Hanin dan Karsa tiba di rumah Hanin persis saat matahari tergelincir ke ufuk barat. Langit berwarna oranye. Mengantarkan matahai beristirahat berganti semburat menawan berhias burung-burung berterbangan guna kembali ke kediaman. Persis di depan gerbang setinggi pinggang ber cat hitam, motor Karsa berhenti menurunkan Hanin yang memasang wajah masam. Meskipun tidak jadi bertemu Pak Tua itu, kata diculik versi Karsa berakhir hujan-hujanan di jalan tapi kebanyakan berteduhnya. Alasan Karsa selalu sama setiap mereka berhenti di pinggir jalan atau ruko-ruko yang pemiliknya memilih menutupnya.
“Kau tidak boleh sakit, Nin.”
Hanin mendengus.
“Kau tidak memperbolehkanku sakit tapi kau mengajakku hujan-hujanan. Tahu seperti ini lebih baik aku bertemu Pak Tua itu.”
“Kalau kau sakit, Pak Tua akan marah besar. Hari ini kau absen darinya, sakit karena hujan-hujana. Wah... aku tidak bisa membayangkan wajah bundarnya semerah apa menahan untuk tidak memakanmu. Astaga aku lupa, Nin! Dia kan punya darah tinggi, kalau kumat setelah memarahimu, stroke karenamu, astaga, nasibmu malang sekali.”
“KARSA! PULANG SANA!”
Motornya diputar, seolah berbalik segera meluncur pergi. Namun, alih-alih pulang Karsa memarkirkan motornya di depan gerbang. Mengunci ganda lalu menggandeng tangan Hanin memasuki pekarangan rumah perempuan itu. Memasuki rumah yang baru dua kali ia kunjungi, tak banyak yang berbeda. Pohon rambutan milik ayah Hanin di sebelah kanan bangunan telah berbuah semakin lebat. Banyak yang matang. Ketika sampai diundakan teras, Aster milik Hanin tumbuh beberapa senti. Daunya sehat, mekar tanpa warna kuning sedikitpun. Rupanya Hanin merawatnya dengan baik atau mungkin hasil rawatan tukang kebun rumah Hanin?
Astermu sehat. Kau berbakat merawatnya.”
“Padahal aku berharapnya mati. Repot mengurus pemberianmu.”
Karsa tertawa. Hanin masih marah sebab hanya berkeliling kota tanpa tujuan, kehujanan pula. Mendiamkannya, Karsa menatap punggung perempuan itu masuk rumahnya. Karsa menunggu di teras barangkali Hanin baik hati membuatkannya teh hangat. Tapi mustahil rasanya saat perempuan itu marah akan bersikap baik padanya. Dan benar, dua puluh menit kemudian Hanin muncul dengan training hitam juga kaos lengan panjangnya tanpa membawa teh hangat. Menyedihkan sekali Karsa.
“Kau jahat ya,” ucapnya. “Aku kedinginan handuk pun tak kau bawakan bahkan segelas teh hangat tidak kau buatkan. Astaga, pantas saja kau menjomlo. Tingkat kepekaanmu sangat kurang, Nin.”
“Pilihannya hanya dua, Ka. Kau ingin pulang atau aku yang masuk ke dalam?”
Tawa Karsa semakin kencang.
“Baiklah aku di sini saja. Tidak kau buatkan teh atau pinjamkan handuk tidak masalah asal hari ini kau merasa lebih baik setelah mengomel sejak bersamaku tadi.”
Hujan deras tadi meninggalkan gerimis. Jatuhnya bertabrakan dengan atap pekarangan buah milik Hanin sehingga berbunyi nyaring. Dua orang yang duduk di teras depan sibuk dengan pikirannya masing-masing.
Lima menit dalam keheningan.
“Kabar ibumu bagaimana, Nin?”
Hanin berhenti memainkan jemarinya, “Baik. Ibu baik. Masih suka ribut di rumah sana. Masih suka emosi, masih suka mengomel kalau sama Bapak. Kenapa?”
Karsa mengangguk pelan.
“Kalau Bapak?”
“Baik. Masih suka merokok padahal beberapa waktu lalu sudah sembuh. Tapi sepertinya entah karena terlalu stres atau bagaimana dia merokok lagi. Kenapa ya lelaki itu suka merokok?”
