"Bu, bulan ini sepertinya Jessi tidak bisa kirim uang. Karena Jessi punya kebutuhan sendiri," terang Jessi setelah beberapa saat terhubung panggilan suara dengan ibunya.
"Iya! Tidak apa-apa, Jessi. Uang dari warung juga pendapatannya lumayan. Cukup untuk kebutuhan sehari-hari dan juga kebutuhan adik-adikmu." "Syukurlah." Sudah hampir 1 tahun ini Jessi menjadi penghibur Farrel di atas ranjang. Farrel benar-benar menepati janji. 1 bulan pertama, Jessi diberikan ponsel baru dan juga uang. Bulan kedua, Farrel memberikan uang untuk melunasi hutang-hutang kedua orang tuanya. Bulan ketiga, Farrel memberikan uang untuk keperluan sekolah kedua adiknya agar dipenuhi sampai lulus. Dan bulan selanjutnya, Farrel memberikan uang untuk renovasi rumah. Selain rumah, sekarang kedua orang tuanya juga memiliki warung sembako yang sudah mulai berkembang. Begitu juga tanah yang bisa digunakan ayah Jessi untuk berkebun. Sesuai dengan saran Farrel, mulai bulan ini Jessi akan berusaha untuk tidak mengirim uang lagi kepada kedua orang tuanya. Jessi pikir, saran Farrel ada benarnya. Dirinya harus memiliki tambahan tabungan pribadi. Apalagi dirinya juga tidak selamanya berhubungan dengan Farrel. Kapanpun Farrel bosan, Jessi harus bersiap untuk dibuang begitu saja. Sudah waktunya pulang kerja. Jessi tidak pulang ke kos karena Farrel memintanya datang ke apartemen. "Mau menggunakan yang mana ya?" gumam Jessi saat melihat deretan lingerie yang ada disatu ruangan lemari Farrel. Seperti biasanya, Jessi langsung membersihkan diri begitu sampai apartemen. Jika tidak sedang bulanan, maka Jessi harus selalu menggunakan lingerie yang sudah Farrel siapkan untuknya. "Masak apa ya malam ini?" Setelah membersihkan diri dan memastikan tubuhnya bersih dan wangi, Jessi segera kedapur untuk melihat sisa isi kulkas yang sudah ia isi beberapa hari yang lalu. "Kira-kira Farrel sampai sini jam berapa ya?" Sebenarnya Jessi merasa lelah, setelah seharian bekerja. Namun, sekarang dirinya harus mempersiapkan menu apapun yang bisa mereka makan nanti. Belum lagi Jessi juga harus bertingkah sensual untuk menggoda Farrel, hingga memuaskan lelaki tersebut. Setelah mendapatkan ide menu masakan, sekarang Jessi sudah mulai memotongi sayuran. "Kamu sudah pulang, Farrel?" Meski terkejut, tapi Jessi sudah terbiasa mendapatkan pelukan tiba-tiba seperti ini. "Kamu wangi sekali." Farrel mencium rambut panjang Jessi. Berpindah ketelinga, hingga semakin turun perlahan mengabsen leher dan pundak Jessi. Jessi hanya bisa menggumam menahan suara desahannya. Ia memejamkan matanya menikmati cumbuan bibir Farrel. Sedangkan tangannya mencengkram erat pisau. "Ini aroma parfum yang kamu beli kemarin," ucap Jessi memberitahu. "Benarkah?" Farrel kembali mencium leher Jessi. "Sesuai perkiraanku. Parfum ini sangat cocok kamu gunakan." "Apa kamu tahu?" Jessi mengusap tangan Farrel yang kini mulai meremas aset kembarnya. "Tidak." "Aku menunggumu sejak tadi. Bahkan sekarang aku tidak menggunakan celana dalam," bisik Jessi dengan nada sensual. "Kamu benar-benar nakal, Jessi!" geram Farrel sambil menyentuh inti tubuh Jessi yang terasa lembab. Farrel membalik tubuh Jessi dan mereka langsung berciuman. Farrel sedikit mengangkat tubuh Jessi agar duduk di tepi wastafel. Hal itu mempermudah pekerjaan bibir mereka. Sambil terus berciuman, Jessi