Farrel menatap Jessi dan menahan rasa paniknya. Apalagi sekarang Carla terlihat menuntut jawaban.
"Mama tahu sendiri kalau dia yang bertugas khusus membersihkan ruangan Farrel. Abaikan saja dia, Ma. Oh iya, jadi bagaimana dengan Dania?" Farrel berusaha mengalihkan topik pembicaraan, agar Carla tidak mendesak dirinya dan juga Jessi. Perasaan inilah yang selalu Jessi rasakan. Jika sedang butuh, Farrel selalu menuntutnya untuk dipenuhi apapun kemauannya. Namun, jika hampir ketahuan, maka dirinya hanya akan dianggap seperti perempuan tiada guna. Jessi sadar dengan segala kesepakatan mereka dulu. Namun, perasaan cinta yang Jessi pendam tidak bisa memungkiri hati yang terluka. "Karena pekerjaan saya sudah selesai, saya permisi, Pak!" "Tunggu dulu!" sentak Carla. "Apa kamu lupa dengan tugasmu setiap kali aku datang ke sini." "Saya minta maaf, Bu." Jessi segera melakukan tugasnya. Tanpa perlu bertanya apa yang ingin Carla minum, Jessi sudah sangat paham dengan keinginan Carla. "Kalau Dania cepat pulang, maka rencana pernikahan kalian bisa segera dilangsungkan." Nampan yang terdapat 2 gelas minuman hangat untuk Jessi sajikan pada Farrel dan Carla seketika terjatuh. Jessi sangat terkejut dengan apa yang baru saja ia dengar. Apalagi selama ini Farrel tidak pernah memberitahunya bahwa Farrel sudah memiliki calon istri. "Maaf-maaf." Jessi duduk jongkok dan berusaha mengumpulkan pecahan gelas. "Oh Tuhan! Kamu ini bisa kerja atau tidak?" sentak Carla. "Mau kemana kamu?" Carla menahan tangan Farrel yang sepertinya akan mendekati Jessi. Farrel bingung mau menjawab apa. Jujur, hatinya ingin sekali menarik Jessi, karena bisa saja pecahan kaca melukai tangan Jessi. "Awh," keluh Jessi saat tangannya terluka. "Dasar bodoh. Ambil peralatan kebersihan sana," sentak Farrel. Entah apa yang sedang dipikirkan Jessi sebenarnya. Padahal biasanya Jessi bisa berpikir cepat jika sedang salah bertindak. "Baik, Pak. Tolong maafkan saya." Jessi bicara sambil menundukkan wajahnya. Setelah itu dirinya keluar untuk mengambil alat yang diperlukan. Karena kejadian tadi, Jessi jadi tidak bisa mendengar pembicaraan Farrel dan Carla. Pikirannya semakin dipenuhi dengan nama Dania. "Selamat siang, Ibu!" sapa Jessi saat Carla akan melaluinya. Carla berhenti dan memperhatikan Jessi. Membuat wajah Jessi jadi panik sendiri. "Sekali lagi saya minta maaf soal tadi, Bu. Saya janji, lain kali saya akan lebih hati-hati saat bekerja." "Kamu memiliki hubungan dengan anakku?" tanya Carla mulai menyelidiki. Tatapannya bahkan begitu sinis. Jessi terkejut. Membuat mulutnya terkatup untuk beberapa detik. "Tidak, Bu." "Benarkah?" tuntut Carla semakin curiga. Carla memperhatikan wajah Jessi. Jelas kulit Jessi nampak seperti gadis yang menggunakan perawatan. Apalagi saat mata Carla melihat kulit leher dan juga tangan Jessi yang nampak bersih. Bahkan hidung Carla bisa mencium aroma Jessi yang menggunakan parfum mahal. "Mana mungkin saya berbohong sama Ibu." "Sadar dirilah dan sadar akan kenyataan. Jangan berhalusinasi menjadi menantu keluarga Gevariel. Ingatlah, bahwa kamu hanya pegawai rendahan di perusahaan ini." Carla menatap Jessi dari atas hingga ke bawah. "Murahan." Air mata Jessi luruh begitu Carla meninggalkannya. Dirinya tidak pernah berharap untuk masuk ke dalam keluarga Gevariel. Namun, tidak bisa Jessi pungkiri kalau dirinya berharap Farrel juga mencintainya. Sore ini, Jessi pulang ke apartemen sesuai dengan perintah Farrel. Rasa pusingnya belum hilang sejak tadi. Maka sekarang Jessi hanya membersihkan diri dan menggunakan baju normal lalu pergi mempersiapkan menu makanan untuk Farrel. Sepanjang melakukan pekerjaan dapur, pikiran Jessi masih kalut karena memikirkan perempuan yang bernama