lanjutan dua tahun kemudian
“Aku akan memulai ceritanya, iya atau tidak jawabanmu, aku akan tetap cerita alasannya.”
Lelaki di kursi sana masih terdiam. Duduk nyaman meskipun hatinya enggan. Tidak ingin mengulang penolakan itu. Tidak mau menikmati perasaanya dua tahun lalu.
“Aku ingin tenang, Ka. Sungguh. Kau selalu tahu suasana hatiku berkata apa. Seolah kalian berteman akrab sehingga aku sendiri heran, kenapa kau begitu apik memahamiku sementara aku sulit memahami hatiku sendiri. Dan seharusnya dua tahun lalu kau tahu, aku benar-benar menginginkan ketenangan.”
Hanin mengela napas. Melanjutkan pengakuan pertamanya.
“Ka, sebelum pertemuan pertama kita di ruangan baru yang menghadap jalanan kota itu, sebelum aku melihatmu untuk pertama kalinya sebagai sosok baru di sana, jauh sebelum aku mengira kalau keyakinan kita tak sama dan ternyata aku keliru, dengan beraninya aku sudah menginginkanmu terlebih dahulu. Dalam waktu berbeda ketika aku sedang berkawan dengan imajinasiku sendiri. Ingin bertemu lelaki sepertimu yang lagi-lagi aku sudah tahu kalau perasaan ini nantinya akan berlaku untuk aku sendiri. Semesta mengabulkan. Berbulan-bulan aku terjebak pada perasaan sepihak itu, tidak lagi mengukur seberapa waraskah aku saat itu, hatiku hanya menginginkanmu. Segala tentangmu selama berbulan-bulan itu tetap menjadi riuhnya isi kepalaku. Sungguh itu menyiksaku, Ka. Sangat menyiksa.”
“Salahku di mana Nin, apa aku tahu kalau saat itu kau sedang menaruh perasaan padaku? Sama sekali aku tidak tahu. Tidak pernah kau memberiku kesempatan untuk mengetahuinya.”
“Aku memang menginginkan itu, Ka. Aku yang menginginkan perasaanku tak akan bisa terbaca olehmu. Aku yang keliru. Aku kira perasaan itu akan memudar seiring dengan ramainya orang-orang mengaitkanmu dengan nama baru. Lebih tepatnya, orang baru yang tiba-tiba masuk lingkunganmu dan ia menyukaimu. Mereka kerap melontarkan kalimat itu. Kalimat bila kalian memang ada hubungan. Aku kira dengan ramainya pemberitaan orang, perasaanku akan hilang. Ternyata tidak. Rasa itu terus bertumbuh hebat, terus menyiksaku yang selalu mencoba kuat padahal tidak sama sekali.”
“Seperti yang aku bilang di awal, ini bukan salahmu saja, bukan hanya salahku saja. Kita yang salah. Kita yang tidak pernah berani mengakui perasaan masing-masing. Kita yang tidak pernah mau mengambil kesempatan yang semesta berikan. Kita juga yang tidak pernah mau menghilangkan cinta diam-diam ini dan selalu bersembunyi dibalik ketidaksiapan kita pada hubungan yang sebenarnya. Kita hanya berani bersembunyi dibalik kata sahabat, padahal kedekatan kita tidak pernah bisa disebut persahabatan. Sudah terlalu jauh, Ka. Sangat jauh.”
Karsa tersenyum kecut. Wajah tampan lelaki itu pias. Hatinya tiba-tiba membenarkan pengakuan Hanin. Hatinya sempurna menyesali ketidaktegasannya dalam mengakui hubungan mereka. Terlebih perasaannya.
“Aku minta maaf, Nin,”
“Belum saatnya meminta maaf, Ka,” Hanin membenarkan posisi duduknya. Bersandar pada kaki ranjang, menatap matahari di atas mejanya terus bergoyang tertiup angin yang tiba-tiba mengajak gerimis. Hanin menarik ingatan dua tahun silam perlahan. Mencoba memeluknya. Mencoba meyakinkan dirinya kalau hanya saat ini waktu yang tepat untuk mengakui semuanya dan mengakhiri perasaanya.
“Kau masih ingat mengapa pertemuan kita di ruangan waktu itu, lima belas menit aku terlambat?”
“Ibu Ketua ini sedang duduk melamun di gazebo kampus, kan?”
Keduanya tertawa. Menarik ingatan itu lebih dekat lagi.
