Lajutan dua tahun kemudian
Dinding krem berkelambu coklat dengan seprai kotak-kotak, lengang. Hanin mengulang cerita lalunya, Karsa menjadi pendengar setia.
“Lima belas menit keterlambatanku salah satunya memikirkan kemungkinan-kemungkinan itu, Ka. Ketakutanku sendiri. Tentang pertanyaanku saat kita berteduh waktu itu, itu benar-benar menjadi kekhawatiranku.”
Karsa terkejut, “Diana?”
Hanin tersenyum. Hambar.
“Kau boleh percaya atau tidak, perasaanku tidak bisa berbohong kalau aku keberatan kau dekat dengannya. Terlalu berani jika perasaan ini dikatakan cemburu padahal kita bukan apa-apa. Kita teman. Mungkin dengan perasaan macam-macam. Aku takut, kalian sering bersama melebihi kebersamaan kita. Kau selalu dengan dia ketika ada acara, kau dekat dengannya. Dan posisiku dan Diana sama. Temanmu. Bedanya, kau lebih lama mengenal Diana sementara denganku baru beberapa bulan saja. Aku takut. Ketakutan seorang perempuan. Wajar, kan?”
Karsa menggeleng.
“Kau boleh saja tidak percaya, tapi itu yang aku rasakan. Sudah lama ya? Iya, sangat lama aku menyimpan perasaan itu bahkan jauh sebelum kau menyadari perasaanmu sendiri.”
Karsa meraup wajahnya kasar.
“Kenapa tidak bilang? Kenapa kau diam?”
Hanin tertawa. Menertawakan perasaannya sendirian.
“Tidak mungkin. Sangat tidak mungkin jika aku mengakuinya terlebih dulu. Kau paham aku seperti apa. Gengsiku terlalu besar apalagi menyangkut cinta-cintaan.Ya namanya juga perempuan. Aku sengaja tidak bilang karena aku sadar, kau pun belum siap untuk menjalin kedekatan. Kau masih nyaman sendiri begitu juga aku yang nyaman dengan perasaan ini.”
Karsa diam sebentar, mengatur napas yang tak karuan. Karsa tidak tahu, benar-benar tidak mengetahui jika salah satu alasan dua tahun mereka hilang adalah karena kesalahpahaman. Salah paham yang tidak masuk akal. Hanin benar, Karsa belum siap menjalin kedekatan, namun saat di mana mereka akrab di bulan-bulan selanjutnya, terus dekat meskipun ia belum siap mengatakan, Karsa sudah nyaman. Kenyamanan yang lagi-lagi membahayakan. Hanin paham jika Karsa masih ragu dengan perasaannya sendiri. Masih takut memulai, masih takut melangkah ke depan. Tidak mungkin saat itu Hanin jujur terhadap perasaannya, bukankah perempuan sejatinya dipilih bukan memilih?
Hanin percaya hatinya. Percaya jika hatinya mampu melewati perasaan suka tak karuan itu, paling tidak untuk saat itu setelah melihat Diana memandang Karsa berbeda di kursi depan kantin kampusnya.
Di bulan-bulan berikutnya, Hanin sedang berusaha.
“Seberapa sering selama ini aku menyakitimu atas ketidaktahuanku, Nin?”
“Saat itu belum banyak,”
“Yang aku tanyakan selama ini,” desaknya.
Hujan turun begitu deras. Juni tiba-tiba mendung dengan hujan mengguyur. Cuaca tahun ini berubah-ubah tidak kenal musim. Tentang Juni ini, Hanin sedang mengulik tentang Juni lalu. Tentang memori-memori pada saat itu. Tentang perasaan yang ditumpuk berharap tidak ambruk namun nyatanya tetap saja, meluap mencari muaranya.
“Kau harus dengar alasanku selanjutnya, Ka. Baru kau bisa tahu seberapa besar kau menyakitiku.”
“Ya apa, Nin? Rasanya aku hanya jadi lelaki jahat yang membiarkan perasaanmu tidak pernah baik-baik saja. Aku tahu aku salah, tidak pernah memberitahumu atau bisa jadi aku terlambat mengatakan kalau perasaan kita sama, kalau memang yang dibahas masalah rasa.”
“Aku tidak mengatakan seperti itu. Aku hanya ingin kau mendengarnya lagi.”
“Lalu bagaimana?”
Hanin menerawang jauh beberapa waktu belakangan. Bertemu Karsa setelah dua tahun tidak saling tatap muka adalah kesalahan besar. Bertemu Karsa hari ini sama saja seperti membuka satu per satu buku lama tanpa bisa dijelaskan sakitnya seperti apa. Buku itu sudah usang. Harusnya dibuang dan tidak pernah lagi dibuka meski hanya dikenang.
“Setelah aku bertemu editorku hari itu, pak tua tidak marah. Beliau lagi-lagi hanya menunjukkan bahwa ia peduli terhadap karyaku. Ia hanya peduli terhadap karirku. Entah hanya itu saja atau dua pengakuan itu adalah ucapan sebagai penenang, aku merasakan bahwa beliau benar-benar tulus mengatakannya.”
