“Kau bagaimana? Masih hidup kan, Nin?”
Suara diseberang terdengar menjengkelkan. Rena menelpon dengan suara nyaring memekakan telinga. Sayup terdengar Wulan ikut terpingkal. Mereka tahu kalau hari ini Hanin bertemu pak tua. Keduanya sedang menunggu cerita Hanin apakah perempuan itu dimaki habis-habisan, atau naasnya terlempar dari gedung berlantai tiga itu.
“Aku selamat!” ketusnya.
Semakin nyaring tawa Rena dan Wulan.
“Kau sekarang di mana? Aku sama Wulan mau ke rumahmu. Menginap. Kau tak lupa kan orangtua Wulan sedang keluar kota dan itu artinya tuan putri ini sedang butuh teman.”
Hanin berdehem. “Setengah jam lagi aku sampai. Aku sedang di jalan. Kalau kalian sudah diperjalanan, kalian langsung masuk kamarku saja, ada Mbak Sari.”
Setelah dijawab beres oleh dua sahabatnya, Hanin melanjutkan jalan. Taxi online pesanannya sudah datang, ia akan bergegas pulang. Tadi pagi saat mendung, dari balik kaca mobil Hanin menatap tetesan hujan seolah tak bersalah telah jatuh ke bumi sepagi itu. Siang ini, dari balik jendela kaca dengan posisi yang sama, Hanin menatap cerahnya jalanan kota sebab matahari mulai mengeluarkan cahayanya. Sudah pukul sebelas lewat tiga puluh menit, komando ibadah sayup terdengar dari kejauhan. Panas se terik ini tiba-tiba Hanin meminta sopir berhenti di taman kota. Sepertinya menunggu tukang es doger keliling langganannya bersama Karsa seperti biasanya, lumayan segar. Hanin turun, mempersilakan sopir meninggalkannya. Duduk di kursi taman menikmati surai rambut hitamnya menari tertiup angin. Menggelitik wajahnya saat beberapa anak rambut menjalar ke wajah juga matanya. Astaga, damai sekali rasanya.
Kebetulan saat membuka mata setelah menikmati diamnya, tukang es doger lewat. Pesan satu rasanya sudah cukup menghilangkan haus di tenggrokannya. Seusai membayar, Hanin menikmatinya ditemani satu dua Merpati berkeliaran di undakan air mancur belakang kursi tempat Hanin duduk. Tak lama, seseorang yang Hanin kenal terlihat memandangnya dari kejauhan. Berjalan menuju kursi di mana Hanin duduk tanpa melepas tatapannya.
“Hanin! Aku takut salah orang. Padahal daritadi aku melihatmu di sini. Sedang apa?”
Masih terkejut, Hanin menormalakan raut wajahnya.
“Lagi ngadem, Din. Kau sendiri dari mana?”
Perempuan bernama Diana duduk di samping kiri Hanin. Meletakkan kresek berlogo supermarket dengan berbagai macam isi cemilan. Kalau ditelisisk perlahan, Diana sepertinya baru pulang dari kampus. Tas punggung hitamnya masih terlihat menampung beberapa buku terlihat dari kacing tas yang terbuka. Pakaiannya juga masih rapi. Levis hitam panjang, bajunya maroon dan jam tangan putih di pergelangan tangan kirinya.
“Pulang dari kampus sekalian beli cemilan. Kau tumben siang-siang ada di sini? Kerjaan lagi kosong?”
Hanin menggaruk kepalanya.
“Enggak juga sih. Baru pulang dari kantor. Pas lewat sini jadi istirahat sebentar sekalian beli ini,” Hanin menunjukkan se gelas plastik es dogernya. “Seger Din, cuma beli satu sih.”
Diana tertawa. Gadis ayu teman akrab Karsa sejak masuk bangku perkuliahan menyandarkan punggungnya. Ikut menatap arah pandang Hanin pada segerombolan siswa SMP sedang menyebrang jalan.
“Sibuk ya akhir-akhir ini? Aku suka tulisanmu, Nin. Astaga, rasanya apapun yang kau tulis sepertinya cocok semua denganku. Apalagi yang kemarin, aku senyum-senyum sendiri membacanya.”
“Yang jatuh cinta paling rumit itu dengan sahabat sendiri, iya?”
Keduanya tertawa.
“Iya enggak rumit sih sebenarnya. Tergantung kita saja memandang cinta itu bagaimana. Tapi ya susah juga apalagi yang namanya sahabat sudah tahu baik buruknya kita, lebih kurangnya kita, apa-apa dilakukan bersama. Ya rumitnya disitu, ketika jatuh cinta kita seperti buku terbuka saja di depan satu sama lain.”