melepaskan jas yang membalut tubuh tegap Farrel, lalu Jessi lempar kesembarang arah. Jessi membuka kancing baju kemeja Farrel agar tangannya lebih mudah menyentuh tubuh lelaki tersebut. Rasanya semakin menggelora raga jika kulit mereka sudah saling bersentuhan sambil memberikan rabaan penuh damba. Sepertinya Jessi tidak akan jadi membuatkan Farrel menu masakan seperti rencananya tadi. Karena sekarang, suara desahan mereka sudah memenuhi ruangan tersebut. Peluh sudah mulai membasahi raga, di saat penyatuan itu sudah berlangsung. Lelah berdiri, Farrel membawa Jessi naik ke atas meja makan. Ini bukan pertama kalinya mereka melakukan hal gila seperti ini di sana. Rasanya disetiap sudut ruangan apartemen ini sudah menjadi saksi bagaimana panasnya penyatuan raga mereka. Bagi Jessi, Farrel seperti maniak sex. Karena mereka juga sering bermain di kantor tanpa perdulikan jam kerja. Untuk mencari suasana baru, Farrel juga sering mengajak Jessi check in di hotel-hotel mewah. "Tunggu dulu, Farrel!" Jessi harus menghentikan sejenak pergerakan Farrel yang ada di belakang tubuhnya. "Ada apa?" "Kamu belum menggunakan pengaman." Akhir-akhir ini, Jessi harus sering memberikan peringatan pada Farrel. Karena lelaki tersebut sudah jarang mau menyemburkan cairan di luar. Pernah sekali mereka kalap karena terbuai suasana yang begitu bergairah. Sampai membuat Farrel meloloskan bibit di dalam rahim Jessi. Untungnya 1 minggu setelahnya, Jessi bulanan. Membuat keresahan hati Jessi menghilang. "Sesekali keluar di dalam tidak akan membuatmu hamil." "Tapi ..." Farrel melanjutkan pergerakannya. Membuat Jessi kembali mendesah kuat. Farrel ingin membuang rasa lelahnya bekerja dengan bersenang-senang seperti ini. "Lututku sakit, Farrel. Bisakah kita pindah ke kamar?" Tanpa menjawab, Farrel segera turun dan langsung menggendong Jessi menuju kamar. Aktivitas mereka semakin panas membara karena menemukan tempat yang pas. Sampai akhirnya, mereka mendesah kuat mencapai puncak pelepasan. 'Bagaimana kalau aku hamil?' Jessi menjadi panik sendiri. Sedangkan tangannya masih mengusap punggung Farrel yang masih membebani tubuhnya. "Aku tidur sebentar. Nanti kita keluar cari makan," ucap Farrel sambil menjatuhkan tubuhnya kesamping. Setelah itu Farrel membawa Jessi ke dalam pelukan. Sepertinya Farrel benar-benar kelelahan. Hanya membutuhkan beberapa menit saja, nafas lelaki tersebut sudah terasa teratur menerpa kening Jessi. Pertanda Farrel sudah terbuai mimpi. Jessi berusaha melepaskan diri dari pelukan Farrel yang sudah mengendur. Ia menarik selimut yang hampir jatuh karena perbuatan mereka tadi. Jessi kembali tiduran dengan posisi miring dan memperhatikan wajah Farrel. 'Perlakuanmu sangat lembut. Bahkan kamu selalu memberiku hal-hal yang tidak pernah aku duga. Aku merasa disayang. Tapi aku harus menahan perasaanku. Apa kamu tahu bahwa aku jatuh cinta padamu, Farrel.' * "Kamu kenapa, Jess?" tanya Rika. Sejak tadi dirinya melihat Jessi memijat kepala. "Tidak apa-apa. Aku hanya sedikit pusing." Jessi menggelengkan kepalanya pelan seolah mengusir rasa sakit yang mendera kepalanya. "Sebaiknya kamu ambil obat dulu deh, Jess. Istirahat sebentar. Kalau sudah hilang pusingnya, baru kamu lanjut kerja lagi." "Duh, perhatian sekali temanku ini. Aku tidak apa-apa kok, Ka. Ayo kita lanjut kerja." Baru saja Jessi akan melakukan pekerjaan, Jessi harus merogoh ponselnya yang bergetar. Sudah bisa ditebak kalau itu adalah Farrel yang menghubungi dirinya. 