tua tidak mendengar percakapan keduanya. "Saya mau kita menikah." Bian menatap Laras cukup serius. Pria gila mana yang belum lama bertemu bahkan dekat saja tidak tiba-tiba mengajak menikah? Bian orangnya. Untuk itu, Laras sangat kesal sekarang. "Tapi aku nggak mau!" sentak Laras. "Kenapa? Kamu masih berharap sama Pandu?" pancing Bian sengaja. Bian memang sudah lama tahu Laras menjalin hubungan dengan Pandu, sebab beberapa kali ia memergoki wanita itu diantar pulang oleh kekasihnya. "Nikah itu bukan sekedar nikah aja, Mas. Nikah itu butuh dua orang yang saling berkomitmen. Kita bahkan nggak punya komitmen apa pun—" "Kita coba dalam 1 tahun." Bian memotong cepat. Laras merapatkan bibirnya. Ia tidak mengerti maksud pria di depannya. Satu tahun? Apa yang dimaksud satu tahun itu? "Kita bisa nikah kontrak," putus Bian. Laras memalingkan wajahnya ke arah lain. Ia tidak habis pikir dengan Bian. Nikah kontrak katanya? Gila. Laras sampai menggelengkan kepala saking tidak percaya. Ia memandang wajah Bian sebentar sebelum akhirnya memilih pergi. Muak dengan pria di depannya. "Saya suka sama kamu," ungkap Bian. Langkah Laras langsung terhenti. Jantungnya berdebar kencang. Ia pasti salah dengar. Bian tidak mungkin suka padanya. Tidak. Dalam satu hentakan, Bian menarik tangan Laras dan tanpa aba-aba langsung mengecup bibir wanita itu. Tersadar, Laras mendorong tubuh kekar itu dengan napas yang tidak beraturan. Ia memandang benci ke arah Bian. Tanpa mengucapkan satu kalimat pun, Laras pergi ke dalam dan mengurung diri di dalam kamar. Perasaannya begitu campur aduk. *Malam pun tiba. "Laras, kamu baik-baik aja kan, Nak?" Sang Ibu menghampiri. Laras baru saja menuruni anak tangga. "Mama khawatir, kamu kenapa langsung pergi ke kamar setelah bicara sama Bian? Kalian nggak berantem 'kan?" Laras tersenyum hangat. "Laras baik-baik aja, Ma." "Syukurlah. Mama khawatir kamu kenapa-kenapa." "Laras mau keluar sebentar, Ma, cari udara segar," izinnya. "Ya udah, hati-hati, ya." Laras mengangguk patuh. Ia berjalan gontai ke arah pintu luar. Dengan baju tipis yang menempel di tubuhnya membuat angin malam menembus ke dalam sana, terasa dingin, tetapi cukup menenangkan. Ia membuka pagar rumah, pada saat yang bersamaan ada Bian di depan sana. Karena sudah kepalang basah, ia pun mencoba tidak peduli. Menutup gerbang tersebut dengan perasaan gundah. Bian tidak bergerak mendekat. Pria itu berdiam diri dengan pandangan yang tidak lepas dari Laras. Bahkan saat Laras mulai menjauh dari pandangannya, ia masih setia mematung. Di sini, Bian hanya tinggal sendiri. Keluarganya di Bandung, termasuk orang tuanya. Ia bekerja di Jakarta meneruskan perusahaan sang ayah, itu kenapa ia bisa menjadi tetangga Laras. "Laras," panggil Bian yang tiba-tiba sudah di belakang. Laras malah makin mempercepat langkahnya. Ia tidak ingin bicara dengan Bian. Tidak untuk saat ini. Bian berhasil mencekal lengan Laras. Kedua bola matanya saling bertubrukan. Urat-urat Laras menegang. Lidahnya kelu. Tatapan Bian seolah menghipnotis. Tidak lama beradu pandang, Bian pun membuka suara. "Kamu menghindar." Laras menepis cekalan itu dengan cukup kasar. "Jangan ganggu aku." Laras hendak pergi, tetapi Bian berhasil mencegahnya. Lagi, kedua bola matanya saling