Dania. "Kamu bulanan?" tanya Farrel yang langsung memeluk Jessi dari belakang. "Ya!" Terpaksa Jessi berbohong karena sedang malas meladeni kemauan Farrel. Jessi berharap Farrel percaya. Karena hanya ini yang bisa Jessi gunakan sebagai alasan. "Ck! Tadi sudah gagal di kantor gara-gara mama datang tiba-tiba. Sekarang harus gagal lagi karena kamu bulanan. Mana harus menunggu 1 minggu lagi." Suara keluhan Farrel membengung karena wajahnya menyusup dileher Jessi. Farrel menghirup aroma wangi yang Jessi gunakan. Sedangkan tangannya menyusup ke dalam kaos untuk menyentuh aset kembar kesukaan Farrel. "Biarkan aku menyelesaikan pekerjaanku dulu, Farrel." Menurut Jessi, dirinya sudah bicara lembut seperti biasanya. Namun, menurut Farrel, Jessi bicara sedikit menyentak. Farrel tidak mengambil hati. 1 tahun kebersamaan mereka bukanlah waktu yang singkat. Farrel sudah paham dengan perubahan mood Jessi saat sedang bulanan. "Emmm, aroma masakanmu begitu nikmat. Beruntungnya aku menemukan kamu. Sudah pintar di atas ranjang, pintar juga membuatkan menu makanan untukku." Biasanya Jessi senang saat Farrel memuji dirinya. Namun, ucapan itu justru membuat hati Jessi semakin terluka. "Aku baru tahu kalau ternyata kamu sudah memiliki calon istri." Jessi berusaha tenang dan ingin tahu semuanya lebih jauh. "Siapa tadi namanya? Dania?" Farrel duduk di tepi meja makan saat Jessi mulai menata menu yang sudah matang. "Namanya Dania Malachy. Dia seorang model di luar negeri. Sejak 3 tahun yang lalu, kami dijodohkan. Jadi sudah 2 tahun ini kami bertunangan." Hati Jessi semakn sakit. Apa yang bisa dirinya harapkan dari hubungan kesepakatan ini. "Padahal kita berhubungan sudah 1 tahun. Tapi aku belum pernah mendengarmu menyebut namanya." "Hubungan kami hanya karna kesepakatan, Jessi. Karena di masa lalu, orang tuaku memiliki hutang budi pribadi dengan orang tuanya. Jadi sekarang aku yang dikorbankan. Untuk bisa memiliki harta warisan orang tuaku, aku harus menikah dengan Dania." Air mata Jessi jatuh. Namun, ia segera mengusap dengan lengan bajunya. "Jadi itu artinya kamu akan segera menikah?" "Rencana 2 belah pihak keluarga seperti itu. Karena memang kontrak kerja Dania tahun ini sudah habis. Sebentar lagi, semua milik orang tuaku akan beralih menjadi milikku." "Jadi mau sampai kapan kita akan seperti ini, Farrel?" Farrel turun dari atas meja dan mendekati Jessi yang masih memunggunginya sambil mencengkram pinggiran wastafel. "Apa maksudmu bertanya seperti itu padaku?" geram Farrel setelah membalik tubuh Jessi. "Kamu kenapa?" Farrel terkejut melihat kedua mata Jessi yang basah. "Kalau kamu sudah menikah, kita tidak bisa seperti ini terus, Farrel. Aku takut ketahuan." "Yang bisa memutuskan hubungan ini adalah aku, Jessi. Aku tidak akan melepaskanmu sebelum aku bosan." "Kalau kamu sudah menikah, kamu bisa melampiaskan semua keinginanmu pada istrimu, Farrel. Jadi ..." Kedua tangan Farrel memukul tepian wastafel begitu kuat. Membuat Jessi memejamkan mata karena terkejut. "Ada apa denganmu sebenarnya? Bukankah seharusnya kamu senang karena aku tetap mempertahankanmu sehingga kamu masih tetap mendapatkan uang dan segala yang biasanya aku berikan?" "Aku cinta sama kamu, Farrel!" ungkap Jessi yang sudah tidak bisa menahan perasaannya. "What!" "Maka dari itu lepaskan aku dan biarkan aku bekerja sebagai OG saja. Aku memang tidak tahu diri. Tapi jika kita masih bersama, aku jadi merasa kamu duakan. Jadi ..." "Siapa yang mengizinkanmu menaruh perasaan denganku, Jessi?" "Huek.""Huek." Tiba-tiba perut Jessi terasa mual. Jessi segera lari menuju wastafel agar dirinya bisa segera mengeluarkan apa yang ingin keluar dari perutnya. "Jessi." Farrel sangat panik. Ia segera memijati tengkuk