Lyona berjalan dengan setengah menyeret kakinya. Nyeri karena berlari pagi tadi masih sedikit terasa dan itu membuat kakinya kaku. Ia berjalan sambil melamun karena uang yang diterimanya. Ia pun juga mulai memikirkan orang tuanya, bagaimana keadaannya dan apakah mereka baik-baik saja di sana. Ia menatap jalan yang ia lalui tanpa mengangkat tatapannya. Ia fokus dengan pikiran-pikiran yang terlintas di kepalanya. Bahkan ia berkedip 5 detik sekali. Kebiasaan yang sulit hilang.
Di belakang Lyona ada yang berjalan memerhatikannya. Ia menatap Lyona sejak tadi tanpa Lyona sadari. Ia pun was-was jika Lyona akan tahu ia sedang mengikutinya. Karenanya, ia berjalan lebih lambat karena kaki panjangnya sebanding dengan 2 langkah kaki Lyona. Seitar 5 meter di belakang Lyona. Tidak tanggung-tanggung, ia mengikuti Lyona hingga ke daerah pemukimannya. Ia berhenti tepat di gapura masuk dan mengangkat kepalanya membaca nama yang terdapat di gapura. Sejenak ia melihat daerah itu dan ia pun masuk. Namun, ia berhenti mengikuti Lyona dan melihat lautan luas dan orang-orang yang sedang bekerja. Ia sepertinya tertarik dengan apa yang dilihatnya. Ia mengambil ponsel dan memotret situasi yang sedang ia lihat. Lalu ia berbalik dan berjalan menuju gapura tadi, kemudian meninggalkan daerah tersebut.
Lyona mencari kunci rumahnya di saku roknya. Lalu memasukkan kunci tersebut ke lubang kunci dan memutarnya. Ia menghembuskan napas panjang sambil menutup pintu rumahnya kembali. Ia membiarkan kunci pintu tergantung di lubangnya setelah memindahkannya ke lubang pintu di dalam rumah. Ia membuka kamar dan melempar tasnya. Ia langsung melompat rendah ke atas ranjangnya. Entah kenapa, ia merasa sangat lelah hari ini. Entah karena berlari atau yang lainnya.
Ia mengangkat ponselnya dan membuka W******p lalu mencari nomor ibunya. Satu-satunya hal yang terpikirkan olehnya saat ini. Ia mengetikkan pesan dan mengirimkannya. Terlihat ibunya offline.
Lyona bangkit dan merasakan perutnya seperti tercabik-cabik karena lapar. Lalu ia ingat jika diirnya belum makan kecuali sarapan yang ia makan dengan cepat. Ia pun segera mencari bahan yang bisa ia masak. Lyona memutuskan mengambil telur dan cabai rawit. Ia pun memecahkan telur dan mencincang cabai lalu ia masukkan ke dalam telur, kemudian ia mengambil sejuput garam dan memasukkan ke dalam mangkok. Lyona mengambil sendok dan mengocok-kocok telur tersebut dan bahan-bahan lainnya hingga tercampur. Kemudian ia mengambil penggorengan dan menyalakan kompor. Ia menuangkan minyak dan menunggunya panas, lalu memasukkan telur ke dalam minyak panas. Lyona pun menggoreng telur tersebut, bau yang dikeluarkan telur goreng tersebut sangat enak. Lyona yang tadinya tidak ada nafsu makan seketika sangat lapar. Setelah ditiriskannya, ia mengambil nasi dan menaruh telur di atasnya. Ia mengambil segelas air dan duduk, lalu makan telur gorengnya.
Lyona mencuci piring, gelas, dan penggorengan lalu ia kembalikan ke tempat semula. Lalu ia kembali ke kamarnya. Ia duduk di meja belajarnya dan membuka ponselnya, ibunya belum membalas. Ia menghembuskan napas dan mengambil tas yang ia lempar tadi untuk ditaruh ke tempatnya semula. Ia mengeluarkan alat tulisnya dan mengambil diary-nya. Rutinitas yang selalu ia lakukan setiap hari. Ia pun menuliskan apa yang telah ia lakukan dan alami hari ini.
