lanjutan dua tahun kemudian
“Aku tidak pernah menyangka kalau kau sudah lama tahu tentang perasaan Diana kepadaku,”
Dinding krem berkelambu coklat dengan seprai kotak-kotak, kembali memiliki kehidupan. Perbincangan dari dua orang yang pernah dekat, menuntut masing-masing menjelaskan apa yang sebenarnya selama ini tidak berani disampaikan, lama disimpan sendirian, menjadi momok menakutkan ketika harus dipaksa dibongkar ulang.
Hanin tersenyum. Pemilik kamar masih duduk di atas kasurnya, membiarkan angin menerbangkan surai rambut sebahunya meski tangannya berulang kali merapikan. Rambut itu sudah terpotong rapi. Rambut panjangnya dulu terpangkas jadi di atas bahu sebelum kedatangannya di kota kelahirannya ini.
“Aku tahu siang hari sebelum kita makan soto di rumahku malam itu. Aku jelas tahu apa yang Diana rasakan, Ka. Aku paham bagaimana perasaannya. Ak
“Kau benar tidak bisa datang nanti malam, Nin?”Sepasang tangan sedang sibuk mengotak-atik laptop di atas meja belajar. Meja itu menghadap pekarangan rumah penuh dengan bunga matahari. Katanya, pemiliknya selalu beranggapan bila bunga itu sumber ketenangan. Hujan sederas apa matahari tetap kokoh berdiri meski terkadang layu namun esok harinya bertengger manis lagi. Hanin suka tenang melihat bunganya tumbuh dengan apik. Ketika melihatnya bermekaran, entah kenapa, hatinya ikut damai. Bagi hatinya, kuning warnanya seolah lambang kecerahan.“Aku tidak bisa janji, Ren. Aku sudah bilang Karsa aku harus ke kantor sore nanti.” “Wah... kau serius? Sudah ketiga kalinya kau selalu absen saat Karsa tampil. Kau tak ingin melihat bagaimana pesona temanmu itu di depan semua perempuan? Astaga Nin, kuakui Karsa keren!”Hanin tersenyum simpul. Pengakuan seperti itu kerap ia dengar dari
lanjutan dua tahun kemudian“Iya, dari konser malam itu, aku jadi tenang. Satu diriku yang sempat hilang akhirnya pulang. Aku kembali menemukan diriku, Ka. Aku menikmati penampilanmu saat itu.”“Meskipun aku membawakan hanya satu lagu?”“Kau mana mau diminta lebih dari itu.”Keduanya tertawa. Kamar berdinding krem, berkelambu coklat mulai terasa nyaman. Pada kesempatan kali ini, mau tidak mau Hanin harus menanyakan. Meminta jawaban dari pertanyaannya yang tidak pernah menemukan jawabannya.“Mungkin hanya pada kesempatan ini aku bertanya. Tidak mungkin besok sebab aku harus kembali ke kota itu, tidak mungkin tahun depan sebab aku tidak yakin liburan tahun depan aku akan pulang.” Hanin menarik napasnya. “Sudah lama aku ingin bertanya, dulu, kau bilang kandasnya hubunganmu dengan perempuan yang tidak pernah kau beri tahu namanya, karena salah satunya tida
“Hati-hati,” ujar Hanin sesampainya di depan rumah. Karsa mengangguk. Melajukan motornya meninggalkan Hanin dengan rasa lelahnya. Masuk ke rumah disambut kerlingan jahil dari Rena di dapur. Perempuan itu rasa-rasanya selalu mengerling jahil seharian ini. Bahasannya tak akan jauh dari Karsa. “Katanya teman, mana ada teman semanis Karsa. Kau tahu, Nin, tadi sebenarnya aku dan Wulan sudah duduk di tribun terdekat biar kami bisa leluasa menikmati acara tadi,” Rena menenggak segelas air putihnya, melanjutkan, “Tapi, Karsa tiba-tiba telepon dan bilang kalau kami harus menemanimu di tribun atas karena kau yang tak bisa terkena asap rokok. Apa setiap teman selalu manis seperti itu?” Tangan Hanin merebut segelas air milik Rena. Duduk di kursi dapur sembari meluruskan kaki yang pegal sambil minum, “Berhenti berasumsi aneh-aneh, deh, Ren. Apa yang harus diistimewakan dari tindakan Karsa? Wajar dong dia seperti tadi.” “Ya tidak wajar lah. Dia sampai menelponku untuk mene
“Kenapa kau selalu baik padaku?” Kening Karsa berkerut, “Kenapa harus tidak? Aku rasa setiap lelaki akan melakukan hal yang sama untuk seorang perempuan lemah sepertimu tapi tidak pernah mau terlihat seperti itu.” Karsa terkekeh. “Tidak. Sejauh ini aku tidak pernah menemui lelaki sebaik dirimu entah dalam maksud apa saja. Kau baik tapi tidak pernah ada maksud lain atas kebaikanmu.” Karsa tersenyum. Mengarahkan matanya pada jalan raya yang entah sejak kapan sudah dipenuhi kendaraan bermotor. Ramai tapi tidak seramai pikiran keduanya. “Aku hanya menjalankan apa yang aku inginkan, Nin. Mungkin menjagamu termasuk ke dalam salah satu keinginanku. Entah kenapa aku juga merasa perlu bertanggung jawab terhadap kebahagiaanmu. Seperti yang kubilang, aku juga tidak pernah tahu itu karena apa. Mungkin aku tidak terlalu suka kau terlihat baik-baik saja padahal sedang tidak seperti itu.” Helaan napas berat mengalun di udara. Bercampur asap polusi, ber