“Aku tidak suka,”
“Aku tahu! Bapakku yang kumaksud.”
Karsa tersenyum, “Kau baik-baik saja?”
“Menurutmu? Kau kan pandai bila harus meramalku. Menurutmu, hari ini aku bagaimana?”
“Tidak hanya hari ini, sejak minggu lalu kau seperti dikejar-kejar sesuatu. Ada satu masalah yang aku tidak tahu itu apa, mengganggu pikiranmu. Mungkin pekerjaan, mungkin keluarga atau mungkin kamu sendiri yang menciptakan situasi seperti itu.”
Hanin meringis.
“Aku sedang capek. Rasanya seperti kau dikejar-kejar sesuatu yang tidak tampak wujudnya tapi terdengar kencang teriakannya seolah menyuruhmu harus menyelesaikannya sekarang. Mungkin tuntutan pekerjaan salah satunya, tapi menjadi penulis bukan pekerjaan melainkan hobiku jadi aku tidak keberatan dengan target Pak Tua itu,”
“Kalau keluarga?”
“Rasanya aku sudah khatam merasakan mereka yang apa-apa ribut. Sebenarnya aku lebih suka tinggal di rumah ini. Tidak ada yang mengganggu pikiranku atau setidaknya aku tidak lagi mendengar mereka berdebat kencang. Tapi ya mau bagaimana aku dituntut untuk pulang bila ada waktu. Meskipun rasanya aku lebih betah tinggal di rumah ini sendirian.”
Karsa menganggukkan kepalanya. Dugaannya belum seratus persen benar. Karsa tetap yakin ada hal lain yang mengganggu Hanin selain dua hal itu.
“Perasaanmu bagaimana?”
“Perasaanku baik-baik saja. Tidak terganggu oleh mereka.”
“Bukan itu. Perasaanmu sendiri sekarang bagaimana?”
Hanin tidak paham,
“Tentang yang kau rasakan terhadap dirimu sendiri. Perasaan mengganjal karena orang lain menyakitimu mungkin? Atau perasaanmu terhadap sesuatu yang membuatmu jadi seperti ini. Banyak melamun.”
Hanin paham sekarang.
“Aku sedang tidak memberikan perasaanku kepada siapa pun. Aku nyaman dengan sekarang. Sejauh ini tidak ada yang mengganggu perasaanku terlebih bahasan cinta. Aku rasa aku yang seperti ini terlalu menuntut diri sendiri saja untuk cepat menyelesaikan urusan dengan Pak Tua itu jadi terlihat seperti banyak beban. Selebihnya baik-baik saja. Atau mungkin setelah mendengar kabar orangtuaku akan cerai, ya? Jadi aku seperti ini suka melamun.” Hanin terkekeh di akhir kalimatnya.
Karsa terkejut. Fakta itu baru sekarang ia dengar, “Cerai? Kenapa?”
“Yang namanya pisah ya karena sudah tidak cocok. Hatinya bukan untuk jalan berdua tapi sudah menemukan jalan baru untuk bahagia tapi tidak bisa dilakukan bersama. Ya urusan orangtua mana aku paham sih? Yang aku tahu Bapak menginginkan itu ketika terakhir kali aku menyaksikan mereka marah hebat,”
Hanin menangis tiba-tiba. Suaranya tersendat-sendat, “Aku sampai tidak paham, apakah setiap masalah rumah tangga harus cerai jalan pintasnya? Aku tidak paham sejauh ini kenapa mereka harus ribut melulu. Aku tidak paham, Ka, pikiran orang dewasa kenapa harus seberat itu? Aku masih belum bisa menerima kalau nantinya mereka memilih jalan itu dan aku harus memilih jalan mana yang akan aku ikuti. Aneh rasanya kalau apa-apa sudah bersama, ketika harus berpisah jalannya sudah tidak lagi sama. Rasanya tidak adil saja.”
“Aku masih tidak bisa menerima itu semua. Aku juga tidak bisa memaksa mereka tetap sama-sama sebab hubungan itu mereka yang menjalani. Aku hanya sumber bahagianya saja, bukan penentu bahagia mereka.”
