"Ya ampun, makannya pelan-pelan Sayang," ujar Weni padahal Laras tersedak pun karena ulah perkataannya.
Laras langsung meneguk segelas air putih hingga menyisihkan setengah. Ia menatap Bian sebentar, mengapa pria itu bisa setenang ini? "Maaf, maksud Tante Weni tadi apa, ya?" tanya Laras kembali memastikan. Weni menegakkan tubuhnya. Ia bahkan menebar senyum. "Menikah. Kamu dan Bian. Orang tua kamu juga pasti nggak akan keberatan, kok. Iya 'kan, Bu, Pak?" Sontak kepala Laras langsung miring ke samping. Di sana ada orang tuanya. Sang Ibu bahkan sampai menarik napas seolah ini adalah hal berat untuknya. "Mama dan Papa memang berniat mengenalkan kamu dengan Bian agar lebih dekat lagi. Kami nggak akan memaksa karena semua keputusan ada di tangan kamu," ungkap sang Ibu. Pun dengan sang Ayah yang langsung menimpali, "Papa selalu dukung keputusan kamu, Laras." Tidak. Laras tidak mau seperti ini. Ia bahkan masih belum mengerti maksudnya. Sejak 3 bulan yang lalu Bian pindah ke depan rumah dan menjadi tetangga mereka, tidak pernah terpikirkan bahwa pria itu akan menjadi suaminya. Tunggu, bukan 'kah Laras bisa menolak? "Maaf semuanya, tapi untuk hal ini Laras keberatan." Ia menatap Ibu dan Ayahnya. "Laras mungkin bisa terima waktu Mas Bian selalu ngikutin ke mana Laras pergi karena itu perintah Papa yang khawatir sama Laras. Laras juga nggak keberatan Mama dan Papa nitipin Laras ke Mas Bian waktu kalian pergi ke luar kota." Laras menarik napas sejenak. "Tapi untuk mengenal lebih jauh, bahkan sampai membina rumah tangga bersama Mas Bian, Laras pikir itu bukan keputusan yang tepat. Mas Bian juga pasti sepemikiran sama Laras." "Nggak." Bian menolak. "Saya pikir kamu salah. Kita bisa menikah, bukannya kita saling membutuhkan?" Laras membelalakkan matanya. Membutuhkan apa maksudnya? Astaga, Bian ini mengacau sekali. Ia bahkan sampai memberi kode, tetapi pria itu justru abai. "Sejak—" "Kalian bisa bicarakan lagi setelah sarapannya selesai," ucap Yusuf, Ayahnya Laras. Pria setengah paruh baya itu sengaja memotong. Seolah mengerti kondisi yang terjadi, Bian tersenyum tipis dan mengangguk lirih. Ia tidak boleh gegabah. Kemudian mereka melanjutkan sarapannya dengan keheningan yang melanda. Usai sarapan. "Kita perlu bicara," ujar Laras bangkit dari tempat duduknya. Diikuti dengan Bian di belakang. Setelah sampai di tempat yang lumayan sepi. Laras membalikkan badannya dan langsung menghadap Bian. Sungguh, saat sarapan tadi Laras sangat tidak mood. Ia kesal dengan Bian. "Maksud Mas Bian di meja makan tadi apa?" todong Laras. Mereka berada di belakang rumah. Tepatnya di area kolam renang pribadi milik keluarga Laras. Berharap para orang tua tidak mendengar percakapan keduanya. "Saya mau kita menikah." Bian menatap Laras cukup serius. Pria gila mana yang belum lama bertemu bahkan dekat saja tidak tiba-tiba mengajak menikah? Bian orangnya. Untuk itu, Laras sangat kesal sekarang. "Tapi aku nggak mau!" sentak Laras. "Kenapa? Kamu masih berharap sama Pandu?" pancing Bian sengaja. Bian memang sudah lama tahu Laras menjalin hubungan dengan Pandu, sebab beberapa kali ia memergoki wanita itu diantar pulang oleh kekasihnya. "Nikah itu bukan sekedar nikah aja, Mas. Nikah itu butuh dua orang yang saling berkomitmen. Kita bahkan nggak punya komitmen apa pun—" "Kita coba dalam 1 tahun." Bian memotong cepat. Laras merapatkan bibirnya. Ia tidak mengerti