"Apa ada yang lain, Bu?" tanya Yosi Febrian. Ibu kandung Jessi. "Itu ada ikan asap. Setelah beberapa minggu tidak ada barang, baru hari ini ada lagi. Itu juga karena saya ke pasar lebih pagi dari biasanya." Yosi berusaha menawarkan dagangannya.
"Cukup, itu saja Bu Yosi." Yosi segera menotal semua belanjaan tetangganya tersebut. "Ini ya, Bu kembaliannya." "Terima kasih, Bu." "Sama-sama," ucap Yosi begitu ramah. Namanya juga hidup di desa dan memiliki usaha sembako seperti ini. Sebagai penjual, harus bisa memberikan rasa aman dan nyaman pada pembeli. Berharap orang sekitar tetap menjadi langganannya. "Jessi kerja di kota sudah sangat sukses ya, Bu. Sampai bisa membahagiakan orang tuanya seperti ini." Siapapun orang yang mengetahui kehidupan keluarga Jessi, pasti akan merasa tidak menyangka. Baru berapa tahun Jessi bekerja di kota, tapi sudah berhasil mengsejahterakan keluarga. Membuat sebagian orang merasa iri melihat kesuksesan keluarga Jessi. "Puji Tuhan, Bu Ilmi. Di sana Jessi pasti tidak mudah juga perjuangannya. Yang terpenting sekarang ini kami tidak menyusahkannya lagi." Rasanya Yosi masih belum percaya. Segala kesulitan keluarganya bisa berlalu begitu saja. "Keponakan saya sudah 1 bulan menganggur, Bu Yosi. Bolehlah info lowongan kerjanya sama Jessi. Siapa tahu keponakan saya bisa ketularan kesuksesan Jessi," ucap Ilmi begitu berharap. "Kalau soal lowongan pekerjaan, saya juga tidak tahu, Bu." "Tolong tanyakan sama Jessi lah, Bu. Siapa tahu Jessi bisa membantu keponakan saya." Ilmi memasang wajah memelas. "Coba nanti saya tanyakan Jessi saat dia menghubungi Saya." "Terima kasih loh, Bu Yosi. Sebelumnya terimakasih, dan maaf karena jadi merepotkan." Hati Ilmi begitu berharap lebih. "Tidak repot sama sekali kok, Bu." "Benarkah? Kalau begitu saya hutang ikan asapnya ya, Bu. Setengah kilo saja." Sudah menjadi resiko pedagang yang tinggal di sebuah desa. Jika memiliki usaha, tidak luput dari pembeli yang suka berhutang. * "Tidak-tidak. Itu tidak mungkin." Jessi hanya bisa menggelengkan kepalanya pelan, seolah berusaha mengusik prasangkanya saat ini. Namun, saat mengingat kapan dirinya terakhir bulanan, membuat Jessi merasa ragu. Tanpa menikmati bubur buatan Farrel, Jessi memilih meninggalkan apartemen ini. Ia pulang ke kos dengan menumpangi ojek. "Pak, kita mampir diapotek sebentar ya?" "Oke, Neng." Begitu sampai kos, Jessi memilih berdiam diri di dalam kamar. Ia hanya menatap beberapa merk alat tes kehamilan. Jessi takut, tapi dirinya juga sangat penasaran. "Kalau aku hamil bagaimana? Aku harus apa?" Jessi menangis tertahan sambil meringkuk diujung tempat tidurnya. Tubuhnya bergetar karena ketakutan. Hingga beberapa jam kemudian, Jessi memberanikan diri ke kamar mandi untuk melakukan percobaan pemeriksaan menggunakan salah satu merk alat tes kehamilan. 