Lima menit dalam sia-sia. Gadis bersurai hitam kecoklatan duduk bersandar pada kayu mahoni dengan plitur kecoklatan dipernis mengkilap menyamankan mata memandang. Masih setia duduk tanpa melakukan apa-apa kecuali mendiamkan kepalanya. Ramainya tidak karuan. Saling berdebat berebut kursi ketenangan. Hatinya ikut-ikut. Mendeklarasikan peperangan demi membuat kenyamanan. Dari dulu atau bahkan semenjak menjadi mahasiswa, riuhnya kepala menjadi nyanyian kencang bervolume maksimal seolah enggan memaafkan tuannya yang saat itu berbuat kesalahan. Terus berteriak meminta kebebasan. Terus memberontak meminta pengakuan. Hanin sudah lelah sebenarnya. Sudah kecapaian merasakan gejolak perasaanya. Sayangnya Hanin tidak pernah bisa mengerti keinginannya sendiri.Tidak pernah bisa memahaminya sehingga menjadikan keramaian ini menjadi lebih ramai.
Hanin sendirian ketika duduk di gazebo. Matanya memandang segala penjuru gedung-gedung tempat ia kuliah sembari melirik alroji di pergelangan tangan kirinya. Lima menit terlewat.
“Kau di mana?”
Pesan masuk dari Rena.
Hanin membiarkan pesan itu. Tidak berniat membuka apalagi membalasnya. Hanin sengaja. Ia benar-benar ingin menata perasaannya. Dari kejauhan sepasang mata mendapati Hanin terdiam. Duduk lesu seolah banyak beban. Sepasang mata itu menelisik wajah ayu Hanin. Menangkap satu benang merah yang disebut permasalahan. Sepasang mata itu memutus pandangannya. Berlari tergesa karena sudah waktunya ia masuk kelas.
“Kau darimana, Nin?” Rena bertanya. Hanin meletakkan tasnya, meraup wajah kucelnya pun merapikan kemeja coklat tuanya yang sedikit lusuh akibat duduk tadi.
“Maaf saya terlambat,” akunya kepada siapa saja yang hadir di ruangan. Sepuluh mahasiswa dengan empat putri sisanya lelaki. Hanin menuju kursi depan. Siap dengan diskusi hari ini beragendakan evaluasi bulanan. Sejam terlewat, Hanin memaksa matanya terus kuat. Sebotol air putih menempel di pipinya. Tutupnya sudah lepas, tinggal teguk seharusnya. Namun, Hanin menatap tangan yang terjulur di depan wajahnya. Gelang hitam kecil dengan bandul bulat tertangkap matanya.
Hanin mendengus.
“Tanpa penjelasan?”
“Iya. Tanpa penjelasan.”
Rena menarik kursi di depan Hanin. Diskusi sedang memasuki jam istirahat. Tiga puluh menit membebaskan semua orang dalam ruangan bebas melakukan banyak hal. Mengobrol, berdiskusi, makan atau ke toilet tanpa ijin. Rena memilih mengintrogasi perempuan berkantung mata semakin hitam ini penuh penekanan.
“ Aku terkejut. Karsa hari ini datang? Sebenarnya bukan itu yang ingin aku tanyakan. Berhubung wajahmu tak karuan, aku mengundurkan niat untuk mencacimu hari ini. Istirahat Nin. Kau perlu tidur. Kenapa harus buru-buru? Apasih yang kau kejar?”
“Pria berkacamata tebal itu benar-benar menyiksaku. Semalam selepas kau pulang, dia mengirimiku pesan. Katanya hari ini aku harus ke kantor dan memaparkan bab ending. Entah kenapa rasanya akhir-akhir ini aku tidak pernah mengejar sesuatu berlebihan. Hanya saja semua tumpukan pikiranku yang memaksa aku harus buru-buru. Aku juga tidak tahu.”
Satu kursi tertarik di samping Rena. Perempuan berambut hitam lebat dengan mata meneduhkan ketika memandang lawan bicara, turut bergabung. Memberikan tiga botol minuman jeruk lengkap bersama dua bungkus roti juga sekotak nasi kantin.
“Makan,” perintahnya. “Terlepas penolakan macam apa yang kau katakan kepada Rena, aku ingin kau makan sekarang, Nin.”
“Hola bocah!” seru Rena. “Kau tak ada kelas?”
“Kalaupun ada, tidak mungkin aku baik hati ke sini apalagi sekadar membelikan kelelawar ini makan,” perempuan berkacamata tebal melirik Hanin. “Makan Nin!” titahnya.