maksud pria di depannya. Satu tahun? Apa yang dimaksud satu tahun itu? "Kita bisa nikah kontrak," putus Bian. Laras memalingkan wajahnya ke arah lain. Ia tidak habis pikir dengan Bian. Nikah kontrak katanya? Gila. Laras sampai menggelengkan kepala saking tidak percaya. Ia memandang wajah Bian sebentar sebelum akhirnya memilih pergi. Muak dengan pria di depannya. "Saya suka sama kamu," ungkap Bian. Langkah Laras langsung terhenti. Jantungnya berdebar kencang. Ia pasti salah dengar. Bian tidak mungkin suka padanya. Tidak. Dalam satu hentakan, Bian menarik tangan Laras dan tanpa aba-aba langsung mengecup bibir wanita itu. Tersadar, Laras mendorong tubuh kekar itu dengan napas yang tidak beraturan. Ia memandang benci ke arah Bian. Tanpa mengucapkan satu kalimat pun, Laras pergi ke dalam dan mengurung diri di dalam kamar. Perasaannya begitu campur aduk. *Malam pun tiba. "Laras, kamu baik-baik aja kan, Nak?" Sang Ibu menghampiri. Laras baru saja menuruni anak tangga. "Mama khawatir, kamu kenapa langsung pergi ke kamar setelah bicara sama Bian? Kalian nggak berantem 'kan?" Laras tersenyum hangat. "Laras baik-baik aja, Ma." "Syukurlah. Mama khawatir kamu kenapa-kenapa." "Laras mau keluar sebentar, Ma, cari udara segar," izinnya. "Ya udah, hati-hati, ya." Laras mengangguk patuh. Ia berjalan gontai ke arah pintu luar. Dengan baju tipis yang menempel di tubuhnya membuat angin malam menembus ke dalam sana, terasa dingin, tetapi cukup menenangkan. Ia membuka pagar rumah, pada saat yang bersamaan ada Bian di depan sana. Karena sudah kepalang basah, ia pun mencoba tidak peduli. Menutup gerbang tersebut dengan perasaan gundah. Bian tidak bergerak mendekat. Pria itu berdiam diri dengan pandangan yang tidak lepas dari Laras. Bahkan saat Laras mulai menjauh dari pandangannya, ia masih setia mematung. Di sini, Bian hanya tinggal sendiri. Keluarganya di Bandung, termasuk orang tuanya. Ia bekerja di Jakarta meneruskan perusahaan sang ayah, itu kenapa ia bisa menjadi tetangga Laras. "Laras," panggil Bian yang tiba-tiba sudah di belakang. Laras malah makin mempercepat langkahnya. Ia tidak ingin bicara dengan Bian. Tidak untuk saat ini. Bian berhasil mencekal lengan Laras. Kedua bola matanya saling bertubrukan. Urat-urat Laras menegang. Lidahnya kelu. Tatapan Bian seolah menghipnotis. Tidak lama beradu pandang, Bian pun membuka suara. "Kamu menghindar." Laras menepis cekalan itu dengan cukup kasar. "Jangan ganggu aku." Laras hendak pergi, tetapi Bian berhasil mencegahnya. Lagi, kedua bola matanya saling betubrukan. Bian sejenak menarik napas. Sejujurnya ia pun bingung harus bagaimana. Membuat Laras yakin, tidak semudah yang ia pikirkan. Mereka belum pernah berbicara sedekat ini sebelumnya. "Kita bisa buat kesepakatan. Saya nggak akan larang kamu, asalkan kamu mau menikah dengan saya." Kali ini tatapan Bian tampak serius. Laras dapat merasakannya. Laras terdiam. Ia bingung. Sangat bingung. Bagaimana bisa Bian seyakin itu ingin menikah dengan Laras. Apakah Bian sungguh-sungguh atau memang ada niatan lain? Keheningan mulai mendominasi. Entah sejak kapan, Bian sudah berada sangat dekat dengan Laras. Tubuh mereka bahkan hampir menempel satu sama lain. Bian mulai memajukan wajahnya, kembali mengecup bibir Laras untuk kedua kalinya. Singkat. Namun, membuat jantung Laras hampir berhenti berdetak. "Kamu nggak menolak. Itu artinya kamu setuju