Seorang gadis bernama Jessica Jill mengambil bekal makan siangnya. Ia segera menuju bagian atas gedung perusahaan tempatnya bekerja.
Tidak semua karyawan bisa mengakses, bagian atas gedung. Gadis yang akrab di sapa Jessi itu bisa ke sana karena ia bekerja sebagai Office Girl. Padahal di perusahaan tersebut sudah tersedia pantry dan bisa di gunakan oleh seluruh karyawan. Jika sudah waktunya makan, Jessi memang lebih nyaman sendirian seperti ini. Terus terang saja, Jessi sering kali minder jika dirinya mau makan bersama dengan karyawan lainnya. Bersama teman Office Girlnya saja Jessi minder. Apalagi jika mau bersama dengan karyawan yang memiliki jabatan tertentu. Begitu duduk di tempat yang nyaman, Jessy segera membuka kantong plastiknya. Baru saja Jessy akan membuka tempat makannya, Jessy dibuat terkejut karena merasakan getaran ponsel. "Ibu," gumamnya saat menatap layar ponsel. Segera Jessi menerima panggilan suara tersebut. "Halo, Bu." "Jessi sedang apa, Nak?" tanya perempuan yang bernama Yosi Febrian. "Jessi sedang istirahat, Bu." "Jessi, kalau ponselmu masih bisa digunakan, tidak perlu beli dulu ya, Nak!" Baru saja Jessi ingin menikmati suapan pertamanya, tapi sekarang Jessi meletakkan sendoknya begitu saja. "Kenapa, Bu?" "Hutang ayahmu sudah jatuh tempo. Sedangkan Ibu sama ayah belum punya uang. Adik-adikmu juga sudah pada minta sepatu, Jess. Sepatu mereka sudah sempit. Tas mereka juga sudah mau jebol." Jessi hanya bisa menunduk dalam dan menahan air matanya. Padahal sudah sejak bulan lalu Jessi mengatakan kalau bulan ini dirinya tidak akan mengirimi uang ke orang tuanya. Karena Jessi ingin membeli ponsel baru. Tapi apa yang dia dengar sekarang? "Iya, Bu. Besok kalau sudah gajian, Jessi pasti cepat kirim uang. Sudah dulu ya, Bu. Waktu istirahat sudah mau habis." Begitu sambungan suara itu sudah terputus, Jessi menangis untuk melepaskan segala beban pikirannya. "Kenapa semuanya harus dibebankan padaku?" Jessi menangis sesenggukan. Karena ia pikir, tidak ada orang lain di atap gedung ini. Jessi adalah gadis yang berlatar belakang pendidikan SMA. Sebagai seorang anak, sebenarnya Jessi ingin sekali melanjutkan pendidikan seperti kebanyakan teman sekolahnya. Namun, Jessi harus mengubur mimpinya karena kedua orang tuanya justru memintanya untuk bekerja dan membantu memenuhi kebutuhan rumah beserta yang lainnya. Sudah 1 tahun ini Jessi bekerja di PT Variels Cling Cleaning. Selama itu, sebagian besar gaji Jessi digunakan untuk membayar hutang orang tua dan memenuhi kebutuhan kedua adiknya. Sehari-harinya saat akan berangkat kerja, Jessy selalu menggunakan kendaraan umum yang lebih terjangkau. Bahkan ia juga makan seadanya. Sampai saat ini, sudah banyak hal yang Jessi tahan. Seperti gadis pada umumnya, tentu Jessi juga ingin memiliki sesuatu hal pribadi untuk menyenangkan diri sendiri. "Kenapa semuanya jadi dilimpahkan ke aku? Aku juga ingin membeli kebutuhanku sendiri." Setelah tenang, Jessi kembali menutup tempat bekal makan siangnya yang hanya berisi nasi dan sebutir telur rebus. Nafsu makannya sudah hilang. Selain itu, waktu istirahat juga sudah hampir habis. "Jessi?" gumam seorang lelaki yang sejak tadi mengintip sekaligus menguping semua keluh kesah perasaan Jessi. * "Selamat siang, Pak Farrel!" salam sapa hormat ketua bagian OB dan OG. Rasanya baru kali ini anak pemilik perusahaan datang langsung untuk menemui seluruh karyawan kebersihan