'Tuhan, tolong aku. Aku tidak siap!' batin Jessi sambil memejamkan mata. Saat ini dirinya baru saja memasukkan alat tes ke dalam urin yang sudah ia tampung. Berulang kali Jessi menghelakan nafasnya. Merasa sudah cukup, Jessi memberanikan diri untuk melihat hasilnya. "Hah!" Jessi tercengang. Matanya sampai tidak bisa berkedip dan terasa perih karena melihat tanda garis 2 di sana. "Jadi aku hamil?" Rasanya begitu sakit. Jessi bahkan sempat berharap kalau alat tersebut sudah salah memberikan hasil. "Bagaimana ini?" Jessi menangis lagi. Ia duduk meringkuk diujung kamar mandi. Pikirannya semakin berkecamuk. "Tidak-tidak. Aku tidak boleh menangis seperti ini. Kata pegawai apotek tadi, hasil tes lebih akurat jika di lakukan saat pagi hari setelah bangun tidur. Aku akan cek besok pagi. Semoga saja hasilnya berbeda." * "Meeting cukup sampai di sini," ucap Farrel kemudian meninggalkan para manager dari setiap bagian. Sepanjang waktu meeting, rasanya Farrel tidak bisa fokus. Jessi seperti terus membayangi pikirannya. "Apa saya masih memiliki jadwal lagi?" tanya Farrel setelah duduk di kursi kerjanya. "Jam 3 sore nanti, kita akan memenuhi undangan klien dari perusahaan PT. Sumber Anugerah, Pak!" jawab Edgar, asisten Farrel. "Ingatkan saya 2 jam sebelum kita pergi ketempat pertemuan. Sekarang saya ingin pulang untuk istirahat." "Baik, Pak." Edgar ikut keluar dari ruang kerja Farrel. Ia menatap punggung calon pewaris tunggal perusahaan ini. "Bukankah biasanya pak Farrel istirahat di kamar yang ada di ruangannya?" gumam Edgar. Ia jadi berpikir, kalau mungkin saja ada sesuatu hal yang mendesak. Karena sekarang Farrel terlihat buru-buru. Farrel sudah melajukan mobilnya. Ia akan terus menambah kecepatan di saat jalanan terlihat renggang. Begitu sampai basement apartemen, Farrel lari menuju lift. Hatinya sudah sangat khawatir dengan keadaan Jessi. "Jessi." Mata Farrel mengedar. Ia tidak melihat keberadaan Jessi di dalam kamarnya. Kamar yang selalu menjadi saksi bisu pertempuran mereka. Bahkan bubur buatannya tadi pagi nampak masih utuh. "Kenapa dia pulang tanpa bilang sama aku?" geram Farrel sambil merogoh ponselnya. Bahkan tidak ada pesan singkat dari perempuan simpanannya itu. Farrel berusaha menghubungi Jessi. Panggilan pertama, Jessi tidak menerima panggilannya. Farrel tidak mau putus asa. Ia kembali menghubungi Jessi. Namun, sepertinya sekarang Jessi menonaktifkan nomornya. "Sial!" Farrel berteriak sambil membanting ponselnya di atas kasur."Bagaimana ini?" Jessi hanya bisa menangis tertahan di dalam kamar mandi. Pagi ini, Jessi sengaja bangun lebih awal dari biasanya. Dirinya harus memastikan sekali lagi apakah dirinya benar hamil atau tidak. Sisa alat tes kehamilan secara bersamaan Jessi masukkan ke dalam air seni yang sudah Jessi tampung. Berharap Jessi bisa mendapatkan hasil yang berbeda dari pada yang kemarin. Namun, semua hanya tinggal harapan. Karena sekarang Jessi melihat sendiri kalau semua alat menunjukkan hasil bahwa dirinya positif hamil. Jessi tidak tahu lagi apa yang harus ia lakukan. Mau meminta pertanggung jawaban Farrel juga sepertinya Farrel tidak akan mau. "Aku tahu aku salah, Tuhan. Tapi kenapa Engkau hadirkan dia sekarang. Aku tidak tahu harus apa. Aku takut." * Semalaman suntuk, Farrel tidak bisa tidur. Lelaki tersebut sepertinya sangat terusik dengan pernyataan perasaan Jessi. Farrel merasa nyaman dengan Jessi. Namun, rasa itu Farrel maknai karena Jessi yang bertugas memenuhi has