Jessi. "Kamu kenapa?" "Hoek." Hanya cairan saja yang keluar. Karena sejak tadi pagi, Jessi memang tidak nafsu makan. Setelah merasa lebih baik, Jessi berkumur beberapa kali untuk menghilangkan rasa tidak enak di dalam mulutnya. Setelah itu, Jessi menyempar tangan Farrel agar tidak terus memijati tengkuknya. "Apa kamu sudah merasa lebih baik?" Jessi balik badan dan menatap Farrel. Bagaimana mungkin dirinya tidak jatuh cinta pada lelaki tersebut, kalau Farrel memperlakukannya selembut ini. Bahkan sekarang Jessi bisa melihat kekhawatiran dimata Farrel. "Aku ingin pulang sekarang. Maaf, kamu makan sendiri saja ya?" Jessi mendorong Farrel agar dirinya bisa pergi. Tetapi Farrel yang tidak terima dengan perbuatan Jessi, langsung menahan tangan Jessi. "Kita anggap
"Apa ada yang lain, Bu?" tanya Yosi Febrian. Ibu kandung Jessi. "Itu ada ikan asap. Setelah beberapa minggu tidak ada barang, baru hari ini ada lagi. Itu juga karena saya ke pasar lebih pagi dari biasanya." Yosi berusaha menawarkan dagangannya. "Cukup, itu saja Bu Yosi." Yosi segera menotal semua belanjaan tetangganya tersebut. "Ini ya, Bu kembaliannya." "Terima kasih, Bu." "Sama-sama," ucap Yosi begitu ramah. Namanya juga hidup di desa dan memiliki usaha sembako seperti ini. Sebagai penjual, harus bisa memberikan rasa aman dan nyaman pada pembeli. Berharap orang sekitar tetap menjadi langganannya. "Jessi kerja di kota sudah sangat sukses ya, Bu. Sampai bisa membahagiakan orang tuanya seperti ini." Siapapun orang yang mengetahui kehidupan keluarga Jessi, pasti akan merasa tidak menyangka. Baru berapa tahun Jessi bekerja di kota, tapi sudah berhasil mengsejahterakan keluarga. Membuat sebagian orang merasa iri melihat kesuksesan keluarga Jessi. "Puji Tuhan, Bu Ilmi. Di
"Bagaimana ini?" Jessi hanya bisa menangis tertahan di dalam kamar mandi. Pagi ini, Jessi sengaja bangun lebih awal dari biasanya. Dirinya harus memastikan sekali lagi apakah dirinya benar hamil atau tidak. Sisa alat tes kehamilan secara bersamaan Jessi masukkan ke dalam air seni yang sudah Jessi tampung. Berharap Jessi bisa mendapatkan hasil yang berbeda dari pada yang kemarin. Namun, semua hanya tinggal harapan. Karena sekarang Jessi melihat sendiri kalau semua alat menunjukkan hasil bahwa dirinya positif hamil. Jessi tidak tahu lagi apa yang harus ia lakukan. Mau meminta pertanggung jawaban Farrel juga sepertinya Farrel tidak akan mau. "Aku tahu aku salah, Tuhan. Tapi kenapa Engkau hadirkan dia sekarang. Aku tidak tahu harus apa. Aku takut." * Semalaman suntuk, Farrel tidak bisa tidur. Lelaki tersebut sepertinya sangat terusik dengan pernyataan perasaan Jessi. Farrel merasa nyaman dengan Jessi. Namun, rasa itu Farrel maknai karena Jessi yang bertugas memenuhi has
"Usia kehamilannya sudah 8 minggu. Janinnya juga sangat kuat," ucap dokter setelah melakukan pemeriksaan. Jessi menunduk dalam. Gadis tersebut rasanya ingin kembali menangis. Namun, ia harus menahan diri. "Ini saya resepkan obat pereda mual muntahnya dan juga vitamin yang baik untuk kandungannya." "Saya takut, Dokter!" Jessi bicara begitu pelan. Dokter kandungan tersebut mendekati Jessi. Jika melihat usia, gadis tersebut sepantaran dengan anaknya. "Apa yang Nona Jessi takutkan?" "Saya harus bagaimana setelah ini, Dokter." "Minta pertanggung jawaban dari ayah janin. Jangan pernah berpikir untuk menghilangkannya. Setelah membuat kesalahan, jangan membuat kesalahan yang lain. Bertanggung jawablah terhadap perbuatan kalian, Nak." Bagaimana mungkin Jessi mau meminta pertanggung jawaban Farrel, kalau Farrel sendiri sudah memiliki calon istri. Selain itu, Jessi cukup sadar diri siapa dirinya. Setelah menebus obat, Jessi kembali memesan ojek untuk segera pulang ke kos.
