Seorang gadis bernama Jessica Jill mengambil bekal makan siangnya. Ia segera menuju bagian atas gedung perusahaan tempatnya bekerja.
Tidak semua karyawan bisa mengakses, bagian atas gedung. Gadis yang akrab di sapa Jessi itu bisa ke sana karena ia bekerja sebagai Office Girl. Padahal di perusahaan tersebut sudah tersedia pantry dan bisa di gunakan oleh seluruh karyawan. Jika sudah waktunya makan, Jessi memang lebih nyaman sendirian seperti ini. Terus terang saja, Jessi sering kali minder jika dirinya mau makan bersama dengan karyawan lainnya. Bersama teman Office Girlnya saja Jessi minder. Apalagi jika mau bersama dengan karyawan yang memiliki jabatan tertentu. Begitu duduk di tempat yang nyaman, Jessy segera membuka kantong plastiknya. Baru saja Jessy akan membuka tempat makannya, Jessy dibuat terkejut karena merasakan getaran ponsel. "Ibu," gumamnya saat menatap layar ponsel. Segera Jessi menerima panggilan suara tersebut. "Halo, Bu." "Jessi sedang apa, Nak?" tanya perempuan yang bernama Yosi Febrian. "Jessi sedang istirahat, Bu." "Jessi, kalau ponselmu masih bisa digunakan, tidak perlu beli dulu ya, Nak!" Baru saja Jessi ingin menikmati suapan pertamanya, tapi sekarang Jessi meletakkan sendoknya begitu saja. "Kenapa, Bu?" "Hutang ayahmu sudah jatuh tempo. Sedangkan Ibu sama ayah belum punya uang. Adik-adikmu juga sudah pada minta sepatu, Jess. Sepatu mereka sudah sempit. Tas mereka juga sudah mau jebol." Jessi hanya bisa menunduk dalam dan menahan air matanya. Padahal sudah sejak bulan lalu Jessi mengatakan kalau bulan ini dirinya tidak akan mengirimi uang ke orang tuanya. Karena Jessi ingin membeli ponsel baru. Tapi apa yang dia dengar sekarang? "Iya, Bu. Besok kalau sudah gajian, Jessi pasti cepat kirim uang. Sudah dulu ya, Bu. Waktu istirahat sudah mau habis." Begitu sambungan suara itu sudah terputus, Jessi menangis untuk melepaskan segala beban pikirannya. "Kenapa semuanya harus dibebankan padaku?" Jessi menangis sesenggukan. Karena ia pikir, tidak ada orang lain di atap gedung ini. Jessi adalah gadis yang berlatar belakang pendidikan SMA. Sebagai seorang anak, sebenarnya Jessi ingin sekali melanjutkan pendidikan seperti kebanyakan teman sekolahnya. Namun, Jessi harus mengubur mimpinya karena kedua orang tuanya justru memintanya untuk bekerja dan membantu memenuhi kebutuhan rumah beserta yang lainnya. Sudah 1 tahun ini Jessi bekerja di PT Variels Cling Cleaning. Selama itu, sebagian besar gaji Jessi digunakan untuk membayar hutang orang tua dan memenuhi kebutuhan kedua adiknya. Sehari-harinya saat akan berangkat kerja, Jessy selalu menggunakan kendaraan umum yang lebih terjangkau. Bahkan ia juga makan seadanya. Sampai saat ini, sudah banyak hal yang Jessi tahan. Seperti gadis pada umumnya, tentu Jessi juga ingin memiliki sesuatu hal pribadi untuk menyenangkan diri sendiri. "Kenapa semuanya jadi dilimpahkan ke aku? Aku juga ingin membeli kebutuhanku sendiri." Setelah tenang, Jessi kembali menutup tempat bekal makan siangnya yang hanya berisi nasi dan sebutir telur rebus. Nafsu makannya sudah hilang. Selain itu, waktu istirahat juga sudah hampir habis. "Jessi?" gumam seorang lelaki yang sejak tadi mengintip sekaligus menguping semua keluh kesah perasaan Jessi. * "Selamat siang, Pak Farrel!" salam sapa hormat ketua bagian OB dan OG. Rasanya baru kali ini anak pemilik perusahaan datang langsung untuk menemui seluruh karyawan kebersihan bagian ini. "Siang." Lelaki yang bernama Farrel Gevariel itu melihat semua karyawan yang berdiri dengan begitu rapih. Farrel berusaha memilih satu orang yang akan bertugas khusus di ruang kerjanya. Karena OB sebelumnya sedang cuti kerja karena 2 hari yang lalu mengalami kecelakaan. "Mulai hari ini, kamu yang bertugas membersihkan ruang kerja saya," ucap Farrel begitu tegas, sambil menunjuk salah satu orang. "Eh! Sa-saya, Pak?" Jessi sampai tergagap dan juga tidak percaya. "Kamu pikir saya sedang menunjuk siapa? Saya mau meeting sekarang. Ruangan saya harus sudah bersih sebelum saya kembali." Setelah berucap