Lima menit dalam sia-sia. Gadis bersurai hitam kecoklatan duduk bersandar pada kayu mahoni dengan plitur kecoklatan dipernis mengkilap menyamankan mata memandang. Masih setia duduk tanpa melakukan apa-apa kecuali mendiamkan kepalanya. Ramainya tidak karuan. Saling berdebat berebut kursi ketenangan. Hatinya ikut-ikut. Mendeklarasikan peperangan demi membuat kenyamanan. Dari dulu atau bahkan semenjak menjadi mahasiswa, riuhnya kepala menjadi nyanyian kencang bervolume maksimal seolah enggan memaafkan tuannya yang saat itu berbuat kesalahan. Terus berteriak meminta kebebasan. Terus memberontak meminta pengakuan. Hanin sudah lelah sebenarnya. Sudah kecapaian merasakan gejolak perasaanya. Sayangnya Hanin tidak pernah bisa mengerti keinginannya sendiri.Tidak pernah bisa memahaminya sehingga menjadikan keramaian ini menjadi lebih ramai. Hanin sendirian ketika duduk di gazebo. Matanya memandang segala penjuru gedung-gedung tempat ia kuliah sembari melirik alroji di pergelangan tanga
Hanin dan Karsa tiba di rumah Hanin persis saat matahari tergelincir ke ufuk barat. Langit berwarna oranye. Mengantarkan matahai beristirahat berganti semburat menawan berhias burung-burung berterbangan guna kembali ke kediaman. Persis di depan gerbang setinggi pinggang ber cat hitam, motor Karsa berhenti menurunkan Hanin yang memasang wajah masam. Meskipun tidak jadi bertemu Pak Tua itu, kata diculik versi Karsa berakhir hujan-hujanan di jalan tapi kebanyakan berteduhnya. Alasan Karsa selalu sama setiap mereka berhenti di pinggir jalan atau ruko-ruko yang pemiliknya memilih menutupnya. “Kau tidak boleh sakit, Nin.” Hanin mendengus. “Kau tidak memperbolehkanku sakit tapi kau mengajakku hujan-hujanan. Tahu seperti ini lebih baik aku bertemu Pak Tua itu.” “Kalau kau sakit, Pak Tua akan marah besar. Hari ini kau absen darinya, sakit karena hujan-hujana. Wah... aku tidak bisa membayangkan wajah bundarnya semerah apa menahan untuk tidak memakanmu. Astaga a
Lajutan dua tahun kemudian Dinding krem berkelambu coklat dengan seprai kotak-kotak, lengang. Haninmengulang cerita lalunya, Karsa menjadi pendengar setia. “Lima belas menit keterlambatanku salah satunya memikirkan kemungkinan-kemungkinan itu, Ka. Ketakutanku sendiri. Tentang pertanyaanku saat kita berteduh waktu itu, itu benar-benar menjadi kekhawatiranku.” Karsa terkejut, “Diana?” Hanin tersenyum. Hambar. “Kau boleh percaya atau tidak, perasaanku tidak bisa berbohong kalau aku keberatan kau dekat dengannya. Terlalu berani jika perasaan ini dikatakan cemburu padahal kita bukan apa-apa. Kita teman. Mungkin dengan perasaan macam-macam. Aku takut, kalian sering bersama melebihi kebersamaan kita. Kau selalu dengan dia ketika ada acara, kau dekat dengannya. Dan posisiku dan Diana sama. Temanmu. Bedanya, kau lebih lama mengenal Diana sementara denganku baru
“Kau bagaimana? Masih hidup kan, Nin?” Suara diseberang terdengar menjengkelkan. Rena menelpon dengan suara nyaring memekakan telinga. Sayup terdengar Wulan ikut terpingkal. Mereka tahu kalau hari ini Hanin bertemu pak tua. Keduanya sedang menunggu cerita Hanin apakah perempuan itu dimaki habis-habisan, atau naasnya terlempar dari gedung berlantai tiga itu. “Aku selamat!” ketusnya. Semakin nyaring tawa Rena dan Wulan. “Kau sekarang di mana? Aku sama Wulan mau ke rumahmu. Menginap. Kau tak lupa kan orangtua Wulan sedang keluar kota dan itu artinya tuan putri ini sedang butuh teman.” Hanin berdehem. “Setengah jam lagi aku sampai. Aku sedang di jalan. Kalau kalian sudah diperjalanan, kalian langsung masuk kamarku saja, ada Mbak Sari.” Setelah dijawab beres oleh dua sahabatnya, Hanin melanjutkan jalan. Taxi online pesanannya sudah datang, ia akan bergegas pulang. Tadi pagi saat mendung, dari balik kaca mobil Hanin menatap tetesan hujan seo