"Usia kehamilannya sudah 8 minggu. Janinnya juga sangat kuat," ucap dokter setelah melakukan pemeriksaan. Jessi menunduk dalam. Gadis tersebut rasanya ingin kembali menangis. Namun, ia harus menahan diri. "Ini saya resepkan obat pereda mual muntahnya dan juga vitamin yang baik untuk kandungannya." "Saya takut, Dokter!" Jessi bicara begitu pelan. Dokter kandungan tersebut mendekati Jessi. Jika melihat usia, gadis tersebut sepantaran dengan anaknya. "Apa yang Nona Jessi takutkan?" "Saya harus bagaimana setelah ini, Dokter." "Minta pertanggung jawaban dari ayah janin. Jangan pernah berpikir untuk menghilangkannya. Setelah membuat kesalahan, jangan membuat kesalahan yang lain. Bertanggung jawablah terhadap perbuatan kalian, Nak." Bagaimana mungkin Jessi mau meminta pertanggung jawaban Farrel, kalau Farrel sendiri sudah memiliki calon istri. Selain itu, Jessi cukup sadar diri siapa dirinya. Setelah menebus obat, Jessi kembali memesan ojek untuk segera pulang ke kos.
2 tahun yang lalu. "Kamu adalah anak satu-satunya Papa dan mama, Farrel. Jadi kamu harus menurut dengan perintah Papa!" ucap Regan Gevariel begitu tegas. "Tapi, Pa!" Farrel memberikan tatapn tidak terima. "Zaman sudah modern, Pa. Bagaimana mungkin Papa dan Mama mau menjodohkan aku. Pokoknya aku tidak mau," tolaknya begitu tegas. Farrel tidak habis pikir dengan pemikiran kedua orang tuanya. Hanya karena dimasa lalu orang tua Dania sudah membantu mereka saat dalam masalah, jadi sekarang dirinya yang harus balas budi. Ini jelas tidak adil. "Kalau kamu mau mewarisi semua harta orang tuamu, maka kamu harus menikah dengan Dania, titik. Papa dan mama hanya akan merestui pernikahanmu jika perempuan itu adalah Dania." Setelah perdebatan malam itu, Farrel banyak berpikir hingga memberikan keputusan. Farrel akan menikah dengan Dania. Setelah semua harta sudah dialihkan menjadi atas namanya, maka Farrel akan bertindak sesuai keinginannya. Farrel mengambil keputusan tersebut bukan
Sampai kapanpun, hal utama yang akan Farrel perjuangkan adalah mendapatkan seluruh harta warisan kedua orang tuanya. Setelah semuanya sudah dalam genggamannya, Farrel akan melakukan hal apapun sesuka hatinya. Farrel terkejut dengan kabar yang baru saja disampaikan oleh Jessi. Perasaannya tidak menentu. Namun, pikiran Farrel terus kembali pada tujuan utamanya. Farrel hanya bisa mengepalkan tangannya erat. Ada rasa kasihan melihat wajah Jessi. Namun, dirinya tidak ingin mengambil resiko lebih dari ini. Langkahnya tinggal sedikit lagi. Semuanya bisa hancur jika semua ini diketahui kedua orang tuanya. "Bukankah sejak awal, kita membuat kesepakatan untuk saling menguntungkan?" "Tunggu dulu, Farrel!" Rasanya Jessi tidak mampu mendengar ucapan Farrel selanjutnya. "Aku akan mengurus cuti kerjamu. Aku tidak bisa mengantarmu, Jessi!" Farrel tidak bisa mengatakan pada Jessi kalau Dania sudah datang. "Gugurkan kandunganmu, setelah itu istirahatlah dulu." Jessi tidak kuasa lagi mena
"Maaf, karena aku ingkar janji. Lain kali, aku akan ajak kamu pergi ke tempat yang aku janjikan malam ini," ucap Farrel begitu mobilnya sudah sampai di depan rumah Dania. "Tidak apa-apa, Farrel. Kesehatan itu nomor satu." Dania berusaha untuk pengertian. Karena tadi Farrel mengatakan sedang pusing. "Begitu sampai rumah, segera istirahat. Jangan lupa kabari aku." Dengan sangat lembut, Dania mengusap wajah Farrel. "Ok!." Dania hanya bisa menghelakan nafasnya yang terasa kesal. Ia merasa ada sesuatu yang aneh dari diri Farrel. "Apakah dia menyembunyikan sesuatu?" gumam Dania menerka. Tidak lama kemudian, Dania menggelengkan kepalanya. "Tidak mungkin. Aku tidak boleh berpikir negatif tentangnya. Aku ini tunangannya. Boleh dibilang aku juga pacar pertamanya. Meski kami dijodohkan, aku yakin dia hanya mencintai aku." Dania berusaha membuang keresahan hatinya. Setelah sedikit merasa tenang, dirinya segera memasuki rumah. Ia harus terlihat happy agar kedua orang tuanya tidak berpikir yan