betubrukan. Bian sejenak menarik napas. Sejujurnya ia pun bingung harus bagaimana. Membuat Laras yakin, tidak semudah yang ia pikirkan. Mereka belum pernah berbicara sedekat ini sebelumnya. "Kita bisa buat kesepakatan. Saya nggak akan larang kamu, asalkan kamu mau menikah dengan saya." Kali ini tatapan Bian tampak serius. Laras dapat merasakannya. Laras terdiam. Ia bingung. Sangat bingung. Bagaimana bisa Bian seyakin itu ingin menikah dengan Laras. Apakah Bian sungguh-sungguh atau memang ada niatan lain? Keheningan mulai mendominasi. Entah sejak kapan, Bian sudah berada sangat dekat dengan Laras. Tubuh mereka bahkan hampir menempel satu sama lain. Bian mulai memajukan wajahnya, kembali mengecup bibir Laras untuk kedua kalinya. Singkat. Namun, membuat jantung Laras hampir berhenti berdetak. "Kamu nggak menolak. Itu artinya kamu setuju kita menikah." Bian tersenyum miring.Selepas kejadian semalam, sorenya Laras bertemu dengan Sarah. Mereka berada di sebuah cafe bernama Cafe Favorit Kita. "Asli, aku pusing banget, Sar!" seru Laras memegang kepalanya dengan kedua tangannya. "Ya udah memang kenapa kalau nikah sama Bian? Dia udah mapan, Ras. Punya rumah, mobil, kerja juga enak. Jabatannya direktur lagi, kurang apa coba?" tanya Sarah dengan pemikirannya. "Masalahnya aku nggak suka sama Mas Bian, Sar. Nikah itu bukan perkara nikah doang, loh," resah Laras. "Oke-oke. Aku paham yang kamu maksud. Tapi gini, kamu kan udah lumayan lama kenal Bian, memang nggak ada rasa apa pun gitu? Rasa nyaman mungkin?" "Dia tetangga aku. Aku ngeliat dia cuma sebagai tetanggaku, nggak lebih." "Kalau kamu nggak suka, bisa nolak. Hidup itu jangan dibawa ribet, Ras. Lagian, baru pengenalan 'kan?" "Masalahnya aku sama Mas Bian nggak terlalu deket, Sar." Laras mengungkapkan keresahannya. Tidak. Bahkan lebih. Laras bingung menjelaskannya seperti apa. Apalagi setelah Bian
Di dalam mobil. Kini Laras dan Bian sudah berada di dalam mobil. Usai melakukan drama di cafe, keduanya memutuskan untuk pulang. "Itu cuma akting. Aku nggak sungguh-sungguh, Mas Bian jangan ge'er pokoknya!" ucap Laras kelewat cerewet. Gengsi setengah mati. Namun, Laras berusaha biasa saja. Jika saja ia bisa menghilang, ia mungkin sudah menghilang dari tadi. "Aku panggil Mas Bian pakai kata 'Sayang' itu juga bagian dari akting." Laras mencoba klarifikasi. Laras menoleh ke arah Bian yang sedari tadi tidak menanggapi omongannya. Wanita itu kesal, sebab Bian hanya fokus menyetir bahkan merespon saja tidak. "Mas Bian denger aku ngomong nggak si!" kesalnya. Bian hanya berdeham sebagai respon, membuat Laras makin dibuat kesal. Ia berdecak kesal dan membelakangi Bian sehingga dirinya menghadap ke jendela mobil. Setelah perjalanan penuh keheningan tersebut, mereka akhirnya sampai di rumah. Bian memarkirkan mobilnya di tepi jalan tepat di depan rumah Laras. Laras menggapai pintu