2 tahun yang lalu. "Kamu adalah anak satu-satunya Papa dan mama, Farrel. Jadi kamu harus menurut dengan perintah Papa!" ucap Regan Gevariel begitu tegas. "Tapi, Pa!" Farrel memberikan tatapn tidak terima. "Zaman sudah modern, Pa. Bagaimana mungkin Papa dan Mama mau menjodohkan aku. Pokoknya aku tidak mau," tolaknya begitu tegas. Farrel tidak habis pikir dengan pemikiran kedua orang tuanya. Hanya karena dimasa lalu orang tua Dania sudah membantu mereka saat dalam masalah, jadi sekarang dirinya yang harus balas budi. Ini jelas tidak adil. "Kalau kamu mau mewarisi semua harta orang tuamu, maka kamu harus menikah dengan Dania, titik. Papa dan mama hanya akan merestui pernikahanmu jika perempuan itu adalah Dania." Setelah perdebatan malam itu, Farrel banyak berpikir hingga memberikan keputusan. Farrel akan menikah dengan Dania. Setelah semua harta sudah dialihkan menjadi atas namanya, maka Farrel akan bertindak sesuai keinginannya. Farrel mengambil keputusan tersebut bukan
Sampai kapanpun, hal utama yang akan Farrel perjuangkan adalah mendapatkan seluruh harta warisan kedua orang tuanya. Setelah semuanya sudah dalam genggamannya, Farrel akan melakukan hal apapun sesuka hatinya. Farrel terkejut dengan kabar yang baru saja disampaikan oleh Jessi. Perasaannya tidak menentu. Namun, pikiran Farrel terus kembali pada tujuan utamanya. Farrel hanya bisa mengepalkan tangannya erat. Ada rasa kasihan melihat wajah Jessi. Namun, dirinya tidak ingin mengambil resiko lebih dari ini. Langkahnya tinggal sedikit lagi. Semuanya bisa hancur jika semua ini diketahui kedua orang tuanya. "Bukankah sejak awal, kita membuat kesepakatan untuk saling menguntungkan?" "Tunggu dulu, Farrel!" Rasanya Jessi tidak mampu mendengar ucapan Farrel selanjutnya. "Aku akan mengurus cuti kerjamu. Aku tidak bisa mengantarmu, Jessi!" Farrel tidak bisa mengatakan pada Jessi kalau Dania sudah datang. "Gugurkan kandunganmu, setelah itu istirahatlah dulu." Jessi tidak kuasa lagi mena
"Maaf, karena aku ingkar janji. Lain kali, aku akan ajak kamu pergi ke tempat yang aku janjikan malam ini," ucap Farrel begitu mobilnya sudah sampai di depan rumah Dania. "Tidak apa-apa, Farrel. Kesehatan itu nomor satu." Dania berusaha untuk pengertian. Karena tadi Farrel mengatakan sedang pusing. "Begitu sampai rumah, segera istirahat. Jangan lupa kabari aku." Dengan sangat lembut, Dania mengusap wajah Farrel. "Ok!." Dania hanya bisa menghelakan nafasnya yang terasa kesal. Ia merasa ada sesuatu yang aneh dari diri Farrel. "Apakah dia menyembunyikan sesuatu?" gumam Dania menerka. Tidak lama kemudian, Dania menggelengkan kepalanya. "Tidak mungkin. Aku tidak boleh berpikir negatif tentangnya. Aku ini tunangannya. Boleh dibilang aku juga pacar pertamanya. Meski kami dijodohkan, aku yakin dia hanya mencintai aku." Dania berusaha membuang keresahan hatinya. Setelah sedikit merasa tenang, dirinya segera memasuki rumah. Ia harus terlihat happy agar kedua orang tuanya tidak berpikir yan