demikian, lelaki yang terkenal cukup galak itu langsung pergi. Membuat semua karyawan saling menatap dan menghelakan nafas lega sambil mengusap dada. Tentu kecuali Jessi. "Pak, ini serius saya yang harus membersihkan ruangan pak Farrel setiap hari?" tanya Jessi. Ia belum percaya dengan tugas barunya. "Benar sekali," jawab kepala bagian sambil mengacungkan kedua jempolnya. "Utamakan ruangan pak Farrel dulu. Baru kamu bisa mengerjakan yang lainnya. Kamu harus cepat tanggap setiap kali pak Farrel membutuhkan kamu." Semua orang juga tahu, kalau OB sebelumnya adalah karyawan yang paling lama bertugas di ruangan Farrel. "Sudah, jangan mengeluh. Cepat kerja sana. Asal kamu tahu, ini pertama kalinya pak Farrel memilih sendiri karyawan kebersihan untuk di ruangannya." "Tapi, Pak!" Jessi memperlihatkan wajah memelasnya. Belum apa-apa saja, Jessi sudah takut sendiri. "Kamu hanya perlu menurut saja dengan perintah pak Farrel. Dan jangan sampai membuat kesalahan. Kalau beliau merasa tidak cocok dengan kinerjamu, pasti beliau akan menggantimu." * Ini sudah menjadi minggu kedua Jessi membersihkan ruangan kerja Farrel. Jessi sangat bersyukur, karena 1 minggu kemarin, Farrel tidak pernah protes dengan pekerjaannya. Jessi berusaha cepat tanggap, karena ia takut kalau sampai membuat Farrel marah dan membuatnya di pecat. Zaman sekarang, mencari pekerjaan bukanlah hal yang mudah. Maka Jessi tidak mau menyia-nyiakan jalan hidupnya yang begitu penting ini. "Silahkan minumannya, Pak!" Jessi menyodorkan segelas minuman hangat yang Farrel minta. "Apa ada pekerjaan lain yang harus saya lakukan lagi, Pak?" "Duduklah! Aku mau bicara sama kamu." 'Aku? Apa aku tidak salah dengar?' batin Jessi diiringi perasaan yang berkecamuk di dada. Jessi takut kalau dirinya sudah melakukan kesalahan. Jessi justru tercengang menatap Farrel. Ia jadi merasa kalau Farrel sedang berusaha mengakrabkan diri. "Kamu tidak dengar ucapanku tadi?" "Ma-maaf, Pak!" Gertakan Farrel membuat Jessi terkejut dan langsung duduk di sofa. Sedangkan Farrel menghirup aroma kopi susu. Setelah itu, Farrel menyesap minuman tersebut. "Aku butuh seseorang untuk melakukan pekerjaan di apartemenku. Apa kamu bersedia?" tawar Farrel tanpa basa-basi. "Apa, Pak?" Bukannya tidak dengar, hanya saja Jessi terkejut. Dirinya sudah bekerja seharian di kantor, tapi sepertinya Farrel akan menambah pekerjaannya. "Tentunya aku akan memberimu uang di luar gajimu di kantor ini. Kamu hanya cukup membersihkan apartemenku dan menyiapkan makanan jika aku ingin." Farrel menggerakkan jemarinya karena melihat reaksi wajah Jessi yang nampaknya tertarik. "Dan tentunya pekerjaan lain yang aku mau darimu. Tertarik?" "Saya mau, Pak!" Tanpa pikir panjang, karena bagi Jessi dirinya akan mendapatkan uang lebih. "Saya jelas bisa bersih-bersih. Saya juga bisa memasak, asal Bapak tidak meminta saya untuk memasak yang aneh-aneh." Farrel tersenyum tipis dan tersimpan makna terpendam. Tanpa Jessi sadari, Farrel memperhatikan Jessi dari atas hingga ke bawah. "Sebentar lagi sudah waktunya pulang. Jika pekerjaanmu sudah selesai, tunggu aku di basement. Kita ke apartemen sekarang.""Eh! Langsung kerja hari ini juga, Pak?" - Sudah 30 menit Jessi menunggu Farrel di basement. Tapi batang hidung lelaki calon pemimpin perusahaan ini belum juga menampakkan diri. Sebagian karyawan sudah mulai mengambil kendaraan mereka yang terparkir untuk segera pulang. Sejak tadi pula Jessi mendapatkan tatapan aneh dari karyawan yang melaluinya. 'Pak Farrel lama sekali sih?' gerutunya dalam hati. 'Apakah anak pemilik perusahaan memang selalu pulang terakhir seperti ini?' "Ikuti aku." Untuk sesaat, Jessi mematung. Ia terkejut karena Farrel mencolek pinggangnya. Perasaan Jessi menjadi tidak enak. Namun, ia berusaha berfikir positif, demi uang tambahan dari pekerjaan sampingannya nanti. "Ayo masuk," perintah Farrel yang sudah berada di dalam mobil, dan baru saja membukakan pintu mobil untuk Jessi. Jessi segera masuk. Bahkan ia juga sempat terkejut saat Farrel mendekat untuk membantunya menggunakan sabuk pengaman. Ini pertama kalinya, Jessi menumpangi mobil mewah. Ha