Dua kali Karsa menyaksikan Hanin serapuh ini. Menangisi keadannya yang lagi-lagi bukan keinginannya. Karsa mengusap kepala perempuan itu ketika Hanin menunduk berusaha menyembunyikan tangisanya. Bahunya bergetar pertanda tangisan itu tertahan.
“Emosi, Nin. Mereka sedang dikelilingi kabut emosi. Kalau sudah redam, ibumu tidak akan mengomel, bapakmu tidak akan menuntut cerai. Aku yakin kalian keluarga indah. Kau tumbuh menjadi perempuan seindah didikan mereka. Fase pisah itu pasti datang dalam setiap rumah tangga. Hanya bagaimana pelakunya mempertahankan saja biduk rumah tangganya.”
Bahu Hanin tetap bergetar, Karsa terus mengusap kepala perempuan itu pelan.
“Susah, Nin, kalau sama-sama sudah emosi. Pikiran kita yang bermunculan hanya tentang bagaimana cara cepat menyelesaikannya tanpa terpikirkan keadaan kedepannya. Setiap dari kita pasti pernah capek, merasa tidak adil saja semesta memperlakukan kita, tapi kan kita masih punya hati. Bagaimana caranya saja hati kita ditenangkan agar tidak membuat keputusan macam-macam. Sudah ya... kau tidak boleh seperti ini.”
“Aku capek, Ka. Rasanya capek seperti ini terus,” isakan Hanin meredamkan pengakuannya.
“Andai saja beban seseorang bisa dipindah tangan-kan, aku bersedia mengambil separuh bebanmu agar beralih padaku. Kita tanggung bebannya sama-sama. Kita selesaikan pelan-pelan sembari mencari jalan keluar. Sayangnya tidak bisa. Aku hanya bisa menjadi jalan tengah untuk permasalahanmu saja, Nin.”
“Tidak masalah kalau merasa capek, Nin. Cukup hari ini saja. Besok capeknya harus sudah berbeda.”
***
Hujannya deras. Benar-benar deras. Sepuluh menit lagi pagi ini seharusnya Hanin sudah ada di kantor bertemu editornya atau bahkan Pak Tua sekaligus mengomelinya terkait kemarin. Harusnya Hanin tidak mengikuti ide Karsa untuk kabur sehari, harusnya Hanin tidak perlu berlama-lama menghabiskan waktu di teras depan kost-annya bersama Karsa, harusnya tidak boleh melakukan itu. Sepulang kuliah kemarin harusnya Hanin segera menemui Pak Tua itu. Kalau sudah seperti ini rasanya Hanin ingin mengutuk hujan yang datang tanpa kabar-kabar. Bukankan selama ini perasaan seseorang juga selalu datang tanpa mengerti keadaan?
“Kau harus tanggung jawab atas keterlambatanku hari ini, Karsa!”
Hanin memesan taxi online. Meluncur menemui Pak Tua di kantor. Tidak mungkin dia harus hujan-hujanan naik sepeda, kan? Dengan keyakinan penuh, Hanin masuk mobil ketika pesanannya sudah datang. Menyebutkan alamat tujuan selebihnya ia memandang damai jalanan yang diguyur hujan sepagi ini. Apakah hujan tak kasihan kepada orang-orang yang sedang mencari makan di pinggir jalan dengan berjualan, membuka tenda-tenda kecil di trotoar yang harus menutupnya tiba-tiba karena tak mau disapu hujan? Apakah juga tidak mau memberi toleransi kepada loper koran di lampu merah yang terpaksa tak turun jalan pagi ini seperti yang Hanin lihat di ujung trotoar seoarang lelaki muda yang berteduh? Meneduhkan koran-korannya agar tidak basah. Apakah ada kemungkinan mereka mendapat penghasilan di pagi yang sudah hujan lebat seperti ini? Hanin rasanya juga perlu meminta belas kasih kepada hujan perihal dirinya pagi ini, di hujan deras ini yang harus memaksanya ke kantor demi bekerja atau kemungkinan lain ia dimaki habis-habisan. Hanin ingin hujan berhenti. Sepaling tidak bila nanti ia dimarahi, mendung hatinya tidak saingan dengan mendung cuaca kota.
“Terimakasih, Pak.”