“Kenapa rumit?”
“Kalau sudah pisah, akan sulit membiasakan diri dari yang apa-apa dilakukan bersama, jadi harus bisa sendiri, Din. Ya... meskipun dalam satu hubungan tidak harus apa-apa berdua, tapi yang namanya kebiasaan seperti makan bareng, jalan berdua, sering tukar pikiran, cerita sana sini, ketika sudah sendiri ya lebih terasa saja sepinya.”
“Seperti kau dengan Karsa?”
Hanin tersedak. Setelahnya tertawa.
“Kok Karsa?”
“Ya kan kalian sahabat juga, dekat. Kemana-mana berdua.”
Hanin tertawa lebih kencang dari yang pertama.
“Bedanya denganmu? Kau kan juga sahabatnya Karsa, Din. Bukankah kalian kenal sejak awal masuk kuliah?”
Diana tersenyum. Wajahnya tidak sesumringah pertama tadi. Gadis itu sekarang medunduk. Lebih tertarik pada sepatu bertalinya ketimbang pembahasan tentang Karsa.
“Aku suka sama dia, Nin. Salah enggak sih? Kau orang pertama yang tahu ini. Perasaanku tidak bisa ditahan lagi. Rasanya aku ingin bercerita saja kesiapapun dan beruntungnya aku berani bercerita kepadamu hari ini.”
Sepertinya mendengar teriakan anak SMP berebut menyebrang jalan dibantu petugas sekolah lebih asik dibanding pengakuan Diana siang ini. Hanin dan Diana tidak begitu akrab hanya sebatas tahu bahwa Diana sahabat Karsa, Diana satu fakultas dengan Rena dan Wulan. Selebihnya mereka hanya bertemu di organisasi itu pun Diana sudah tidak aktif lagi ketika Hanin menjabat jadi ketuanya. Sekarang rasanya aneh kalau ia harus jadi pendengar pertama perihal isi hati gadis di sampingnya ini. Apalagi menyangkut Karsa. Lelaki yang tidak bisa dibilang biasa bagi Hanin. Mereka dekat, sebatas rekan organisasi dan teman bercerita.
Saat itu, Hanin belum paham perasaan nyaman yang sering ia rasakan bersama Karsa adalah cinta. Hanin belum memahaminya.
“Aduh, aku bingung, Din.” Hanin terkekeh. “Kalau dibilang salah sih enggak, ya memang tidak pernah ada yang salah dari perasaan manusia ke manusia lainnya.”
“Anggap saja aku curhat, Nin. Barangkali bisa jadi inspirasi menulismu.”
Dua perempuan yang sedang duduk nyaman ditemani teriakan siswa SMP juga burung Merpati, tertawa. Ceritanya berlanjut.
“Lebih tepatnya kapan, aku tidak tahu kapan perasaan ini berani-beraninya menyukainya. Ya seperti katamu tadi, rumit ketika sahabat menyukai sahabatnya sendiri. Aku merasakannya sekarang. Karsa tetaplah Karsa yang seperti itu. Yang tidak pernah mau membuka pintu bagi siapapun masuk ke perasaannya. Yang tidak pernah mengijinkan perempuan manapun naik ke motornya, tapi rasanya kau pengecualian karena aku sering melihat kalian boncengan berdua,”Hanin menggaruk pelipisnya, canggung. “Karsa tetaplah lelaki tertutup yang sulit sekali diajak duduk berdua dengan tujuan yang sama, perasaan cinta misalnya.”
Udara sekitar Hanin sama sekali tidak enak. Apa cuma Hanin yang merasakan punggungnya tiba-tiba panas dingin seperti kerasukan? Cerita Diana lebih horor daripada film thriller kesukaan Rena.
“Itulah sebabnya aku terus memahaminya. Terlepas kami yang sering kumpul-kumpul bersama yang lain, sebenarnya aku sangat berharap duduk berdua hanya dengannya dan bercerita apa saja termasuk perasaan yang aku rasakan. Menurutmu aku harus bagaimana, Nin?”
Kaget Hanin ditodong pendapat mendadak seperti sekarang. Hanin masih menormalkan detak jantungnya yang ia yakin bukan perasaan cemburu tapi lebih ke perasaan aneh ketika mengulang kejadian beberapa akhir ini di mana untuk duduk berdua dengan Karsa, sudah seperti bertemu Rena dan Wulan. Sering.