"Sejak saya mengatakan ke Bapak kalau Jessi tidak bisa saya hubungi, sampai saat ini kami belum pernah bertemu maupun bertukar kabar, Pak. Bahkan saat saya datang ke kosnya, saya tidak bertemu dengan Jessi." "Kamu tidak berbohong?" tuntut Farrel dan memberikan tatapan begitu tajam. "Mana mungkin saya berani berbohong sama Pak Farrel." Farrel mencengkram pulpennya begitu kuat. Nafasnya semakin terasa berat karena tidak mendapatkan informasi apapun tentang Jessi. Melihat reaksi Rika, Farrel yakin kalau karyawannya itu tidak berbohong. "Keluar dan lanjutkan pekerjaanmu." "Baik, Pak. Kalau begitu saya permisi." Sebelum keluar ruangan Farrel, Rika membungkukkan tubuhnya sebentar untuk menghormati Farrel. Kaki Rika terasa lemas. Sebelum memasuki ruangan Farrel, Rika sempat mengira kalau dirinya sudah melakukan kesalahan dan kemungkinan Farrel akan memecatnya. Namun, sekarang perasaan Rika jauh lebih tenang. "Sebenarnya kamu pergi kemana, Jessi. Dan ..." Rika terdiam se
Buah mangga yang baru saja Jessi iris dan akan ia lahap, seketika terjatuh. Karena Jessi terkejut dengan pertanyaan Yosi. "Ke-kenapa Ibu tanya begitu?" Suara Jessi sampai tercekat. Ia takut melihat tatapan menuntut Yosi. "Jawab pertanyaan Ibu, Jessi. Kamu hamil atau tidak?" tuntut Yosi dengan suaranya yang semakin kuat. "Ada apa ini, Bu?" Iyan yang mendengar suara keras sang istri, membuatnya menuju ruang makan. "Jawab, Jessi!" Jessi tidak bisa menjawab. Ia justru menunduk dan menangis tertahan. "Jadi kamu benar-benar hamil?" Yosi masih membutuhkan jawaban langsung dari Jessi. "Siapa yang hamil, Bu?" Iyan masih bingung melihat istrinya yang sedang memarahi anak pertama mereka. Sudah cukup lama Jessi belum pulang kampung. Bagaimana mungkin keributan ini terjadi. "Dari kemarin Jessi mual muntah. Ayah sendiri tahu kalau kemarin Ibu sudah memberinya obat dan Jessi juga sudah Ibu kerik. Tapi sampai sekarang Jessi masih mual muntah. Sekarang dia makan mangga muda, sepe
{Aku rasa kamu sudah cukup memberi orang tua dan kedua adikmu uang. Ibumu sudah memiliki penghasilan dari toko. Sedangkan ayahmu dari hasil tani. Kedua adikmu sudah bisa mereka nafkahi sendiri. Sekarang fokuslah dengan dirimu sendiri. Kebutuhanmu, aku yang penuhi. Dan uangmu, simpan saja. Kamu bisa gunakan uangmu sendiri untuk hal yang mungkin belum aku belikan. Lebih bagus lagi kalau kamu langsung meminta padaku jika ingin sesuatu. Jadi uangmu bisa utuh.} Ingat dengan segala ucapan Farrel kala itu, membuat Jessi menangis. Secara bersamaan, lelaki yang ia kagumi justru membuatnya merasa dicintai. Namun, kini lelaki tersebut telah meninggalkan luka. Setidaknya sekarang Jessi sedikit bersyukur. Niatnya ingin memberikan sebagian uangnya ini pada kedua orang tuanya dan sedikit memberi uang jajan pada kedua adiknya, belum ia lakukan. Karena sekarang, uang yang ia miliki bisa Jessi gunakan untuk pergi dan bertahan hidup. Setelah selesai berberes, Jessi segera keluar dari kamarnya.