"Sejak saya mengatakan ke Bapak kalau Jessi tidak bisa saya hubungi, sampai saat ini kami belum pernah bertemu maupun bertukar kabar, Pak. Bahkan saat saya datang ke kosnya, saya tidak bertemu dengan Jessi." "Kamu tidak berbohong?" tuntut Farrel dan memberikan tatapan begitu tajam. "Mana mungkin saya berani berbohong sama Pak Farrel." Farrel mencengkram pulpennya begitu kuat. Nafasnya semakin terasa berat karena tidak mendapatkan informasi apapun tentang Jessi. Melihat reaksi Rika, Farrel yakin kalau karyawannya itu tidak berbohong. "Keluar dan lanjutkan pekerjaanmu." "Baik, Pak. Kalau begitu saya permisi." Sebelum keluar ruangan Farrel, Rika membungkukkan tubuhnya sebentar untuk menghormati Farrel. Kaki Rika terasa lemas. Sebelum memasuki ruangan Farrel, Rika sempat mengira kalau dirinya sudah melakukan kesalahan dan kemungkinan Farrel akan memecatnya. Namun, sekarang perasaan Rika jauh lebih tenang. "Sebenarnya kamu pergi kemana, Jessi. Dan ..." Rika terdiam se
Satu persatu murid sudah keluar sekolahan. Anak-anak yang dijemput orang tuanya sudah mulai meninggalkan area dengan menumpangi sepeda motor. Ada juga yang naik sepeda dan ada juga yang pulang jalan kaki. Entah pelajaran apa yang kini membuat kelas Rhona belum keluar. Padahal biasanya kelas 1 lebih cepat keluar kelasnya. Para wali murid yang menjemput sekolah sudah mulai sepi. Dan sekarang Jessi membalas sapaan dan mengobrol dengan seorag wali murid yang anaknya satu kelas dengan Rhona. "Di kelas 1, katanya Rhona yang paling pintar. Bu Jessi privatin Rhona ya?" tanya wali murid. "Semua anak juga punya kepintarannya masing-masing, Bu!" Jessi merasa tidak nyaman jika anaknya mendapatkan pujian seperti ini. "Rhona hanya belajar sama saya, Bu." "Wah, hebat dong Bu Jessi bisa telaten ngajarin Rhona. Jadi wajar kalau anaknya pintar. Saya sih kurang telaten, Bu. Belum lagi anak saya itu sukanya belajar sama bapaknya. Tapi ya begitulah ..." Ini yang paling tidak Jessi sukai jika sedang
"Sepertinya seru bermain seperti ini ya, Ma?" tanya Rhona sambil menunjukkan sebuah wahana yang ada di sebuah kota metropolitan. "Rhona mau, Mama!" pintanya dengan suara yang terdengar manja. Untuk sesaat, Jessi terdiam. Karena kalau dirinya masih tinggal di kota tersebut, sudah pasti Jessi bisa membawa Rhona ke sana. "Minggu lalu kan kita sudah main, Sayang!" Setiap 1 bulan sekali, Jessi akan mengusahakan untuk mengajak Rhona pergi ke kota. Karena Jessi ingin anaknya bisa melihat bagaimana serunya bermain di tempat yang tidak ada di kampung. "Nanti saat liburan sekolah, Mama janji akan ajak Rhona ke sana lagi." "Tapi Rhona maunya yang seperti ini, Mama. Yang kemarin itu Rhona sudah bosan." Jessi sadar dari pada tidak bermain, maka Rhona akan memilih mengulang bermian di tempat yang sama. Dan sekarang permintaan Rhona tidak akan mungkin Jessi turuti. Setelah membuat beberapa janji untuk menenangkan keinginan Rhona, akhirnya sekarang gadis kecil tersebut sudah lelap.