Semalaman suntuk, Jessi tidak bisa tidur. Selain dirinya merasakan raga yang tiada harga karena sudah disentuh Farrel sesuka hati. Namun, Jessi juga sedang memikirkan segala tawaran Farrel. Keteguhan hati Jessi mulai goyah. Pikirannya sudah mulai memperkirakan kalau Farrel benar-benar akan menepati janji, jika dirinya bersedia menerima tawaran Farrel. Namun, di sisi hati yang lain, Jessi merasa takut. "Aku harus bagaimana?" Jessi mengusap wajahnya. Membayangkan jika dirinya memilih keluar dari pekerjaan. Namun, setelah itu dirinya mau kerja apa. Sedangkan mencari pekerjaan di kota ini tetap membutuhkan modal. Uanganya juga sudah pas-pasan untuk menyambung hidup hingga menunggu gajian selanjutnya. Belum lagi, mendapatkan pekerjaan dengan tempat yang pas dan gaji yang bisa dikatakan cukup seperti saat ini, bukanlah hal yang mudah. Hingga waktu sudah pagi. Jessi sudah berada di perusahaan dan sudah melakukan tugas pertamanya untuk membersihkan ruang kerja Farrel. "Kamu sakit,
"Bu, bulan ini sepertinya Jessi tidak bisa kirim uang. Karena Jessi punya kebutuhan sendiri," terang Jessi setelah beberapa saat terhubung panggilan suara dengan ibunya. "Iya! Tidak apa-apa, Jessi. Uang dari warung juga pendapatannya lumayan. Cukup untuk kebutuhan sehari-hari dan juga kebutuhan adik-adikmu." "Syukurlah." Sudah hampir 1 tahun ini Jessi menjadi penghibur Farrel di atas ranjang. Farrel benar-benar menepati janji. 1 bulan pertama, Jessi diberikan ponsel baru dan juga uang. Bulan kedua, Farrel memberikan uang untuk melunasi hutang-hutang kedua orang tuanya. Bulan ketiga, Farrel memberikan uang untuk keperluan sekolah adiknya agar dipenuhi sampai lulus. Dan bulan selanjutnya, Farrel memberikan uang untuk renovasi rumah. Selain rumah, sekarang kedua orang tuanya juga memiliki warung sembako yang sudah mulai berkembang. Begitu juga tanah yang bisa digunakan ayah Jessi untuk berkebun. Sesuai dengan saran Farrel, mulai bulan ini Jessi akan berusaha untuk tidak men
Farrel menatap Jessi dan menahan rasa paniknya. Apalagi sekarang Carla terlihat menuntut jawaban. "Mama tahu sendiri kalau dia yang bertugas khusus membersihkan ruangan Farrel. Abaikan saja dia, Ma. Oh iya, jadi bagaimana dengan Dania?" Farrel berusaha mengalihkan topik pembicaraan, agar Carla tidak mendesak dirinya dan juga Jessi. Perasaan inilah yang selalu Jessi rasakan. Jika sedang butuh, Farrel selalu menuntutnya untuk dipenuhi apapun kemauannya. Namun, jika hampir ketahuan, maka dirinya hanya akan dianggap seperti perempuan tiada guna. Jessi sadar dengan segala kesepakatan mereka dulu. Namun, perasaan cinta yang Jessi pendam tidak bisa memungkiri hati yang terluka. "Karena pekerjaan saya sudah selesai, saya permisi, Pak!" "Tunggu dulu!" sentak Carla. "Apa kamu lupa dengan tugasmu setiap kali aku datang ke sini." "Saya minta maaf, Bu." Jessi segera melakukan tugasnya. Tanpa perlu bertanya apa yang ingin Carla minum, Jessi sudah sangat paham dengan keinginan Carla.
"Huek." Tiba-tiba perut Jessi terasa mual. Jessi segera lari menuju wastafel agar dirinya bisa segera mengeluarkan apa yang ingin keluar dari perutnya. "Jessi." Farrel sangat panik. Ia segera memijati tengkuk Jessi. "Kamu kenapa?" "Hoek." Hanya cairan saja yang keluar. Karena sejak tadi pagi, Jessi memang tidak nafsu makan. Setelah merasa lebih baik, Jessi berkumur beberapa kali untuk menghilangkan rasa tidak enak di dalam mulutnya. Setelah itu, Jessi menyempar tangan Farrel agar tidak terus memijati tengkuknya. "Apa kamu sudah merasa lebih baik?" Jessi balik badan dan menatap Farrel. Bagaimana mungkin dirinya tidak jatuh cinta pada lelaki tersebut, kalau Farrel memperlakukannya selembut ini. Bahkan sekarang Jessi bisa melihat kekhawatiran dimata Farrel. "Aku ingin pulang sekarang. Maaf, kamu makan sendiri saja ya?" Jessi mendorong Farrel agar dirinya bisa pergi. Tetapi Farrel yang tidak terima dengan perbuatan Jessi, langsung menahan tangan Jessi. "Kita anggap