bagian ini. "Siang." Lelaki yang bernama Farrel Gevariel itu melihat semua karyawan yang berdiri dengan begitu rapih. Farrel berusaha memilih satu orang yang akan bertugas khusus di ruang kerjanya. Karena OB sebelumnya sedang cuti kerja karena 2 hari yang lalu mengalami kecelakaan. "Mulai hari ini, kamu yang bertugas membersihkan ruang kerja saya," ucap Farrel begitu tegas, sambil menunjuk salah satu orang. "Eh! Sa-saya, Pak?" Jessi sampai tergagap dan juga tidak percaya. "Kamu pikir saya sedang menunjuk siapa? Saya mau meeting sekarang. Ruangan saya harus sudah bersih sebelum saya kembali." Setelah berucap demikian, lelaki yang terkenal cukup galak itu langsung pergi. Membuat semua karyawan saling menatap dan menghelakan nafas lega sambil mengusap dada. Tentu kecuali Jessi. "Pak, ini serius saya yang harus membersihkan ruangan pak Farrel setiap hari?" tanya Jessi. Ia belum percaya dengan tugas barunya. "Benar sekali," jawab kepala bagian sambil mengacungkan kedua jempolnya. "Utamakan ruangan pak Farrel dulu. Baru kamu bisa mengerjakan yang lainnya. Kamu harus cepat tanggap setiap kali pak Farrel membutuhkan kamu." Semua orang juga tahu, kalau OB sebelumnya adalah karyawan yang paling lama bertugas di ruangan Farrel. "Sudah, jangan mengeluh. Cepat kerja sana. Asal kamu tahu, ini pertama kalinya pak Farrel memilih sendiri karyawan kebersihan untuk di ruangannya." "Tapi, Pak!" Jessi memperlihatkan wajah memelasnya. Belum apa-apa saja, Jessi sudah takut sendiri. "Kamu hanya perlu menurut saja dengan perintah pak Farrel. Dan jangan sampai membuat kesalahan. Kalau beliau merasa tidak cocok dengan kinerjamu, pasti beliau akan menggantimu." * Ini sudah menjadi minggu kedua Jessi membersihkan ruangan kerja Farrel. Jessi sangat bersyukur, karena 1 minggu kemarin, Farrel tidak pernah protes dengan pekerjaannya. Jessi berusaha cepat tanggap, karena ia takut kalau sampai membuat Farrel marah dan membuatnya di pecat. Zaman sekarang, mencari pekerjaan bukanlah hal yang mudah. Maka Jessi tidak mau menyia-nyiakan jalan hidupnya yang begitu penting ini. "Silahkan minumannya, Pak!" Jessi menyodorkan segelas minuman hangat yang Farrel minta. "Apa ada pekerjaan lain yang harus saya lakukan lagi, Pak?" "Duduklah! Aku mau bicara sama kamu." 'Aku? Apa aku tidak salah dengar?' batin Jessi diiringi perasaan yang berkecamuk di dada. Jessi takut kalau dirinya sudah melakukan kesalahan. Jessi justru tercengang menatap Farrel. Ia jadi merasa kalau Farrel sedang berusaha mengakrabkan diri. "Kamu tidak dengar ucapanku tadi?" "Ma-maaf, Pak!" Gertakan Farrel membuat Jessi terkejut dan langsung duduk di sofa. Sedangkan Farrel menghirup aroma kopi susu. Setelah itu, Farrel menyesap minuman tersebut. "Aku butuh seseorang untuk melakukan pekerjaan di apartemenku. Apa kamu bersedia?" tawar Farrel tanpa basa-basi. "Apa, Pak?" Bukannya tidak dengar, hanya saja Jessi terkejut. Dirinya sudah bekerja seharian di kantor, tapi sepertinya Farrel akan menambah pekerjaannya. "Tentunya aku akan memberimu uang di luar gajimu di kantor ini. Kamu hanya cukup membersihkan apartemenku dan menyiapkan makanan jika aku ingin." Farrel menggerakkan jemarinya karena melihat reaksi wajah Jessi yang nampaknya tertarik. "Dan tentunya pekerjaan lain yang aku mau darimu. Tertarik?" "Saya mau, Pak!" Tanpa pikir panjang, karena bagi Jessi dirinya akan mendapatkan uang lebih. "Saya jelas bisa bersih-bersih. Saya