'Tidak mungkinkan kalau dia mau mengajakku melakukan itu. Kepalaku pusing sekali.' Sudah 1 bulan berlalu sejak Farrel menabur bibit tanpa pengaman. Namun, sepertinya Jessi tidak sadar kalau sekarang dirinya sudah telat bulanan. "Halo, Pak." "Keruanganku sekarang." Sesuai dengan perkiraan Jessi. Begitu dirinya memasuki ruangan kerja, Farrel langsung mengunci pintu dan merapatkan tubuh Jessi ketembok. Ingin rasanya Jessi memberontak agar Farrel memberinya sedikit kelonggaran. Namun, Jessi juga harus sadar, siapa dirinya untuk Farrel. Baru beberapa saat bibir Jessi dan Farrel saling menyesap, tapi ciuman mereka langsung terlepas. Tangan Farrel yang baru saja menyusup ke dalam celana Jessi kembali ke luar. Mereka terkejut karena di luar sana ada seseorang yang ingin masuk ke dalam ruangan ini, tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu. "Rapihkan pakaianmu." Jessi bernafas lega. Setidaknya sekarang dirinya tidak jadi melayani Farrel. Sedangkan Farrel segera membuka pintu. "Farrel." "Mama kenapa datang ke sini?" Farrel terkejut saat membuka pintu dan melihat keberadaan mamanya. "Kenapa dikunci sih?" Protes perempuan yang bernama Carla Florine. "Mama mau kasih tahu kamu, kalau minggu depan Dania pulang." "Kenapa tiba-tiba sekali?" Farrel terlihat tidak suka. 'Dania? Siapa dia?' Jessi masih mematung di tempatnya tadi. "Kenapa wajahmu terlihat tidak suka? Loh, kenapa dia ada di sini?" Carla terkejut melihat keberadaan karyawan kebersihan. "Kamu melakukan apa dengannya, Farrel?" gertak Carla saat ingat kalau tadi pintu ruangan ini telah Farrel kunci.Farrel menatap Jessi dan menahan rasa paniknya. Apalagi sekarang Carla terlihat menuntut jawaban. "Mama tahu sendiri kalau dia yang bertugas khusus membersihkan ruanganku. Abaikan saja dia, Ma. Oh iya, jadi bagaimana dengan Dania?" Farrel berusaha mengalihkan topik pembicaraan, agar Carla tidak mendesak dirinya dan juga Jessi. Perasaan inilah yang selalu Jessi rasakan. Jika sedang butuh, Farrel selalu menuntutnya untuk dipenuhi apapun kemauannya. Namun, jika hampir ketahuan, maka dirinya hanya akan dianggap seperti perempuan tiada guna. Jessi sadar dengan segala kesepakatan mereka dulu. Namun, perasaan cinta yang Jessi pendam tidak bisa memungkiri hati yang terluka. "Karena pekerjaan saya sudah selesai, saya permisi, Pak!" "Tunggu dulu!" sentak Carla. "Apa kamu lupa dengan tugasmu setiap kali aku datang ke sini." "Saya minta maaf, Bu." Jessi segera melakukan tugasnya. Tanpa perlu bertanya apa yang ingin Carla minum, Jessi sudah sangat paham dengan keinginan Carla. "Ka
"Huek." Tiba-tiba perut Jessi terasa mual. Jessi segera lari menuju wastafel agar dirinya bisa segera mengeluarkan apa yang ingin keluar dari perutnya. "Jessi." Farrel sangat panik. Ia segera memijati tengkuk Jessi. "Kamu kenapa?" "Hoek." Hanya cairan saja yang keluar. Karena sejak tadi pagi, Jessi memang tidak nafsu makan. Setelah merasa lebih baik, Jessi berkumur beberapa kali untuk menghilangkan rasa tidak enak di dalam mulutnya. Setelah itu, Jessi menyempar tangan Farrel agar tidak terus memijati tengkuknya. "Apa kamu sudah merasa lebih baik?" Jessi balik badan dan menatap Farrel. Bagaimana mungkin dirinya tidak jatuh cinta pada lelaki tersebut, kalau Farrel memperlakukannya selembut ini. Bahkan sekarang Jessi bisa melihat kekhawatiran dimata Farrel. "Aku ingin pulang sekarang. Maaf, kamu makan sendiri saja ya?" Jessi mendorong Farrel agar dirinya bisa pergi. Tetapi Farrel yang tidak terima dengan perbuatan Jessi, langsung menahan tangan Jessi. "Kita anggap
