Semalaman suntuk, Jessi tidak bisa tidur. Selain dirinya merasakan raga yang tiada harga karena sudah disentuh Farrel sesuka hati. Namun, Jessi juga sedang memikirkan segala tawaran Farrel.
Keteguhan hati Jessi mulai goyah. Pikirannya sudah mulai memperkirakan kalau Farrel benar-benar akan menepati janji, jika dirinya bersedia menerima tawaran Farrel. Namun, di sisi hati yang lain, Jessi merasa takut. "Aku harus bagaimana?" Jessi mengusap wajahnya. Membayangkan jika dirinya memilih keluar dari pekerjaan. Namun, setelah itu dirinya mau kerja apa. Sedangkan mencari pekerjaan di kota ini tetap membutuhkan modal. Uanganya juga sudah pas-pasan untuk menyambung hidup hingga menunggu gajian selanjutnya. Belum lagi, mendapatkan pekerjaan dengan tempat yang pas dan gaji yang bisa dikatakan cukup seperti saat ini, bukanlah hal yang mudah. Hingga waktu sudah pagi. Jessi sudah berada di perusahaan dan sudah melakukan tugas pertamanya untuk membersihkan ruang kerja Farrel. "Kamu sakit, Jess?" tanya Rika. Perempuan yang juga bekerja sebagai OG di perusahaan ini. "Tidak, Ka. Aku hanya kurang tidur semalam." "Memangnya setelah pulang kerja, kamu pergi ke mana? Bisa-bisanya kamu kurang tidur?" Belum sempat menjawab, Jessi memilih merogoh ponselnya yang terasa bergetar. Degup jantungnya bekerja cepat, karena yang menghubunginya sekarang adalah Farrel. 'Apa pak Farrel sudah datang ke kantor?' "Dari pak Farrel ya?" Rika mengintip layar ponsel Jessi. "Ayo cepat di angkat, Jess. Jangan buat anak bos marah. Bisa-bisa kamu kehilangan pekerjaan," peringatan Rika kemudian meninggalkan Jessi. Jessi hanya bisa menghelakan nafasnya secara kasar. Segera dirinya menerima panggilan tersebut. "Selamat siang, Pak." "Ke ruanganku sekarang." Sekarang Jessi sudah berada di dalam ruang kerja Farrel. Jessi memilih tetap berdiri dan menundukkan wajahnya, meskipun Farrel sudah mempersilahkannya duduk. "Apa kamu tidak mau duduk?" "Saya berdiri saja, Pak." Farrel duduk vincent dan menyandarkan tubuhnya pada sofa. Lelaki tersebut menatap Jessi penuh harapan. "Jadi apa jawabanmu?" Kedua tangannya saling berkaitan dan sudah mulai terasa lembab karena keringat dingin. Memperjelas kegugupan dan ketakutannya sendiri. "Sa-saya." "Katakan sejelas mungkin jawabanmu dari tawaranku kemarin, Jessi. Aku tidak suka bertele-tele," peringatan Farrel begitu tegas. Jessi menghela nafasnya pelan. Ia memberanikan diri menatap wajah tampan lelaki yang juga menatapnya. Wajah Farrel terlihat seperti orang benar yang tidak mungkin suka bermain perempuan. Namun, setelah menerima perlakuan Farrel kemarin, Jessi jadi merasa kalau Farrel sudah terbiasa gonta-ganti pasangan. "Apakah Bapak sungguh akan mewujudkan apapun yang akan saya minta?" "Tergantung." "Bapak meragukan." "Tergantung pelayananmu bagaimana. Karena aku inginkan pelayanan terbaik." Tiba-tiba perasaan Jessi timbul keraguan lagi. Namun, bayangan hidup yang lebih baik semakin mendominasi. "Saya akan melakukan apapun yang Bapak inginkan. Saya juga akan berusaha membuat Bapak tidak kecewa dengan saya. Asal Bapak akan membantu saya melunasi hutang-hutang kedua orang tua saya. Memberikan uang untuk memperbaiki rumah dan memenuhi kebutuhan kedua adik saya." Farrel tersenyum senang. Ia beranjak dan mendekati Jessi. Farrel tahu, Jessi belum