juga bisa memasak, asal Bapak tidak meminta saya untuk memasak yang aneh-aneh." Farrel tersenyum tipis dan tersimpan makna terpendam. Tanpa Jessi sadari, Farrel memperhatikan Jessi dari atas hingga ke bawah. "Sebentar lagi sudah waktunya pulang. Jika pekerjaanmu sudah selesai, tunggu aku di basement. Kita ke apartemen sekarang.""Eh! Langsung kerja hari ini juga, Pak?" - Sudah 30 menit Jessi menunggu Farrel di basement. Tapi batang hidung lelaki calon pemimpin perusahaan ini belum juga menampakkan diri. Sebagian karyawan sudah mulai mengambil kendaraan mereka yang terparkir untuk segera pulang. Sejak tadi pula Jessi mendapatkan tatapan aneh dari karyawan yang melaluinya. 'Pak Farrel lama sekali sih?' gerutunya dalam hati. 'Apakah anak pemilik perusahaan memang selalu pulang terakhir seperti ini?' "Ikuti aku." Untuk sesaat, Jessi mematung. Ia terkejut karena Farrel mencolek pinggangnya. Perasaan Jessi menjadi tidak enak. Namun, ia berusaha berfikir positif, demi uang tambahan dari pekerjaan sampingannya nanti. "Ayo masuk," perintah Farrel yang sudah berada di dalam mobil, dan baru saja membukakan pintu mobil untuk Jessi. Jessi segera masuk. Bahkan ia juga sempat terkejut saat Farrel mendekat untuk membantunya menggunakan sabuk pengaman. Ini pertama kalinya, Jessi menumpangi mobil mewah. Ha
Semalaman suntuk, Jessi tidak bisa tidur. Selain dirinya merasakan raga yang tiada harga karena sudah disentuh Farrel sesuka hati. Namun, Jessi juga sedang memikirkan segala tawaran Farrel. Keteguhan hati Jessi mulai goyah. Pikirannya sudah mulai memperkirakan kalau Farrel benar-benar akan menepati janji, jika dirinya bersedia menerima tawaran Farrel. Namun, di sisi hati yang lain, Jessi merasa takut. "Aku harus bagaimana?" Jessi mengusap wajahnya. Membayangkan jika dirinya memilih keluar dari pekerjaan. Namun, setelah itu dirinya mau kerja apa. Sedangkan mencari pekerjaan di kota ini tetap membutuhkan modal. Uangnya juga sudah pas-pasan untuk menyambung hidup hingga menunggu gajian selanjutnya. Belum lagi, mendapatkan pekerjaan dengan tempat yang pas dan gaji yang bisa dikatakan cukup seperti saat ini, bukanlah hal yang mudah. Hingga waktu sudah pagi. Jessi sudah berada di perusahaan dan sudah melakukan tugas pertamanya untuk membersihkan ruang kerja Farrel. "Kamu sakit, J
"Bu, bulan ini sepertinya Jessi tidak bisa kirim uang. Karena Jessi punya kebutuhan sendiri," terang Jessi setelah beberapa saat terhubung panggilan suara dengan ibunya. "Iya! Tidak apa-apa, Jessi. Uang dari warung juga pendapatannya lumayan. Cukup untuk kebutuhan sehari-hari dan juga kebutuhan adik-adikmu." "Syukurlah." Sudah hampir 1 tahun ini Jessi menjadi penghibur Farrel di atas ranjang. Farrel benar-benar menepati janji. 1 bulan pertama, Jessi diberikan ponsel baru dan juga uang. Bulan kedua, Farrel memberikan uang untuk melunasi hutang-hutang kedua orang tuanya. Bulan ketiga, Farrel memberikan uang untuk keperluan sekolah kedua adiknya agar dipenuhi sampai lulus. Dan bulan selanjutnya, Farrel memberikan uang untuk renovasi rumah. Selain rumah, sekarang kedua orang tuanya juga memiliki warung sembako yang sudah mulai berkembang. Begitu juga tanah yang bisa digunakan ayah Jessi untuk berkebun. Sesuai dengan saran Farrel, mulai bulan ini Jessi akan berusaha untuk tid