kita menikah." Bian tersenyum miring.Selepas kejadian semalam, sorenya Laras bertemu dengan Sarah. Mereka berada di sebuah cafe bernama Cafe Favorit Kita. "Asli, aku pusing banget, Sar!" seru Laras memegang kepalanya dengan kedua tangannya. "Ya udah memang kenapa kalau nikah sama Bian? Dia udah mapan, Ras. Punya rumah, mobil, kerja juga enak. Jabatannya direktur lagi, kurang apa coba?" tanya Sarah dengan pemikirannya. "Masalahnya aku nggak suka sama Mas Bian, Sar. Nikah itu bukan perkara nikah doang, loh," resah Laras. "Oke-oke. Aku paham yang kamu maksud. Tapi gini, kamu kan udah lumayan lama kenal Bian, memang nggak ada rasa apa pun gitu? Rasa nyaman mungkin?" "Dia tetangga aku. Aku ngeliat dia cuma sebagai tetanggaku, nggak lebih." "Kalau kamu nggak suka, bisa nolak. Hidup itu jangan dibawa ribet, Ras. Lagian, baru pengenalan 'kan?" "Masalahnya aku sama Mas Bian nggak terlalu deket, Sar." Laras mengungkapkan keresahannya. Tidak. Bahkan lebih. Laras bingung menjelaskannya seperti apa. Apalagi setelah Bian
Di dalam mobil. Kini Laras dan Bian sudah berada di dalam mobil. Usai melakukan drama di cafe, keduanya memutuskan untuk pulang. "Itu cuma akting. Aku nggak sungguh-sungguh, Mas Bian jangan ge'er pokoknya!" ucap Laras kelewat cerewet. Gengsi setengah mati. Namun, Laras berusaha biasa saja. Jika saja ia bisa menghilang, ia mungkin sudah menghilang dari tadi. "Aku panggil Mas Bian pakai kata 'Sayang' itu juga bagian dari akting." Laras mencoba klarifikasi. Laras menoleh ke arah Bian yang sedari tadi tidak menanggapi omongannya. Wanita itu kesal, sebab Bian hanya fokus menyetir bahkan merespon saja tidak. "Mas Bian denger aku ngomong nggak si!" kesalnya. Bian hanya berdeham sebagai respon, membuat Laras makin dibuat kesal. Ia berdecak kesal dan membelakangi Bian sehingga dirinya menghadap ke jendela mobil. Setelah perjalanan penuh keheningan tersebut, mereka akhirnya sampai di rumah. Bian memarkirkan mobilnya di tepi jalan tepat di depan rumah Laras. Laras menggapai pintu
Keesokan harinya. Hari ini adalah hari terakhir Laras cuti bekerja. Entah apa yang akan terjadi di kemudian hari, ia akan menghadapinya. Mengingat sekarang kedatangan orang tua Bian, Laras sudah rapi dengan baju tergolong sopan. "Kamu beneran mau menikah dengan Bian, Nak?" tanya sang Ayah, Yusuf. Laras tersenyum hangat kemungkinan mengangguk lirih. Meski masih ada keraguan di hatinya, Laras tetap yakin bahwa bersama Bian hidupnya pasti jauh lebih baik dan bahagia. Ia mendambakan rumah tangga yang rukun serta harmonis bersama pria itu. Ya, Laras menaruh banyak harapan pada pernikahannya. Yusuf mengusap pundak sang anak. "Papa harap kamu selalu bahagia, Nak.""Laras pun berharap yang sama, Pa," ungkapnya. Suara bising dari pintu luar membuat Laras dan Ayahnya berjalan menghampiri suara tersebut. Sesampainya, Bian serta keluarganya sudah ada di depan. Laras mendadak panas dingin, sebab yang datang bukan hanya Weni saja, melainkan Wahyu selaku Ayahnya Bian pun ikut hadir. "Mari masu
