Saat azan pertama di masjid sudah terdengar, aku yang sudah punya wudu segera salat Zuhur. Lima belas menit kemudian, diriku sudah duduk di kursi rias. Meski nanti tempat walimah dikonsep syar’i, yakni tamu pria dan wanita berbeda ruang, aku tetap tidak menghendaki make up yang berlebihan. Sentuhan terakhir di pipi, blush on tipis yang kata periasnya bisa memberi kesan fresh.
“Kamu akan jadi pusat perhatian siang ini Mbak Alya, jangan lupa selalu tersenyum. Sebaik apapun riasan make up, tapi jika pengantinnya mahal senyum, maka kecantikannya tak akan terpancar.” Perias yang sudah melalangbuana mendandani pengantin selama dua puluh tahun itu mengangkat kedua sudut bibirnya. Memberiku contoh langsung bagaimana cara tersenyum yang baik.
“Selamat ya, Alya. Kamu sudah berhasil menaklukkan hati mantan suamiku. Gercep juga ya kamu itu. Belum setengah tahun menjanda sudah menikah aja.” Jasmin belum juga melepaskan salamannya. “Sepertinya aku perlu belajar banyak hal darimu. Bahkan berbagi suami sepertinya seru. Kan Papanya Bilqist tajir, pasti mampu menghidupi dua istri,” lanjutnya. Baru setelah itu dia melepaskan tanganku. Matanya melirik genit. Bibirnya tersungging menunjukkan kelicikan. Kini giliran Nely, tamu tak diundang ini berada di depanku. Apa yang bakal diucapkannya?Aku tak akan mengucapkan selamat padamu, Al. Sekarang siapa yang lebih tepat dapat julukan rondo gatel? Aku atau kamu? Enggak lama cerai sudah kawin lagi. Dasar gatel! Siap-siap saja menjanda lagi. Jasmin akan kuajari caranya.” Nely tertawa lirih. Dia terlihat puas sekali mengancamku di hari b
Aku tak tahu kalimat yang barusan diucapkan Jasmin itu serius atau hanya guyonan. Kalaupun itu sekadar candaan, rasanya tetap tak pantas dilakukan. Segera kubalikkan badan dan menghampiri Mas Akmal. “Gimana Mas, buka puasanya? Mantab enggak?” Kuucapkan kalimat itu dengan raut semringah. Jasmin yang masih berdiri di samping Mas Akmal terlihat berpikir mencerna omonganku barusan. “Mantab banget, Yang. Tar malem kita lanjut lagi. Sekarang isi amunisi dulu. Gemetar ini. Belum sehari dah tiga ronde.” Mas Akmal bicara lurus menatapku, tanpa memperhatikan Jasmin sama sekali. Seolah wanita yang berkemeja kotak-kotak dengan rambut sepunggung terurai itu tak ada di sampingnya. Kuamati wajah mamanya Bilqist itu. Setelah mendengar jawababn dari Mas Akmal, barulah dia p
“Kamu itu mau bulan madu atau apa, Mal? Kok pake nawari kami ikut segala?” Papa memperjelas maksud Mas Akmal. Mungkin karena melihat respon istrinya yang langsung memalingkan muka. Dari sini pun aku bisa megambil hikmah. Saat kita diam mengalah, justru hati suami mulai terketuk untuk membuka diri atas apa yang kita inginkan. Coba jika tadi Mama langsung besikap frontal, mendebat apa yang Papa nasihatkan. Mungkin ego Papa sebagai pemimpin merasa tak dihargai. Malah mungkin akan diambil keputusan dengan tegas. “Enggak boleh ikut. Titik.” Ini namanya seni mengalah untuk menang. Duh … salut aku sama Mama.“Bulan madu, Pa. Tapi kami ‘kan tak boleh egois. Aku dan Alya sama-sama punya anak sebelumnya. Apalagi anaknya Alya masih kecil-kecil. Kami memang berkomitmen untuk selalu melibatkan anak-anak saat kami bepergian selama itu
Undangan pernikahan Alya dan Akmal dikirim Lek Titik lewat aplikasi pesan. Ada perasaan tak percaya Alya begitu cepat menerima laki-laki lain dalam hidupnya. Kupikir, saat aku mengucapkan talak kepada Nely di hadapan semua orang dan dia juga menyaksikannya, itu bisa menjadi jalan bagi kami kembali bersatu. Nyatanya wanita yang dulu kunikahi secara sederhana itu move on begitu cepat. Padahal dia selama ini perempuan yang kalem. Tidak agresif. Namun keputusannya menikah lagi dalam waktu dekat benar-benar membuat mataku terbelalak. Apakah ini hanya pelariannya? Pagi ini, nama yang ditulis ibuku dalam lembaran kertas di akhir hidupnya itu telah melangsungkan akad nikah. Maafkan anakmu ini Ibu, tak bisa menjalankan amanat terakhirmu.&nbs