Farrel menatap Jessi dan menahan rasa paniknya. Apalagi sekarang Carla terlihat menuntut jawaban. "Mama tahu sendiri kalau dia yang bertugas khusus membersihkan ruanganku. Abaikan saja dia, Ma. Oh iya, jadi bagaimana dengan Dania?" Farrel berusaha mengalihkan topik pembicaraan, agar Carla tidak mendesak dirinya dan juga Jessi. Perasaan inilah yang selalu Jessi rasakan. Jika sedang butuh, Farrel selalu menuntutnya untuk dipenuhi apapun kemauannya. Namun, jika hampir ketahuan, maka dirinya hanya akan dianggap seperti perempuan tiada guna. Jessi sadar dengan segala kesepakatan mereka dulu. Namun, perasaan cinta yang Jessi pendam tidak bisa memungkiri hati yang terluka. "Karena pekerjaan saya sudah selesai, saya permisi, Pak!" "Tunggu dulu!" sentak Carla. "Apa kamu lupa dengan tugasmu setiap kali aku datang ke sini." "Saya minta maaf, Bu." Jessi segera melakukan tugasnya. Tanpa perlu bertanya apa yang ingin Carla minum, Jessi sudah sangat paham dengan keinginan Carla. "Ka
"Huek." Tiba-tiba perut Jessi terasa mual. Jessi segera lari menuju wastafel agar dirinya bisa segera mengeluarkan apa yang ingin keluar dari perutnya. "Jessi." Farrel sangat panik. Ia segera memijati tengkuk Jessi. "Kamu kenapa?" "Hoek." Hanya cairan saja yang keluar. Karena sejak tadi pagi, Jessi memang tidak nafsu makan. Setelah merasa lebih baik, Jessi berkumur beberapa kali untuk menghilangkan rasa tidak enak di dalam mulutnya. Setelah itu, Jessi menyempar tangan Farrel agar tidak terus memijati tengkuknya. "Apa kamu sudah merasa lebih baik?" Jessi balik badan dan menatap Farrel. Bagaimana mungkin dirinya tidak jatuh cinta pada lelaki tersebut, kalau Farrel memperlakukannya selembut ini. Bahkan sekarang Jessi bisa melihat kekhawatiran dimata Farrel. "Aku ingin pulang sekarang. Maaf, kamu makan sendiri saja ya?" Jessi mendorong Farrel agar dirinya bisa pergi. Tetapi Farrel yang tidak terima dengan perbuatan Jessi, langsung menahan tangan Jessi. "Kita anggap
"Apa ada yang lain, Bu?" tanya Yosi Febrian. Ibu kandung Jessi. "Itu ada ikan asap. Setelah beberapa minggu tidak ada barang, baru hari ini ada lagi. Itu juga karena saya ke pasar lebih pagi dari biasanya." Yosi berusaha menawarkan dagangannya. "Cukup, itu saja Bu Yosi." Yosi segera menotal semua belanjaan tetangganya tersebut. "Ini ya, Bu kembaliannya." "Terima kasih, Bu." "Sama-sama," ucap Yosi begitu ramah. Namanya juga hidup di desa dan memiliki usaha sembako seperti ini. Sebagai penjual, harus bisa memberikan rasa aman dan nyaman pada pembeli. Berharap orang sekitar tetap menjadi langganannya. "Jessi kerja di kota sudah sangat sukses ya, Bu. Sampai bisa membahagiakan orang tuanya seperti ini." Siapapun orang yang mengetahui kehidupan keluarga Jessi, pasti akan merasa tidak menyangka. Baru berapa tahun Jessi bekerja di kota, tapi sudah berhasil mengsejahterakan keluarga. Membuat sebagian orang merasa iri melihat kesuksesan keluarga Jessi. "Puji Tuhan, Bu Ilmi. Di
"Bagaimana ini?" Jessi hanya bisa menangis tertahan di dalam kamar mandi. Pagi ini, Jessi sengaja bangun lebih awal dari biasanya. Dirinya harus memastikan sekali lagi apakah dirinya benar hamil atau tidak. Sisa alat tes kehamilan secara bersamaan Jessi masukkan ke dalam air seni yang sudah Jessi tampung. Berharap Jessi bisa mendapatkan hasil yang berbeda dari pada yang kemarin. Namun, semua hanya tinggal harapan. Karena sekarang Jessi melihat sendiri kalau semua alat menunjukkan hasil bahwa dirinya positif hamil. Jessi tidak tahu lagi apa yang harus ia lakukan. Mau meminta pertanggung jawaban Farrel juga sepertinya Farrel tidak akan mau. "Aku tahu aku salah, Tuhan. Tapi kenapa Engkau hadirkan dia sekarang. Aku tidak tahu harus apa. Aku takut." * Semalaman suntuk, Farrel tidak bisa tidur. Lelaki tersebut sepertinya sangat terusik dengan pernyataan perasaan Jessi. Farrel merasa nyaman dengan Jessi. Namun, rasa itu Farrel maknai karena Jessi yang bertugas memenuhi has