Di dalam mobil. "Tumben kamu diem aja," celetuk Bian dengan pandangan ke depan. Karena tingkat rasa penasaran yang tinggi, Laras pun dengan berani menanyakan hal yang mengganggu di hatinya. Ia bahkan sampai memiringkan tubuhnya menghadap pria itu. "Kalau mau tanya soal yang tadi, jawaban saya masih sama," ujar Bian lebih dulu. Laras berdecak sebal. Ia bukan ingin mengungkit kejadian di Mall tadi, hanya saja ia penasaran kenapa wanita itu ada di sana, lalu ke mana Pandu? "Iya, aku percaya Mas Bian sama Jelita nggak pelukan, tapi Mas tau nggak kenapa Jelita ada di Mall tadi?" "Saya bukan suaminya, jadi saya nggak tau." Jawaban Bian makin membuat Laras tidak mood untuk bicara. Ia menatap pria itu kesal, lalu kembali duduk seperti biasa. Merasa ada yang berbeda dari wanita di sampingnya, Bian pun menoleh tidak lama dari itu kembali fokus menyetir. "Saya nggak tau kenapa Jelita ada di sana. Dia juga nggak bilang apa-apa. Siapa tau memang lagi belanja sama suaminya," ujar Bian beru
Setelah cuti panjang, hari ini Laras kembali disibukkan dengan aktivitasnya sebagai seorang pegawai kantor yang hari-harinya berkutat di depan komputer. Sayangnya, baru saja ia menginjakkan kaki di kantor tercinta omongan tidak sedap dari beberapa pegawai masuk ke dalam indera pendengarannya. Mereka tidak tanggung-tanggung membahas perihal cinta segitiga antara ia, Pandu dan Jelita. Ah, tidak. Lebih tepatnya cinta segi empat. Bian pun ikut andil. "Kayanya Jelita masih ada hubungan sama mantan pacarnya, deh, kemarin aku liat mereka ketemuan di cafe. Kaya lagi ngobrol serius gitu," ungkap si ketua gosip di kantor. Wanita di sampingnya pun menyahut. "Maksud kamu, Pak Bian?" "Iya, Pak Bian rekan bisnisnya Pak Hendra."Laras yang sedang di dalam toilet pun sampai enggan keluar dari bilik kamar mandi karena kepo sendiri, mengingat nama Bian tercetus dari kedua mulut wanita itu. "Tapi, tadi aku nggak sengaja denger dari Mas Pandu, kalau Mbak Laras mau nikah sama Pak Bian.""Kamu serius?
"Laras!" panggil seseorang. Laras yang merasa terpanggil pun langsung menoleh. Di sana sudah ada Bian bersama Hendra di sampingnya. Kedua pria itu datang menghampiri Laras dan Pandu. "Udah selesai?" tanya Bian. Laras kebingungan sendiri sebelum akhirnya ia mengangguk lirih. "Kamu belum pulang Pandu?" Kali ini Hendra yang bicara. "Ini mau pulang, Pak." Pandu menatap Laras sebentar. "Lain kali kita bicara, Ras."Setelah kepergian Pandu. "Laporan yang saya minta udah kamu kirim?" tanya Hendra. "Udah, Pak. Udah saya kirim ke email Bapak." Hal itu langsung diangguki oleh Hendra. Bian berujar, "Udah 'kan? Ayo pulang." "Buru-buru amat lo, Bi. Mau ajak karyawan gue ke mana?" goda Hendra. Sebenarnya, Hendra dan Bian itu bukan sekadar rekan bisnis saja. Mereka sudah sahabatan dari zaman kuliah. "Nggak usah kepo jadi orang," sinis Bian, lalu ia menoleh ke arah Laras. "Ayo, Ras?""Nasib kamu bagus, Ras. Putus dari Pandu, dapetnya Bian. Tapi hati-hati, Bian suka nerkam orang," ujar Hend
Waktu berjalan begitu cepat bagi Laras. Wanita dengan gaun pengantin itu mencoba tersenyum ramah karena hari ini adalah hari di mana ia menyandang status bagian dari keluarga Nugraha. "Kak udah belum? Semuanya udah nunggu," ujar Laura datang dari bilik pintu. "Kamu udah nggak marah lagi sama Kakak?" tanya Laras, sebab sang adik sempat mendiamkannya kala tahu ia dan Bian resmi akan menikah. "Nggak ada waktu buat bahas itu. Cepet keluar, Mama dari tadi udah bawel di bawah."Laras mengangguk paham. Ia pun berjalan keluar kamar hotel karena pernikahan berlangsung di dalam gedung. "Aku udah putus sama Gibran," ungkap Laura tiba-tiba. Gibran itu adik kandungnya Bian. Bian yang sebentar lagi akan menjadi suaminya Laras, juga Kakak iparnya Laura. "Kamu serius?" kaget Laras. Laura terdiam sebentar, lalu menjawab. "Aku mau kuliah dulu. Seperti yang Kak Laras bilang, aku harus jadi orang sukses. Banggain Mama, Papa sama Kak Laras." Laras tersenyum mendengar bijaknya jawaban sang adik. Me
