Hari sudah sore. Pukul lima di mana kegiatan tiga perempuan di ruang televisi sedang seru-serunya bersenda gurau. Membicarakan apa saja, menjahili satu dan lainnya, tertawa seperti sore ini tidak bisa diganggu oleh siapa saja.
Sedang asik bergurau dengan dua sahabatnya, handphone Hanin bergetar tanda pesan masuk. Ia baca ternyata dari Karsa. Ajakan makan malam nanti. Apa lelaki itu tidak ingat kalau langit mendung? Kemungkinan besar malam nanti juga sama. Hujan menyapa dengan ramah di awal Juni ini.
“Kau tidak sibuk kan, Nin? Ada waktu keluar bersamaku tidak malam nanti? Tiba-tiba otakku memikirkan soto samping taman kota yang waktu itu pernah kita kunjungi. Mau ikut?”
Melirik dua perempuan di depannya sedang asik berebut handphone milik Wulan, Hanin membalas pesan itu. Tidak bermaksud menolak, tapi rasanya waktu berkumpul dengan dua sahabtanya akhir-akhir ini sudah jarang ia lakukan.
“Di rumah sedang ada Rena dan Wulan. Aku tidak mau meninggalkan mereka, Ka. Kau sendiri saja deh, ya?”
Satu menit kemudian, pesan bergulir. Jawaban Karsa muncul.
“Mana enak sih, Nin, makan sendiri di tempat itu? Malam ini saja. Dari kemarin kau sibuk dengan naskahmu, minggu kemarin kau juga sibuk mengurus Ben yang mau kau tinggal keluar kota tapi nyatanya tidak jadi. Malam ini kau beralasan ada Rena dan Wulan. Ayolah... malam ini saja.”
Berakhir dengan stiker pengharapan.
“Kau beli saja sotonya, nanti kau bawa ke rumahku kita makan sama-sama. Apa setega itu aku meninggalkan dua temanku ini? Lama kami tidak berkumpul, Ka. Ya... besok malam deh kalau masih mau.”
Pesan berbalas dengan cepat.
“Pinginnya hari ini mana bisa dibeli besok sih, Nin. Ya sudah, bukakan pintunya nanti.”
Hanin tersenyum membacanya. Pasalnya Karsa tidak hanya mengiriminya pesan, tapi dengan satu foto yang menampilkan bajunya sudah rapi dan siap untuk pergi.
Satu kenyamanan yang lagi-lagi benar kata Rena, membahayakan. Dengan berbalas pesan seperti ini saja, Hanin sudah nyaman. Entah maksud nyaman bisa diartikan seperti apa, tapi yang jelas bukan rasa suka.
Saat itu, lagi-lagi Hanin belum paham perasaan nyaman yang sering ia rasakan bersama Karsa adalah cinta. Hanin belum memahaminya.
Dua jam berlalu masih bersama tawa tiga perempuan di depan televisi. Menyaksikan acara komedi padahal ketiganya tidak berselera humor tinggi. Ketiganya tertawa ketika apa yang mereka saksikan lucu padahal di tayangan televisi tidak begitu ataupun sebaliknya. Dua jam berlalu dengan keadaan yang sama, pintu utama terketuk setelah mesin motor yang amat Hanin kenali mati. Pemilik rumah bergegas membukakan pintu dan masuklah satu tamu yang menjadi bahan perbincangan seharian ini. Karsa datang bersama kantong kresek putihnya, sedang Rena dan Wulan menyaksikan dengan pandangan bermacam-macam. Salah satunya; Karsa berkunjung?
“Dia sering kemari kalau aku sedang ingin ditemani berbincang saat kalian sedang tidak ada kabar. Sibuk berkencan lebih tepatnya.”