Ia menutup diary-nya dan menaruh kedua tangannya di atas buku, lalu ia menaruh kepalanya di atas tangannya. Ia memejamkan mata dan tenggelam dalam pikirannya. Hingga ia pun tertidur.
Ponselnya berdering dan membangunkan Lyona. Ia meraih ponselnya dan ibunya yang menelepon, ia pun mengangkatnya.
“Halo bu?” ucap Lyona bersamaan dengan menekan tombol terima.
“Kamu sudah pulang?” tanya ibunya.
“Sudah tadi bu,” jawab Lyona.
“Kirain belum pulang. Sudah makan?” tanya ibunya kembali.
“Sudah bu,” jawab Lyona dengan sabar.
“Makan sama apa?” tanya ibunya dengan nada sedikit khawatir.
“Goreng telur tadi,” jawab Lyona dengan senyuman agar ibunya tidak khawatir.
“Oh iya. Maaf ya ibu belum bisa pulang,” ucap ibunya lirih dan merasa bersalah.
“Kenapa minta maaf? Gapapa kok bu, ibu selesaikan aja dulu,” jawab Lyona dengan sedikit terkejut dan juga merasa tidak enak setelah mendengar ibunya meminta maaf.
“Khawatir sama kamu. Takut kesepian,” terang ibunya yang mengkhawatirkan anak semata wayangnya itu.
“Astaga ibu, aku udah SMA, udah besar. Lagian kalau kesepian kan bisa telepon ibu. Aku juga ada teman-teman. Tenang ajalah bu,” jelas Lyona berusaha menenangkan ibunya dan agar ibunya tidak khawatir dengan dirinya.
“Yaa meskipun begitu, namanya juga ibu. Pasti khawatir sama anaknya,” ucap ibunya lirih.
“Iya ibu. Aku gak papa kok. Cuma kangen aja jadi kirim pesan,” jawab Lyona dengan lemah lembut.
“Iya, ibu juga kangen. Bapak juga.”
“Iya ibu.”
“Ya udah, ibu tutup dulu. Kamu baik-baik.”
“Iya, ibu sama bapak juga baik-baik yaa.”
Telepon pun terputus. Lyona merasakan lehernya kaku karena posisi tidurnya yang tidak nyaman tadi. Ia melihat jam dinding yang menunjukkan pukul 4.30, ia pun segera bangkit dari duduknya dan mengambil baju ganti. Ia kemudian mengambil handuk dan masuk ke kamar mandi.
Selesai mandi, ia pun merebahkan diri di ranjangnya tadi. Lyona juga meregangkan lehernya yang kaku. Ia melihat ponselnya untuk mengecek tugas untuk besok dan ternyata tidak ada tugas untuk besok. Ia pun berlama-lama rebahan. Lyona membuka aplikasi pemutar musik, ia mengetikkan judul dan memutar musik sambil melihat langit.
Saat jam dinding menunjukkan pukul 7.00, ia pun bangkit dan mengambil buku pelajaran untuk besok. Walaupun tidak ada tugas, ia menetapkan komitmen untuk tetap mempelajari pelajaran yang akan ia pelajari besok agar ketika dijelaskan ia akan lebih mudah paham. Ia melihat jadwalnya dan kemudian mengambil buku-buku di raknya. Ia mulai menatapkan niatnya dengan menarik dan menghembuskan napas terlebih dahulu. Gak boleh malas, gak boleh malas ia menekankan dalam hati. Lalu ia duduk dan membuka buku.
