2 tahun yang lalu. "Kamu adalah anak satu-satunya Papa dan mama, Farrel. Jadi kamu harus menurut dengan perintah Papa!" ucap Regan Gevariel begitu tegas. "Tapi, Pa!" Farrel memberikan tatapan tidak terima. "Zaman sudah modern, Pa. Bagaimana mungkin Papa dan Mama mau menjodohkan aku. Pokoknya aku tidak mau," tolaknya begitu tegas. Farrel tidak habis pikir dengan pemikiran kedua orang tuanya. Hanya karena dimasa lalu orang tua Dania sudah membantu mereka saat dalam masalah, jadi sekarang dirinya yang harus balas budi. Ini jelas tidak adil. "Kalau kamu mau mewarisi semua harta orang tuamu, maka kamu harus menikah dengan Dania, titik. Papa dan mama hanya akan merestui pernikahanmu jika perempuan itu adalah Dania." Setelah perdebatan malam itu, Farrel banyak berpikir hingga memberikan keputusan. Farrel akan menikah dengan Dania. Setelah semua harta sudah dialihkan menjadi atas namanya, maka Farrel akan bertindak sesuai keinginannya. Farrel mengambil keputusan tersebut bukan
Sampai kapanpun, hal utama yang akan Farrel perjuangkan adalah mendapatkan seluruh harta warisan kedua orang tuanya. Setelah semuanya sudah dalam genggamannya, Farrel akan melakukan hal apapun sesuka hatinya. Farrel terkejut dengan kabar yang baru saja disampaikan oleh Jessi. Perasaannya tidak menentu. Namun, pikiran Farrel terus kembali pada tujuan utamanya. Farrel hanya bisa mengepalkan tangannya erat. Ada rasa kasihan melihat wajah Jessi. Namun, dirinya tidak ingin mengambil resiko lebih dari ini. Langkahnya tinggal sedikit lagi. Semuanya bisa hancur jika semua ini diketahui kedua orang tuanya. "Bukankah sejak awal, kita membuat kesepakatan untuk saling menguntungkan?" "Tunggu dulu, Farrel!" Rasanya Jessi tidak mampu mendengar ucapan Farrel selanjutnya. "Aku akan mengurus cuti kerjamu. Aku tidak bisa mengantarmu, Jessi!" Farrel tidak bisa mengatakan pada Jessi kalau Dania sudah datang. "Gugurkan kandunganmu, setelah itu istirahatlah dulu." Jessi tidak kuasa lagi mena
"Maaf, karena aku ingkar janji. Lain kali, aku akan ajak kamu pergi ke tempat yang aku janjikan malam ini," ucap Farrel begitu mobilnya sudah sampai di depan rumah Dania. "Tidak apa-apa, Farrel. Kesehatan itu nomor satu." Dania berusaha untuk pengertian. Karena tadi Farrel mengatakan sedang pusing. "Begitu sampai rumah, segera istirahat. Jangan lupa kabari aku." Dengan sangat lembut, Dania mengusap wajah Farrel. "Ok!" Dania hanya bisa menghelakan nafasnya yang terasa kesal. Ia merasa ada sesuatu yang aneh dari diri Farrel. "Apakah dia menyembunyikan sesuatu?" gumam Dania menerka. Tidak lama kemudian, Dania menggelengkan kepalanya. "Tidak mungkin. Aku tidak boleh berpikir negatif tentangnya. Aku ini tunangannya. Boleh dibilang aku juga pacar pertamanya. Meski kami dijodohkan, aku yakin dia hanya mencintai aku." Dania berusaha membuang keresahan hatinya. Setelah sedikit merasa tenang, dirinya segera memasuki rumah. Ia harus terlihat happy agar kedua orang tuanya tidak berpi