Mata Karsa tidak pernah lepas dari wajah Hanin yang saat ini bercerita dengan berbagai macam raut muka.
“Setelah aku pulang dari kantor, sebenarnya tidak ada niatan untuk jalan-jalan sambil menunggu tukang es doger pinggir jalan di taman kota tempat biasa kita sering kunjungi bersama. Di kursi yang sama, waktu itu Diana datang. Menghampiriku yang sedang duduk sendirian. Aku enggak tahu dia dari mana, tiba-tiba saja dia datang.”
“Diana lagi?”
Hanin mengangguk.
“Kalian bahas apa?”
Hanin tersenyum, “Bahasan dua perempuan yang ternyata menyukai satu lelaki yang sama.”
“Kau bagaimana? Masih hidup kan, Nin?” Suara diseberang terdengar menjengkelkan. Rena menelpon dengan suara nyaring memekakan telinga. Sayup terdengar Wulan ikut terpingkal. Mereka tahu kalau hari ini Hanin bertemu pak tua. Keduanya sedang menunggu cerita Hanin apakah perempuan itu dimaki habis-habisan, atau naasnya terlempar dari gedung berlantai tiga itu. “Aku selamat!” ketusnya. Semakin nyaring tawa Rena dan Wulan. “Kau sekarang di mana? Aku sama Wulan mau ke rumahmu. Menginap. Kau tak lupa kan orangtua Wulan sedang keluar kota dan itu artinya tuan putri ini sedang butuh teman.” Hanin berdehem. “Setengah jam lagi aku sampai. Aku sedang di jalan. Kalau kalian sudah diperjalanan, kalian langsung masuk kamarku saja, ada Mbak Sari.” Setelah dijawab beres oleh dua sahabatnya, Hanin melanjutkan jalan. Taxi online pesanannya sudah datang, ia akan bergegas pulang. Tadi pagi saat mendung, dari balik kaca mobil Hanin menatap tetesan hujan seo
Hari sudah sore. Pukul lima di mana kegiatan tiga perempuan di ruang televisi sedang seru-serunya bersenda gurau. Membicarakan apa saja, menjahili satu dan lainnya, tertawa seperti sore ini tidak bisa diganggu oleh siapa saja. Sedang asik bergurau dengan dua sahabatnya, handphone Hanin bergetar tanda pesan masuk. Ia baca ternyata dari Karsa. Ajakan makan malam nanti. Apa lelaki itu tidak ingat kalau langit mendung? Kemungkinan besar malam nanti juga sama. Hujan menyapa dengan ramah di awal Juni ini. “Kau tidak sibuk kan, Nin? Ada waktu keluar bersamaku tidak malam nanti? Tiba-tiba otakku memikirkan soto samping taman kota yang waktu itu pernah kita kunjungi. Mau ikut?” Melirik dua perempuan di depannya sedang asik berebut handphone milik Wulan, Hanin membalas pesan itu. Tidak bermaksud menolak, tapi rasanya waktu berkumpul dengan dua sahabtanya akhir-akhir ini sudah jarang ia lakukan. “Di rumah sedang ada Rena dan Wulan. Aku tidak mau meningg
lanjutan dua tahun kemudian “Aku tidak pernah menyangka kalau kau sudah lama tahu tentang perasaan Diana kepadaku,” Dinding krem berkelambu coklat dengan seprai kotak-kotak, kembali memiliki kehidupan. Perbincangan dari dua orang yang pernah dekat, menuntut masing-masing menjelaskan apa yang sebenarnya selama ini tidak berani disampaikan, lama disimpan sendirian, menjadi momok menakutkan ketika harus dipaksa dibongkar ulang. Hanin tersenyum. Pemilik kamar masih duduk di atas kasurnya, membiarkan angin menerbangkan surai rambut sebahunya meski tangannya berulang kali merapikan. Rambut itu sudah terpotong rapi. Rambut panjangnya dulu terpangkas jadi di atas bahu sebelum kedatangannya di kota kelahirannya ini. “Aku tahu siang hari sebelum kita makan soto di rumahku malam itu. Aku jelas tahu apa yang Diana rasakan, Ka. Aku paham bagaimana perasaannya. Ak
“Kau benar tidak bisa datang nanti malam, Nin?”Sepasang tangan sedang sibuk mengotak-atik laptop di atas meja belajar. Meja itu menghadap pekarangan rumah penuh dengan bunga matahari. Katanya, pemiliknya selalu beranggapan bila bunga itu sumber ketenangan. Hujan sederas apa matahari tetap kokoh berdiri meski terkadang layu namun esok harinya bertengger manis lagi. Hanin suka tenang melihat bunganya tumbuh dengan apik. Ketika melihatnya bermekaran, entah kenapa, hatinya ikut damai. Bagi hatinya, kuning warnanya seolah lambang kecerahan.“Aku tidak bisa janji, Ren. Aku sudah bilang Karsa aku harus ke kantor sore nanti.” “Wah... kau serius? Sudah ketiga kalinya kau selalu absen saat Karsa tampil. Kau tak ingin melihat bagaimana pesona temanmu itu di depan semua perempuan? Astaga Nin, kuakui Karsa keren!”Hanin tersenyum simpul. Pengakuan seperti itu kerap ia dengar dari