Komitmen tersebut mulai ia buat ketika dirinya mendapat nilai dibawah minimum dan ia merasa malu untuk menunjukkannya kepada orang tuanya. Pada saat itu, orang tuanya mengatakan untuk tidak menyalahkan dirinya sendiri karena nilai itu. Namun ia selalu mendapat nilai yang baik dan hal tersebut membuatnya merasa gagal. Akhirnya tekad untuk selalu menjadi yang terbaik mulai terbesit, namun hal itu pula yang menjadikannya merasa kurang. Akhirnya ia mencari jalan keluar, lalu dirinya memutuskan untuk tidak menjadi yang terbaik namun harus mendapat nilai yang baik. Oleh karenanya, ia membuat komitmen itu.
Satu hal yang bisa ia lakukan untuk orang tuanya adalah melihat anaknya dipanggil sebagai anak yang berprestasi dan tidak pernah membuat masalah. Perasaan bersalah karena dirinya menjadi korban bullying membuatnya merasa mempunyai jejak ‘murid bermasalah’, karena ia yang menjadi korban dan ia pula yang keluar. Lyona malu untuk beberapa hari kepada orang tuanya, ia merasa orang tuanya terlalu baik karena terus mengatakan itu bukan salahnya. Memang bukan, namun tetap saja ia merasa tidak enak.
Tekadnya untuk mengganti pengalaman itu di sekolah barunya pun sudah bulat. Ia ingin menanggalkan namanya di peringkat 5 besar sekolahnya. Untuk apa otak cerdasnya jika ia tidak mampu unggul. Walau ia murid baru, hal tersebut sama sekali tidak membuatnya mundur. Ia bertekad untuk menunjukkan bahwa murid baru juga bisa menjadi 5 besar dan hal tersebut akan ia wujudkan. Ia ingin melihat orang tuanya bangga.
Lyona pun memutuskan untuk sellau belajar dan tidak akan menyerah demi tujuannya tersebut. Semalas apa pun dirinya, ia akan tetap melawannya. Ia tidak boleh kalah dari dirinya sendiri. Ia harus mengalahkan dirinya dahulu sebelum mengalahkan orang lain. Bahkan, ia memasang reminder agar dirinya selalu ingat dan ia menulis catatan kecil di mana-mana yang terlihat matanya. Jadi, ia bisa melihat catatan itu ketika ia mulai bermalas-malasan. Ia akan bermalas-malasan ketika akhir pekan saja. Walau tidak ada tugas, ia harus tetap belajar. Itu tekadnya.
Alarm Lyona berbunyi nyaring dan Lyona seketika terbangun dari mimpinya. Alarm tersebut sengaja ia nyalakan dengan nada yang nyaring agar dirinya tidak lagi telat seperti kemarin. Namun tetap saja ia terkejut dengan nyaringnya alarm tersebut. Seperti alarm darurat ketika terjadi suatu bencana atau akan datangnya ombak besar pesisir, senyaring itu untuk luas kamarnya. Ia menghela napas ketika bangun dan mematikan ‘alarm kematian’-nya itu. “Hampir saja kena serangan jantung. Astaga, ternyata senyaring ini suaranya. Aku harus menggantinya nanti.” Lyona berdiri dan menghela napas agar dirinya kembali tenang. Ia pun bangkit dan menyambar seragamnya yang sudah digantungnya semalam. Ia berjalan santai menuju kamar mandi, karena ini masih pagi dan meskipun ia bergerak seperti siput pun tidak akan terlambat. Ia mengambil handuk dan masuk kamar mandi dengan menguap lebar yang ia biarkan saja tidak ditutup tangan. Ia bersenandung sambil mandi. Entah karena keadaan