Proses perceraian Farrel dengan Dania menghabiskan waktu hingga beberapa bulan. Selain sidang yang beberapa kali harus ditunda karena Dania yang terus membuat alasan, Dania juga mengajukan mediasi hingga beberapa kali, untuk mempertahankan rumah tangganya. Setelah melewati proses yang cukup panjang, akhirnya Farrel dan Dania resmi bercerai. Farrel juga memberikan kompensasi pada Dania sebagai harta gono gini. Sudah 3 tahun lebih Farrel berpisah dengan Dania. Hingga saat ini, rasanya Farrel masih belum berhenti mencari Jessi. Meski orang suruhan Farrel sudah dikurangi. Karena Farrel sendiri tidak yakin akan dengan mudah menemukan perempuan yang menguasai seluruh pikirannya itu. Meski tahu kalau Farrel masih berusaha mencari Jessi, Carla dan Regan tetap berusaha memperkenalkan Farrel dengan perempuan lain dengan cara mereka sendiri. Namun, tidak ada satupun kesan baik yang Farrel dapatkan dari cara tersebut. Mau seperti apapun, Farrel sadar akan niat terselubung orang tuanya.
Apa yang terjadi malam ini, sudah masuk ke dalam perkiraan Farrel. Dirinya hanya bisa tersenyum sinis karena merasa rencana busuk Dania terlalu mudah untuk di tebak. "Setelah kamu mendapatkan aku, apa seperti ini cara kamu memperlakukan aku?" tuntut Dania sambil menangis. "Jujur saja, aku mencoba kamu, karena aku ingin memiliki anak, untuk memenuhi keinginan orang tuaku. Tapi aku merasa tidak nyaman. Apalagi aku telah mencoba barang bekas banyak orang." "Jangan fitnah aku, Farrel!" teriak Dania. "Lancang sekali ucapanmu ini," tuntut Yosua. Sebagai orang tua, dirinya jelas tidak terima karena merasa harga diri anaknya telah direndahkan. "Sebenarnya siapa yang fitnah dan siapa yang difitnah, Dania?" Farrel menatap tajam Dania. "Apa perlu aku memanggil dokter yang bertanggung jawab atas pembuatan hasil palsu itu? Atau apa perlu aku menunjukkan semua bukti bagaimana liarnya kamu saat masih di luar negeri?" Nyali Dania mulai menciut. Namun, dirinya tidak ingin kehilangan F
Malam ini, orang tua Dania datang ke kediaman orang tua Farrel untuk makan malam bersama. Tentunya atas undangan Carla, meski ini adalah ide Dania. Setelah makan malam, semua orang berkumpul di ruang keluarga untuk bercengkrama. "Maaf semuanya," ucap Dania yang baru saja kembali, setelah perempuan tersebut undur diri sebentar guna ke kamar mandi. "Aku punya sesuatu hal yang sangat penting untuk di sampaikan." Semua orang beralih menatap Dania. Membuat para orang tua jadi berharap kalau mungkin saja sekarang Dania membawa kabar seperti yang mereka harapkan selama ini. "Ada apa, Dania? Cepat katakan!" perintah Carla yang sudah tidak sabaran lagi. Dania menatap Farrel yang duduk santai tanpa menatapnya. Ia tersenyum kecil dan mengandung banyak arti. "Farrel, hasil pemeriksaan kesuburan kita sudah keluar." "Benarkah?" "Yah. Agar tidak ada kesalah pahaman di antara kita, biarkan orang tua kita saja yang membuka hasilnya. Mereka juga perlu tahu kesehatan kita kan?"