Tuhan memang sudah memberikan rezeki pada setiap hambanya sesuai dengan porsi yang tepat. Namun, akhir-akhir ini Yosi nampak bingung dengan rezekinya yang semakin hari semakin terasa seret. Meskipun di sekitar sini ada beberapa warung juga, rasanya baru kali ini Yosi sampai membatin soal keuntungan. Bukan masalah toko sembakonya saja. Bahkan Iyan juga sampai gagal panen. Padahal para petani lainnya telah berhasil dengan tanaman mereka. Masalah yang harus dihadapi Yosi dan Iyan bukan hanya itu saja. Karena 1 bulan lalu, Kaila yang sudah pintar naik motor sendiri tidak sengaja menyerempet orang yang sedang jalan. Membuat mereka harus bertanggung jawab atas kesalahan anak mereka. "Semakin hari pemasukan semakin berkurang. Padahal kebutuhan kita semakin banyak. Kenapa ya Yah?" tanyaa Yosi. Wajah yang sudah dihiasi dengan keriput itu terlihat pusing memikirkan usahanya. Iyan mengusap wajahya kasar. Dirinya sendri juga bingung karna rugi telah gagal panen. Di saat yang lainnya s
Meski malam sudah semakin larut, tapi Jessi masih belum bisa lelap. Entah sudah berapa kali Jessi mengubah posisi tidurnya. Meski matanya sudah dipaksa terpejam, Jessi masih belum bisa menggapai mimpi. "Kenapa aku terus kepikiran orang yang tidak memikirkan aku?" gumam Jessi sambil menyentuh perutnya. Namun, hati Jessi menolak pikirannya. Karena selama bersama Farrel, jika dirinya sedang kurang sehat, Farrel akan berusaha siaga menjaga dirinya. Jessi tahu, Farrel memanggil dokter untuk memeriksanya agar dirinya segera sembuh dan dirinya juga bisa kembali digunakan Farrel sesuka hati. Namun, Jessi selalu melihat ketulusan dari tindakan Farrel. Jessi tidak ingin melukai perasaannya terlalu lama. Tuhan memberikan otak untuk berpikir mana yang terbaik untuk dirinya. Namun, diri Jessi seperti terjebak. Semakin dilupakan, semakin pula Jessi ingat lelaki yang seharusnya sudah tidak menguasai diri, hati, dan juga pikirannya. "Kalau saja sekarang ini aku boleh melakukan banyak hal,
Apapun akan Farrel lakukan demi mendapatkan hak warisannya. Ia tidak ingin soal ancaman kedua orang tuanya itu menjadi kenyataan. Selain gila dengan pelayanan Jessi yang memuaskan, Farrel jelas sangat menggilai harta warisan. Apapun akan Farrel tempuh demi sampai pada tujuannya. "Farrel!" panggil Dania saat melihat Farrel memasuki kamar. Posisi duduknya sudah sangat maksimal. Ia juga memamerkan pahanya untuk menggoda Farrel. Bahkan pergerakan tangan Dania saat mengolesi lotion begitu terlihat sensual. 'Apa salahnya menggunakan dia. Aku sudah menikahinya kan? Harus dimanfaatkan sebaik mungkin sebelum bercerai. Minimal aku harus mendapatkan anak darinya,' batin Farrel. Hatinya sudah bertekat untuk melangsungkan niatnya. "Dania." "Ya!" Dania meletakkan lotion di atas nakas. Ia beranjak, membuat penampilannya semakin jelas Farrel lihat. Dania jalan menggeyal geyolkan pinggulnya, mendekati Farrel. "Kamu butuh sesuatu?" Dania tersenyum, berusaha menawan Farrel. 'Sial! Bisa-bisa