Hanin menjawab seolah pandangan Rena dan Wulan meminta penjelasan. Mendengar jawaban Hanin, kedua perempuan di sofa depan televisi, tersenyum kikuk. Saat Hanin menemui Karsa, duduk di ruang tamu untuk pertama kalinya –sebab Karsa tidak pernah ingin masuk kalau rumah Hanin sedang tidak ada siapa-apa atau hanya ada Mbak Sari saja –Karsa kemudian mengeluarkan empat bungkus soto ayam setelah melihat Hanin membawa dua mangkuk berukuran sedang. Di luar sedang gerimis, Hanin baru menyadarinya tadi saat membuka pintu dan sekarang melihat jaket Karsa yang basah.
Benar-benar Juni yang ramah.
“Bagaimana hari ini?” Karsa bertanya sembari meniup kuah panas di sendoknya. Aroma soto di tempat itu tidak bisa diragukan lagi. Perpaduan daun jeruk dengan rempah-rempah menyatu menciptakan rasa lezat di lidah.
Hanin masih mengaduk soto di mangkuknya. Menuangkan sambel tiga sendok sampai sendokan ke empat terpaksa terhenti sebab Karsa memandangnya mengerikan. Seolah peringatan kalau Hanin tidak boleh menambah sambel lagi.
Sendokan kuah pertama masuk mulut. Menelannya dengan raut wajah selalu sama. Tersenyum puas akan rasa soto itu.
“Aman. Hari ini aku tidak terlalu sibuk. Ke kantor juga tidak terlalu menguras emosi. Pak Tua tidak marah hanya kecewa saja. Selebihnya aku menghabiskan waktu di rumah bersama Rena dan Wulan.”
Karsa mengangguk.
“Lusa datang kan?”
“Kemana?”
“Aku kan manggung di acara kampus, Nin. Masa kau lupa sih?”
“Oh, acara fakultas sebelah?” Karsa berdehem. “Enggak deh, kau tahu sendiri aku tidak pernah suka tempat riuh seperti itu. Banyak orang, Ka. Sesak, banyak asap rokok. Lebih baik aku di rumah. Kerjaanku banyak. Sungguh.”
Karsa berdecak.
“Kalau kau tidak pernah berani keluar dari rasa nyamanmu, mana bisa kau tahu rasanya dunia ini? Dunia itu luas, Nin. Bukan hanya tumpukan bukumu, atau rentetan jadwal kegiatanmu. Apa salahnya sih coba dulu datang? Kalau kau takut asap rokok, aku carikan tempat yang tidak ada asap rokoknya.”
Hanin terkekeh.
“Kalau aku tidak mau ramai?”
“Nanti aku live musik di depanmu tanpa ada penontonnya!”
Tawa Hanin tidak bisa dicegah. Jawaban Karsa dan mimik wajah lelaki itu tidak bisa dikatakan biasa saja. Wajah sebal yang menggelikan.
“Baik-baik. Tapi aku tidak janji, ya? Lusa aku ada jadwal ke kantor. Kau tahu sendiri jadwal itu tidak pernah bisa aku lewatkan. Kau tampil jam berapa?”
Karsa diam. Mengingat lagi jadwal tampilnya.
“Jam tujuh malam. Itu di rundownnya, belum kalau molor bisa jadi lebih dari jam itu.”
Hanin mengangguk. Mengaduk kuah sotonya yang tinggal separuh.
“Berapa lagu?”
“Satu. Lagi pula mana pernah aku tampil lebih dari satu lagu.”
Benar. Lelaki yang pandai bermain gitar itu tidak pernah mau diminta tampil lebih dari satu lagu. Alasannya, ia tidak se jago pemain kawakan lainnya yang betah berlama-lama di atas panggung. Karsa tetaplah Karsa yang minim ekspresi namun begitu digemari. Bukan tipikal lelaki sempurna yang berharap digilai banyak wanita, Karsa adalah sosok tertutup yang tidak pernah mau berlama-lama ada dikeramaian namun hobinya menuntut demikian.
Hanin dan Karsa sepertinya sama. Hanin yang benci ramai namun ia dipaksa untuk ada di keramaian karena pekerjaannya, dan Karsa yang tidak pernah mau ramai tapi berusaha ada di sana sebab hobi musiknya.