"Sejak saya mengatakan ke Bapak kalau Jessi tidak bisa saya hubungi, sampai saat ini kami belum pernah bertemu maupun bertukar kabar, Pak. Bahkan saat saya datang ke kosnya, saya tidak bertemu dengan Jessi." "Kamu tidak berbohong?" tuntut Farrel dan memberikan tatapan begitu tajam. "Mana mungkin saya berani berbohong sama Pak Farrel." Farrel mencengkram pulpennya begitu kuat. Nafasnya semakin terasa berat karena tidak mendapatkan informasi apapun tentang Jessi. Melihat reaksi Rika, Farrel yakin kalau karyawannya itu tidak berbohong. "Keluar dan lanjutkan pekerjaanmu." "Baik, Pak. Kalau begitu saya permisi." Sebelum keluar ruangan Farrel, Rika membungkukkan tubuhnya sebentar untuk menghormati Farrel. Kaki Rika terasa lemas. Sebelum memasuki ruangan Farrel, Rika sempat mengira kalau dirinya sudah melakukan kesalahan dan kemungkinan Farrel akan memecatnya. Namun, sekarang perasaan Rika jauh lebih tenang. "Sebenarnya kamu pergi kemana, Jessi. Dan ..." Rika terdiam se
Buah mangga yang baru saja Jessi iris dan akan ia lahap, seketika terjatuh. Karena Jessi terkejut dengan pertanyaan Yosi. "Ke-kenapa Ibu tanya begitu?" Suara Jessi sampai tercekat. Ia takut melihat tatapan menuntut Yosi. "Jawab pertanyaan Ibu, Jessi. Kamu hamil atau tidak?" tuntut Yosi dengan suaranya yang semakin kuat. "Ada apa ini, Bu?" Iyan yang mendengar suara keras sang istri, membuatnya menuju ruang makan. "Jawab, Jessi!" Jessi tidak bisa menjawab. Ia justru menunduk dan menangis tertahan. "Jadi kamu benar-benar hamil?" Yosi masih membutuhkan jawaban langsung dari Jessi. "Siapa yang hamil, Bu?" Iyan masih bingung melihat istrinya yang sedang memarahi anak pertama mereka. Sudah cukup lama Jessi belum pulang kampung. Bagaimana mungkin keributan ini terjadi. "Dari kemarin Jessi mual muntah. Ayah sendiri tahu kalau kemarin Ibu sudah memberinya obat dan Jessi juga sudah Ibu kerik. Tapi sampai sekarang Jessi masih mual muntah. Sekarang dia makan mangga muda, sepe
{Aku rasa kamu sudah cukup memberi orang tua dan kedua adikmu uang. Ibumu sudah memiliki penghasilan dari toko. Sedangkan ayahmu dari hasil tani. Kedua adikmu sudah bisa mereka nafkahi sendiri. Sekarang fokuslah dengan dirimu sendiri. Kebutuhanmu, aku yang penuhi. Dan uangmu, simpan saja. Kamu bisa gunakan uangmu sendiri untuk hal yang mungkin belum aku belikan. Lebih bagus lagi kalau kamu langsung meminta padaku jika ingin sesuatu. Jadi uangmu bisa utuh.} Ingat dengan segala ucapan Farrel kala itu, membuat Jessi menangis. Secara bersamaan, lelaki yang ia kagumi justru membuatnya merasa dicintai. Namun, kini lelaki tersebut telah meninggalkan luka. Setidaknya sekarang Jessi sedikit bersyukur. Niatnya ingin memberikan sebagian uangnya ini pada kedua orang tuanya dan sedikit memberi uang jajan pada kedua adiknya, belum ia lakukan. Karena sekarang, uang yang ia miliki bisa Jessi gunakan untuk pergi dan bertahan hidup. Setelah selesai berberes, Jessi segera keluar dari kamarnya.