“Kamu sudah bangun?” Dengan entengnya dia bertanya. Seperti tak ada rasa kaget sama sekali. “Apa yang terjadi semalam?” Tanpa melihatnya, kulontarkan tanya. “Kamu mabuk. Sepertinya kamu enggak pernah minum ya sebelumnya? Jadi minum sedikit saja sudah membuatmu sempoyongan.” “Trus?” tanyaku tak sabar mengetahui apa yang terjadi setelahnya. “Kebetulan shiftku jaga bar sudah selesai. Kamu kubantu ke kamar.” “Gimana kamu tahu ini kamarku?”&n
Jam dinding di restoran hotel menunjukkan pukul 07.25 WIB. Namun matahari pagi belum menampakkan sinarnya. Hampir semua tamu yang bermalam di sini sudah menikmati sarapan. Bahkan sebagian dari mereka telah menandaskan isi piringnya. Yang tersisa tinggal menghabiskan minuman hangat yang ada di cangkir-cangkir warna putih tulang itu. Sementara itu, Akmal dan Alya baru melangkah menuju meja hidangan. Mereka tak sadar ada dua pasang mata yang terus mengikuti gerak-geriknya. “Enggak usah diliatin terus, kali! Tar mereka tambah belagu lagi!” Nely mencoba mengingatkan teman satu mejanya.“Aku sepertinya enggak bisa deh jalanin idemu, Nel. Rasanya kayak wanita murahan. Bukan aku banget!” Jasmin seketika meletakkan garpu dan sendoknya. Nafsu
Alya dan Akmal kini dalam perjalanan menuju Bandara Juanda. Jadwal penerbangan yang dipilih pukul 10.05-11.40 WIB. Sebelum keluar dari mobil, Akmal mengecup kening istrinya itu lembut. Alya kian membenamkan wajahnya seolah enggan berpisah.Kali ini Akmal yang bisa mengotrol diri. “Sudah ya …, Sayang. Aku pergi sebentar saja kok.”Tepat pukul 09.05 mereka sudah berada di ruang tunggu. Bandara ini aktivitas penerbangan internasionalnya cukup ramai, bahkan termasuk tersibuk kedua setelah bandara Soekarno Hatta.“Kamu sebenarnya enggak perlu anter aku sampe sini. ‘Kan bisa naik taksi online tadi. Tar kamu capek.” Akmal menggenggam tangan Alya erat. Mereka duduk di salah satu deretan kursi tunggu. “Enggak apa-apa, Mas. Selagi aku ada waktu.” Alya memberikan senyum terman
Wildan terduduk di lantai. Tubuhnya yang semula bersandar di dinding kini merosot. Lemas. Apa yang dilihatnya barusan seperti mimpi. Benar dia merindukan anak-anaknya, bahkan Alya. Namun tidak dalam situasi seperti ini berjumpanya. Anak yang ingin dia peluk, justru ada dalam gendongan pria lain. Ada pun Alya, jangan ditanya. Bahkan Wildan telah merelakan dirinya menenggak minuman yang bisa meringankan beban pikirannya sejenak. Wildan lupa, justru dari hilangnya kesadaran, akan mengantarkan pada kerusakan yang lebih parah. Lihatlah apa yang telah dilakukannya beberapa waktu lalu. Sudah bagus dia menolak ajakan Joseph. Agar terhindar dari godaan wanita-wanita penghibur. Akan tetapi pilihannya masuk ke bar juga bukan sesuatu yang tepat. Akhirnya mengantarkannya pada dosa besar. “Samp
Sebuah mobil jenis MPV berhenti tepat di rumah lantai dua dengan pagar warna putih. “Hati-hati ya Sayang, yang patuh sama Bapak Ibu Guru di sekolah,” pesan Alya kepada Rohim.“Iya, Bunda. Assalamu’alaikum.”Alya pun segera menjawab salamnya Rohim. Kemudian anak itu mencium pungung tangan Alya dan Alya balik mencium keningnya. Sejak Alya mengambil cuti melahirkan, Rohim diikutkan travel sekolah sebab Akmal sendiri tidak bisa dipastikan dapat mengantar jemput setiap pagi. Termasuk pada hari ini. Bakda Subuh Akmal bersama timnya harus pergi ke luar kota sebab ada agenda pembebasan lahan untuk proyek pembangunan perumahan baru.Saat Rohim hendak naik ke mobil, suara motor berhenti di depan rumah Alya. Menghalangi laju mobil yang akan berangkat.“Rohim!”Panggilan itu memalingkan Rohim juga Alya.“Mas Wildan!”