Hari sudah sore. Pukul lima di mana kegiatan tiga perempuan di ruang televisi sedang seru-serunya bersenda gurau. Membicarakan apa saja, menjahili satu dan lainnya, tertawa seperti sore ini tidak bisa diganggu oleh siapa saja. Sedang asik bergurau dengan dua sahabatnya, handphone Hanin bergetar tanda pesan masuk. Ia baca ternyata dari Karsa. Ajakan makan malam nanti. Apa lelaki itu tidak ingat kalau langit mendung? Kemungkinan besar malam nanti juga sama. Hujan menyapa dengan ramah di awal Juni ini. “Kau tidak sibuk kan, Nin? Ada waktu keluar bersamaku tidak malam nanti? Tiba-tiba otakku memikirkan soto samping taman kota yang waktu itu pernah kita kunjungi. Mau ikut?” Melirik dua perempuan di depannya sedang asik berebut handphone milik Wulan, Hanin membalas pesan itu. Tidak bermaksud menolak, tapi rasanya waktu berkumpul dengan dua sahabtanya akhir-akhir ini sudah jarang ia lakukan. “Di rumah sedang ada Rena dan Wulan. Aku tidak mau meningg
lanjutan dua tahun kemudian “Aku tidak pernah menyangka kalau kau sudah lama tahu tentang perasaan Diana kepadaku,” Dinding krem berkelambu coklat dengan seprai kotak-kotak, kembali memiliki kehidupan. Perbincangan dari dua orang yang pernah dekat, menuntut masing-masing menjelaskan apa yang sebenarnya selama ini tidak berani disampaikan, lama disimpan sendirian, menjadi momok menakutkan ketika harus dipaksa dibongkar ulang. Hanin tersenyum. Pemilik kamar masih duduk di atas kasurnya, membiarkan angin menerbangkan surai rambut sebahunya meski tangannya berulang kali merapikan. Rambut itu sudah terpotong rapi. Rambut panjangnya dulu terpangkas jadi di atas bahu sebelum kedatangannya di kota kelahirannya ini. “Aku tahu siang hari sebelum kita makan soto di rumahku malam itu. Aku jelas tahu apa yang Diana rasakan, Ka. Aku paham bagaimana perasaannya. Ak
“Kau benar tidak bisa datang nanti malam, Nin?”Sepasang tangan sedang sibuk mengotak-atik laptop di atas meja belajar. Meja itu menghadap pekarangan rumah penuh dengan bunga matahari. Katanya, pemiliknya selalu beranggapan bila bunga itu sumber ketenangan. Hujan sederas apa matahari tetap kokoh berdiri meski terkadang layu namun esok harinya bertengger manis lagi. Hanin suka tenang melihat bunganya tumbuh dengan apik. Ketika melihatnya bermekaran, entah kenapa, hatinya ikut damai. Bagi hatinya, kuning warnanya seolah lambang kecerahan.“Aku tidak bisa janji, Ren. Aku sudah bilang Karsa aku harus ke kantor sore nanti.” “Wah... kau serius? Sudah ketiga kalinya kau selalu absen saat Karsa tampil. Kau tak ingin melihat bagaimana pesona temanmu itu di depan semua perempuan? Astaga Nin, kuakui Karsa keren!”Hanin tersenyum simpul. Pengakuan seperti itu kerap ia dengar dari
lanjutan dua tahun kemudian“Iya, dari konser malam itu, aku jadi tenang. Satu diriku yang sempat hilang akhirnya pulang. Aku kembali menemukan diriku, Ka. Aku menikmati penampilanmu saat itu.”“Meskipun aku membawakan hanya satu lagu?”“Kau mana mau diminta lebih dari itu.”Keduanya tertawa. Kamar berdinding krem, berkelambu coklat mulai terasa nyaman. Pada kesempatan kali ini, mau tidak mau Hanin harus menanyakan. Meminta jawaban dari pertanyaannya yang tidak pernah menemukan jawabannya.“Mungkin hanya pada kesempatan ini aku bertanya. Tidak mungkin besok sebab aku harus kembali ke kota itu, tidak mungkin tahun depan sebab aku tidak yakin liburan tahun depan aku akan pulang.” Hanin menarik napasnya. “Sudah lama aku ingin bertanya, dulu, kau bilang kandasnya hubunganmu dengan perempuan yang tidak pernah kau beri tahu namanya, karena salah satunya tida