Berjalan melewati lobi, menjawab sapaan atau berganti menyapa siapa saja di lobi yang ia kenal. Bila hari ini Hanin harus dimaki, pelaku utamanya harus dihukum habis-habisan. Harus ia omeli seharian atau bahkan seminggu kedepan. Dengan perasaan tak karuan bercampur rasa ingin mengutuk Karsa, Hanin membuka pintu kaca dengan sebelumnya mengetuk terlebih dahulu.
Astaga, aura hitam kentara sekali di ruangan ini.
“Selamat pagi, Pak,” sapa Hanin. Wajah berias tipis dengan poni menggantung didahinya serta rambut yang dicepol asal karena takut terlambat, pias.
“Selamat pagi, duduk Hanin.” Pak tua tetap fokus pada komputer di depannya. Kepulan kopi panas sepertinya baru saja datang mengisi kekosongan meja kaca sebelah kiri, bersampingan dengan figura kecil menamilkan potret pemilik meja dengan bahagianya.
“Bagaimana? Apakah target dariku sudah kau penuhi? Atau bahkan tetap saja terbengkalai karena itu sebabnya kau tak menemuiku kemarin?”
Nadanya masih datar seperti hari-hari sebelumnya.
“Sudah rampung pak. Salinannya sudah saya kirim ke email,”
“Sepertinya bukan urusanku juga kau kemari atau tidak, tapi aku peduli terhadap karirmu. Aku peduli terhadap apa yang berusaha mati-matian kau usahakan.” Pak tua menyeduh kopinya sedikit.
“Seperti yang aku bilang di awal, aku peduli terhadap karirmu, karyamu terlepas dari apa yang kau lakukan kemarin tanpa alasan. Hari ini aku sibuk, jadwal menemuiku bukankah kemarin? Tapi sepertinya aku akan sulit memarahimu karena nanti alasanmu ini dan itu. Tidak masalah, meskipun sebenarnya aku tidak mau berurusan dengan orang tak profesional sepertimu, tak apa, aku memaklumi. Kau masih muda, mungkin rasa profesionalmu terhadap kontrak ini masih kurang, aku memaklumi,”
“Bukan seperti itu, Pak,” Hanin menginterupsi. “Kemarin memang salah saya. Salah saya tidak memberi kabar. Maaf kalau saya mengecewakan, tapi untuk urusan rasa profesional, saya rasa sejauh ini saya sudah melakukannya seperti apa yang Bapak ajarkan. Saya minta maaf Pak,”
Pak tua tertawa.
“Kau tak perlu minta maaf padaku, Nin. Kau harus minta maaf pada waktu yang telah kau biarkan terbengkalai begitu saja. Harusnya sebagai orang yang sudah lama mengenalku, kau paham kalau waktu adalah segalanya bagiku. Sekali kau menyiakannya, hari itu juga kau melewatkan kesempatan yang sangat berharga. Apakah aku kemarin kecewa? Sangat. Tapi kembali lagi, aku peduli terhadap karirmu, aku peduli terhadap karyamu.”
Lagi-lagi bahasan utama adalah waktu. Bisa apa ia kalau sudah berurusan dengan pelaku yang tidak mau disalahkan barang sebentar? Seperti yang ia bilang, waktu tidak pernah salah. Tidak pernah ada yang keliru kecuali kita yang terlalu sibuk mengulur keadaan sehingga waktu membabat habis kesempatan yang telah dijanjikan. Lagi-lagi tentang waktu. Kita yang bertingkah, kita juga tak mau salah.