sepenuhnya yakin. Namun, Farrel senang karena Jessi sangat realistis. "Aku bukan orang yang suka ingkar janji, Jessi. Terima apapun perlakuanku padamu. Tapi ingat, jangan pernah jatuh cinta padaku." "Baik, Pak!" ucap Jessi begitu yakin. "Mandilah! Aku mau kamu sekarang." "Se-sekarang, Pak?" ucap Jessi sampai tergagap. Bagaimana mungkin semua akan terjadi, jika posisi mereka sedang di kantor. "Panggil aku Farrel saat kita sedang berduaan. Ingat! Kamu harus siap kapanpun saat aku menginginkan kamu. Baik di kantor, di apartemen, dan di manapun tempat yang aku inginkan. Ingat satu hal, aku menyukai tubuh yang bersih dan wangi." Kaki Jessi bergetar saat melangkah menuju ruangan kamar yang ada di dalam ruang kerja Farrel. Siap tidak siap, tapi dirinya harus siap dengan keputusannya sendiri. Jessi sudah membasahi tubuhnya di bawah air shower. Ia membersihkan di bagian lipatan-lipatan yang mudah berkeringat dan lembab, sehingga bisa menimbulkan aroma kurang sedap. "Eh!" Jessi terkejut saat Farrel memeluknya dari belakang. Padahal sekarang Jessi sedang membilas tubuh agar seluruh busa luruh dari tubuhnya. "Aromamu segar sekali," busik Farrel setelah mengecup daun telingat Jessi. Jessi berusaha menghilangkan ketakutannya. Ini adalah pertama kalinya Jessi berbuat hal gila di dalam hidup. Jessi memilih memejamkan mata saat Farrel mengusap seluruh tubuhnya. Farrel sedang memastikan kalau tubuh Jessi sudah bersih dari busa. Farrel mematikan laju derasnya air shower. Ia membalik tubuh Jessi dan langsung menyesap bibir yang kemarin sudah Farrel nikmati. 'Bagaimana ini?'Jessi memejamkan matanya. Ia berusaha menyesap seperti yang Farrel lakukan pada bibirnya. Terasa kaku, tapi Jessi berharap Farrel bisa memakluminya kali ini. 'Apakah pak Farrel ini memang sudah terbiasa melakuan hal seperti ini? Kenapa rasanya dia lincah sekali,' batin Jessi sambil mengusap punggung Farrel. "Agh!" desahan Jessi akhirnya tidak bisa di tahan lagi. Karena selain saling menyesap, kini tangan Farrel mulai bermain di salah satu aset kembar milik Jessi. Farrel meraih tangan Jessi, agar menggenggam senjata pamungkasnya. Tangan Jessi terasa lemas. Jessi terkejut karena tangannya di tuntun untuk menggegam cukup kuat dan melakukan pergerakan pada benda yang sejak tadi terasa menusuk perutnya. 'Aku bisa mati sekarang juga,' batin Jessi yang masih syok dengan perbuatannya sekarang. "Setelah ini, cari tahu banyak tentang sex. Aku ingin merealisasikan segala imajinasiku padamu." Farrel suka menonton film biru. Saat hasratnya tergugah, Farrel bermain solo. Farrel bukan lelaki yang gila perempuan. Maka sekarang Farrel akan memanfaatkan Jessi untuk mewujudkan imajinasi liarnya. "Baik, Pak! Eh, maaf!" Jessi tersadar atas tatapan tidak suka Farrel. "Maaf, Farrel." "Kaitkan tanganmu di leherku," perintah Farrel membuat Jessi menurut. "Belitkan kakimu di pinggangku." Sambil berciuman, Farrel membawa Jessi keluar dari kamar mandi. Sekarang tubuh mereka sudah mendarat di atas ranjang. Saat itu juga, Farrel melancarkan aksinya untuk melepaskan hasrat terpendam. Di saat seluruh karyawan perusahaan sedang menikmati jam istirhat dengan makan siang dan hal lainnya. Berbeda dengan Farrel dan Jessi yang asik bercumbu rayu. Rasanya begitu sakit. Tubuh Jessi seperti remuk dan terbelah-belah. Sekarang