Hari ini, hari patah hati seorang Laras Maheswari. Pandu Pramana, sosok yang sebulan lalu menyandang status sebagai mantan kekasihnya, kini resmi menikah dengan Jelita anak magang di perusahaan mereka bekerja. "Masih nggak bisa dipercaya seorang Laras Maheswari kalah sama anak magang," ledek Sarah, sahabat Laras. Dibarengi dengan itu, Pandu dan Jelita berjalan di atas altar dengan senyum rekah. Laras menatap keduanya dengan perasaan bahagia sekaligus sakit. Pandu sudah menjemput bahagianya dengan perempuan yang ia cintai, lantas bagaimana dengan Laras? "2 bulan." Sarah melirik ke arah Laras. "Jelita cuma butuh waktu 2 bulan buat meluluhkan hatinya Pandu. Itu nggak sebanding sama kebersamaan kalian." Faktanya, Laras dan Pandu sudah menjalin hubungan selama 5 tahun dan putus karena ego masing-masing. Mereka menjalin asmara karena berada di satu divisi yang sama. "Mereka cocok," celetuk Laras saat ia menerima lambaian tangan dari Pandu, tidak lupa tersenyum seolah bahagia. Sarah me
"Kamu nggak mau nikah sama saya? Biar samaan kaya mereka," kata Bian membuat Laras menajamkan matanya. "Laras!" panggil Sarah. Sarah pun datang menghampiri keduanya. "Oh lagi sama Bian, aku kira kamu lagi ngobrol sama siapa." "Aku pulang duluan, ya, Ras? Suamiku kasian pulang-pulang aku nya malah nggak ada di rumah," ujar Sarah. Sarah memang sudah menikah. Suaminya tidak ikut kondangan karena masih ada di luar kota urusan pekerjaan. Saat ini Sarah sedang mengandung anak keduanya. Usia kandungannya baru 2 bulan. "Nggak apa, kamu pulang aja, Sar. Bumil jangan pulang malam-malam," ucap Laras. "Bisa aja kamu, Ras. Oh, iya, kamu pulang sama Bian aja. Rumah kalian deket, tuh. Bisa kan, Bi?" tanya Sarah meminta persetujuan Bian. Laras langsung menolak, "Nggak usah. Astaga, Sar. Aku bisa pulang pesan Taxi. Udah kamu pulang sana, suamimu marah tau rasa nanti." "Ya udah. Titip Laras, ya, Bian. Bye, Ras!" Setelahnya tinggallah Laras dan Bian. Suasana terasa canggung. Lara
Di dalam mobil. Kini Laras dan Bian sudah berada di dalam mobil. Usai melakukan drama di cafe, keduanya memutuskan untuk pulang. "Itu cuma akting. Aku nggak sungguh-sungguh, Mas Bian jangan ge'er pokoknya!" ucap Laras kelewat cerewet. Gengsi setengah mati. Namun, Laras berusaha biasa saja. Jika saja ia bisa menghilang, ia mungkin sudah menghilang dari tadi. "Aku panggil Mas Bian pakai kata 'Sayang' itu juga bagian dari akting." Laras mencoba klarifikasi. Laras menoleh ke arah Bian yang sedari tadi tidak menanggapi omongannya. Wanita itu kesal, sebab Bian hanya fokus menyetir bahkan merespon saja tidak. "Mas Bian denger aku ngomong nggak si!" kesalnya. Bian hanya berdeham sebagai respon, membuat Laras makin dibuat kesal. Ia berdecak kesal dan membelakangi Bian sehingga dirinya menghadap ke jendela mobil. Setelah perjalanan penuh keheningan tersebut, mereka akhirnya sampai di rumah. Bian memarkirkan mobilnya di tepi jalan tepat di depan rumah Laras. Laras menggapai pintu
Selepas kejadian semalam, sorenya Laras bertemu dengan Sarah. Mereka berada di sebuah cafe bernama Cafe Favorit Kita. "Asli, aku pusing banget, Sar!" seru Laras memegang kepalanya dengan kedua tangannya. "Ya udah memang kenapa kalau nikah sama Bian? Dia udah mapan, Ras. Punya rumah, mobil, kerja juga enak. Jabatannya direktur lagi, kurang apa coba?" tanya Sarah dengan pemikirannya. "Masalahnya aku nggak suka sama Mas Bian, Sar. Nikah itu bukan perkara nikah doang, loh," resah Laras. "Oke-oke. Aku paham yang kamu maksud. Tapi gini, kamu kan udah lumayan lama kenal Bian, memang nggak ada rasa apa pun gitu? Rasa nyaman mungkin?" "Dia tetangga aku. Aku ngeliat dia cuma sebagai tetanggaku, nggak lebih." "Kalau kamu nggak suka, bisa nolak. Hidup itu jangan dibawa ribet, Ras. Lagian, baru pengenalan 'kan?" "Masalahnya aku sama Mas Bian nggak terlalu deket, Sar." Laras mengungkapkan keresahannya. Tidak. Bahkan lebih. Laras bingung menjelaskannya seperti apa. Apalagi setelah Bian