Mendengar suara klakson motor yang ditekan secara cepat bercampur suara teriakan, membuat Jessi menoleh kebelakang. Kejadiannya begitu cepat. Jessi ingin menghidar sepertinya tidak bisa karena di detik berikutnya, Jessi terserempet motor yang dikendarai seorang anak sekolah. Entah kecepatan seperti apa yang digunakan remaja tersebut. Padahal Jessi tidak jalan diaspal. Tapi musibah tidak bisa Jessi hindari. "Aaa ..." teriak Jessi. "Awh!" ringis Jessi karena tubuhnya sudah mendarat di tanah. Bruk. Remaja yang membawa motor terjatuh karena rem mendadak dan juga hilang keseimbangan. "Jessiii ..." teriak Bagas terkejut. Kebetulan sekali lelaki tersebut baru pulang kerja. "Ya Tuhaaannn ..." Beberapa warga yang lewat segera menolong Jessi dan remaja tadi. Bagas segera menghentikan laju motornya dan turun. Ia langsung lari menuju ke arah Jessi. "Jessi." "Mas!" Entah apa yang sekarang Jessi rasakan. Air matanya sudah jatuh karena dirinya takut terjadi sesuatu yang buruk pa
"Aku paling tidak suka membicarakan hal yang sudah pernah kita bicarakan," ucap Farrel tegas. Dania lari untuk menghalangi langkah Farrel menuju ruangan ganti. "Perempuan mana yang jadi selingkuhan kamu, hah!" "Sudah aku katakan kalau aku tidak selingkuh, Dania!" sentak Farrel tersulut emosi. "Kalau begitu lelaki mana yang jadi simpananmu." "Aku bisa membeli wanita yang aku mau, Dania. Bisa-bisanya kamu terus berpikir kalau aku ini homo." "Kamu mengelak dari dua tuduhanku, Farrel. Tapi kenapa kamu tidak menyentuhku? Aku sudah menggunakan baju seindah ini." Dania melepaskan bathrobenya. Memperlihatkan penampilannya yang menggunakan lingeri yang tadi ia gunakan di ruang kerja Farrel. "Aku dandan cantik buat kamu. Aku selalu menggunakan parfum agar kamu bisa berlama-lama dekat denganku. Tapi usahaku tidak membuatmu menatapku." "Kita sama-sama tahu, Dania. Kalau kita menikah karena rencana orang tua kita. Meski kita lama bertunangan, tapi selama ini kita jarak jauh. Aku h
"Apa kalian belum juga menemukan kabar Jessi?" tanya Farrel saat beberapa anak buahnya sudah berdiri di depannya. "Belum, Pak. Kami juga sedang menyusup di beberapa perusahaan besar di kota ini. Bahkan penyaluran pekerja juga coba kami kulik. Tapi kami memang belum menemukan informasi tentang nona Jessi." Farrel memijat kepalanya. Dirinya mau menghentikan pencarian, tapi Farrel merasa ragu. Hatinya mengatakan kalau dirinya harus tahu di mana Jessi sekarang. 'Dia bahkan sudah menonaktifkan rekeningnya. Dia pasti sengaja biar aku tida bisa menyogoknya agar segera menghubungi aku. Di mana kamu Jessi?' batin Farrel geram. "Apakah kami masih harus melanjutkan pencarian, Pak?" "Tentu saja," jawab Farrel cepat. "Tugas kalian memang harus mencari keberadaannya. Kalian tidak boleh berhenti mencari sampai sebelum aku perintahkan untuk berhenti," ucap tegas Farrel. "Baik, Pak." "Pergilah dan kembali lakukan tugas kalian. Gunakan cara apapun. Kalau kalian tidak bisa menemukann