Hanin mendengus. Rena dipadukan dengan Wulan adalah paket komplit untuk mengomeli Hanin. Keduanya kompak sekali mengomel. Rena dengan omelan panjang yang sering Hanin abaikan, sementara Wulan dengan perintahnya tanpa mau dibantah yang kerap Hanin iyakan. Dua sahabatnya itu punya porsi masing-masing. Rena bertugas mengomel sementara Wulan eksekusinya.
“Karsa?” tanya Wulan. Mengarahkan dagunya bermaksud menunjuk pria berambut hitam pekat, postur tubuh tinggi memakai kemeja hitam mengobrol dengan Fani. Bagian talent yang bisa menjawab kenapa lelaki tinggi itu tiba-tiba mengikuti diskusi hari ini.
Pertanyaan yang sama ada di kepala Hanin. Karsa datang?
Dua jam berlalu, diskusi selesai. Menyisakan Karsa dan Hanin sedang menunggu hujan reda. Rena bergegas pamit ketika jemputannya datang, mobil hitam telah diutus Bapak Rena menjemput anak gadisnya. Wulan harus mengikuti kelas tambahan. Sedang yang lain berhamburan pulang sebelum hujan datang. Dua manusia di sana tidak ada yang berani membuka suara. Pertanyaan-pertanyaan dari Karsa untuk Hanin pun sebaliknya, disapu hujan. Derasnya bukan main. Meredam segala pertanyaan yang sudah sampai di ujung lidah namun urung. Angin semakin kencang, Karsa meminta Hanin mengikutinya keluar ruangan. Sebab dalam keadaan seperti ini, tidak mungkin kan mereka terus terjebak di lantai tiga? Karsa mengajak Hanin menuju lobi. Sembari menunggu hujan, mereka terlibat perbincangan.
“Katanya, melupakan derita juga ada saatnya. Memang tidak bisa sembuh seketika, tapi memahami apa-apa yang ada di kepala, yang awalnya disebut derita, mungkin hanya pikiran yang berlebih saja. Aku tahu kau sedang capek, Nin. Kenapa harus dipaksa sih? Aku juga tidak tahu kau sedang memaksa apa atau dipaksa oleh siapa, tapi bisa kan untuk tetap baik-baik saja?”
Dahi Hanin sempurna mengerenyit.
“Kau baik-baik saja kan?”
“Kenapa harus tidak?”
Karsa tersenyum tipis, “Biasanya aku selalu tahu kau sedang berusaha terlihat seperti itu. Dan sekarang masih.”
Hanin tergelak tawa. “Sedang hujan deras, Ka. Kau sedang berusaha meramalku? Aku selalu baik-baik saja asal kau tahu.”
“Kau tak pandai berbohong, Nin. Lima belas menit keterlambatanmu tadi sudah cukup menjawab sebenarnya. Ditambah aku melihatmu duduk sendiri di gazebo. Kalau kau duduk sambil membaca atau melakukan kegiatan lainnya, aku bisa memahami. Tapi, tadi kau melamun. Benar kan?”
Pernah mendengar perumpamaan jika beberapa pikiran manusia kadang seperti buku terbuka? Apakah Hanin semudah itu dibaca hingga orang lain pandai menebak suasana hatinya? Hanin tidak pernah terkejut dengan ucapan Karsa. Lelaki itu benar. Benar-benar pandai menebak dirinya sedang ada diposisi mana. Dua bulan sering bersama, Hanin paham betul kalau Karsa adalah tempat ternyaman untuk diajak bicara. Sebuah kenyamanan yang semakin ke sini semakin membahayakan.
“Kenapa?”
“Ka, tidak semua masalahku harus cerita jalan keluarnya. Aku tahu kau selalu pandai menebak isi kepalaku. Tapi, kau mengerti tidak kalau seseorang juga perlu ruang sendirian? Aku tahu kau satu-satunya lelaki yang paham betul aku sedang baik atau sebaliknya. Tapi, sekarang aku masih tidak ingin bercerita apa-apa. Paham kan?”
“Paham. Kalau seperti itu aku tidak akan bisa memaksa. Tapi, aku memberimu waktu sampai besok untuk kembali seperti Hanin. Kalau kau tetap saja melamun seperti tadi, jangan menyalahkanku kalau kau kupaksa bercerita bagaimanapun caranya.”
“Ah, kau selalu seperti itu!”
“Aku tidak peduli,” Karsa berjalan menuju parkiran. Menerobos hujan. Membiarkan kemejanya basah kuyup. “Kau mau berdiam disitu sampai kapan, Nin?! Langit mendung berwarna putih, sangat lama menunggu hujan ini reda. Ayo pulang, kau kuantar.”