"Ya ampun, makannya pelan-pelan Sayang," ujar Weni padahal Laras tersedak pun karena ulah perkataannya. Laras langsung meneguk segelas air putih hingga menyisihkan setengah. Ia menatap Bian sebentar, mengapa pria itu bisa setenang ini? "Maaf, maksud Tante Weni tadi apa, ya?" tanya Laras kembali memastikan. Weni menegakkan tubuhnya. Ia bahkan menebar senyum. "Menikah. Kamu dan Bian. Orang tua kamu juga pasti nggak akan keberatan, kok. Iya 'kan, Bu, Pak?" Sontak kepala Laras langsung miring ke samping. Di sana ada orang tuanya. Sang Ibu bahkan sampai menarik napas seolah ini adalah hal berat untuknya. "Mama dan Papa memang berniat mengenalkan kamu dengan Bian agar lebih dekat lagi. Kami nggak akan memaksa karena semua keputusan ada di tangan kamu," ungkap sang Ibu. Pun dengan sang Ayah yang langsung menimpali, "Papa selalu dukung keputusan kamu, Laras." Tidak. Laras tidak mau seperti ini. Ia bahkan masih belum mengerti maksudnya. Sejak 3 bulan yang lalu Bian pindah ke depa
"Kamu nggak mau nikah sama saya? Biar samaan kaya mereka," kata Bian membuat Laras menajamkan matanya. "Laras!" panggil Sarah. Sarah pun datang menghampiri keduanya. "Oh lagi sama Bian, aku kira kamu lagi ngobrol sama siapa." "Aku pulang duluan, ya, Ras? Suamiku kasian pulang-pulang aku nya malah nggak ada di rumah," ujar Sarah. Sarah memang sudah menikah. Suaminya tidak ikut kondangan karena masih ada di luar kota urusan pekerjaan. Saat ini Sarah sedang mengandung anak keduanya. Usia kandungannya baru 2 bulan. "Nggak apa, kamu pulang aja, Sar. Bumil jangan pulang malam-malam," ucap Laras. "Bisa aja kamu, Ras. Oh, iya, kamu pulang sama Bian aja. Rumah kalian deket, tuh. Bisa kan, Bi?" tanya Sarah meminta persetujuan Bian. Laras langsung menolak, "Nggak usah. Astaga, Sar. Aku bisa pulang pesan Taxi. Udah kamu pulang sana, suamimu marah tau rasa nanti." "Ya udah. Titip Laras, ya, Bian. Bye, Ras!" Setelahnya tinggallah Laras dan Bian. Suasana terasa canggung. Lara
Hari ini, hari patah hati seorang Laras Maheswari. Pandu Pramana, sosok yang sebulan lalu menyandang status sebagai mantan kekasihnya, kini resmi menikah dengan Jelita anak magang di perusahaan mereka bekerja. "Masih nggak bisa dipercaya seorang Laras Maheswari kalah sama anak magang," ledek Sarah, sahabat Laras. Dibarengi dengan itu, Pandu dan Jelita berjalan di atas altar dengan senyum rekah. Laras menatap keduanya dengan perasaan bahagia sekaligus sakit. Pandu sudah menjemput bahagianya dengan perempuan yang ia cintai, lantas bagaimana dengan Laras? "2 bulan." Sarah melirik ke arah Laras. "Jelita cuma butuh waktu 2 bulan buat meluluhkan hatinya Pandu. Itu nggak sebanding sama kebersamaan kalian." Faktanya, Laras dan Pandu sudah menjalin hubungan selama 5 tahun dan putus karena ego masing-masing. Mereka menjalin asmara karena berada di satu divisi yang sama. "Mereka cocok," celetuk Laras saat ia menerima lambaian tangan dari Pandu, tidak lupa tersenyum seolah bahagia. Sarah me