"Kenapa Ayah sama Ibu usir kak Jessi?" protes Kaila sambil menangis. Sebagai adik yang begitu sayang pada kakaknya, Kaila jelas tidak terima. Ia seolah ikut merasakan sakit hati kala Jessi sedang menangis. "Ini urusan orang dewasa, Kai. Kamu tidak perlu ikut campur!" geram Iyan. "Mulai sekarang, Kaila anak perempuan satu-satunya. Begitu juga dengan Danny yang jadi anak laki-laki satu-satunya. Jadi kalian tidak boleh bertindak sembarangan seperti kakakmu." Saat ini Danny sedang berdiam diri di dalam kamar. Kaila sengaja mengunci adiknya agar tidak mendengar lebih jauh pembicaraan para orang dewasa. Karena sekarang Danny masih berusia 9 tahun. "Kai memang belum dewasa, Ayah. Tapi Kai tahu mana yang salah dan mana yang benar. Kak Jessi memang salah karena pulang dalam keadaan hamil. Tapi apa karena itu Ayah dan Ibu harus mengusirnya?" "Ibu sudah memberinya pilihan, Kai. Dan ini keputusan kakakmu sendiri." Rasanya Yosi malas berdebat dengan anak gadisnya itu. "Sepertinya
Pagi sudah mulai terang. Baru saja Jessi berhenti di terminal selanjutnya. Karena tidak ingin sendirian di terminal. Dan Jessi juga takut ada hal buruk terjadi padanya, maka semalam Jessi memilih menaiki bus terakhir. Bahkan sampai saat ini Jessi masih belum memutuskan akan pergi kemana. 'Sepertinya aku harus makan dulu,' batin Jessi. Ia jalan pelan sambil menarik koper. Sebenarnya Jessi tidak merasa lapar. Bahkan dirinya juga tidak selera makan. Namun, Jessi sadar dengan keadaan tubuhnya yang mulai lelah. Selain itu, Jessi juga tidak boleh egois. Karena ada nyawa yang harus Jessi pastikan kesehatannya. Sambil menikmati soto, Jessi terdiam memikirkan semuanya. "Bu, maaf. Saya mau tanya." "Tanya apa, Dik?" Bukan hal aneh jika ada orang tua yang memanggilnya dengan sebutan adik. Karena dengan melihat Jessi, banyak orang akan menyimpulkan kalau kemungkinan besar Jessi masih sekolah SMA. "Loket bus antar provinsi buka jam berapa ya, Bu?" "Biasanya sebelum jam 8 juga sud
"Eh, Papa!" Baru beberapa langkah Farrel meninggalkan ruang kerjanya. Namun, sekarang ia harus berhenti karena bertemu dengan Regan. "Mau kemana kamu?" Mata tajam Regan nampak menelisik. Ia jelas sadar kalau anak tunggalnya itu terlihat buru-buru. Namun, diwajah Farrel tidak terlihat kepanikan atau hal apapun yang mengkhawatirkan. "Mau pulang, Pa. Kerjaanku sudah selesai." "Kerumah atau keapartemen?" Farrel memang sudah terbiasa tinggal diapartemen. Terutama setelah bercerai. Tentunya untuk menghindari orang tua yang selalu menuntutnya untuk segera menikah. Hanya saja, Regan dan Carla tahunya apartemen Farrel sudah pindah. "Tentu keapartemen, Pa. Aku pulang duluan." "Bukankah sejak kemarin dia terlihat aneh?" gumam Regan. "Wajahnya terlihat senang dan sepertiii ..." Regan jadi mengira-ngira. "Apakah dia sedang jatuh cinta? Kalau benar, semoga dia mencintai perempuan yang tepat dan tidak seperti sebelumnya." Ada rasa sesal dihati Regan karena sudah menuntut Farrel un
Semua barang Farrel sudah selesai dipindahkan ke kamar utama. Beberapa orang yang melakukan pekerjaan juga sudah meninggalkan apartemen. Tanpa bicara apa-apa lagi, Jessi meninggalkan Farrel dan langsung memasuki kamar. "Hah!" Begitu memasuki kamar, Jessi kembali menghelakan nafasnya yang terasa berat. Pandangannya mengedar, menelisik ruangan kamar. "Setidaknya kamar ini lebih baik daripada kamar utama." * Klek. "Rhona." Waktu masih pagi. Niat Jessi memasuki kamar Rhona untuk membangunkan anaknya. Selama ini, Rhona terbiasa tidur dengannya. Baru semalam saja Rhona belajar tidur sendiri hingga membuat Jessi kepikiran. Ia takut kalau Rhona tidak bisa tidur nyenyak. Semua keresahan hati Jessi sepertinya tidak terjadi. Bagaimana mungkin Rhona tidak tidur nyenyak, kalau sejak satu tahun yang lalu Rhona memang sudah ingin tidur dikamar sendiri. Apalagi sekarang kamar yang disediakan Farrel sesuai dengan selera Rhona. Namun, pagi ini Jessi dibuat terkejut karena Rhona tidak ada