Lantunan kalimat tahlil terdengar menggema di rumah Pak Danu. Kali ini tidak ada kaitannya dengan ritual selamatan kematian. Pak Danu mendapat giliran tahlil dari rumah ke rumah. Acara rutin yang diadakan warga kampung. Di tengah acara, datang laki-laki bercelana hitam dan berbaju koko putih. Dia ikut duduk di teras dan mengikuti bacaan tahlil. Lima belas menit kemudian bacaan tahlil telah usai dilakukan. Suguhan lontong sayur mulai diedarkan kepada seluruh warga yang datang. Setelah selesai menyantap suguhan, mereka semua pamit dengan membawa berkat nasi dan kue. Kecuali laki-laki berbaju koko putih dan bercelana hitam itu tetap di tempat. Sosok itu lalu berdiri dan mendekati Pak Danu begitu semua anggota jemaah tahlil sudah angkat kaki.“Assalamu’alaik
“Yang … jangan tinggalin aku.” Nely setengah berteriak memanggil Wildan. Dia sedang berjuang mengapung agar tak tenggelam. Tangan dan kakinya bergerak tak tentu arah. Mulutnya megap-megap sebab air laut mulai masuk ke dalamnya.“Yang …” Panggilan itu terus terulang.Namun, sosok yang dipanggil sama sekali tak bergerak mendekat. Situasi ini sangat berbeda saat Nely terjatuh dari kapal karena selfie dulu. Nely kian frustasi. Satu-satunya harapan dia selamat adalah pertolongan laki-laki yang pernah tergila-gila padanya itu. Harapan tinggal harapan. Wildan hanya memejamkan mata dan menggerakkan kedua kakinya ke kiri dan ke kanan agar memperoleh keseimbangan. Saat ini yang ada dalam benaknya adalah ibunya yang meninggal lantaran ulah wanita yang kini berteriak meminta tolong kepadanya. Ada pergul
Di sebuah baby shop, terdapat pakaian bayi dan anak-anak yang lucu. Sebagian terlipat rapi dalam rak. Sebagian lain digantung. Hari ini Akmal sekeluarga jalan-jalan ke pusat perbelanjaan. Begitu melihat baju bayi terpampang di balik kaca, Alya spontan membelokkan kakinya.“Mas, ini bagus, enggak?” Alya mengambil satu baju motif bunga warna merah muda.Akmal hanya mengacungkan dua jempolnya. “Tapi itu baju anak cewek, Yang. Kita kan belum tahu jenis kelaminnya?” Tangan Akmal mengelus perut Alya perlahan.“Feeling-ku mengatakan anak kita perempuan, Mas.”“Aku pingin laki-laki,” sahut Akmal.“Kalo yang lahir cewek?”“Ya kita bikin lagi,” jawab Akmal sambil nyengir.“Sampai dapet baby boy?” Alya mempertegas maksud suaminya.