Hari itu sangat panas di pesisir, orang-orang sibuk dengan urusan mereka. Orang-orang berlalu-lalang tanpa peduli dengan panasnya udara yang menerpa diri mereka. Bagaimana pun keadaan dan cuacanya mereka harus mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Mereka melakukannya dengan semangat yang tinggi demi sesuap nasi. Lyona, seorang siswi SMA terlihat keluar dari rumahnya untuk berangkat ke sekolah. Ia menyapa orang-orang yang dilewatinya dengan senyum manisnya. “Selamat pagi ibu,” sapanya kepada seorang ibu yang berangkat ke pasar untuk menjual ikan. “Oh. Pagi neng Lyona, mau berangkat sekolah neng?” tanya ibu tersebut. “Iya bu. Ini ibu mau ke pasar?” “Iya neng. Mau jualan hasil tangkapan semalem.” “Oh iya. Semoga laris manis ya bu.” “Amin. Terima kasih neng.” “Sama – sama ibu.” Setelah bertegur sapa Lyona dan ibu tersebut mengambil jalan berbeda dengan tujuan yang berbeda pula. Lyona dengan menggendong tas abu-abun
Lyona pulang setelah berpamitan dengan temannya. Hari pertama yang berat pikirnya. Memang tidak mudah bagi Lyona untuk bersosialisasi, ia terkenal anak yang pendiam sejak kecil. Bukan karena dia lemah atau penakut, namun ia tidak ingin kata – katanya menyakiti hati orang lain. Lyona takut akan berkata yang kurang pantas apalagi ketika ia marah, dirinya dapat melontarkan kata – kata yang buruk. Ia berjalan dengan senyum cerah agar dirinya tetap dalam mood yang baik. Ia tidak sabar bercerita kepada ibunya bagaimana hari pertamanya. Ia akan menceritakan bahagianya dia agar sang ibu tenang dan tidak gelisah lagi terhadap dunia persekolahnnya setelah masalah di sekolah lamanya. Lyona sempat dibully dan difitnah habis – habisan oleh teman – temannya di sekolah sebelumnya dan berakhir Lyona yang terpuruk secara mental. Masalahnya mungkin terdengar sepele, hanya karena salah satu teman perempuannya tidak suka jika pacarnya punya perasaan lebih terhadap Lyona. Padahal Lyona sendi
Melihat bagaimana orang tuanya mengusahakan dirinya untuk tetap ikut membuat Lyona merasa membebani. Ia pun memutuskan untuk mencari kerja paruh waktu yang bisa ia lakukan disela-sela sekolahnya. Ada beberapa pekerjaan yang bisa ia lakukan saat ini. Namun, ia pikir jika dirinya melakukan ini terang-terangan, maka orang tuanya akan marah. Lama ia berlarut dalam pikirannya. Pada saat itu, ia mendengar teman-temannya sedang membicarakan tentang les dan juga bayaran les adik Karine. Lyona pun seperti mendapat sambaran petir dalam dirinya. Dengan senyum bahagianya, ia pun bertanya tentang les itu. “Maaf menyela, les kayak gitu diadakan kapan?” Lyona bertanya langsung pada intinya. Ia menunggu jawaban temannya dengan penuh harap. “Ah, kalau itu tergantung yang minta sih. Bisa juga buat janji dulu, bisanya yang ngasih les kapan dan yang les bisanya kapan.” Okky menjawab pertanyaan Lyona. “Kamu mau les juga nih?” goda Sekta. “Ah, bukan gitu, c
Pada minggu pagi, seperti biasanya Lyona sedang bermalas-malasan di atas ranjangnya. Ia hanya berguling ke kanan dan ke kiri lalu berhenti dan menatap langit-langit kamarnya. Ia ditinggal sendirian oleh kedua orang tuanya yang sedang berkunjung ke paman Lyona di kota. Juki merupakan kakak kedua dari ayah Lyona yang merantau ke kota setalah lulus sekolah untuk mencari pekerjaan dengan gaji yang lebih besar daripada di desa. Ayah Lyona tinggal di sebuah desa yang mayoritas penduduknya adalah petani dan ia merantau ke pesisir untuk menjadi pelaut. Mimpi ayahnya itu bermula ketika ia diajak kakek Lyona berlibur ke pantai dan ia melihat para pelaut yang sedang berlayar dan nelayan-nelayan yang sedang mencari ikan dengan perahu. Ayah Lyona sangat suka menaiki perahu dan suasana laut. Dalam benaknya, ia merasa sangat luas ketika berlayar di laut. Oleh karena itu, ia pun mendaftarkan dirinya untuk menjadi pelaut namun sayangnya ia tidak lolos tes untuk menjadi seorang pelayaran. Karena ia meru