Pagi hari pun tiba. Laras membuka matanya perlahan. Menyadari hanya tersisa dirinya yang tidur di atas ranjang. Dengan setengah sadar, matanya mengedar ke arah lain mencari keberadaan suaminya. Nihil. Ia tidak menemukan Bian di dalam kamar. Lantas, ke mana pria itu pergi? Ia pun memutuskan turun dari ranjang. Membuka pintu kamar, lalu menuju ke ruangan lain, siapa tau Bian ada di sana. Akhirnya langkah Laras berhenti di dapur. Ia mendudukkan pantatnya di atas kursi meja makan karena di sana sudah tersedia sarapan pagi, nasi goreng. "Mas masak?" tanya Laras menatap nasi goreng yang tersaji di depannya. Lalu pandangannya tidak sengaja melihat kertas putih di atas meja, tepat di samping kanan sebelah nasi goreng. Ia menatap Bian kebingungan. "Itu kontrak pernikahan selama 1 tahun, seperti yang dulu kita sepakati," jelas Bian. Laras pikir, Bian lupa akan kesepakatan waktu itu. Laras pikir, mereka menikah atas dasar suka sama suka. Ternyata wanita itu salah, ekspektasinya ketinggian.
Jam makan siang."Laras!" panggil Lolita karena masih tidak terima bahwa surat penguduran dirinya tidak kunjung dapat persetujuan.Sarah yang melihat Lolita memanggil sahabatnya itu sontak menatap Laras seakan meminta jawaban."Kenapa, Ras?" tanya Sarah.Yang ditanya malah menggeleng pelan. Ia juga sebenarnya kurang tahu kenapa Lolita memanggilnya dengan nada cukup keras tersebut. "Yang bener aja kamu, Ras. Masa resign nggak ada omongan sama sekali ke aku," ujar Lolita masih tidak terima. Sarah yang mendengar seperti itu langsung menyahut, "Kamu resign, Ras?""Siapa yang resign?" Kali ini suara Bima yang muncul.Lolita menatap Laras dengan kesal. "Laras. Gara-gara dia surat resign saya batal di acc sama Pak Hendra.""Itu si nasib Bu Lolita." Bima memegang kopi dengan laptop di tangannya. "Pak Hendra mana mungkin lepasin sekretaris kesayangannya." "Diam kamu, Bima," balas Lolita tajam.Sebenarnya Lolita tidak marah, hanya saja kesal karena ia sudah menunggu-nunggu hari tersebut. Ia
—Beberapa bulan kemudian. "Mas ... Mas Bian bangun." Laras menepuk-nepuk pipi suaminya pelan.Tidak lama pria itu membuka matanya usai mendapat satu kecupan di pipi. Mungkin itu jimat ketika Bian susah dibangunkan."Mas aku berangkat duluan, ya? Hari ini ada meeting," ujar Laras di jam 8 pagi.Bian yang masih tertidur di atas ranjang pun sontak terbangun. Ini masih pagi, kenapa sang istri sudah mau berangkat kerja?"Cium dulu," balas Bian setengah sadar.Laras memandang malas. Ia sudah mau telat, tetapi Bian malah meminta hal aneh yang pasti berujung memakan waktu lama.Cup! Ciuman itu mendarat di pipi untuk yang kedua kalinya."Udah. Aku berangkat, ya."Namun, baru saja hendak bangkit tangan Laras dicekal oleh Bian sehingga wanita itu kembali jatuh ke ranjang."Mas," gerutu Laras.Sayangnya Bian tidak peduli, pria itu malah menunjuk bibirnya dengan ibu jari. Menyodorkan pada sang istri seolah meminta lebih."Aku udah mau telat, Mas. Nanti aja, ya?"Akhirnya aksi tawar-menawaran Lara