Bukan waktu yang sebentar untuk Jessi menjadi teman ranjang Farrel. Memenuhi segala hal keinginan Farrel. Hingga menciptakan banyak kenangan panas dengan berbagai macam gaya. Membuat Jessi bisa memahami bagaimana Farrel. Apartemen yang menjadi saksi bisu bagaimana hangatnya hubungan Jessi dengan Farrel. Hingga membuat Jessi tertahan untuk semakin masuk keapartemen yang sangat familiar ini. Setiap sudut yang sudah memberikan kenangan. Bahkan seperti tidak ada yang berubah. Tetap rapih dan wangi dengan aroma yang sama seperti dulu. "Rhona suka tempat ini, Papa!" Rhona menghampiri Farrel dan menggenggam tangan Farrel. Jessi memejamkan mata. Dadanya terasa sesak. Namun, lagi-lagi dirinya harus menahan diri. "Emmm, Sayang. Sepertinya kita harus mencari tempat yang lain." Farrel sadar. Jessi pasti tidak nyaman dengan tempat ini. Dirinya jadi merasa bodoh karena tidak berpikir terlalu jauh. Karena selama ini, memang hanya tempat ini yang membuat Farrel merasa lebih tenang. "Ken
"Aku mau!" ucap Jessi tiba-tiba. Farrel baru saja menemani Rhona tidur siang, karena hari ini Rhona sudah selesai ujian sekolah. Begitu keluar kamar, dan Farrel baru saja sampai ruang tamu, Farrel dikejutkan dengan ucapan Jessi yang entah mau apa. "Mau apa?" Dengan bodohnya, Farrel memberikan tatapan bingung dan penuh tanya. "Aku melakukan ini untuk Rhona." Kedua tangan Jessi saling menggenggam. Ada rasa ragu, tapi Jessi berpikir kalau keputusannya ini lebih baik daripada kedepannya ia menyakiti Rhona karena egonya sendiri. "Aku mau ikut kamu kembali ke kota." Dalam sekejap, wajah Farrel berubah cerah. Hatinya merasa kalau saat ini takdir baik sedang memihak padanya. 'Aku tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini. Aku janji!' batin Farrel. Sudah beberapa hari berlalu, sejak Farrel memberikan tawaran pada Jessi. Namun, Jessi tidak juga segera memberikan keputusan. Bahkan Farrel sudah berpikir untuk menemukan cara lain agar Jessi setuju. Apapun akan Farrel lakukan
Setiap kali melihat kedekatan Rhona dengan Farrel, membuat Jessi semakin berpikir jauh. Pemikiran yang tidak menemukan titik terang. Karena Jessi tidak memiliki ide cara untuk membuat Rhona jauh dari Farrel. Melihat kebahagiaan Rhona, membuat hati Jessi senang. Namun, saat melihat Farrel, rasa sakit hati itu seperti terasa kembali. Beberapa hari terakhir ini, meski Farrel ikut bermalam dirumah kontrakan Jessi, tapi Farrel sering tidur di dalam mobil. Biar bagaimanapun, Farrel berusaha menghargai Jessi yang selalu uring-uringan setiap kali bersama dengannya. Setiap hari, Farrel selalu mengantar jemput Rhona sekolah. Terkadang menggunakan mobil, terkadang juga menggunakan motor. Sesuai inginnya Rhona saja. Karena Farrel hanya ingin menuruti segala hal yang diinginkan Rhona. Setiap pulang sekolah, dan Rhona sudah istirahat siang, Farrel selalu bersepeda dengan Rhona. Seperti keinginan Rhona, Farrel akan lari mengejar Rhona menggoes sepedanya. Atau terkadang mereka bersepeda b