Satu minggu pertama telah berlalu dan Lyona masih memiliki 1 murid. Kendati demikian, ia tetap menerima karena baginya berbagi ilmu lebih utama dibandingkan gaji. Awalnya memang ia membuka les online untuk mendapatkan uang sebagai biaya study tour-nya, namun ketika melakukannya ia lebih merasa senang karena bisa membantu. Ia pun akhirnya mempunyai keinginan untuk menjalankan lesnya meskipun uang yang ia targetkan sudah terkumpul. Ia pun juga selalu menanyakan bagaimana pembelajarannya, dan ia menerima ulasan yang baik dari Malva. Malva mengatakan cara ia mengajarinya sangat sabar dan juga asyik. Lyona menjelaskan berulang-ulang hal yang belum dipahami hingga muridnya paham, karena jika muridnya tidak paham dan ia terus melanjutkan materinya ia merasa tidak ada gunanya. Hal itu sama saja tidak mengajari apa-apa. Yang terpenting muridnya paham dan bisa dengan apa yang diajarkannya. Ia tidak keberatan untuk menjelaskan kembali dan berulang-ulang jika ada materi yang belum dipah
Pagi ini Lyona bangun 25 menit lebih lambat dari biasanya. Saat melihat jam dinding di kamarnya, ia bergegas bangun dan mengambil seragamnya. Dengan berlari, ia mengambar handuk dan masuk ke kamar mandi. Ia hampir tersandung kakinya sendiri saat berlari. Tidak seperti biasanya. Hari ini ia sendirian di rumah dan tidak ada yang membangunkannya. Kedua orang tuanya sedang berada di luar kota untuk urusan perdagangan ikan bersama beberapa warga. Biasanya ia akan dibangunkan jika tidak segera bangun. Karena itulah ia melewatkan waktu bangunnya. Sangat ceroboh pikirnya. Lyona menghabiskan waktu 15 menit untuk mandi dan memakai seragamnya. Lyona memutuskan untuk memakai bedak saja dan langsung berangkat ke sekolah. Pada hari biasa, ia menghabiskan 15 menit untuk mandi, 10 menit memakai seragam, dan 5 menit berdandan. Lyona memang tidak memakai make up ke sekolah, namun ia tetap memakai bedak, sunscreen, dan lip balm. Setelah aktivitas paginya itu, ia biasanya
Alarm Lyona berbunyi nyaring dan Lyona seketika terbangun dari mimpinya. Alarm tersebut sengaja ia nyalakan dengan nada yang nyaring agar dirinya tidak lagi telat seperti kemarin. Namun tetap saja ia terkejut dengan nyaringnya alarm tersebut. Seperti alarm darurat ketika terjadi suatu bencana atau akan datangnya ombak besar pesisir, senyaring itu untuk luas kamarnya. Ia menghela napas ketika bangun dan mematikan ‘alarm kematian’-nya itu. “Hampir saja kena serangan jantung. Astaga, ternyata senyaring ini suaranya. Aku harus menggantinya nanti.” Lyona berdiri dan menghela napas agar dirinya kembali tenang. Ia pun bangkit dan menyambar seragamnya yang sudah digantungnya semalam. Ia berjalan santai menuju kamar mandi, karena ini masih pagi dan meskipun ia bergerak seperti siput pun tidak akan terlambat. Ia mengambil handuk dan masuk kamar mandi dengan menguap lebar yang ia biarkan saja tidak ditutup tangan. Ia bersenandung sambil mandi. Entah karena keadaan