"Apa ada yang lain, Bu?" tanya Yosi Febrian. Ibu kandung Jessi. "Itu ada ikan asap. Setelah beberapa minggu tidak ada barang, baru hari ini ada lagi. Itu juga karena saya ke pasar lebih pagi dari biasanya." Yosi berusaha menawarkan dagangannya. "Cukup, itu saja Bu Yosi." Yosi segera menotal semua belanjaan tetangganya tersebut. "Ini ya, Bu kembaliannya." "Terima kasih, Bu." "Sama-sama," ucap Yosi begitu ramah. Namanya juga hidup di desa dan memiliki usaha sembako seperti ini. Sebagai penjual, harus bisa memberikan rasa aman dan nyaman pada pembeli. Berharap orang sekitar tetap menjadi langganannya. "Jessi kerja di kota sudah sangat sukses ya, Bu. Sampai bisa membahagiakan orang tuanya seperti ini." Siapapun orang yang mengetahui kehidupan keluarga Jessi, pasti akan merasa tidak menyangka. Baru berapa tahun Jessi bekerja di kota, tapi sudah berhasil mengsejahterakan keluarga. Membuat sebagian orang merasa iri melihat kesuksesan keluarga Jessi. "Puji Tuhan, Bu Ilmi. Di
"Bagaimana ini?" Jessi hanya bisa menangis tertahan di dalam kamar mandi. Pagi ini, Jessi sengaja bangun lebih awal dari biasanya. Dirinya harus memastikan sekali lagi apakah dirinya benar hamil atau tidak. Sisa alat tes kehamilan secara bersamaan Jessi masukkan ke dalam air seni yang sudah Jessi tampung. Berharap Jessi bisa mendapatkan hasil yang berbeda dari pada yang kemarin. Namun, semua hanya tinggal harapan. Karena sekarang Jessi melihat sendiri kalau semua alat menunjukkan hasil bahwa dirinya positif hamil. Jessi tidak tahu lagi apa yang harus ia lakukan. Mau meminta pertanggung jawaban Farrel juga sepertinya Farrel tidak akan mau. "Aku tahu aku salah, Tuhan. Tapi kenapa Engkau hadirkan dia sekarang. Aku tidak tahu harus apa. Aku takut." * Semalaman suntuk, Farrel tidak bisa tidur. Lelaki tersebut sepertinya sangat terusik dengan pernyataan perasaan Jessi. Farrel merasa nyaman dengan Jessi. Namun, rasa itu Farrel maknai karena Jessi yang bertugas memenuhi has
"Usia kehamilannya sudah 8 minggu. Janinnya juga sangat kuat," ucap dokter setelah melakukan pemeriksaan. Jessi menunduk dalam. Gadis tersebut rasanya ingin kembali menangis. Namun, ia harus menahan diri. "Ini saya resepkan obat pereda mual muntahnya dan juga vitamin yang baik untuk kandungannya." "Saya takut, Dokter!" Jessi bicara begitu pelan. Dokter kandungan tersebut mendekati Jessi. Jika melihat usia, gadis tersebut sepantaran dengan anaknya. "Apa yang Nona Jessi takutkan?" "Saya harus bagaimana setelah ini, Dokter." "Minta pertanggung jawaban dari ayah janin. Jangan pernah berpikir untuk menghilangkannya. Setelah membuat kesalahan, jangan membuat kesalahan yang lain. Bertanggung jawablah terhadap perbuatan kalian, Nak." Bagaimana mungkin Jessi mau meminta pertanggung jawaban Farrel, kalau Farrel sendiri sudah memiliki calon istri. Selain itu, Jessi cukup sadar diri siapa dirinya. Setelah menebus obat, Jessi kembali memesan ojek untuk segera pulang ke kos.