(lanjutan dua tahun kemudian)Kamar berdinding krem, berkelambu coklat mulai terasa nyaman. Hujan masih turun, di sore hari seperti ini, semesta seolah mendukung kisah lama berusaha dikulik pemiliknya. Pengakuan yang pada akhirnya akan diselesaikan hari itu, entah bagaimana cerita akhirnya, keduanya sepakat menerima apapun keputusan bersama. Perasaan manusia sempurna miliknya tanpa harus ada sutradara lain selain Penciptanya. Perasaan itu sempurna milik satu perempuan, satu laki-laki yang saat ini sedang membongkar rahasia hati sejak lama, yang berusaha ditutupi agar tidak merambah kemana-mana, yang berusaha dipahami setelah beberapa tahun membisu.“Kalau mengingat semenyebalkan apa kau saat itu di toko buku, Nin. Demi Tuhan aku menyesal mengajakmu ke sana,” Karsa mendengus. “Akhir bulan itu aku rasanya tercekik, tabunganku menipis demi membayar lima ratus tagihan buku sialan itu!”Hanin terbahak. Saat di t
Apakah seseorang harus lebih lama menunggu dan bertahan terhadap segala keputusan final mengatasnamakan kebaikan? Apakah seseorang harus terus menunggu tentang sebuah perasaan ganjil yang pada akhinya menciptakan keramaian tersendiri, mengganggu tapi harus dilalui dengan hati yang baik-baik? Apakah seseorang harus terus mengalah terhadap segala perasaan yang dipaksa mengalah padahal berdamai saja tidak mau?Apakah seseorang harus seperti itu?Pada akhirnya, biang masalah yang ditakutkan Hanin datang. Tersenyum ramah, memeluk, mencium lantas mengatakan rindu. Sejauh ini, sejauh dua jam jarum jam sudah mengantarkan sepasang pria dan wanita paruh baya duduk, menggobrol, makan bersama, menonton TV serta kegiatan kekeluargaan lainnya, keadaan masih aman. Melihat kedua orangtuanya saling bersenda gurau adalah pemandangan sejuk untuk hatinya. Karsa benar, apapun ketakutan Hanin tentang hari ini kedatangan mereka tidak bisa ditunda. Dirinya harus menghadapi segala pertengkaran
“Mau kemana rapi sekali?”“Bertemu teman, Pak. Sekalian ke kantor.”“Sepagi ini? Apa setiap pagi kau selalu pergi-pergi seperti ini, Nin?”Hanin mendengus. Rupanya pakaian pagi ini disalah artikan oleh Bapaknya. Padahal hanya jeans longgar selutut dan denim. Rambutnya hanya dicepol biasa tanpa embel-embel lain dan jangan lupakan tas punggung coklatnya bertengger manis.“Hanin hanya bertemu Karsa. Semalam sudah buat janji kalau pagi ini mengantar Hanin ke kantor. Tidak setiap pagi juga,” jawab Hanin sambil duduk di sofa depan Bapaknya. Memasang jam tangan pemberian orang tua itu bulan lalu.“Karsa teman kuliahmu?” Hanin mengangguk, “Wah, lama Bapak tidak bertemu dengannya. Apa kabar dia? Bapak kira setelah mengantarmu ke rumah waktu itu kalian tidak berhubungan lagi. Pacaran?”&n
Satu minggu berlalu. Sepekan yang penuh dengan ketidaknyamanan sekarang telah sampai pada akhir yang disebut melepaskan. Bukan melepas pergi untuk selamanya, hanya melepas sebuah kepergian agar kembali pada kehidupan yang sebelumnya ia jalani.Hari ini tepat satu minggu orangtua Hanin berada di rumah yang berarti hari ini juga mereka harus pamit meninggalkan anak perempuannya untuk hidup sendiri lagi. Pukul sembilan tepat, bersama langit biru berawan, kepergian Sedan hitam milik Bapaknya ia tatap dengan berbagai pandangan memprihatinkan. Entah untuk hatinya, hubungan keluarganya atau malah untuk salah satu dari mereka. Hanin menyayangkan pertemuan kali ini yang dibumbui pertikaian hebat, namun Hanin juga tak bisa membiarkan emosinya teredam begitu saja semalam sampai ucapan yang baru Hanin sadari sekarang, sangat fatal untuk hubungannya dengan sang Bapak. Seperti salam perpisahan mereka beberapa waktu lalu, Pak Hardian hanya menepuk bahunya dua kali tanpa mengatakan apapun. B