"Dari bibir kamu lebih manis," goda Bian.Laras refleks memukul tubuh sang suami. "Mas Bian!"Sayangnya pria itu justru terkekeh geli. Seolah hal yang paling menyenangkan adalah menganggu dan membuat istrinya marah."Muka kamu lucu," celetuk Bian. Laras pun merenggut. "Jangan kaya gitu lagi.""Kenapa?" Bian kembali mengikis jarak dengan sang istri. "Di sini aman. Mau nyoba lagi?"Tiba-tiba kedua orang tua Bian datang membuat keduanya berdiri dengan posisi normal. Laras merasa lega karena merasa diselamatkan."Kalian masih mau di sini atau ikut pulang bareng kami?" tanya Ibu Bian.Laras melirik ke arah Bian. Kemudian memamerkan senyum tipisnya. "Kita juga mau pulang, Bu. Takut hujan."Kedua orang tua Bian mengangguk lirih, berjalan lebih dulu meninggalkan kedua pasutri yang tengah berlibur tersebut. Entah sejak kapan Bian menjadi pria yang hangat dan romantis. Namun yang jelas Laras tidak henti tersenyum. Seperti saat ini, pria itu berjalan seraya menautkan jari-jemarinya dengan mili
Usai berganti pakaian kedua pasangan suami istri tersebut menuruni anak tangga dengan senyum rekah di bibirnya. "Gibran?" panggil Laras saat sampai di bawah."Ibu sama ayah di mana?" tanyanya."Oh ... ibu sama ayah kayanya pergi ke kebun," balas Gibran.Tentu saja Laras kebingungan sendiri. Bukankah kesibukan kedua orang tua Bian adalah mengurus perusahaan mereka? Karena selama tinggal satu komplek yang ia tahu Bian ini dari keluarga berada. Ayahnya saja pemilik perusahaan tempat pria itu bekerja. "Ibu sama ayah saya memang urus perkebunan di sini, lebih tepatnya ibu. Karena hobinya berkebun," jelas Bian.Kemudian Gibran kembali membuka suara. "Kata ibu, Kak Bian disuruh ajak Kak Laras jalan-jalan. Jangan di rumah terus.""Makasih Gibran. Kamu pengertian, deh," celetuk Laras.Bian pun melirik ke samping. "Memangnya kamu nggak capek?""Stamina tubuh aku itu kuat, Mas. Jangan diragukan. Gimana kalau kita susul ibu sama ayah. Aku pengen liat-liat," ucap Laras tampak bersemangat. Gibra
Setelah beberapa hari menghabiskan waktu di Bali, kini Laras dan Bian sudah berada di Taxi usai menempuh perjalanan pulang dari Bali—Bandung yang menghabiskan waktu sekitar satu jam lebih. "Mas, udah hubungi Ibu kalau kita udah perjalanan ke rumah?" tanya Laras di dalam mobil. Bian pun mengangguk. "Udah. Kenapa, kamu kok keliatannya seneng banget?""Aku nggak sabar ketemu orang tua Mas Bian. Apalagi ini pertama kalinya aku diajak berkunjung langsung setelah kita nikah," jujur Laras tidak lupa menebarkan senyum.Bian ikut senang karena sang istri terlihat bahagia dengan hal-hal kecil yang akan ia jumpai setelah. Ia tidak hentinya tersenyum. Kemudian tangan lembut itu mengusap rambut Laras dengan sayang. "Laras ...."Laras menoleh lalu membalas, "Kenapa, Mas?""Nggak apa-apa. Saya seneng aja liat kamu senyum lebar kaya gini," ungkapnya."Emang selama ini aku jarang senyum?" tanya Laras kebingungan. Lagi lagi Bian menggeleng lirih. Istrinya itu selalu saja membuat gemas. Tidak ayal
Beberapa hari berlalu. Kini, Laras dan Bian sedang berkunjung ke salah satu pantai yang menyediakan penginapan dengan nuansa pantai pasir putih yang terletak di kota Denpasar, Bali. Kedua pasangan suami istri itu sedang bersiap-siap karena sebentar lagi langit akan berganti warna jingga. "Kamu beneran honeymoon ke Bali, Ras?" tanya Sarah dari balik telepon. Laras pun mengangguk dengan wajah menghadap ke cermin hias. Memoles tipis riasan agar wajahnya tidak terlalu pucat. "Aku kangen pantai, Sar. Kebetulan kita mau berkunjung ke rumah mertua, jadi biar sekalian aja pulang dari Bali ke Bandung," balas Laras. "Astaga, Ras. Kamu istrinya Direktur, loh, minta honeymoon ke Eropa, kek. Jangan nanggung-nanggung, mau keliling dunianya juga Bian duitnya nggak bakalan abis," celetuk Sarah sengaja. "Perjalanan jauh yang bikin capek, Sar. Mending yang deket-deket aja lebih menghemat tenaga," jelas Laras apa adanya. "Padahal kapan lagi jalan-jalan jauh sebelum punya anak, nanti kalo udah ada