Inilah yang paling tidak Jessi sukai saat berkumpul dengan para tetangga. Pada akhirnya, hal pribadi yang akan dipertanyakan. Mau tidak keluar juga tidak mungkin, apalagi Rhona sedang senang-senangnya bermain. Selain itu, dirinya juga memiliki warung. Jadi sudah pasti bisa menjadi tempat nongkrong ibu-ibu saat sore hari. "Apa sampai sekarang ayahnya Rhona belum kasih kabar juga, Jessi?" tanya seorang tetangga. "Belum, Bu!" Jessi tersenyum kecil untuk menutupi hatinya yang tiba-tiba terasa tidak nyaman. "Mbak Jessi tidak curiga kalau mungkin saja ayahnya Rhona tenggelam saat berlayar? Siapa yang tahu kan?" "Ibu ini bicara apa sih," ucap tetangga yang lain. "Tapi mungkin saja ayah Rhona kena guna-guna perempuan lain, Jessi." "Soal itu saya tidak tahu dan tidak mau mempermasalahkannya, Bu. Saya hanya berharap, beliau di sana baik-baik saja." 'Yeah! Semoga kamu baik-baik saja dengan segala penyesalan yang kamu tanggung sendiri,' ungkap hati Jessi. Tanpa terasa, hati yang aw
"Saya permisi sebentar," ucap Dania. Siang ini, Dania menuruti Carla untuk ikut ke acara arisan Carla bersama geng sosialitanya. Sebenarnya Dania tidak mau. Karena ia tahu pembahasan apa yang akan dibicarakan dan bisa saja menyudutkannya. Namun, pada akhirnya bujuk rayu Carla membuat Dania mengalah. Dania melangkah cepat meninggalkan ruangan VIP yang ada di sebuah restoran. Hatinya terasa geram. Bahkan jantungnya seperti ingin meledak. Bagaimana mungkin Dania tidak pusing jika para orang tua tadi hanya membahas soal cucu. Sedangkan dirinya dan Carla seperti kambing congek yang hanya bisa mendengarkan saja. "Sengaja sekali mama bikin aku sakit hati begini," gerutu Dania. Ia membasahi wajahnya. Tidak perduli make upnya yang bisa saja rusak. "Memangnya siapa sih yang tidak ingin hamil? Aku juga ingin. Tapi bagaimana aku bisa hamil kalau Farrel saja jarang sekali menyentuhku. Sudah hampir 4 tahun usia pernikahan Farrel dan Dania. Hingga saat ini, belum ada tanda-tanda Dania ham
Meski hidup Jessi tidak kesulitan dalam masalah ekonomi, tapi bukan sesuatu yang mudah juga menjadi Jessi. Hamil tanpa dampingan siapapun. Hidup sendiri, bahkan setelah melahirkanpun tetap sendiri. Setelah melahirkan, hanya beberapa hari saja Jessi bisa meng-asi Rhona. Karena Jessi melahirkan bertepan dengan tetangganya yang melahirkan 1 hari setelahnya. Meski Jessi berusaha baik-baik saja melihat tetangganya yang di dampingi suami dan keluarga, tapi Jessi tidak bisa pungkiri hati yang merasa iri. Hati yang terus membatin, diam-diam membuat pikiran Jessi menjadi setres. Hingga akibatnya membuat asi Jessi menjadi tidak keluar lagi. Jessi sempat menyalahkan diri sendiri. Ia juga sampai konsultasi pada bidan yang memantau perkembangan kehamilannya selama ini. Akhirnya Jessi berusaha menenangkan pikirannya. Meski pada akhirnya, Jessi harus relakan Rhona tidak bisa menikmati asinya lagi. Yang terpenting saat itu adalah Rhona tetap mendapatka nutrisi yang terbaik. Hal yang patut Jes
Karena mengira kalau Farrel adalah atasan Jessi, membuat Dania berinisiatif memanggil Farrel dengan sebutan 'Pak'. Namun, sekarang Dania jadi menyesal. Padahal baru saja dirinya merasakan sesapan kasar bibir Farrel. Belum lagi remasan Farrel di dadanya begitu terasa sempurna. Dan sekarang semuanya jadi berantakan karena dirinya sudah salah memanggil. 'Sial! Seharusnya sekarang aku sedang menikmati perbuatan Farrel!' batin Dania kecewa pada diri sendiri. Baru opening saja permainan Farrel sudah terasa kasar dan menuntut. Lalu bagaimana jika mereka sudah berada di permainan utama? "Kamu menggunakan parfumku?" tuntut Farrel tidak terima. "Siapa Jessi?" tuntut Dania kecewa. Perasaannya sekarang menjadi campur aduk. Dan tidak bisa sepenuhnya marah karena yang lebih mendominasi adalah penyesalan ucapan mulutnya sendiri. "Aku paling tidak suka jika pertanyaanku di kembalikan dengan pertanyaan. Kenapa kamu menggunakan parfumku?" Farrel masih merasa tidak rela hanya karena parfum. P