2 tahun yang lalu. "Kamu adalah anak satu-satunya Papa dan mama, Farrel. Jadi kamu harus menurut dengan perintah Papa!" ucap Regan Gevariel begitu tegas. "Tapi, Pa!" Farrel memberikan tatapan tidak terima. "Zaman sudah modern, Pa. Bagaimana mungkin Papa dan Mama mau menjodohkan aku. Pokoknya aku tidak mau," tolaknya begitu tegas. Farrel tidak habis pikir dengan pemikiran kedua orang tuanya. Hanya karena dimasa lalu orang tua Dania sudah membantu mereka saat dalam masalah, jadi sekarang dirinya yang harus balas budi. Ini jelas tidak adil. "Kalau kamu mau mewarisi semua harta orang tuamu, maka kamu harus menikah dengan Dania, titik. Papa dan mama hanya akan merestui pernikahanmu jika perempuan itu adalah Dania." Setelah perdebatan malam itu, Farrel banyak berpikir hingga memberikan keputusan. Farrel akan menikah dengan Dania. Setelah semua harta sudah dialihkan menjadi atas namanya, maka Farrel akan bertindak sesuai keinginannya. Farrel mengambil keputusan tersebut bukan
Sampai kapanpun, hal utama yang akan Farrel perjuangkan adalah mendapatkan seluruh harta warisan kedua orang tuanya. Setelah semuanya sudah dalam genggamannya, Farrel akan melakukan hal apapun sesuka hatinya. Farrel terkejut dengan kabar yang baru saja disampaikan oleh Jessi. Perasaannya tidak menentu. Namun, pikiran Farrel terus kembali pada tujuan utamanya. Farrel hanya bisa mengepalkan tangannya erat. Ada rasa kasihan melihat wajah Jessi. Namun, dirinya tidak ingin mengambil resiko lebih dari ini. Langkahnya tinggal sedikit lagi. Semuanya bisa hancur jika semua ini diketahui kedua orang tuanya. "Bukankah sejak awal, kita membuat kesepakatan untuk saling menguntungkan?" "Tunggu dulu, Farrel!" Rasanya Jessi tidak mampu mendengar ucapan Farrel selanjutnya. "Aku akan mengurus cuti kerjamu. Aku tidak bisa mengantarmu, Jessi!" Farrel tidak bisa mengatakan pada Jessi kalau Dania sudah datang. "Gugurkan kandunganmu, setelah itu istirahatlah dulu." Jessi tidak kuasa lagi mena
"Maaf, karena aku ingkar janji. Lain kali, aku akan ajak kamu pergi ke tempat yang aku janjikan malam ini," ucap Farrel begitu mobilnya sudah sampai di depan rumah Dania. "Tidak apa-apa, Farrel. Kesehatan itu nomor satu." Dania berusaha untuk pengertian. Karena tadi Farrel mengatakan sedang pusing. "Begitu sampai rumah, segera istirahat. Jangan lupa kabari aku." Dengan sangat lembut, Dania mengusap wajah Farrel. "Ok!" Dania hanya bisa menghelakan nafasnya yang terasa kesal. Ia merasa ada sesuatu yang aneh dari diri Farrel. "Apakah dia menyembunyikan sesuatu?" gumam Dania menerka. Tidak lama kemudian, Dania menggelengkan kepalanya. "Tidak mungkin. Aku tidak boleh berpikir negatif tentangnya. Aku ini tunangannya. Boleh dibilang aku juga pacar pertamanya. Meski kami dijodohkan, aku yakin dia hanya mencintai aku." Dania berusaha membuang keresahan hatinya. Setelah sedikit merasa tenang, dirinya segera memasuki rumah. Ia harus terlihat happy agar kedua orang tuanya tidak berpi