Laras mendatangi Bian dengan langkah tergesa. Pria itu tidak kenal kerja kali, ya? Bahkan di jam harus bergulat dengan komputer pun malah pria itu mengganggunya. "Astaga Mas Bian ... ngapain ke sini?" tanya Laras menghampiri sang suami. Pria itu mengangkat kedua tangannya, menunjukkan plastik yang ia tenteng tersebut. Senyum manisnya justru membuat Laras ingin sekali menghajarnya. "Ngapain bawa makanan sebanyak itu?" ucap Laras dengan nada sedikit tidak suka. Bian menurunkan kedua tangannya dengan lesu. "Kamu kan belum sarapan tadi pagi. Ini saya belikan sekalian sama temen-temen kamu juga.""Tapi ini berlebihan Mas Bian."Pria itu seakan tidak peduli, lalu memindahkan kedua kantong plastik itu hingga beralih tangan kepada Laras. "Kalau nggak habis bisa dimakan lagi nanti siang. Terima, ya? Apa mau saya pesankan yang lain?"Mendengar itu Laras refleks menggeleng kuat. "Cukup. Ini aja udah banyak, Mas.""Ya udah sini," ucapnya cukup ambigu. Sedangkan Laras menatap heran. Sini mak
"Laras!"Dengan kepanikan yang ada ia terus berjalan menuju lift, menekan tombol tersebut dengan tergesa berharap pintu lift cepat terbuka. Sungguh, ia tidak ingin bertemu dengan Pandu . Pria yang terus mengejarnya itu merupakan suami Jelita. "Laras," cegah Pandu berhasil menarik tangan Laras sehingga wanita itu tidak jadi masuk lift. Sayangnya Laras menepis cekalan itu dengan kasar. Menatap Pandu dengan tatapan tajam. Di dalam sorot matanya terlihat aura kebencian muncul di sana. Apakah benar pria di depannya itu Pandu yang ia kenal? Pandu yang tidak pernah menaikan nada bicara apalagi sampai bermain fisik. Apakah yang berdiri di hadapannya itu sosok Pandu yang berhati lembut? "Tolong jangan ganggu aku," tegas Laras. Kembali Pandu mencekal lengan wanita itu, menghentikan pergerakan Laras. Menatapnya cukup dalam"Ras," lirih Pandu. "Aku nggak mau berurusan lagi sama kamu, Mas," tekan Laras. Pandu menatap tidak percaya atas apa yang barusan wanita itu ucapkan. Bukankah dulu baik-
"Morning," kecup Bian di kening sang istri. Laras justru menggeliat geli, wanita itu membuka matanya secara perlahan. Di sampingnya sudah ada Bian yang tengah tersenyum hangat dengan posisi dada masih telanjang. Rasa lelah selepas tempur kemarin terasa membekas pagi ini, Laras seakan malas beranjak dari tempat tidur. "Kenapa tidur lagi, kamu nggak kerja?" tanya Bian melihat Laras memejamkan matanya. Wanita itu membalas, "Masih ngantuk, Mas.""Ya udah nggak usah kerja. Kamu di rumah aja istirahat, pasti capek karena semalam, ya?" goda Bian sengaja. Laras mendengus sebal. Pagi-pagi gini masih saja membahas soal semalam. Lagipula, siapa yang tidak capek melayani orang gila macam Bian? Ia bahkan baru bisa tidur di jam 2 pagi. Melelahkan memang. "Mas mandi duluan sana, aku mau tidur 15 menitan lagi," ujar Laras. Bian makin mendekatkan wajahnya. "Mandi bareng aja, gimana?""Mas!" kesal Laras langsung mendorong pria itu menjauh. Ia pun mengganti posisinya menjadi duduk dengan selimut y