"Usia kehamilannya sudah 8 minggu. Janinnya juga sangat kuat," ucap dokter setelah melakukan pemeriksaan. Jessi menunduk dalam. Gadis tersebut rasanya ingin kembali menangis. Namun, ia harus menahan diri. "Ini saya resepkan obat pereda mual muntahnya dan juga vitamin yang baik untuk kandungannya." "Saya takut, Dokter!" Jessi bicara begitu pelan. Dokter kandungan tersebut mendekati Jessi. Jika melihat usia, gadis tersebut sepantaran dengan anaknya. "Apa yang Nona Jessi takutkan?" "Saya harus bagaimana setelah ini, Dokter." "Minta pertanggung jawaban dari ayah janin. Jangan pernah berpikir untuk menghilangkannya. Setelah membuat kesalahan, jangan membuat kesalahan yang lain. Bertanggung jawablah terhadap perbuatan kalian, Nak." Bagaimana mungkin Jessi mau meminta pertanggung jawaban Farrel, kalau Farrel sendiri sudah memiliki calon istri. Selain itu, Jessi cukup sadar diri siapa dirinya. Setelah menebus obat, Jessi kembali memesan ojek untuk segera pulang ke kos.
"Mas!" Jessi meraih tangan Bagas. "Saya tidak berniat kembali padanya. Sebenarnya saya dan dia ..." ucapan Jessi terhenti. Hatinya kembali menolak untuk memberitahu orang lain terkait hubungannya dengan Farrel. Karena pada akhirnya berkaitan dengan Rhona. "Terkadang hati dan mulut itu memberikan pernyataan yang berbeda, Jessi. Coba tanyakan pada dirimu sendiri. Ini berkaitan dengan Rhona. Kalaupun kedepannya kamu memilih mengakhiri pernikahanmu dengan suamimu, maka jangan memaksa diri untuk bersamaku. Aku tidak mau terlibat dalam kisah kalian bertiga. Karena aku lebih mementingkan perasaan Rhona."Jessi melepaskan genggamannya pada Bagas. "Terima kasih karena Mas sudah sangat menyayangi Rhona begitu tulus. Saya pasti tidak akan punya muka kalau nanti ibu datang dan bertemu dengannya." "Saya belum memberitahu ibu soal hubungan singkat kita yang baru berakhir. Karena sejak awal, saya tahu ini akan berakhir seperti apa. Kamu tenang saja. Sekarang pikirkan kebahagiaanmu dan juga Rhona."
"Mas." Waktu sudah pagi. Semalaman Jessi dibuat kebingungan sendiri. Beruntungnya di desa ini sudah ada klinik yang buka 24 jam. Sehingga Jessi nekat membawa Rhona keklinik dengan mengendarai motor. Sekarang Jessi dibuat terkejut akan kedatangan Bagas. Lelaki yang datang seorang diri sambil membawakan rantang. Sudah pasti itu sarapan yang dipersiapkan Ambar untuk dirinya. "Saya terkejut saat tahu kabar kalau tengah malam kamu membawa Rhona ke sini seorang diri. Kenapa tidak memanggil saya dulu?" Wajah Bagas nampak sekali khawatir. Ia meletakkan rantang di atas nakas. "Semalam saya sangat panik, Mas. Apalagi suhu tubuhnya hampir 40°. Yang saya pikirkan semalam hanya Rhona segera dapat portolongan. Bodohnya saya juga tidak menyimpan obat penurun panas dirumah." "Tapi sekarang suhu tubuhnya sudah turunkan?" Bagas menyentuh kening Rhona perlahan. Ia takut mengusik Rhona yang masih lelap. "Syukurnya sudah, Mas." "Itu ibu buatkan sarapan buat kamu. Makan dulu. Kamu harus sehat