dirinya sudah menyerahkan masa depannya yang begitu barharga demi kehidupan instan yang lebih baik. Ruang kamar ini, sudah di penuhi dengan deru desah Farrel dan Jessi. "Tunggu dulu, Farrel!" Disela-sela aktivitas panas mereka, Jessi baru ingat sesuatu. "Aku takut hamil." "Tidak perlu takut. Aku tidak akan memaksamu untuk menggunakan alat kotrasepsi apapun," tutur Farrel sambil menggerakkan tubuhnya begitu santai. "Tenang saja. Aku bisa membuangnya di luar atau menggunakan pengaman." Tidak lama kemudian, keduanya melenguh penuh kepuasan. Karena puncak percintaan mereka sudah sampai pada tujuan akhir permainan. Saat itu juga, Farrel menghujani perut Jessi dengan bibit unggul yang tidak bisa melakukan pembuahan. Tubuh tegap Farrel ambruk menimpa Jessi. Mengabaikan cairan yang ada di perut Jessi. Nafas mereka juga masih terengah-engah. 'Aku telah menggadaikan semuanya,' batin Jessi. Air matanya menetes. Namun, Jessi tidak mau larut dalam kesedihan ataupun penyesalan. Karena ini adalah keputusannya sendiri. Tidak lama kemudian, tangan Farrel menarik laci nakas dan mengambil sesuatu di sana. "Ini ponsel untukmu. Ingat! Selama berhubungan denganku, kamu tidak boleh dekat dengan lelaki manapun. Sebentar lagi aku ada meeting di luar. Pulang kerja nanti datang ke apartemen. Aku mau lagi." 'La-lagi?'"Bu, bulan ini sepertinya Jessi tidak bisa kirim uang. Karena Jessi punya kebutuhan sendiri," terang Jessi setelah beberapa saat terhubung panggilan suara dengan ibunya. "Iya! Tidak apa-apa, Jessi. Uang dari warung juga pendapatannya lumayan. Cukup untuk kebutuhan sehari-hari dan juga kebutuhan adik-adikmu." "Syukurlah." Sudah hampir 1 tahun ini Jessi menjadi penghibur Farrel di atas ranjang. Farrel benar-benar menepati janji. 1 bulan pertama, Jessi diberikan ponsel baru dan juga uang. Bulan kedua, Farrel memberikan uang untuk melunasi hutang-hutang kedua orang tuanya. Bulan ketiga, Farrel memberikan uang untuk keperluan sekolah adiknya agar dipenuhi sampai lulus. Dan bulan selanjutnya, Farrel memberikan uang untuk renovasi rumah. Selain rumah, sekarang kedua orang tuanya juga memiliki warung sembako yang sudah mulai berkembang. Begitu juga tanah yang bisa digunakan ayah Jessi untuk berkebun. Sesuai dengan saran Farrel, mulai bulan ini Jessi akan berusaha untuk tidak men
Farrel menatap Jessi dan menahan rasa paniknya. Apalagi sekarang Carla terlihat menuntut jawaban. "Mama tahu sendiri kalau dia yang bertugas khusus membersihkan ruangan Farrel. Abaikan saja dia, Ma. Oh iya, jadi bagaimana dengan Dania?" Farrel berusaha mengalihkan topik pembicaraan, agar Carla tidak mendesak dirinya dan juga Jessi. Perasaan inilah yang selalu Jessi rasakan. Jika sedang butuh, Farrel selalu menuntutnya untuk dipenuhi apapun kemauannya. Namun, jika hampir ketahuan, maka dirinya hanya akan dianggap seperti perempuan tiada guna. Jessi sadar dengan segala kesepakatan mereka dulu. Namun, perasaan cinta yang Jessi pendam tidak bisa memungkiri hati yang terluka. "Karena pekerjaan saya sudah selesai, saya permisi, Pak!" "Tunggu dulu!" sentak Carla. "Apa kamu lupa dengan tugasmu setiap kali aku datang ke sini." "Saya minta maaf, Bu." Jessi segera melakukan tugasnya. Tanpa perlu bertanya apa yang ingin Carla minum, Jessi sudah sangat paham dengan keinginan Carla.