Lajutan dua tahun kemudian Dinding krem berkelambu coklat dengan seprai kotak-kotak, lengang. Haninmengulang cerita lalunya, Karsa menjadi pendengar setia. “Lima belas menit keterlambatanku salah satunya memikirkan kemungkinan-kemungkinan itu, Ka. Ketakutanku sendiri. Tentang pertanyaanku saat kita berteduh waktu itu, itu benar-benar menjadi kekhawatiranku.” Karsa terkejut, “Diana?” Hanin tersenyum. Hambar. “Kau boleh percaya atau tidak, perasaanku tidak bisa berbohong kalau aku keberatan kau dekat dengannya. Terlalu berani jika perasaan ini dikatakan cemburu padahal kita bukan apa-apa. Kita teman. Mungkin dengan perasaan macam-macam. Aku takut, kalian sering bersama melebihi kebersamaan kita. Kau selalu dengan dia ketika ada acara, kau dekat dengannya. Dan posisiku dan Diana sama. Temanmu. Bedanya, kau lebih lama mengenal Diana sementara denganku baru
“Kau bagaimana? Masih hidup kan, Nin?” Suara diseberang terdengar menjengkelkan. Rena menelpon dengan suara nyaring memekakan telinga. Sayup terdengar Wulan ikut terpingkal. Mereka tahu kalau hari ini Hanin bertemu pak tua. Keduanya sedang menunggu cerita Hanin apakah perempuan itu dimaki habis-habisan, atau naasnya terlempar dari gedung berlantai tiga itu. “Aku selamat!” ketusnya. Semakin nyaring tawa Rena dan Wulan. “Kau sekarang di mana? Aku sama Wulan mau ke rumahmu. Menginap. Kau tak lupa kan orangtua Wulan sedang keluar kota dan itu artinya tuan putri ini sedang butuh teman.” Hanin berdehem. “Setengah jam lagi aku sampai. Aku sedang di jalan. Kalau kalian sudah diperjalanan, kalian langsung masuk kamarku saja, ada Mbak Sari.” Setelah dijawab beres oleh dua sahabatnya, Hanin melanjutkan jalan. Taxi online pesanannya sudah datang, ia akan bergegas pulang. Tadi pagi saat mendung, dari balik kaca mobil Hanin menatap tetesan hujan seo
Hari sudah sore. Pukul lima di mana kegiatan tiga perempuan di ruang televisi sedang seru-serunya bersenda gurau. Membicarakan apa saja, menjahili satu dan lainnya, tertawa seperti sore ini tidak bisa diganggu oleh siapa saja. Sedang asik bergurau dengan dua sahabatnya, handphone Hanin bergetar tanda pesan masuk. Ia baca ternyata dari Karsa. Ajakan makan malam nanti. Apa lelaki itu tidak ingat kalau langit mendung? Kemungkinan besar malam nanti juga sama. Hujan menyapa dengan ramah di awal Juni ini. “Kau tidak sibuk kan, Nin? Ada waktu keluar bersamaku tidak malam nanti? Tiba-tiba otakku memikirkan soto samping taman kota yang waktu itu pernah kita kunjungi. Mau ikut?” Melirik dua perempuan di depannya sedang asik berebut handphone milik Wulan, Hanin membalas pesan itu. Tidak bermaksud menolak, tapi rasanya waktu berkumpul dengan dua sahabtanya akhir-akhir ini sudah jarang ia lakukan. “Di rumah sedang ada Rena dan Wulan. Aku tidak mau meningg
lanjutan dua tahun kemudian “Aku tidak pernah menyangka kalau kau sudah lama tahu tentang perasaan Diana kepadaku,” Dinding krem berkelambu coklat dengan seprai kotak-kotak, kembali memiliki kehidupan. Perbincangan dari dua orang yang pernah dekat, menuntut masing-masing menjelaskan apa yang sebenarnya selama ini tidak berani disampaikan, lama disimpan sendirian, menjadi momok menakutkan ketika harus dipaksa dibongkar ulang. Hanin tersenyum. Pemilik kamar masih duduk di atas kasurnya, membiarkan angin menerbangkan surai rambut sebahunya meski tangannya berulang kali merapikan. Rambut itu sudah terpotong rapi. Rambut panjangnya dulu terpangkas jadi di atas bahu sebelum kedatangannya di kota kelahirannya ini. “Aku tahu siang hari sebelum kita makan soto di rumahku malam itu. Aku jelas tahu apa yang Diana rasakan, Ka. Aku paham bagaimana perasaannya. Ak