8 tahun memang sudah berlalu. Meski rasa kecewa dan benci itu memenuhi hati Jessi, tapi Farrel adalah laki-laki pertama yang memiliki Jessi. Baik dari perasaan maupun tubuh. Setiap kali Jessi mendapati Rhona menatap iri teman seusianya yang diperlakukan penuh kasih oleh ayah mereka, saat itulah Jessi selalu menangis diam-diam sambil menatap foto Farrel. "Kalau dulu kamu mengasihaniku, mungkin Rhona tidak akan terluka seperti sekarang. Aku berusaha membahagiakannya. Tapi ada sesuatu hal yang tetap tidak bisa aku berikan." Jessi hanya bisa berandai-andai. Sesuatu yang tidak pernah mungkin terjadi. "Bagaimana aku bisa melupakanmu, kalau wajahmu begitu lekat diwajah Rhona. Setiap hari, aku seperti melihat dirimu. Aku sangat mencintai Rhona, tapi aku sangat membenci kamu!" Tanpa Jessi ketahui, beberapa kali Rhona mengintip Jessi yang sedang menangis, sambil menatap sebuah foto. Hati Rhona begitu penasaran. Maka dari itu Rhona mengintip di mana Jessi menyimpan foto tersebut. "
Jessi duduk berjarak dengan Farrel. Sedikitpun Jessi tidak bisa tenang karena dirinya terus menatap Rhona yang sudah ada di dalam pangkuan Farrel. 'Aneh! Bagaimana bisa Rhona tahu kalau Farrel itu papanya?' batin Jessi."Rhona tidur dulu ya?" ucap Farrel sambil mengusap puncak kepala Rhona. Hati Farrel begitu terasa hangat. Momen ini sungguh sangat berharga. Bahkan sekarang degup jantungnya seperti akan meledak. 'Bisa-bisanya dalam keadaan seperti ini, aku ingin tertawa,' batin Farrel. Ia jadi merasa bodoh sendiri. Namun, kedua mata Rhona yang sudah sayup-sayup, tapi Rhona masih berusaha untuk tetap terjaga. Dan hal itu membuat wajah Rhona semakin terlihat menggemaskan. "Papa tadi mau pergi lagikan? Rhona tidak mau tidur." "Papa janji tidak akan jauh dari Rhona lagi. Sekarang Rhona tidur ya?" Namanya juga anak kecil. Seperti apapun usahanya untuk tetap terjaga, pada akhirnya Rhona tetap terlelap. Apalagi Rhona memang sudah terbiasa tidur siang. Membuatnya langsung terlelap, kare
Karena sesuatu hal, anak sekolah dasar kelas 1 dipulangkan lebih awal. Sebagian murid yang orang tuanya sudah mengetahui informasi dari group chat, tentu sudah menjemput anak-anak mereka. Tapi ada anak-anak yang masih menunggu jemputan. Sedangkan Rhona kebetulan diajak pulang wali murid tetangganya. "Terima kasih, Bude!" ucap Rhona begitu sopan setelah turun dari atas motor. "Sama-sama anak cantik. Sudah sana masuk rumah. Mama belum jemput mungkin karena masih ada tamu." Rhona memperhatikan mobil mewah yang menutupi pintu utama. Rhona jelas masih paham dengan mobil tersebut. Membuatnya tersenyum kecil dan lari memasuki rumah. "Papaaa ..." Suara panggilan dan tangisan Rhona membengung karena wajahnya bersembunyi dalam pelukan Farrel. "Huaaa ..." "Rhona!" Farrel juga menangis. Ini adalah sebuah kebahagiaan yang sangat Farrel inginkan. Tubuh Farrel terasa lemas. Ia terduduk dan membawa Rhona duduk dipangkuannya. "Maafin Papa karena baru bisa menemukan Rhona dan mama. M
"Tidak perlu berterima kasih." Farrel ingin meninggalkan Bagas, karena dirinya tidak mau berurusan dengan calon suami Jessi. "Bagaimana dengan pundak anda?" tanya Bagas karena ia melihat Farrel yang masih menahan ujung pundaknya. "Pundak saya baik-baik saja. Permisi!" Aura acuh, dominasi, dan tidak mudah didekati sangat melekat pada diri Farrel. Dan ini adalah penilaian Bagas. 'Sangat mirip. Pantas saja kalau dia tidak bisa melupakannya.' "Saya penasaran. Kenapa anda bisa tahu nama calon istri saya?" Farrel berhenti melangkah dan balik badan. Ia menatap Bagas yang menurutnya sedang menyelidiki. "Saya rasa, anda bukan orang sini," lanjut Bagas. "Permisi!" ucap Farrel yang tidak ingin memberikan tanggapan apapun atas pertanyaan Bagas. 'Dia bukan orang yang mudah,' batin Bagas. Ia menatap kesembarang arah. Sekarang Bagas dibuat bingung akan keberadaan Jessi. "Di mana dia?" Jessi memilih bersembunyi, mengintai Farrel dan Bagas. "Kenapa hatiku selemah ini?" K