lanjutan dua tahun kemudian“Iya, dari konser malam itu, aku jadi tenang. Satu diriku yang sempat hilang akhirnya pulang. Aku kembali menemukan diriku, Ka. Aku menikmati penampilanmu saat itu.”“Meskipun aku membawakan hanya satu lagu?”“Kau mana mau diminta lebih dari itu.”Keduanya tertawa. Kamar berdinding krem, berkelambu coklat mulai terasa nyaman. Pada kesempatan kali ini, mau tidak mau Hanin harus menanyakan. Meminta jawaban dari pertanyaannya yang tidak pernah menemukan jawabannya.“Mungkin hanya pada kesempatan ini aku bertanya. Tidak mungkin besok sebab aku harus kembali ke kota itu, tidak mungkin tahun depan sebab aku tidak yakin liburan tahun depan aku akan pulang.” Hanin menarik napasnya. “Sudah lama aku ingin bertanya, dulu, kau bilang kandasnya hubunganmu dengan perempuan yang tidak pernah kau beri tahu namanya, karena salah satunya tida
“Hati-hati,” ujar Hanin sesampainya di depan rumah. Karsa mengangguk. Melajukan motornya meninggalkan Hanin dengan rasa lelahnya. Masuk ke rumah disambut kerlingan jahil dari Rena di dapur. Perempuan itu rasa-rasanya selalu mengerling jahil seharian ini. Bahasannya tak akan jauh dari Karsa. “Katanya teman, mana ada teman semanis Karsa. Kau tahu, Nin, tadi sebenarnya aku dan Wulan sudah duduk di tribun terdekat biar kami bisa leluasa menikmati acara tadi,” Rena menenggak segelas air putihnya, melanjutkan, “Tapi, Karsa tiba-tiba telepon dan bilang kalau kami harus menemanimu di tribun atas karena kau yang tak bisa terkena asap rokok. Apa setiap teman selalu manis seperti itu?” Tangan Hanin merebut segelas air milik Rena. Duduk di kursi dapur sembari meluruskan kaki yang pegal sambil minum, “Berhenti berasumsi aneh-aneh, deh, Ren. Apa yang harus diistimewakan dari tindakan Karsa? Wajar dong dia seperti tadi.” “Ya tidak wajar lah. Dia sampai menelponku untuk mene
“Kenapa kau selalu baik padaku?” Kening Karsa berkerut, “Kenapa harus tidak? Aku rasa setiap lelaki akan melakukan hal yang sama untuk seorang perempuan lemah sepertimu tapi tidak pernah mau terlihat seperti itu.” Karsa terkekeh. “Tidak. Sejauh ini aku tidak pernah menemui lelaki sebaik dirimu entah dalam maksud apa saja. Kau baik tapi tidak pernah ada maksud lain atas kebaikanmu.” Karsa tersenyum. Mengarahkan matanya pada jalan raya yang entah sejak kapan sudah dipenuhi kendaraan bermotor. Ramai tapi tidak seramai pikiran keduanya. “Aku hanya menjalankan apa yang aku inginkan, Nin. Mungkin menjagamu termasuk ke dalam salah satu keinginanku. Entah kenapa aku juga merasa perlu bertanggung jawab terhadap kebahagiaanmu. Seperti yang kubilang, aku juga tidak pernah tahu itu karena apa. Mungkin aku tidak terlalu suka kau terlihat baik-baik saja padahal sedang tidak seperti itu.” Helaan napas berat mengalun di udara. Bercampur asap polusi, ber
(lanjutan dua tahun kemudian)Kamar berdinding krem, berkelambu coklat mulai terasa nyaman. Hujan masih turun, di sore hari seperti ini, semesta seolah mendukung kisah lama berusaha dikulik pemiliknya. Pengakuan yang pada akhirnya akan diselesaikan hari itu, entah bagaimana cerita akhirnya, keduanya sepakat menerima apapun keputusan bersama. Perasaan manusia sempurna miliknya tanpa harus ada sutradara lain selain Penciptanya. Perasaan itu sempurna milik satu perempuan, satu laki-laki yang saat ini sedang membongkar rahasia hati sejak lama, yang berusaha ditutupi agar tidak merambah kemana-mana, yang berusaha dipahami setelah beberapa tahun membisu.“Kalau mengingat semenyebalkan apa kau saat itu di toko buku, Nin. Demi Tuhan aku menyesal mengajakmu ke sana,” Karsa mendengus. “Akhir bulan itu aku rasanya tercekik, tabunganku menipis demi membayar lima ratus tagihan buku sialan itu!”Hanin terbahak. Saat di t