Bicara Karsa, Hanin mengenal lelaki itu sejak semester dua kuliahnya. Sebatas kenal dalam organisasi seni rupa tanpa pernah terpikirkan akan sedekat ini dengan lelaki tinggi minim ekspresi itu. Hanin dan Karsa bertemu karena kegiatan kampus, di mana Hanin sebagai ketua organisasinya sedang Karsa di bidang talent bersama Fani. Kedekatan yang tidak pernah di rencanakan itu terus bergulir sampai sekarang. Genap dua tahun mereka sering bersama, namun hanya sebatas rekan kerja lantas kemudian berubah menjadi teman bercerita. Seringnya bertemu, menjadikan Hanin bebas bercerita tentang apa saja yang ia rasakan. Pun Karsa, di depan Hanin, ekspresi dingin itu tetap ada namun sedikit mencair ketika duduk berdua dan bercerita tentang isi kepala Hanin yang selalu dipenuhi; kapan aku tenangnya, Ka?
Hanin satu-satunya perempuan yang diperbolehkan naik motor dan dibonceng pemiliknya sebab Karsa melarang keras siapa pun terlebih perempuan naik ke motornya atau meminta tumpangan ke mana saja. Karsa menolak dengan tegas sebab baginya, motornya bukan ia beli untuk bisa membonceng siapa saja. Ia lebih suka mengendarai sendiri tanpa ditemani. Alasan lebih singkatnya, Karsa tidak pernah ingin diganggu siapa saja. Hidupnya terlalu tertutup sebelum Hanin membuka pintu itu tanpa sengaja, sedang Karsa memperbolehkan dengan sukarela. Keduanya nyaman, nyaman yang lagi-lagi membahayakan.
Perlakuan yang sederhana namun kerap diterima orang berbeda. Keduanya dituduh memiliki jalinan perasaan namun tidak sama sekali. Mereka teman, mereka sebatas teman.
Kembali ke Hanin dan setengah mangkuk sotonya.
“Ka, kau marah?”
“Marah apa sih?”
“Ya perkara aku tidak janji datang,”
Karsa menyingkirkan mangkuknya. Isinya habis tidak tersisa kecuali satu cabai hijau sudah tinggal separo. “Aku marah pun juga tidak bisa merubah jadwalmu, kan, Nin? Ya tidak masalah. Aku cuma mengingatkan.”
Hanin mendengus. Terlihat jelas Karsa menutupi rasa kecewanya.
“Terhitung ini penampilan ketigaku dan kau tidak bisa datang. Pertama, kau mengantar Beni ke rumah sakit karena tersedak bangkai tikus sampai kucingmu itu tidak mau makan. Kedua, karena jadwal seminarmu yang tidak bisa ditinggalkan. Lantas sekarang karena jadwal ke kantormu. Manusia memang tempatnya sibuk atau mungkin menyibukkan diri ya? Aku paham kau perempuan berambisi tinggi demi menggapai mimpimu, tapi di sisi lain aku juga paham, kau bekerja seperti ini karena ingin memenuhi otakmu dengan kesibukan, benar?”
Hanin sempurna mengatupkan bibir. Sisa soto di mangkuknya tidak menarik lagi untuk dimakan.
“Nin, berapa kali aku bilang, kau jangan terus memaksa otakmu untuk melupakan sesuatu yang sudah seharusnya ada di depan matamu. Sudah seharusnya kau kerjakan atau sudah waktunya kau hadapi. Masalah apapun itu yang aku tidak pernah kau beri tahu ini, harusnya pelan-pelan kau coba ikuti alurnya. Bukan kau gantikan dengan isi kepala baru.”
Karsa menatap Hanin dalam. Merekam jelas raut wajah perempuan itu sudah berubah. Sekarang yang muncul bukan raut rasa bersalah sebab jadwal manggung band Karsa, tapi lebih ke dirinya sendiri. Perasaan yang berusaha ditutupi tapi terbaca tanpa perlu dijelaskan lebih jauh lagi.
Hanya Karsa yang bisa membaca pikirannya.