Lelaki yang sudah sampai diparkiran berteriak. Jarak parkiran dan lobi sekitar empat sampai lima meter saja. Sebenarnya berlari kencang tak akan basah, namun Karsa seolah menunjukkan kepada Hanin kalau hujan-hujanan itu seru. Dan Karsa paham, Hanin menginginkan hujan mengguyur tubuhnya.
Motor matic menjelajah jalanan kota yang basah. Kendaraan lain berebut jalan sedang Karsa memelankan laju kecepatan.
“Ka, cepat! Kau sengaja ingin buat buku-bukuku basah ya?!”
“Sesekali, Nin! Bilang editormu kalau hari ini kau tak bisa berkunjung ke kantor. Hari ini saja aku ingin menculikmu dari Pak Tua itu!” teriaknya seolah berlomba dengan derasnya hujan. Setelah tadi ia bercerita kalau hari ini ada jadwal pertemuannya dengan editor, Karsa sengaja menulikan kepalanya. Astaga, apakah Karsa tak paham, menentang Pak Tua berkacamata tebal itu sama saja menyetorkan nyawa esok harinya? Murka, meskipun cukup dibawakan kue pastel akan kembali baik, namun Hanin tidak yakin. Lebih tepatnya kurang yakin kalau kue pastel berhasil jadi sogokan.
“Pulang Ka! Antarkan aku ke rumah. Kau harus tanggung jawab kalau sampai Pak Tua itu mengamuk besok!”
“Aku yang tanggung jawab! Perlu kuiringi dia gitar biar nyenyak tidur? Atau apa perlu aku pesankan pastel berkotak-kotak? Gampang, Nin!”
Benar-benar diculik. Hanin menurut saat motor Karsa menerobos hujan, berteduh ketika semakin deras, sesekali melirik perempuan yang diculiknya kedinginan atau tidak saat angin tiba-tiba berhembus kencang. Ternyata kedinginan. Jaket hitam Karsa membungkus erat tubuh kurus Hanin tanpa penolakan.
“Cinta itu sederhana, yang rumit itu kamu.”
“Eh?”
"Aku sedang bernyanyi,” jawab Hanin ketus. Dua menit kemudian, “Ka?”
“Hmm,” Karsa mengibaskan kemejanya setelah jaket hitamnya berpindah ke Hanin. Kemeja hitam itu sedikit tergulung di ujung sebelah kanannya.
“Perempuan itu menyukaimu ya?” Karsa mengerenyit. Dahinya berlipat lebih banyak daripada Hanin tadi. “Diana. Mudah sekali dibaca kalau dia tertarik padamu. Aku sempat memergokinya menatapmu lama saat kau bicara padaku dua hari lalu di kursi depan kantin.”
“Apa hanya dengan memandang seseorang lama bisa disimpulkan dia menyukai kita? Enggak mungkin. Dia temanku sejak awal masuk kuliah, Nin. Mana mungkin dia menyukaiku. Aku sih tidak terlalu memerhatikan, ya buat apa juga. Dia teman.”
Hanin mengedikan bahu. Tidak begitu yakin, “Kalau ternyata memang dia menyukaimu?”
“Ya itu urusan dia. Tidak ada satu perasaan pun yang boleh dipaksa. Dipaksa dihilangkan atau dipaksa untuk bertahan. Sempurna hak pemiliknya. Terlepas bagaimana cara menanggung lukanya, itu urusan masing-masing. Sama seperti Diana. Kalau dia menyukaiku, ya itu haknya dia.”
“Kau bagaimana?”
“Apa?”
“Suka Diana?”
Karsa tertawa. Mengacak-acak rambut Hanin yang basah meskipun tadi tertutup helm.
Ditepuknya kepala Hanin dua kali.
“Aku menyukainya. Menyukai dia sebagai teman, tidak boleh diartikan berlebihan. Diana baik, Nin. Tidak ada alasan untuk aku tidak menyukainya. Tapi, hanya teman. Perasaanku tidak boleh disalahartikan.”
Terlalu jauh melangkah, sangat sulit dikembalikan pada posisi awal. Hanin dan Karsa. Dua manusia yang tidak pernah memberi kejelasan terhadap hubungannya. Ketika ditanya mereka apa, keduanya menjawab apa adanya. Hanya teman. Memang benar, teman mengeluh, teman menangis, teman keliling kota, teman begadang, teman baik yang sangat pengertian. Saling memberi perhatian tapi menolak disebut memiliki hubungan. Saling menghawatirkan tapi enggan menunjukkan ke orang-orang. Saling nyaman tapi tidak mau mengakui perasaan. Semesta itu lucu, tapi lebih lucu cinta diam-diam itu.