Lyona berjalan dengan setengah menyeret kakinya. Nyeri karena berlari pagi tadi masih sedikit terasa dan itu membuat kakinya kaku. Ia berjalan sambil melamun karena uang yang diterimanya. Ia pun juga mulai memikirkan orang tuanya, bagaimana keadaannya dan apakah mereka baik-baik saja di sana. Ia menatap jalan yang ia lalui tanpa mengangkat tatapannya. Ia fokus dengan pikiran-pikiran yang terlintas di kepalanya. Bahkan ia berkedip 5 detik sekali. Kebiasaan yang sulit hilang. Di belakang Lyona ada yang berjalan memerhatikannya. Ia menatap Lyona sejak tadi tanpa Lyona sadari. Ia pun was-was jika Lyona akan tahu ia sedang mengikutinya. Karenanya, ia berjalan lebih lambat karena kaki panjangnya sebanding dengan 2 langkah kaki Lyona. Seitar 5 meter di belakang Lyona. Tidak tanggung-tanggung, ia mengikuti Lyona hingga ke daerah pemukimannya. Ia berhenti tepat di gapura masuk dan mengangkat kepalanya membaca nama yang terdapat di gapura. Sejenak ia melihat daerah itu dan
Pagi ini Lyona bangun 25 menit lebih lambat dari biasanya. Saat melihat jam dinding di kamarnya, ia bergegas bangun dan mengambil seragamnya. Dengan berlari, ia mengambar handuk dan masuk ke kamar mandi. Ia hampir tersandung kakinya sendiri saat berlari. Tidak seperti biasanya. Hari ini ia sendirian di rumah dan tidak ada yang membangunkannya. Kedua orang tuanya sedang berada di luar kota untuk urusan perdagangan ikan bersama beberapa warga. Biasanya ia akan dibangunkan jika tidak segera bangun. Karena itulah ia melewatkan waktu bangunnya. Sangat ceroboh pikirnya. Lyona menghabiskan waktu 15 menit untuk mandi dan memakai seragamnya. Lyona memutuskan untuk memakai bedak saja dan langsung berangkat ke sekolah. Pada hari biasa, ia menghabiskan 15 menit untuk mandi, 10 menit memakai seragam, dan 5 menit berdandan. Lyona memang tidak memakai make up ke sekolah, namun ia tetap memakai bedak, sunscreen, dan lip balm. Setelah aktivitas paginya itu, ia biasanya
Satu minggu pertama telah berlalu dan Lyona masih memiliki 1 murid. Kendati demikian, ia tetap menerima karena baginya berbagi ilmu lebih utama dibandingkan gaji. Awalnya memang ia membuka les online untuk mendapatkan uang sebagai biaya study tour-nya, namun ketika melakukannya ia lebih merasa senang karena bisa membantu. Ia pun akhirnya mempunyai keinginan untuk menjalankan lesnya meskipun uang yang ia targetkan sudah terkumpul. Ia pun juga selalu menanyakan bagaimana pembelajarannya, dan ia menerima ulasan yang baik dari Malva. Malva mengatakan cara ia mengajarinya sangat sabar dan juga asyik. Lyona menjelaskan berulang-ulang hal yang belum dipahami hingga muridnya paham, karena jika muridnya tidak paham dan ia terus melanjutkan materinya ia merasa tidak ada gunanya. Hal itu sama saja tidak mengajari apa-apa. Yang terpenting muridnya paham dan bisa dengan apa yang diajarkannya. Ia tidak keberatan untuk menjelaskan kembali dan berulang-ulang jika ada materi yang belum dipah
Pada minggu pagi, seperti biasanya Lyona sedang bermalas-malasan di atas ranjangnya. Ia hanya berguling ke kanan dan ke kiri lalu berhenti dan menatap langit-langit kamarnya. Ia ditinggal sendirian oleh kedua orang tuanya yang sedang berkunjung ke paman Lyona di kota. Juki merupakan kakak kedua dari ayah Lyona yang merantau ke kota setalah lulus sekolah untuk mencari pekerjaan dengan gaji yang lebih besar daripada di desa. Ayah Lyona tinggal di sebuah desa yang mayoritas penduduknya adalah petani dan ia merantau ke pesisir untuk menjadi pelaut. Mimpi ayahnya itu bermula ketika ia diajak kakek Lyona berlibur ke pantai dan ia melihat para pelaut yang sedang berlayar dan nelayan-nelayan yang sedang mencari ikan dengan perahu. Ayah Lyona sangat suka menaiki perahu dan suasana laut. Dalam benaknya, ia merasa sangat luas ketika berlayar di laut. Oleh karena itu, ia pun mendaftarkan dirinya untuk menjadi pelaut namun sayangnya ia tidak lolos tes untuk menjadi seorang pelayaran. Karena ia meru