“Kau terus mengeluh ini-itu, kau terus bilang capek, kau sering melamun, kau juga yang terlalu sering kurang tidur, tahu enggak itu karena apa? Karena dirimu sendiri yang terlalu memaksa dirimu untuk selalu bisa, Nin. Untuk selalu dipenuhi pekerjaan agar kau melupakan pekerjaan yang harus kau selesaikan sesungguhnya.”
Perempuan di depan Karsa semakin terdiam. Memainkan sendok sampai bunyi dentingannya mengisi keheningan ruang tamu.
“Aku tidak memintamu untuk berhenti mengeluh. Bukannya dengan mengeluh kita jadi tahu seberapa kuat kita menghadapi situasi yang ada? Aku tidak memintamu berhenti. Aku hanya minta, coba kau pahami dirimu sendiri. Apa saja yang tidak seharusnya kau paksakan, apa yang seharusnya benar-benar kau lakukan.”
“Aku benci situasi seperti ini,” ucap Hanin sambil mengusap sudut matanya. Air matanya sudah turun. Ia menangis di depan Karsa lagi. Tangisan seperti ini sudah yang kesekian kali terjadi, tapi sepertinya di bulan Juni ini, tangisannya benar-benar menyesakkan hati. “Aku benci menangis di depanmu seperti ini.”
Karsa tersenyum mafhum. Hanin dan tangisannya adalah pemandangan luar biasa bagi hatinya. Tiba-tiba perasaan ingin melindungi itu datang ditangisan kali ini. Menyaksikan Hanin dan tangisannya sekarang adalah janji Karsa untuk mengurangi tangisan berikutnya.
“Aku datang ke sini bukan untuk melihatmu menangis, Nin,” goda Karsa. Berusaha mencairkan suasana agar perempuan berkaos putih itu menghentikan tangisannya.
Hanin tetap menangis sesenggukan. Sebenarnya apa yang Hanin rasakan?
“Lebih baik kau pulang, sana. Aku bosan nangis di depanmu.”
Karsa terkekeh.
Ruang tamu tiba-tiba lengang. Sendok Hanin sudah tidak berdenting melainkan tangisan Hanin yang terus terdengar nyaring. Keduanya sama-sama diam, mendiadakan percakapan sambil Karsa menatap perempuan di depannya sibuk menghapus sisa air mata namun tidak bisa berhenti juga. Terus mengalir deras seolah membenarkan segala ucapan Karsa.
“Sudah jangan nangis. Rena sama Wulan bakal mengira aku yang membuatmu menangis.”
“Kan memang benar!”
Karsa menggaruk kepalanya, tertawa setelahnya.
“Malam ini pembahasan kita berat ya, Nin. Di bulan ini aku melihatmu menangis seperti beberapa bulan lalu. Ya bedanya ini di rumah, kau tidak lagi menangis di pinggir jalan seperti orang kehilangan tunangan. Untungnya juga besok kuliahku libur, jadi aku bisa bangun siang karena aku jamin, kau tak akan berhenti bercerita sampai larut nanti.”
“KARSA!”
“HANIN KAU KENAPA?!”
arsa tertawa kencang mendengar suara perempuan dari ruang televisi yang Karsa yakini milik Rena. Melengking.
“Aman Ren!”
Tawa Karsa tetap nyaring. Menyebalkan sekali lelaki ini.