Saat ingat kalau dirinya memiliki janji dengan Bagas, Jessi segera menenangkan diri. Ia mengusap wajahnya yang basah. Segera Jessi menuju kamar mandi untuk mencuci wajahnya. "Bagaimana ini?" Jessi bingung, saat menatap wajahnya dicermin, kedua matanya nampak sembab. Segera Jessi mengeringkan wajahnya dan menuju kamar untuk menggunakan make up. "Sepertinya tidak berpengaruh," gumam Jessi. Karena terlalu buru-buru, Jessi jadi merasa kalau wajahnya jadi terlihat aneh. Jessi memilih membersihkan make upnya. Sekarang ia memilih mencari hansaplast untuk membungkus salah satu jari tangannya. Sebelum membuka pintu utama, Jessi menghelakan nafasnya. Biasaya Bagas selalu datang lebih awal saat dirinya memerlukan bantuan. Untungnya kali ini Bagas belum datang. "Selamat pagi." "Pagi." Baru saja Jessi duduk disofa, sekarang Bagas sudah datang. "Masuk, Mas." Bagas duduk di sofa singel. Tentunya sangat berjarak dengan Jessi. Ia juga memperhatikan wajah cantik Jessi. Terdapat se
"Pak." Edgar langsung mendekati Farrel saat Jessi sudah memasuki rumah. "Mari ..." Edgar berniat membantu Farrel berdiri. "Farrel," panggil Edgar pelan. Saat ini, ia merasa kalau Farrel sedang membutuhkan teman bicara. Bukanlah seorang sekretaris pada atasannya. "Bukan hal mudah mencarinya. Aku sangat senang bisa tidak sengaja menemukan mereka." Niat mencari, tapi selama 8 tahun tiada hasil. Siapa yang menduga, waktu yang tidak berhenti tapi Farrel yang berniat menghentikan pencarian untuk sementara, justru membawanya pada kesempatan yang Farrel harapkan. "Tapi sekarang, aku harus melakukan apa, Edgar? Kesalahanku sangat fatal." "Kamu sudah berusaha selama ini. Dan ini adalah usaha yang sesungguhnya. Biarpun nona Jessi mengusirmu, tolong tetap berusaha dan jangan putus asa. Yang terpenting, kamu jangan nekat menemui nona Rhona tanpa seizin nona Jessi." Farrel mengusap wajahnya kasar. Ia segera bangun. "Kamu pulanglah duluan. Ambil kendali pekerjaanku yang bisa kamu lakuka
"Jessi ... Rhonaaa ..." gumam Farrel sambil lari secepat mungkin. Farel sangat takut kehilangan jejak wanita dan anak yang ia cari selama ini. "Namanya Rhona. Jessi mempertahankannya." Jantung Farrel berdegup sangat cepat. Hatinya terasa hangat karena setelah sekian lama, dirinya bisa bertemu dengan Jessi, sekaligus anaknya. Air mata Farrel menetes. Ucapan Jessi sangat benar. Karena sejak awal, dirinya sudah membunuh Rhona. Sekarang yang bisa Farrel harapkan adalah maaf dari Jessi. Tin ... tiiinnn ... Supir yang sejak tadi mengemudikan mobil yang ditumpangi Farrel, langsung menekan klakson saat mobilnya sudah berhasil menyeimbangi langkah lari Farrel. Segera Farrel memasuki mobil. "Pak, ikuti motor di depan. Jangan sampai kehilangan jejak mereka. Cepat!" perintah Farrel sampai menyentak. "Baik, Pak." Nada suara tinggi Farrel tidak menyinggung supir yang harus fokus. Karena ia tahu, Farrel sedang panik dan tidak berniat membentaknya. "Apa itu tadi nona Je