"Ada apa?" Baru saja Farrel akan terlelap setelah memastikan Rhona nyenyak tidur di atas tubuhnya. Kini dirinya terusik karena Jessi berusaha menyingkirkan pelukannya pada tubuh Rhona. "Rhona sudah tidur, jadi aku mau memindahkannya ke dalam kamar. Setelah itu, pergilah dari rumah ini." Meski suara Jessi pelan. Namun, Jessi tetap menekan Farrel agar menjauh dari hidupnya dan Rhona. Farrel bangun perlahan. Mana mungkin ia mau membiarkan Jessi menggendong Rhona seorang diri. Sekalipun Rhona sudah lelap, Farrel tidak ingin perdebatannya dengan Jessi berada diantara Rhona. Segera Farrel memindahkan Rhona ke dalam kamar. "Pergi sejauh mungkin dari hidup kami. Soal Rhona, aku bisa mengurus semuanya!" Jessi berucap demikian seolah melupakan kalau baru saja Rhona sakit karena mencari keberadaan Farrel. "Apa yang bisa aku lakukan buat kamu, agar kamu beri aku kesempatan? Aku ingin memberikan kasih sayangku, dan juga identitas untuk Rhona." Farrel terdiam sesaat sambil menatap
"Papaaa ..." panggil Rhona. Wajah gadis tersebut terlihat begitu ceria. "Iya, Sayang." 'Sayang-sayang! Sayang dari mananya?' batin Jessi kesal. Tatapannya bahkan tersirat kemarahan pada Farrel. Apalagi sekarang Rhona nampak bergelayut manja. Namun, tidak lama kemudian hati Jessi seperti luluh. Merasa melihat kebahagiaan yang diperlihatkan Rhona tidak seperti biasanya. 'Aku cemburu,' batin Bagas. Biasanya Rhona selalu memanggil Bagas dengan suaranya yang cempreng. Namun, sekarang suara menggemaskan itu tidak tertuju untuk dirinya lagi. 'Tapi ini adalah keputusan yang tepat. Aku harap, kamu dan Rhona segera mendapatkan kebahagiaan yang sesungguhnya,' batin Bagas tulus. "Selamat siang," sapa Ambar yang baru saja datang bersama dengan Ningrum. "Selamat siang," ucap semua orang yang ada di sana. "Nenek Ambar." "Bagaimana keadaan Rhona sekarang?" "Rhona sehat, Nek. Teman Rhona punya ayah, sekarang Rhona punya papa, Nek!" Rhona begitu semangat memberitahukan apa ya
"Mas!" Jessi meraih tangan Bagas. "Saya tidak berniat kembali padanya. Sebenarnya saya dan dia ..." ucapan Jessi terhenti. Hatinya kembali menolak untuk memberitahu orang lain terkait hubungannya dengan Farrel. Karena pada akhirnya berkaitan dengan Rhona. "Terkadang hati dan mulut itu memberikan pernyataan yang berbeda, Jessi. Coba tanyakan pada dirimu sendiri. Ini berkaitan dengan Rhona. Kalaupun kedepannya kamu memilih mengakhiri pernikahanmu dengan suamimu, maka jangan memaksa diri untuk bersamaku. Aku tidak mau terlibat dalam kisah kalian bertiga. Karena aku lebih mementingkan perasaan Rhona." Jessi melepaskan genggamannya pada Bagas. "Terima kasih karena Mas sudah sangat menyayangi Rhona begitu tulus. Saya pasti tidak akan punya muka kalau nanti ibu datang dan bertemu dengannya." "Saya belum memberitahu ibu soal hubungan singkat kita yang baru berakhir. Karena sejak awal, saya tahu ini akan berakhir seperti apa. Kamu tenang saja. Sekarang pikirkan kebahagiaanmu dan juga Rh
"Mas." Waktu sudah pagi. Semalaman Jessi dibuat kebingungan sendiri. Beruntungnya di desa ini sudah ada klinik yang buka 24 jam. Sehingga Jessi nekat membawa Rhona keklinik dengan mengendarai motor. Sekarang Jessi dibuat terkejut akan kedatangan Bagas. Lelaki yang datang seorang diri sambil membawakan rantang. Sudah pasti itu sarapan yang dipersiapkan Ambar untuk dirinya. "Saya terkejut saat tahu kabar kalau tengah malam kamu membawa Rhona ke sini seorang diri. Kenapa tidak memanggil saya dulu?" Wajah Bagas nampak sekali khawatir. Ia meletakkan rantang di atas nakas. "Semalam saya sangat panik, Mas. Apalagi suhu tubuhnya hampir 40°. Yang saya pikirkan semalam hanya Rhona segera dapat portolongan. Bodohnya saya juga tidak menyimpan obat penurun panas dirumah." "Tapi sekarang suhu tubuhnya sudah turunkan?" Bagas menyentuh kening Rhona perlahan. Ia takut mengusik Rhona yang masih lelap. "Syukurnya sudah, Mas." "Itu ibu buatkan sarapan buat kamu. Makan dulu. Kamu harus