Dalam keadaan hamil, Jessi memilih pergi ke kota untuk datang ke bank cabang utama di kota tersebut. Beberapa hari yang lalu, Jessi sudah mendapatkan informasi persyaratan untuk bisa membuat rekening baru. Karena dirinya bukanlah warga tetap di daerah tersebut. Jessi sudah sangat yakin untuk memblokir rekeningnya. Karena dirinya tidak ingin terus menerus menerima uang Farrel secara cuma-cuma. Bahkan sekarang saja, Jessi sudah mengetahui kalau hari ini Farrel kembali mengiriminya uang. Membuat Jessi syok melihat nominal saldonya sekarang yang hampir mendekati 1 miliar. Sejak dulu, Farrel memang sangat royal pada Jessi. Selalu memberikan uang lebih jika Jessi sudah membuat Farrel benar-benar puas. Uang gaji Jessi dari perusahaan utuh. Rasanya Jessi menggunakan uang pribadinya hanya saat jajan bersama Rika atau teman lainnya. Karena saat bersama dengan Farrel, lelaki tersebutlah yang akan memenuhi apapun yang sedang mereka beli. "Selain hobby sex, dia juga hobby menghambur-ham
Acara pernikahan kemarin sepertinya tidak membuat rasa kantuk menyerang Farrel. Karena semalam, Farrel hanya berpura-pura memejamkan mata. Setelah Dania tidur pulas, Farrel kembali ke balkon untuk berdiam diri dan memikirkan langkah selanjutnya. Rencana Farrel, begitu semua harta warisan sudah dialihkan menjadi atas namanya, tidak sampai 1 tahun Farrel akan menyusun skenario untuk berpisah dengan Dania. Rasanya baru saja Farrel terbuai mimpi indah. Sekarang tidur nyenyaknya jadi terusik karena merasakan sebuah tangan yang meraba dadanya. Grep. 'Tumben sekali Jessi menyentuh tubuhku lebih dulu, saat bangun tidur seperti ini,' batin Farrel. Deg. Baru saja Farrel akan mencium tangan yang meraba dan telah menggugah hasratnya, tiba-tiba Farrel tersadar kalau Jessi sudah tidak bersamanya lagi. Farrel ingat kalau sekarang dirinya sudah menikah. Dania sendiri tersenyum bahagia karena Farrel merespon sentuhannya. Ia semakin merapatkan tubuhnya pada Farrel dan berharap menda
Derasnya air hujan hari ini, seolah menggambarkan dan menemani air mata Jessi yang tidak mau berhenti. Setiap hari Jessi selalu ingat Farrel. Rasa cinta dan benci yang terus membelenggu hati Jessi. Hari ini, entah sebab apa yang membuat hati Jessi terasa begitu sakit. Sampai membuatnya tidak bisa untuk tidak menangis. "Maafin Mama, Sayang!" Jessi mengusap perutnya. Tanpa sadar, Jessi terus berandai-andai. Kalau saja waktu itu Farrel mau menggunakan pengaman, mungkin sekarang dirinya tidak akan hamil dan dirinya tidak akan berada di sini. Kemungkinan besarnya, Jessi pasti masih bersama Farrel. Apalagi saat cuaca dingin begini. Banyak perkiraan yang Jessi pikirkan. Hingga dirinya sadar kalau semuanya ada kebaikan yang harus ia ambil. "Karena baby ada, Mama jadi berhenti untuk tidak terus menerus melakukan kesalahan." Jessi terkekeh sambil mengusap air matanya. "Bisa-bisanya Mama berpikir yang tidak-tidak. Baby adalah penyelamat dan kebaikan untuk hidup Mama. Terima kasih s