"Eh, Papa!" Baru beberapa langkah Farrel meninggalkan ruang kerjanya. Namun, sekarang ia harus berhenti karena bertemu dengan Regan. "Mau kemana kamu?" Mata tajam Regan nampak menelisik. Ia jelas sadar kalau anak tunggalnya itu terlihat buru-buru. Namun, diwajah Farrel tidak terlihat kepanikan atau hal apapun yang mengkhawatirkan. "Mau pulang, Pa. Kerjaanku sudah selesai." "Kerumah atau keapartemen?" Farrel memang sudah terbiasa tinggal diapartemen. Terutama setelah bercerai. Tentunya untuk menghindari orang tua yang selalu menuntutnya untuk segera menikah. Hanya saja, Regan dan Carla tahunya apartemen Farrel sudah pindah. "Tentu keapartemen, Pa. Aku pulang duluan." "Bukankah sejak kemarin dia terlihat aneh?" gumam Regan. "Wajahnya terlihat senang dan sepertiii ..." Regan jadi mengira-ngira. "Apakah dia sedang jatuh cinta? Kalau benar, semoga dia mencintai perempuan yang tepat dan tidak seperti sebelumnya." Ada rasa sesal dihati Regan karena sudah menuntut Farrel un
Semua barang Farrel sudah selesai dipindahkan ke kamar utama. Beberapa orang yang melakukan pekerjaan juga sudah meninggalkan apartemen. Tanpa bicara apa-apa lagi, Jessi meninggalkan Farrel dan langsung memasuki kamar. "Hah!" Begitu memasuki kamar, Jessi kembali menghelakan nafasnya yang terasa berat. Pandangannya mengedar, menelisik ruangan kamar. "Setidaknya kamar ini lebih baik daripada kamar utama." * Klek. "Rhona." Waktu masih pagi. Niat Jessi memasuki kamar Rhona untuk membangunkan anaknya. Selama ini, Rhona terbiasa tidur dengannya. Baru semalam saja Rhona belajar tidur sendiri hingga membuat Jessi kepikiran. Ia takut kalau Rhona tidak bisa tidur nyenyak. Semua keresahan hati Jessi sepertinya tidak terjadi. Bagaimana mungkin Rhona tidak tidur nyenyak, kalau sejak satu tahun yang lalu Rhona memang sudah ingin tidur dikamar sendiri. Apalagi sekarang kamar yang disediakan Farrel sesuai dengan selera Rhona. Namun, pagi ini Jessi dibuat terkejut karena Rhona tidak ada
Bukan waktu yang sebentar untuk Jessi menjadi teman ranjang Farrel. Memenuhi segala hal keinginan Farrel. Hingga menciptakan banyak kenangan panas dengan berbagai macam gaya. Membuat Jessi bisa memahami bagaimana Farrel. Apartemen yang menjadi saksi bisu bagaimana hangatnya hubungan Jessi dengan Farrel. Hingga membuat Jessi tertahan untuk semakin masuk keapartemen yang sangat familiar ini. Setiap sudut yang sudah memberikan kenangan. Bahkan seperti tidak ada yang berubah. Tetap rapih dan wangi dengan aroma yang sama seperti dulu. "Rhona suka tempat ini, Papa!" Rhona menghampiri Farrel dan menggenggam tangan Farrel. Jessi memejamkan mata. Dadanya terasa sesak. Namun, lagi-lagi dirinya harus menahan diri. "Emmm, Sayang. Sepertinya kita harus mencari tempat yang lain." Farrel sadar. Jessi pasti tidak nyaman dengan tempat ini. Dirinya jadi merasa bodoh karena tidak berpikir terlalu jauh. Karena selama ini, memang hanya tempat ini yang membuat Farrel merasa lebih tenang. "Ken