***
lanjutan dua tahun kemudian “Aku tidak pernah menyangka kalau kau sudah lama tahu tentang perasaan Diana kepadaku,” Dinding krem berkelambu coklat dengan seprai kotak-kotak, kembali memiliki kehidupan. Perbincangan dari dua orang yang pernah dekat, menuntut masing-masing menjelaskan apa yang sebenarnya selama ini tidak berani disampaikan, lama disimpan sendirian, menjadi momok menakutkan ketika harus dipaksa dibongkar ulang. Hanin tersenyum. Pemilik kamar masih duduk di atas kasurnya, membiarkan angin menerbangkan surai rambut sebahunya meski tangannya berulang kali merapikan. Rambut itu sudah terpotong rapi. Rambut panjangnya dulu terpangkas jadi di atas bahu sebelum kedatangannya di kota kelahirannya ini. “Aku tahu siang hari sebelum kita makan soto di rumahku malam itu. Aku jelas tahu apa yang Diana rasakan, Ka. Aku paham bagaimana perasaannya. Ak
“Kau benar tidak bisa datang nanti malam, Nin?”Sepasang tangan sedang sibuk mengotak-atik laptop di atas meja belajar. Meja itu menghadap pekarangan rumah penuh dengan bunga matahari. Katanya, pemiliknya selalu beranggapan bila bunga itu sumber ketenangan. Hujan sederas apa matahari tetap kokoh berdiri meski terkadang layu namun esok harinya bertengger manis lagi. Hanin suka tenang melihat bunganya tumbuh dengan apik. Ketika melihatnya bermekaran, entah kenapa, hatinya ikut damai. Bagi hatinya, kuning warnanya seolah lambang kecerahan.“Aku tidak bisa janji, Ren. Aku sudah bilang Karsa aku harus ke kantor sore nanti.” “Wah... kau serius? Sudah ketiga kalinya kau selalu absen saat Karsa tampil. Kau tak ingin melihat bagaimana pesona temanmu itu di depan semua perempuan? Astaga Nin, kuakui Karsa keren!”Hanin tersenyum simpul. Pengakuan seperti itu kerap ia dengar dari
lanjutan dua tahun kemudian“Iya, dari konser malam itu, aku jadi tenang. Satu diriku yang sempat hilang akhirnya pulang. Aku kembali menemukan diriku, Ka. Aku menikmati penampilanmu saat itu.”“Meskipun aku membawakan hanya satu lagu?”“Kau mana mau diminta lebih dari itu.”Keduanya tertawa. Kamar berdinding krem, berkelambu coklat mulai terasa nyaman. Pada kesempatan kali ini, mau tidak mau Hanin harus menanyakan. Meminta jawaban dari pertanyaannya yang tidak pernah menemukan jawabannya.“Mungkin hanya pada kesempatan ini aku bertanya. Tidak mungkin besok sebab aku harus kembali ke kota itu, tidak mungkin tahun depan sebab aku tidak yakin liburan tahun depan aku akan pulang.” Hanin menarik napasnya. “Sudah lama aku ingin bertanya, dulu, kau bilang kandasnya hubunganmu dengan perempuan yang tidak pernah kau beri tahu namanya, karena salah satunya tida
“Hati-hati,” ujar Hanin sesampainya di depan rumah. Karsa mengangguk. Melajukan motornya meninggalkan Hanin dengan rasa lelahnya. Masuk ke rumah disambut kerlingan jahil dari Rena di dapur. Perempuan itu rasa-rasanya selalu mengerling jahil seharian ini. Bahasannya tak akan jauh dari Karsa. “Katanya teman, mana ada teman semanis Karsa. Kau tahu, Nin, tadi sebenarnya aku dan Wulan sudah duduk di tribun terdekat biar kami bisa leluasa menikmati acara tadi,” Rena menenggak segelas air putihnya, melanjutkan, “Tapi, Karsa tiba-tiba telepon dan bilang kalau kami harus menemanimu di tribun atas karena kau yang tak bisa terkena asap rokok. Apa setiap teman selalu manis seperti itu?” Tangan Hanin merebut segelas air milik Rena. Duduk di kursi dapur sembari meluruskan kaki yang pegal sambil minum, “Berhenti berasumsi aneh-aneh, deh, Ren. Apa yang harus diistimewakan dari tindakan Karsa? Wajar dong dia seperti tadi.” “Ya tidak wajar lah. Dia sampai menelponku untuk mene