***
Hanin dan Karsa tiba di rumah Hanin persis saat matahari tergelincir ke ufuk barat. Langit berwarna oranye. Mengantarkan matahai beristirahat berganti semburat menawan berhias burung-burung berterbangan guna kembali ke kediaman. Persis di depan gerbang setinggi pinggang ber cat hitam, motor Karsa berhenti menurunkan Hanin yang memasang wajah masam. Meskipun tidak jadi bertemu Pak Tua itu, kata diculik versi Karsa berakhir hujan-hujanan di jalan tapi kebanyakan berteduhnya. Alasan Karsa selalu sama setiap mereka berhenti di pinggir jalan atau ruko-ruko yang pemiliknya memilih menutupnya. “Kau tidak boleh sakit, Nin.” Hanin mendengus. “Kau tidak memperbolehkanku sakit tapi kau mengajakku hujan-hujanan. Tahu seperti ini lebih baik aku bertemu Pak Tua itu.” “Kalau kau sakit, Pak Tua akan marah besar. Hari ini kau absen darinya, sakit karena hujan-hujana. Wah... aku tidak bisa membayangkan wajah bundarnya semerah apa menahan untuk tidak memakanmu. Astaga a
Lajutan dua tahun kemudian Dinding krem berkelambu coklat dengan seprai kotak-kotak, lengang. Haninmengulang cerita lalunya, Karsa menjadi pendengar setia. “Lima belas menit keterlambatanku salah satunya memikirkan kemungkinan-kemungkinan itu, Ka. Ketakutanku sendiri. Tentang pertanyaanku saat kita berteduh waktu itu, itu benar-benar menjadi kekhawatiranku.” Karsa terkejut, “Diana?” Hanin tersenyum. Hambar. “Kau boleh percaya atau tidak, perasaanku tidak bisa berbohong kalau aku keberatan kau dekat dengannya. Terlalu berani jika perasaan ini dikatakan cemburu padahal kita bukan apa-apa. Kita teman. Mungkin dengan perasaan macam-macam. Aku takut, kalian sering bersama melebihi kebersamaan kita. Kau selalu dengan dia ketika ada acara, kau dekat dengannya. Dan posisiku dan Diana sama. Temanmu. Bedanya, kau lebih lama mengenal Diana sementara denganku baru
“Kau bagaimana? Masih hidup kan, Nin?” Suara diseberang terdengar menjengkelkan. Rena menelpon dengan suara nyaring memekakan telinga. Sayup terdengar Wulan ikut terpingkal. Mereka tahu kalau hari ini Hanin bertemu pak tua. Keduanya sedang menunggu cerita Hanin apakah perempuan itu dimaki habis-habisan, atau naasnya terlempar dari gedung berlantai tiga itu. “Aku selamat!” ketusnya. Semakin nyaring tawa Rena dan Wulan. “Kau sekarang di mana? Aku sama Wulan mau ke rumahmu. Menginap. Kau tak lupa kan orangtua Wulan sedang keluar kota dan itu artinya tuan putri ini sedang butuh teman.” Hanin berdehem. “Setengah jam lagi aku sampai. Aku sedang di jalan. Kalau kalian sudah diperjalanan, kalian langsung masuk kamarku saja, ada Mbak Sari.” Setelah dijawab beres oleh dua sahabatnya, Hanin melanjutkan jalan. Taxi online pesanannya sudah datang, ia akan bergegas pulang. Tadi pagi saat mendung, dari balik kaca mobil Hanin menatap tetesan hujan seo
Hari sudah sore. Pukul lima di mana kegiatan tiga perempuan di ruang televisi sedang seru-serunya bersenda gurau. Membicarakan apa saja, menjahili satu dan lainnya, tertawa seperti sore ini tidak bisa diganggu oleh siapa saja. Sedang asik bergurau dengan dua sahabatnya, handphone Hanin bergetar tanda pesan masuk. Ia baca ternyata dari Karsa. Ajakan makan malam nanti. Apa lelaki itu tidak ingat kalau langit mendung? Kemungkinan besar malam nanti juga sama. Hujan menyapa dengan ramah di awal Juni ini. “Kau tidak sibuk kan, Nin? Ada waktu keluar bersamaku tidak malam nanti? Tiba-tiba otakku memikirkan soto samping taman kota yang waktu itu pernah kita kunjungi. Mau ikut?” Melirik dua perempuan di depannya sedang asik berebut handphone milik Wulan, Hanin membalas pesan itu. Tidak bermaksud menolak, tapi rasanya waktu berkumpul dengan dua sahabtanya akhir-akhir ini sudah jarang ia lakukan. “Di rumah sedang ada Rena dan Wulan. Aku tidak mau meningg