"Aku mau!" ucap Jessi tiba-tiba. Farrel baru saja menemani Rhona tidur siang, karena hari ini Rhona sudah selesai ujian sekolah. Begitu keluar kamar, dan Farrel baru saja sampai ruang tamu, Farrel dikejutkan dengan ucapan Jessi yang entah mau apa. "Mau apa?" Dengan bodohnya, Farrel memberikan tatapan bingung dan penuh tanya. "Aku melakukan ini untuk Rhona." Kedua tangan Jessi saling menggenggam. Ada rasa ragu, tapi Jessi berpikir kalau keputusannya ini lebih baik daripada kedepannya ia menyakiti Rhona karena egonya sendiri. "Aku mau ikut kamu kembali ke kota." Dalam sekejap, wajah Farrel berubah cerah. Hatinya merasa kalau saat ini takdir baik sedang memihak padanya. 'Aku tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini. Aku janji!' batin Farrel. Sudah beberapa hari berlalu, sejak Farrel memberikan tawaran pada Jessi. Namun, Jessi tidak juga segera memberikan keputusan. Bahkan Farrel sudah berpikir untuk menemukan cara lain agar Jessi setuju. Apapun akan Farrel lakukan
Setiap kali melihat kedekatan Rhona dengan Farrel, membuat Jessi semakin berpikir jauh. Pemikiran yang tidak menemukan titik terang. Karena Jessi tidak memiliki ide cara untuk membuat Rhona jauh dari Farrel. Melihat kebahagiaan Rhona, membuat hati Jessi senang. Namun, saat melihat Farrel, rasa sakit hati itu seperti terasa kembali. Beberapa hari terakhir ini, meski Farrel ikut bermalam dirumah kontrakan Jessi, tapi Farrel sering tidur di dalam mobil. Biar bagaimanapun, Farrel berusaha menghargai Jessi yang selalu uring-uringan setiap kali bersama dengannya. Setiap hari, Farrel selalu mengantar jemput Rhona sekolah. Terkadang menggunakan mobil, terkadang juga menggunakan motor. Sesuai inginnya Rhona saja. Karena Farrel hanya ingin menuruti segala hal yang diinginkan Rhona. Setiap pulang sekolah, dan Rhona sudah istirahat siang, Farrel selalu bersepeda dengan Rhona. Seperti keinginan Rhona, Farrel akan lari mengejar Rhona menggoes sepedanya. Atau terkadang mereka bersepeda b
"Ada apa?" Baru saja Farrel akan terlelap setelah memastikan Rhona nyenyak tidur di atas tubuhnya. Kini dirinya terusik karena Jessi berusaha menyingkirkan pelukannya pada tubuh Rhona. "Rhona sudah tidur, jadi aku mau memindahkannya ke dalam kamar. Setelah itu, pergilah dari rumah ini." Meski suara Jessi pelan. Namun, Jessi tetap menekan Farrel agar menjauh dari hidupnya dan Rhona. Farrel bangun perlahan. Mana mungkin ia mau membiarkan Jessi menggendong Rhona seorang diri. Sekalipun Rhona sudah lelap, Farrel tidak ingin perdebatannya dengan Jessi berada diantara Rhona. Segera Farrel memindahkan Rhona ke dalam kamar. "Pergi sejauh mungkin dari hidup kami. Soal Rhona, aku bisa mengurus semuanya!" Jessi berucap demikian seolah melupakan kalau baru saja Rhona sakit karena mencari keberadaan Farrel. "Apa yang bisa aku lakukan buat kamu, agar kamu beri aku kesempatan? Aku ingin memberikan kasih sayangku, dan juga identitas untuk Rhona." Farrel terdiam sesaat sambil menatap