“Kau yakin ingin meminta pendapat dariku, Din?”
“Yakin. Meskipun aku sudah lama mengenal Karsa, tapi aku jamin kau yang lebih memahaminya.”
Astaga. Salah rasanya Hanin singgah di taman siang ini. Ia takut salah bicara terlebih mengingat kalau Diana dan Karsa adalah teman akrab.
Hanin menarik napas panjang.
“Pernah dengar kalau cinta tidak pernah bisa dipaksa? Semau apa kita pada orang itu sedang orang itu sedang tidak mau membuka pintu bagi siapapun, untuk apa perasaan itu tetap ada? Hanya ada dua kemungkinan yang nantinya akan kau rasakan, Din. Mungkin pertama, kau akan terus terjebak pada perasaan suka yang belum tentu ada balasannya sebelum kau memilih mengubur dalam perasaan itu. Kedua, kau akan mendapat jawaban menyakitkan semisal kau berani mengutarakannya. Mungkin bisa jadi pengecualian jika orang yang kau suka sedang tidak menutup perasaannya. Sedang katamu, Karsa yang tidak pernah mau membuka pintu bagi siapapun masuk ke perasaannya, kan? Ya selebihnya terserah padamu, itu pendapatku.”
“Itulah sebabnya aku tidak pernah berani bercerita tentang perasaan ini, Nin. Aku takut bila diminta berhenti atau lebih sakitnya lagi mengubur perasaan ini.”
“Eh, itu hanya pendapatku, Din. Kalau bagimu menakutkan, ya jangan dilakukan.”
Diana sempurna mengatupkan bibirnya. Lima menit dalam diam, lima menit itu juga memunculkan berbagai pertanyaan.
“Kau menyukai Karsa, Nin?” inilah salah satu pertanyaannya.
Hanin melongo.
“Kenapa?” Hanin meminta pengulangan. Takut salah dengar atau mungkin Hanin tidak mau mendengar pertanyaan itu.
“Kau menyukai Karsa?”
Bingung mau menjawab apa. Bagi Hanin, ia dan Karsa adalah teman biasa yang tiba-tiba saja nyaman. Karsa mudah menebak isi kepalanya. Seperti Hanin sedang suntuk dengan pekerjaan, Hanin sedang ribut dengan keluarganya, Hanin sedang ingin mengeluh, Hanin sedang tidak baik-baik saja, Karsa tahu. Mungin hanya perasaan nyaman dengan seadanya.
“Aku nyaman dengan Karsa, Din. Tidak berarti nyaman bisa diartikan memiliki perasaan cinta atau suka, kan? Sepertinya aku baru menemukan sosok lelaki dewasa seperti Karsa dengan begitu mudah menebak apa saja isi kepalaku ketika sedang tidak baik-baik saja. Ya bagaimana kau menyimpulkan itu terserahmu, hanya saja sukaku dan sukamu terhadap Karsa memiliki arti yang berbeda.”
Saat itu, Hanin belum paham perasaan nyaman yang sering ia rasakan bersama Karsa adalah cinta. Hanin belum memahaminya bahkan diusianya yang sudah dua puluh tahun.
Diana tersenyum dalam diamnya. Hanin mungkin benar, perasaannya memiliki arti berbeda. Diana menyukai Karsa seperti perempuan ketika merasakan ada cinta dalam hatinya. Tentang rasa nyaman, Diana juga merasakan hal yang sama. Ia nyaman ketika berkumpul dengan teman-temannya dan ada Karsa di sana sedang bagaimana perasaan lelaki itu, Diana sama sekali tidak pernah tahu sebab keingintahuannya tertutup pintu tinggi dan terkunci dengan pemilik tunggal adalah Karsa.
Percakapan dengan Diana terus berkelindan dalam pikiran Hanin bahkan saat menaiki taxi online pesanannya menuju rumah. Hanin terus memikiran pengakuan terberani dari seorang gadis dengan raut putus asa seolah perasaan cintanya tidak pernah diamini semesta. Hanin rasanya ikut memiliki perasaan itu, putus asa dengan tidak bisa melakukan apa-apa. Rasanya seperti kau ingin mewujudkan mimpimu tapi hanya bisa diam, duduk tenang sebab keadaan tidak pernah mengizinkan. Sulit. Tentang perasaan sepihak yang rasanya sulit sekali mengelak.