“Kenapa kau selalu baik padaku?” Kening Karsa berkerut, “Kenapa harus tidak? Aku rasa setiap lelaki akan melakukan hal yang sama untuk seorang perempuan lemah sepertimu tapi tidak pernah mau terlihat seperti itu.” Karsa terkekeh. “Tidak. Sejauh ini aku tidak pernah menemui lelaki sebaik dirimu entah dalam maksud apa saja. Kau baik tapi tidak pernah ada maksud lain atas kebaikanmu.” Karsa tersenyum. Mengarahkan matanya pada jalan raya yang entah sejak kapan sudah dipenuhi kendaraan bermotor. Ramai tapi tidak seramai pikiran keduanya. “Aku hanya menjalankan apa yang aku inginkan, Nin. Mungkin menjagamu termasuk ke dalam salah satu keinginanku. Entah kenapa aku juga merasa perlu bertanggung jawab terhadap kebahagiaanmu. Seperti yang kubilang, aku juga tidak pernah tahu itu karena apa. Mungkin aku tidak terlalu suka kau terlihat baik-baik saja padahal sedang tidak seperti itu.” Helaan napas berat mengalun di udara. Bercampur asap polusi, ber
(lanjutan dua tahun kemudian)Kamar berdinding krem, berkelambu coklat mulai terasa nyaman. Hujan masih turun, di sore hari seperti ini, semesta seolah mendukung kisah lama berusaha dikulik pemiliknya. Pengakuan yang pada akhirnya akan diselesaikan hari itu, entah bagaimana cerita akhirnya, keduanya sepakat menerima apapun keputusan bersama. Perasaan manusia sempurna miliknya tanpa harus ada sutradara lain selain Penciptanya. Perasaan itu sempurna milik satu perempuan, satu laki-laki yang saat ini sedang membongkar rahasia hati sejak lama, yang berusaha ditutupi agar tidak merambah kemana-mana, yang berusaha dipahami setelah beberapa tahun membisu.“Kalau mengingat semenyebalkan apa kau saat itu di toko buku, Nin. Demi Tuhan aku menyesal mengajakmu ke sana,” Karsa mendengus. “Akhir bulan itu aku rasanya tercekik, tabunganku menipis demi membayar lima ratus tagihan buku sialan itu!”Hanin terbahak. Saat di t
Apakah seseorang harus lebih lama menunggu dan bertahan terhadap segala keputusan final mengatasnamakan kebaikan? Apakah seseorang harus terus menunggu tentang sebuah perasaan ganjil yang pada akhinya menciptakan keramaian tersendiri, mengganggu tapi harus dilalui dengan hati yang baik-baik? Apakah seseorang harus terus mengalah terhadap segala perasaan yang dipaksa mengalah padahal berdamai saja tidak mau?Apakah seseorang harus seperti itu?Pada akhirnya, biang masalah yang ditakutkan Hanin datang. Tersenyum ramah, memeluk, mencium lantas mengatakan rindu. Sejauh ini, sejauh dua jam jarum jam sudah mengantarkan sepasang pria dan wanita paruh baya duduk, menggobrol, makan bersama, menonton TV serta kegiatan kekeluargaan lainnya, keadaan masih aman. Melihat kedua orangtuanya saling bersenda gurau adalah pemandangan sejuk untuk hatinya. Karsa benar, apapun ketakutan Hanin tentang hari ini kedatangan mereka tidak bisa ditunda. Dirinya harus menghadapi segala pertengkaran
“Mau kemana rapi sekali?”“Bertemu teman, Pak. Sekalian ke kantor.”“Sepagi ini? Apa setiap pagi kau selalu pergi-pergi seperti ini, Nin?”Hanin mendengus. Rupanya pakaian pagi ini disalah artikan oleh Bapaknya. Padahal hanya jeans longgar selutut dan denim. Rambutnya hanya dicepol biasa tanpa embel-embel lain dan jangan lupakan tas punggung coklatnya bertengger manis.“Hanin hanya bertemu Karsa. Semalam sudah buat janji kalau pagi ini mengantar Hanin ke kantor. Tidak setiap pagi juga,” jawab Hanin sambil duduk di sofa depan Bapaknya. Memasang jam tangan pemberian orang tua itu bulan lalu.“Karsa teman kuliahmu?” Hanin mengangguk, “Wah, lama Bapak tidak bertemu dengannya. Apa kabar dia? Bapak kira setelah mengantarmu ke rumah waktu itu kalian tidak berhubungan lagi. Pacaran?”&n