"Papaaa ..." panggil Rhona. Wajah gadis tersebut terlihat begitu ceria. "Iya, Sayang." 'Sayang-sayang! Sayang dari mananya?' batin Jessi kesal. Tatapannya bahkan tersirat kemarahan pada Farrel. Apalagi sekarang Rhona nampak bergelayut manja. Namun, tidak lama kemudian hati Jessi seperti luluh. Merasa melihat kebahagiaan yang diperlihatkan Rhona tidak seperti biasanya. 'Aku cemburu,' batin Bagas. Biasanya Rhona selalu memanggil Bagas dengan suaranya yang cempreng. Namun, sekarang suara menggemaskan itu tidak tertuju untuk dirinya lagi. 'Tapi ini adalah keputusan yang tepat. Aku harap, kamu dan Rhona segera mendapatkan kebahagiaan yang sesungguhnya,' batin Bagas tulus. "Selamat siang," sapa Ambar yang baru saja datang bersama dengan Ningrum. "Selamat siang," ucap semua orang yang ada di sana. "Nenek Ambar." "Bagaimana keadaan Rhona sekarang?" "Rhona sehat, Nek. Teman Rhona punya ayah, sekarang Rhona punya papa, Nek!" Rhona begitu semangat memberitahukan apa ya
"Mas!" Jessi meraih tangan Bagas. "Saya tidak berniat kembali padanya. Sebenarnya saya dan dia ..." ucapan Jessi terhenti. Hatinya kembali menolak untuk memberitahu orang lain terkait hubungannya dengan Farrel. Karena pada akhirnya berkaitan dengan Rhona. "Terkadang hati dan mulut itu memberikan pernyataan yang berbeda, Jessi. Coba tanyakan pada dirimu sendiri. Ini berkaitan dengan Rhona. Kalaupun kedepannya kamu memilih mengakhiri pernikahanmu dengan suamimu, maka jangan memaksa diri untuk bersamaku. Aku tidak mau terlibat dalam kisah kalian bertiga. Karena aku lebih mementingkan perasaan Rhona." Jessi melepaskan genggamannya pada Bagas. "Terima kasih karena Mas sudah sangat menyayangi Rhona begitu tulus. Saya pasti tidak akan punya muka kalau nanti ibu datang dan bertemu dengannya." "Saya belum memberitahu ibu soal hubungan singkat kita yang baru berakhir. Karena sejak awal, saya tahu ini akan berakhir seperti apa. Kamu tenang saja. Sekarang pikirkan kebahagiaanmu dan juga Rh
"Mas." Waktu sudah pagi. Semalaman Jessi dibuat kebingungan sendiri. Beruntungnya di desa ini sudah ada klinik yang buka 24 jam. Sehingga Jessi nekat membawa Rhona keklinik dengan mengendarai motor. Sekarang Jessi dibuat terkejut akan kedatangan Bagas. Lelaki yang datang seorang diri sambil membawakan rantang. Sudah pasti itu sarapan yang dipersiapkan Ambar untuk dirinya. "Saya terkejut saat tahu kabar kalau tengah malam kamu membawa Rhona ke sini seorang diri. Kenapa tidak memanggil saya dulu?" Wajah Bagas nampak sekali khawatir. Ia meletakkan rantang di atas nakas. "Semalam saya sangat panik, Mas. Apalagi suhu tubuhnya hampir 40°. Yang saya pikirkan semalam hanya Rhona segera dapat portolongan. Bodohnya saya juga tidak menyimpan obat penurun panas dirumah." "Tapi sekarang suhu tubuhnya sudah turunkan?" Bagas menyentuh kening Rhona perlahan. Ia takut mengusik Rhona yang masih lelap. "Syukurnya sudah, Mas." "Itu ibu buatkan sarapan buat kamu. Makan dulu. Kamu harus