“Kau benar tidak bisa datang nanti malam, Nin?”Sepasang tangan sedang sibuk mengotak-atik laptop di atas meja belajar. Meja itu menghadap pekarangan rumah penuh dengan bunga matahari. Katanya, pemiliknya selalu beranggapan bila bunga itu sumber ketenangan. Hujan sederas apa matahari tetap kokoh berdiri meski terkadang layu namun esok harinya bertengger manis lagi. Hanin suka tenang melihat bunganya tumbuh dengan apik. Ketika melihatnya bermekaran, entah kenapa, hatinya ikut damai. Bagi hatinya, kuning warnanya seolah lambang kecerahan.“Aku tidak bisa janji, Ren. Aku sudah bilang Karsa aku harus ke kantor sore nanti.” “Wah... kau serius? Sudah ketiga kalinya kau selalu absen saat Karsa tampil. Kau tak ingin melihat bagaimana pesona temanmu itu di depan semua perempuan? Astaga Nin, kuakui Karsa keren!”Hanin tersenyum simpul. Pengakuan seperti itu kerap ia dengar dari
lanjutan dua tahun kemudian“Iya, dari konser malam itu, aku jadi tenang. Satu diriku yang sempat hilang akhirnya pulang. Aku kembali menemukan diriku, Ka. Aku menikmati penampilanmu saat itu.”“Meskipun aku membawakan hanya satu lagu?”“Kau mana mau diminta lebih dari itu.”Keduanya tertawa. Kamar berdinding krem, berkelambu coklat mulai terasa nyaman. Pada kesempatan kali ini, mau tidak mau Hanin harus menanyakan. Meminta jawaban dari pertanyaannya yang tidak pernah menemukan jawabannya.“Mungkin hanya pada kesempatan ini aku bertanya. Tidak mungkin besok sebab aku harus kembali ke kota itu, tidak mungkin tahun depan sebab aku tidak yakin liburan tahun depan aku akan pulang.” Hanin menarik napasnya. “Sudah lama aku ingin bertanya, dulu, kau bilang kandasnya hubunganmu dengan perempuan yang tidak pernah kau beri tahu namanya, karena salah satunya tida
“Hati-hati,” ujar Hanin sesampainya di depan rumah. Karsa mengangguk. Melajukan motornya meninggalkan Hanin dengan rasa lelahnya. Masuk ke rumah disambut kerlingan jahil dari Rena di dapur. Perempuan itu rasa-rasanya selalu mengerling jahil seharian ini. Bahasannya tak akan jauh dari Karsa. “Katanya teman, mana ada teman semanis Karsa. Kau tahu, Nin, tadi sebenarnya aku dan Wulan sudah duduk di tribun terdekat biar kami bisa leluasa menikmati acara tadi,” Rena menenggak segelas air putihnya, melanjutkan, “Tapi, Karsa tiba-tiba telepon dan bilang kalau kami harus menemanimu di tribun atas karena kau yang tak bisa terkena asap rokok. Apa setiap teman selalu manis seperti itu?” Tangan Hanin merebut segelas air milik Rena. Duduk di kursi dapur sembari meluruskan kaki yang pegal sambil minum, “Berhenti berasumsi aneh-aneh, deh, Ren. Apa yang harus diistimewakan dari tindakan Karsa? Wajar dong dia seperti tadi.” “Ya tidak wajar lah. Dia sampai menelponku untuk mene
“Kenapa kau selalu baik padaku?” Kening Karsa berkerut, “Kenapa harus tidak? Aku rasa setiap lelaki akan melakukan hal yang sama untuk seorang perempuan lemah sepertimu tapi tidak pernah mau terlihat seperti itu.” Karsa terkekeh. “Tidak. Sejauh ini aku tidak pernah menemui lelaki sebaik dirimu entah dalam maksud apa saja. Kau baik tapi tidak pernah ada maksud lain atas kebaikanmu.” Karsa tersenyum. Mengarahkan matanya pada jalan raya yang entah sejak kapan sudah dipenuhi kendaraan bermotor. Ramai tapi tidak seramai pikiran keduanya. “Aku hanya menjalankan apa yang aku inginkan, Nin. Mungkin menjagamu termasuk ke dalam salah satu keinginanku. Entah kenapa aku juga merasa perlu bertanggung jawab terhadap kebahagiaanmu. Seperti yang kubilang, aku juga tidak pernah tahu itu karena apa. Mungkin aku tidak terlalu suka kau terlihat baik-baik saja padahal sedang tidak seperti itu.” Helaan napas berat mengalun di udara. Bercampur asap polusi, ber