Waktu kemudian menarik lamunan Hanin saat sopir taxi mengatakan bila tujuannya telah sampai. Berterimakasih, Hanin membuka pintu mobil setelah membayar biaya yang sudah tertera di aplikasi handphone miliknya. Berjalan pelan sembari membuka pagar, ia lupa kalau di rumahnya sudah ada Rena dan Wulan. Keterlambatan tidak bisa ditoleransi saat melirik alroji putih di pergelangan tangan kirinya menunjukkan lewat satu jam dari waktu yang dijanjikan. Rena pasti mengamuk.
“Lama! Kau pergi kemana dulu sih, Nin? Karsa lagi?”
Ada apa dengan hari ini? Kenapa semua bahasan manusia-manusia sejak dari taman selalu membahas Karsa? Hanin menjawab pertanyaan Rena dengan decakan. Masuk kamar mandi tidak peduli dengan omelan Rena akibat keterlambatannya. Andai perempuan itu bisa selembut Wulan, andai Rena bisa sekalem Wulan. Tapi, kalau kedua temannya bersifat sama, lantas siapa yang akan menegurnya secara terang-terangan kalau ia salah? Rena dan Wulan punya porsi masing-masing untuk Hanin. Mereka punya caranya tersendiri ketika harus menegur ataupun memberikan pendapat tentang apa saja yang Hanin keluhkan atau tentang apa-apa yang Hanin permasalahkan.
“Aku ketemu Diana tadi,” ujar Hanin setelah selesai bersih-bersih dan berganti pakaian rumahan. Kulot selutut dan kaos putih ia kenakan bahkan rambutnya hanya terikat asal.
“Diana sekelasku?”
Hanin mengangguk. “Dia menyukai Karsa.”
“Demi apa?!”
Rena tersedak air munum yang baru ia teguk mendengar teriakan Wulan. Telinganya berdengung pun hidungnya terasa perih. Rena batuk-batuk sedang dua yang lain terpingkal tidak berbelaskasihan.
“Aku terlambat pulang karena tiba-tiba kami bertemu. Awalnya obrolan biasa sampai aku juga heran kenapa pembicaraan mengarah ke Karsa. Dia bilang menyukai Karsa. Lebih anehnya dia tanya, apa aku juga menyukai Karsa?”
“Jawabanmu?”
“Ya enggak lah! Mana mungkin Hanin mau jawab iya. Kau seperti lupa saja temanmu satu ini gengsinya setinggi apa. Aku rasa gunung pun kalah tinggi dengan gengsinya Hanin!” Jawaban Rena sempurna membuat ruangan ber-cat krem lengang.
Hanin melempar wajah Rena dengan bantal yang sedari tadi dipangkunya.
“Ya aku jawab hanya sebatas nyaman. Lagi pula aku rasa perasaanku selama ini hanya sebatas nyaman. Nyaman bukan berarti cinta atau suka kan? Kalian sudah tahu kalau sejauh ini hanya Karsa lelaki pertama yang begitu apik mengenalku. Tempat ternyaman selain kalian berdua lebih tepatnya.”
“Cih! Orang-orang tanpa kau jelaskan sudah paham, Nin, baik kau atau Karsa sama-sama memiliki rasa suka. Kalian saja yang tidak pernah mengambil kesempatan itu atau parahnya tidak pernah mau menyadari itu. Cinta juga tumbuhnya dari rasa nyaman dan jangan lupakan kalau cinta bisa datang dari kebiasaan; kebiasaan bersama misalnya.”
Rena mungkin benar. Cinta bisa datang kapan saja melalui pintu mana saja termasuk saling bersama. Hanin tidak pernah mau menyangkal perasaan nyaman ini tapi ia juga tidak bisa menjawab perasaan lain yang tumbuh dalam hatinya sekarang ini. Bukan cinta. Bukan. Takut kehilangan?
“Kau benar-benar tidak ada hubungan apa-apa dengan Karsa, Nin?” Wulan bertanya.
“Kami teman. Sejauh ini hanya itu.”
“Kenapa tidak pernah mau lebih dari teman?”
“Aku tidak pernah bilang seperti itu, Lan. Ya memang kami hanya teman. Terlepas apa yang terjadi ke depan, aku juga tidak pernah tahu akan berbuat seperti apa. Sejauh ini aku rasa lebih nyaman seperti ini. Toh apa kelebihan dari dua orang yang memutuskan berpacaran? Hanya pengakuan.”
"Iya, rasa nyaman yang lama kelamaan membahayakan.” Celetuk Rena.