lanjutan dua tahun kemudian “Aku tidak pernah menyangka kalau kau sudah lama tahu tentang perasaan Diana kepadaku,” Dinding krem berkelambu coklat dengan seprai kotak-kotak, kembali memiliki kehidupan. Perbincangan dari dua orang yang pernah dekat, menuntut masing-masing menjelaskan apa yang sebenarnya selama ini tidak berani disampaikan, lama disimpan sendirian, menjadi momok menakutkan ketika harus dipaksa dibongkar ulang. Hanin tersenyum. Pemilik kamar masih duduk di atas kasurnya, membiarkan angin menerbangkan surai rambut sebahunya meski tangannya berulang kali merapikan. Rambut itu sudah terpotong rapi. Rambut panjangnya dulu terpangkas jadi di atas bahu sebelum kedatangannya di kota kelahirannya ini. “Aku tahu siang hari sebelum kita makan soto di rumahku malam itu. Aku jelas tahu apa yang Diana rasakan, Ka. Aku paham bagaimana perasaannya. Ak
“Kau benar tidak bisa datang nanti malam, Nin?”Sepasang tangan sedang sibuk mengotak-atik laptop di atas meja belajar. Meja itu menghadap pekarangan rumah penuh dengan bunga matahari. Katanya, pemiliknya selalu beranggapan bila bunga itu sumber ketenangan. Hujan sederas apa matahari tetap kokoh berdiri meski terkadang layu namun esok harinya bertengger manis lagi. Hanin suka tenang melihat bunganya tumbuh dengan apik. Ketika melihatnya bermekaran, entah kenapa, hatinya ikut damai. Bagi hatinya, kuning warnanya seolah lambang kecerahan.“Aku tidak bisa janji, Ren. Aku sudah bilang Karsa aku harus ke kantor sore nanti.” “Wah... kau serius? Sudah ketiga kalinya kau selalu absen saat Karsa tampil. Kau tak ingin melihat bagaimana pesona temanmu itu di depan semua perempuan? Astaga Nin, kuakui Karsa keren!”Hanin tersenyum simpul. Pengakuan seperti itu kerap ia dengar dari
lanjutan dua tahun kemudian“Iya, dari konser malam itu, aku jadi tenang. Satu diriku yang sempat hilang akhirnya pulang. Aku kembali menemukan diriku, Ka. Aku menikmati penampilanmu saat itu.”“Meskipun aku membawakan hanya satu lagu?”“Kau mana mau diminta lebih dari itu.”Keduanya tertawa. Kamar berdinding krem, berkelambu coklat mulai terasa nyaman. Pada kesempatan kali ini, mau tidak mau Hanin harus menanyakan. Meminta jawaban dari pertanyaannya yang tidak pernah menemukan jawabannya.“Mungkin hanya pada kesempatan ini aku bertanya. Tidak mungkin besok sebab aku harus kembali ke kota itu, tidak mungkin tahun depan sebab aku tidak yakin liburan tahun depan aku akan pulang.” Hanin menarik napasnya. “Sudah lama aku ingin bertanya, dulu, kau bilang kandasnya hubunganmu dengan perempuan yang tidak pernah kau beri tahu namanya, karena salah satunya tida
“Hati-hati,” ujar Hanin sesampainya di depan rumah. Karsa mengangguk. Melajukan motornya meninggalkan Hanin dengan rasa lelahnya. Masuk ke rumah disambut kerlingan jahil dari Rena di dapur. Perempuan itu rasa-rasanya selalu mengerling jahil seharian ini. Bahasannya tak akan jauh dari Karsa. “Katanya teman, mana ada teman semanis Karsa. Kau tahu, Nin, tadi sebenarnya aku dan Wulan sudah duduk di tribun terdekat biar kami bisa leluasa menikmati acara tadi,” Rena menenggak segelas air putihnya, melanjutkan, “Tapi, Karsa tiba-tiba telepon dan bilang kalau kami harus menemanimu di tribun atas karena kau yang tak bisa terkena asap rokok. Apa setiap teman selalu manis seperti itu?” Tangan Hanin merebut segelas air milik Rena. Duduk di kursi dapur sembari meluruskan kaki yang pegal sambil minum, “Berhenti berasumsi aneh-aneh, deh, Ren. Apa yang harus diistimewakan dari tindakan Karsa? Wajar dong dia seperti tadi.” “Ya tidak wajar lah. Dia sampai menelponku untuk mene