Melihat bagaimana orang tuanya mengusahakan dirinya untuk tetap ikut membuat Lyona merasa membebani. Ia pun memutuskan untuk mencari kerja paruh waktu yang bisa ia lakukan disela-sela sekolahnya. Ada beberapa pekerjaan yang bisa ia lakukan saat ini. Namun, ia pikir jika dirinya melakukan ini terang-terangan, maka orang tuanya akan marah. Lama ia berlarut dalam pikirannya. Pada saat itu, ia mendengar teman-temannya sedang membicarakan tentang les dan juga bayaran les adik Karine. Lyona pun seperti mendapat sambaran petir dalam dirinya. Dengan senyum bahagianya, ia pun bertanya tentang les itu. “Maaf menyela, les kayak gitu diadakan kapan?” Lyona bertanya langsung pada intinya. Ia menunggu jawaban temannya dengan penuh harap. “Ah, kalau itu tergantung yang minta sih. Bisa juga buat janji dulu, bisanya yang ngasih les kapan dan yang les bisanya kapan.” Okky menjawab pertanyaan Lyona. “Kamu mau les juga nih?” goda Sekta. “Ah, bukan gitu, c
Lyona pulang setelah berpamitan dengan temannya. Hari pertama yang berat pikirnya. Memang tidak mudah bagi Lyona untuk bersosialisasi, ia terkenal anak yang pendiam sejak kecil. Bukan karena dia lemah atau penakut, namun ia tidak ingin kata – katanya menyakiti hati orang lain. Lyona takut akan berkata yang kurang pantas apalagi ketika ia marah, dirinya dapat melontarkan kata – kata yang buruk. Ia berjalan dengan senyum cerah agar dirinya tetap dalam mood yang baik. Ia tidak sabar bercerita kepada ibunya bagaimana hari pertamanya. Ia akan menceritakan bahagianya dia agar sang ibu tenang dan tidak gelisah lagi terhadap dunia persekolahnnya setelah masalah di sekolah lamanya. Lyona sempat dibully dan difitnah habis – habisan oleh teman – temannya di sekolah sebelumnya dan berakhir Lyona yang terpuruk secara mental. Masalahnya mungkin terdengar sepele, hanya karena salah satu teman perempuannya tidak suka jika pacarnya punya perasaan lebih terhadap Lyona. Padahal Lyona sendi
Hari itu sangat panas di pesisir, orang-orang sibuk dengan urusan mereka. Orang-orang berlalu-lalang tanpa peduli dengan panasnya udara yang menerpa diri mereka. Bagaimana pun keadaan dan cuacanya mereka harus mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Mereka melakukannya dengan semangat yang tinggi demi sesuap nasi. Lyona, seorang siswi SMA terlihat keluar dari rumahnya untuk berangkat ke sekolah. Ia menyapa orang-orang yang dilewatinya dengan senyum manisnya. “Selamat pagi ibu,” sapanya kepada seorang ibu yang berangkat ke pasar untuk menjual ikan. “Oh. Pagi neng Lyona, mau berangkat sekolah neng?” tanya ibu tersebut. “Iya bu. Ini ibu mau ke pasar?” “Iya neng. Mau jualan hasil tangkapan semalem.” “Oh iya. Semoga laris manis ya bu.” “Amin. Terima kasih neng.” “Sama – sama ibu.” Setelah bertegur sapa Lyona dan ibu tersebut mengambil jalan berbeda dengan tujuan yang berbeda pula. Lyona dengan menggendong tas abu-abun