***
Hari sudah sore. Pukul lima di mana kegiatan tiga perempuan di ruang televisi sedang seru-serunya bersenda gurau. Membicarakan apa saja, menjahili satu dan lainnya, tertawa seperti sore ini tidak bisa diganggu oleh siapa saja. Sedang asik bergurau dengan dua sahabatnya, handphone Hanin bergetar tanda pesan masuk. Ia baca ternyata dari Karsa. Ajakan makan malam nanti. Apa lelaki itu tidak ingat kalau langit mendung? Kemungkinan besar malam nanti juga sama. Hujan menyapa dengan ramah di awal Juni ini. “Kau tidak sibuk kan, Nin? Ada waktu keluar bersamaku tidak malam nanti? Tiba-tiba otakku memikirkan soto samping taman kota yang waktu itu pernah kita kunjungi. Mau ikut?” Melirik dua perempuan di depannya sedang asik berebut handphone milik Wulan, Hanin membalas pesan itu. Tidak bermaksud menolak, tapi rasanya waktu berkumpul dengan dua sahabtanya akhir-akhir ini sudah jarang ia lakukan. “Di rumah sedang ada Rena dan Wulan. Aku tidak mau meningg
lanjutan dua tahun kemudian “Aku tidak pernah menyangka kalau kau sudah lama tahu tentang perasaan Diana kepadaku,” Dinding krem berkelambu coklat dengan seprai kotak-kotak, kembali memiliki kehidupan. Perbincangan dari dua orang yang pernah dekat, menuntut masing-masing menjelaskan apa yang sebenarnya selama ini tidak berani disampaikan, lama disimpan sendirian, menjadi momok menakutkan ketika harus dipaksa dibongkar ulang. Hanin tersenyum. Pemilik kamar masih duduk di atas kasurnya, membiarkan angin menerbangkan surai rambut sebahunya meski tangannya berulang kali merapikan. Rambut itu sudah terpotong rapi. Rambut panjangnya dulu terpangkas jadi di atas bahu sebelum kedatangannya di kota kelahirannya ini. “Aku tahu siang hari sebelum kita makan soto di rumahku malam itu. Aku jelas tahu apa yang Diana rasakan, Ka. Aku paham bagaimana perasaannya. Ak
“Kau benar tidak bisa datang nanti malam, Nin?”Sepasang tangan sedang sibuk mengotak-atik laptop di atas meja belajar. Meja itu menghadap pekarangan rumah penuh dengan bunga matahari. Katanya, pemiliknya selalu beranggapan bila bunga itu sumber ketenangan. Hujan sederas apa matahari tetap kokoh berdiri meski terkadang layu namun esok harinya bertengger manis lagi. Hanin suka tenang melihat bunganya tumbuh dengan apik. Ketika melihatnya bermekaran, entah kenapa, hatinya ikut damai. Bagi hatinya, kuning warnanya seolah lambang kecerahan.“Aku tidak bisa janji, Ren. Aku sudah bilang Karsa aku harus ke kantor sore nanti.” “Wah... kau serius? Sudah ketiga kalinya kau selalu absen saat Karsa tampil. Kau tak ingin melihat bagaimana pesona temanmu itu di depan semua perempuan? Astaga Nin, kuakui Karsa keren!”Hanin tersenyum simpul. Pengakuan seperti itu kerap ia dengar dari
lanjutan dua tahun kemudian“Iya, dari konser malam itu, aku jadi tenang. Satu diriku yang sempat hilang akhirnya pulang. Aku kembali menemukan diriku, Ka. Aku menikmati penampilanmu saat itu.”“Meskipun aku membawakan hanya satu lagu?”“Kau mana mau diminta lebih dari itu.”Keduanya tertawa. Kamar berdinding krem, berkelambu coklat mulai terasa nyaman. Pada kesempatan kali ini, mau tidak mau Hanin harus menanyakan. Meminta jawaban dari pertanyaannya yang tidak pernah menemukan jawabannya.“Mungkin hanya pada kesempatan ini aku bertanya. Tidak mungkin besok sebab aku harus kembali ke kota itu, tidak mungkin tahun depan sebab aku tidak yakin liburan tahun depan aku akan pulang.” Hanin menarik napasnya. “Sudah lama aku ingin bertanya, dulu, kau bilang kandasnya hubunganmu dengan perempuan yang tidak pernah kau beri tahu namanya, karena salah satunya tida