“Mau kemana, Bro? Dah rapi banget. Pake baju koko macam ustaz saja.” Joseph yang sedang tidur-tiduran keheranan melihat teman sekamarnya.“Aku rencananya tiap kapal sandar di Penang akan ke pondok Syaikh Saleh, Jo. Itu, orang yang nolong aku.”“Oh, baguslah. Oya, soal Nita. Gue minta maaf ya, Bro,” ucap Joseph sambil menepuk-nepuk punggung lelaki yang saat ini mengenakan peci warna putih. Benda yang sudah lama tersimpan di dalam lemari.“Malam itu sebenarnya gue lihat Nita yang lepasin baju lo. Dia minta bantuan gue tuk dapetin lo. Makanya gue disuruh cerita yang baik-baik tentang Nita,” jelas Joseph.“Aku sudah lupain semunanya kok, Jo. Dah, enggak usah dibahas. Aku berangkat dulu, ya. Mau, ikut?” tawar Wildan serius. Barangkali saja temannya itu ikut tobat.“Thanks, Bro! Tar deh kalo gue dah tobat,” sahutny
“Pak, aku mau nyari Nely.” Perempuan yang sudah mempunyai lima cucu itu hanya membolak-balik tempe goreng yang sudah tercampur bumbu pecel.“Mau nyari ke mana toh, Buk’e?”“Aku tak ke rumah Wildan iku, Pak. Mestinya Nely di sana.”“Lah emange ngerti rumahnya?”“Ngerti, Pak. Dulu ‘kan pas Nely jatuh dari sepeda terus keguguran, aku dampingin dia pulang ke rumah Wildan,” ucap Bu Danu yang sudah tak kuat menanggung rindu.“Oalah, Buk, Buk. Nanti malah bikin masalah.”“Ora, Pak. Atiku enggak tenang iki,” kilah Bu Danu sambil mencak-mencak. “Assalamu’alaikum!” Perempuan berwajah ayu mengucapkan salam di pintu pagar. Pak Danu dan istrinya yang sedang menikmati
“Mas, aku mau cerita tapi kamu jangan marah, ya?” Alya sedang duduk di kursi goyang. Pemandangan taman mini di halaman rumahnya yang baru menjadi tempat favorit menghabiskan sore.“Ngomong saja. Mau minta rujak cingur lagi?” Akmal memperlihatkan giginya yang rapi. Selama hamil istrinya itu memang sering minta dibelikan beraneka ragam rujak. Mulai dari rujak kikil, rujak cingur, rujak manis, dan rujak gobet.“Hm … bukan.” Wanita yang perutnya mulai buncit itu menggulung-gulung ujung kerudungnya.“Lalu?”“Aku mimpi Rohim sama Rheza diajak ayahnya pergi sholat jama’ah ke masjid. Lain waktu lagi mereka main bola di sebelah,” ucap Alya sambil menggigit bibir bawahnya. Bersiap Akmal mungkin akan marah atau cemburu.Perumahan garapan tangan dingin Akmal ini memang kelasnya diperuntukkan kalangan menengah ke atas. Sehingga, dised
“Semua peristiwa yang kita alami di dunia ini hakikatnya hanyalah ujian untuk mengetahui siapa yang terbaik cara mengabdinya.” Syaikh Saleh sedang berdiri di atas mimbar. Beliau ceramah dengan logat melayunya. Tiap Ahad bakda Subuh pekan pertama dan kedua di masjid pesantren diadakan pengajian umum. Warga sekitar atau wali santri yang bermalam saat menjenguk anaknya pasti tidak akan melewatkan kegiatan ini. Di antara ratusan jemaah itu ada lelaki beralis tebal yang juga ikut menyimak. “Sebagaimana firman Allah dalam surat al-Mulk ayat 2. Alladzi kholaqol mauta wal hayaata liyabluwakum ayyukum ahsanu ‘amala…..” Syaikh Saleh melafadzkan ayat tersebut dengan fasih. 
“Saya ragu, Syaikh. Haruskah saya kembali bekerja di kapal? Sepertinya pekerjaan itu menjauhkan saya dari jalan Tuhan.” Syaikh Saleh terbatuk mendengar pernyataan laki-laki di depannya itu. Kemudian beliau menyilangkan kedua kakinya dari yang semula duduk berselonjor.“Tidak ada pekerjaan yang menjauhkkan dari Jalan Tuhan selama yang dilakukan itu halal, Mas. Apakah menjalankan kapal itu haram?” Pertanyaan retoris Syaikh Saleh itu tak memerlukan jawaban. “Tapi lingkungannya, Syaikh.” “Lingkungan itu diciptakan oleh penghuninya,