"Huek." Tiba-tiba perut Jessi terasa mual. Jessi segera lari menuju wastafel agar dirinya bisa segera mengeluarkan apa yang ingin keluar dari perutnya. "Jessi." Farrel sangat panik. Ia segera memijati tengkuk Jessi. "Kamu kenapa?" "Hoek." Hanya cairan saja yang keluar. Karena sejak tadi pagi, Jessi memang tidak nafsu makan. Setelah merasa lebih baik, Jessi berkumur beberapa kali untuk menghilangkan rasa tidak enak di dalam mulutnya. Setelah itu, Jessi menyempar tangan Farrel agar tidak terus memijati tengkuknya. "Apa kamu sudah merasa lebih baik?" Jessi balik badan dan menatap Farrel. Bagaimana mungkin dirinya tidak jatuh cinta pada lelaki tersebut, kalau Farrel memperlakukannya selembut ini. Bahkan sekarang Jessi bisa melihat kekhawatiran dimata Farrel. "Aku ingin pulang sekarang. Maaf, kamu makan sendiri saja ya?" Jessi mendorong Farrel agar dirinya bisa pergi. Tetapi Farrel yang tidak terima dengan perbuatan Jessi, langsung menahan tangan Jessi. "Kita anggap
Seorang gadis bernama Jessica Jill mengambil bekal makan siangnya. Ia segera menuju bagian atas gedung perusahaan tempatnya bekerja. Tidak semua karyawan bisa mengakses, bagian atas gedung. Gadis yang akrab di sapa Jessi itu bisa ke sana karena ia bekerja sebagai Office Girl. Padahal di perusahaan tersebut sudah tersedia pantry dan bisa di gunakan oleh seluruh karyawan. Jika sudah waktunya makan, Jessi memang lebih nyaman sendirian seperti ini. Terus terang saja, Jessi sering kali minder jika dirinya mau makan bersama dengan karyawan lainnya. Bersama teman Office Girlnya saja Jessi minder. Apalagi jika mau bersama dengan karyawan yang memiliki jabatan tertentu. Begitu duduk di tempat yang nyaman, Jessy segera membuka kantong plastiknya. Baru saja Jessy akan membuka tempat makannya, Jessy dibuat terkejut karena merasakan getaran ponsel. "Ibu," gumamnya saat menatap layar ponsel. Segera Jessi menerima panggilan suara tersebut. "Halo, Bu." "Jessi sedang apa, Nak?" tanya peremp
"Eh! Langsung kerja hari ini juga, Pak?" - Sudah 30 menit Jessi menunggu Farrel di basement. Tapi batang hidung lelaki calon pemimpin perusahaan ini belum juga menampakkan diri. Sebagian karyawan sudah mulai mengambil kendaraan mereka yang terparkir untuk segera pulang. Sejak tadi pula Jessi mendapatkan tatapan aneh dari karyawan yang melaluinya. 'Pak Farrel lama sekali sih?' gerutunya dalam hati. 'Apakah anak pemilik perusahaan memang selalu pulang terakhir seperti ini?' "Ikuti aku." Untuk sesaat, Jessi mematung. Ia terkejut karena Farrel mencolek pinggangnya. Perasaan Jessi menjadi tidak enak. Namun, ia berusaha berfikir positif, demi uang tambahan dari pekerjaan sampingannya nanti. "Ayo masuk," perintah Farrel yang sudah berada di dalam mobil, dan baru saja membukakan pintu mobil untuk Jessi. Jessi segera masuk. Bahkan ia juga sempat terkejut saat Farrel mendekat untuk membantunya menggunakan sabuk pengaman. Ini pertama kalinya, Jessi menumpangi mobil mewah. Ha