“Hati-hati,” ujar Hanin sesampainya di depan rumah. Karsa mengangguk. Melajukan motornya meninggalkan Hanin dengan rasa lelahnya. Masuk ke rumah disambut kerlingan jahil dari Rena di dapur. Perempuan itu rasa-rasanya selalu mengerling jahil seharian ini. Bahasannya tak akan jauh dari Karsa. “Katanya teman, mana ada teman semanis Karsa. Kau tahu, Nin, tadi sebenarnya aku dan Wulan sudah duduk di tribun terdekat biar kami bisa leluasa menikmati acara tadi,” Rena menenggak segelas air putihnya, melanjutkan, “Tapi, Karsa tiba-tiba telepon dan bilang kalau kami harus menemanimu di tribun atas karena kau yang tak bisa terkena asap rokok. Apa setiap teman selalu manis seperti itu?” Tangan Hanin merebut segelas air milik Rena. Duduk di kursi dapur sembari meluruskan kaki yang pegal sambil minum, “Berhenti berasumsi aneh-aneh, deh, Ren. Apa yang harus diistimewakan dari tindakan Karsa? Wajar dong dia seperti tadi.” “Ya tidak wajar lah. Dia sampai menelponku untuk mene
“Kenapa kau selalu baik padaku?” Kening Karsa berkerut, “Kenapa harus tidak? Aku rasa setiap lelaki akan melakukan hal yang sama untuk seorang perempuan lemah sepertimu tapi tidak pernah mau terlihat seperti itu.” Karsa terkekeh. “Tidak. Sejauh ini aku tidak pernah menemui lelaki sebaik dirimu entah dalam maksud apa saja. Kau baik tapi tidak pernah ada maksud lain atas kebaikanmu.” Karsa tersenyum. Mengarahkan matanya pada jalan raya yang entah sejak kapan sudah dipenuhi kendaraan bermotor. Ramai tapi tidak seramai pikiran keduanya. “Aku hanya menjalankan apa yang aku inginkan, Nin. Mungkin menjagamu termasuk ke dalam salah satu keinginanku. Entah kenapa aku juga merasa perlu bertanggung jawab terhadap kebahagiaanmu. Seperti yang kubilang, aku juga tidak pernah tahu itu karena apa. Mungkin aku tidak terlalu suka kau terlihat baik-baik saja padahal sedang tidak seperti itu.” Helaan napas berat mengalun di udara. Bercampur asap polusi, ber
(lanjutan dua tahun kemudian)Kamar berdinding krem, berkelambu coklat mulai terasa nyaman. Hujan masih turun, di sore hari seperti ini, semesta seolah mendukung kisah lama berusaha dikulik pemiliknya. Pengakuan yang pada akhirnya akan diselesaikan hari itu, entah bagaimana cerita akhirnya, keduanya sepakat menerima apapun keputusan bersama. Perasaan manusia sempurna miliknya tanpa harus ada sutradara lain selain Penciptanya. Perasaan itu sempurna milik satu perempuan, satu laki-laki yang saat ini sedang membongkar rahasia hati sejak lama, yang berusaha ditutupi agar tidak merambah kemana-mana, yang berusaha dipahami setelah beberapa tahun membisu.“Kalau mengingat semenyebalkan apa kau saat itu di toko buku, Nin. Demi Tuhan aku menyesal mengajakmu ke sana,” Karsa mendengus. “Akhir bulan itu aku rasanya tercekik, tabunganku menipis demi membayar lima ratus tagihan buku sialan itu!”Hanin terbahak. Saat di t
Apakah seseorang harus lebih lama menunggu dan bertahan terhadap segala keputusan final mengatasnamakan kebaikan? Apakah seseorang harus terus menunggu tentang sebuah perasaan ganjil yang pada akhinya menciptakan keramaian tersendiri, mengganggu tapi harus dilalui dengan hati yang baik-baik? Apakah seseorang harus terus mengalah terhadap segala perasaan yang dipaksa mengalah padahal berdamai saja tidak mau?Apakah seseorang harus seperti itu?Pada akhirnya, biang masalah yang ditakutkan Hanin datang. Tersenyum ramah, memeluk, mencium lantas mengatakan rindu. Sejauh ini, sejauh dua jam jarum jam sudah mengantarkan sepasang pria dan wanita paruh baya duduk, menggobrol, makan bersama, menonton TV serta kegiatan kekeluargaan lainnya, keadaan masih aman. Melihat kedua orangtuanya saling bersenda gurau adalah pemandangan sejuk untuk hatinya. Karsa benar, apapun ketakutan Hanin tentang hari ini kedatangan mereka tidak bisa ditunda. Dirinya harus menghadapi segala pertengkaran