Pagi ini, Lyona berbisik kepada Jian jika dia punya sesuatu yang spesial. Tanpa berpikir panjang, Jian pun bertanya kepada Lyona apa yang hal spesial yang ia rahasiakan. Pertanyaan itu hanya dijawab dengan senyuman jahil dan meledek dari Lyona.
“Nanti juga tau,” bisik Lyona saat guru masuk ke dalam kelas.
“Kelamaan. Keponya sekarang bukan nanti,” balas bisik dari Jian yang membuat Lyona semakin tersenyum lebar.
Selama satu jam pelajaran berlangsung, Jian merasa tidak tenang dan berkali-kali melirik kea rah Lyona yang juga dibalas tatapan bertanya dari Lyona. Hingga akhirnya ia menatap Lyona lekat-lekat.
“Apa?” tanya Lyona tanpa bersuara.
Jian pun mengambil sticky notes dan menuliskan pesan di atasnya. Ia menulis dengan fokus penuh. Lyona yang melihatnya bertanya-tanya dan berniat mengintip namun urung karena Jian mengangkat kepalanya dan menempel sticky notes itu di depan Lyona.
Tertulis ‘kasih tau rahasianya sekarang!’. Tanda seru itu membuat Lyona tersenyum. Lalu ia pun membalas. ‘Nanti aja, istirahat ku kasih tau’, ia pun menempelnya di depan Jian. Jian pun membalas ‘SEKARANG AJA!!!’. Ia memberikannya dengan tatapan serius. Lyona pun mendekat ke telinga Jian.
“Orang tuaku udah pulang.” Jian tampak terkejut lalu mendekat ke telinga Lyona.
“Kapan pulangnya?” Lyona mendekat lagi ke telinga Jian.
“Kemarin.” Jian memonyongkan mulutnya membentuk ‘O’ dan mengangguk kecil lalu mendekat lagi.
“Itu aja yang rahasia.” Lyona menatap gurunya yang menjelaskan lalu mendekat lagi ketika gurunya berpaling menghadap papan tulis.
“Dibawakan sesuatu sama bapak aku.” Jian membelalakkan matanya yang semakin berbinar. Ia mendekat lagi.
“Apa?”
“Nanti aja.” Lyona membalas Jian tanpa bersuara.
Ck. Jian pun berpindah pandangan ke arah gurunya dan keduanya mulai mencatat materi di papan tulis.
KRIIING. KRIIING.
“Baik anak-anak. Sekian pembelajaran hari ini. Jangan lupa dipelajari di rumah. Minggu depan kita adakan kuis.”
“Baik bu.”
Bersamaan dengan guru yang keluar, murid-murid pun mulai berhamburan keluar dari kelasnya masing-masing. Koridor-koridor mulai ramai dengan suara murid-murid yang memanggil teman-temannya.
Jian langsung memasang tatapan mengunci kepada Lyona. Ia tidak ingin gadis di depannya hilang dari pandangan. Lyona membalas tatapan Jian dengan mendengus pelan.
“Iya iya.” Jian merubah tatapannya menjadi senyuman.
“Ada apa nih?” tanya Okky.
“Lyona punya rahasia.” Jian menjawab.
Semua temannya langsung menatap Lyona dengan tatapan bertanya-tanya. Mereka menanti Lyona mengambil ‘rahasianya’.
“Nih, rahasiaku.” Lyona menaruh 2 bungkus makanan ringan di atas meja dan mata teman-temannya langsung tertuju ke makanan ringan itu.
“Oh my God. What is that?” tanya Sekta.
“Jadi, kemarin orang tuaku pulang dan bapak bawakan ini buat oleh-olehku tapi karena kebanyakan jadi aku bawa ke sekolah buat dimakan sama kalian,” jelas Lyona.
“Aw… kamu baik banget.” Sekta mencubit pipi Lyona gemas.
“Eh, anak orang ini.” Karine melepaskan cubitan Sekta dengan tertawa dan yang lain juga ikut tertawa.
“Bukan, ini anakku.” Sekta merangkul Lyona dan mendekatkan wajahnya dengan wajah Lyona. “Mirip kan?”
“Eh, kamu hati-hati sama anak ini. Nakutin banget soalnya.” Okky menambahkan dan Lyona hanya tertawa.
“Bilang aja pengen jadi anakku juga,” balas Sekta dengan ekspresi sombong dengan mengangkat satu alisnya dan mendorong pipinya dengan lidah ala-ala bos di film.
“Ih gak banget ya.” Okky membalas Sekta dengan mengernyitkan hidung dan melengkungkan bibir menampakkan giginya.
“Ah, udahlah. Ayo ini cepetan dibuka.” Jian menyela keduanya.
“Iya nih. Malah rebutan jadi anak Sekta.” Karine menambahkan.
“Udah-udah. Yuk kita buka dan makan sama-sama.” Lyona mengambil gunting dan memotong plastik pembungkusnya.
Mereka saling memakan makanan ringan itu dengan berganti-ganti dari yang satu ke yang lainnya. Sambil bercerita-cerita dan bercanda. Mereka juga menanyakan kemana orang tua Lyona pergi. Lyona pun meneceritakannya dengan panjang lebar bahkan hingga pulangnya orang tuanya. Teman-temannya memperhatikannya dengan saksama ketika bercerita sambil mengunyah makanan ringan yang ia bawa.
Lyona merasa dirinya telah diterima baik oleh teman-temannya dan ternyata ia masih mempunyai teman di sekolah barunya. Ia merasa tidak perlu lagi menyendiri dan akan membagikan cerita-ceritanya kepada teman-temannya ini. Ia juga akan menanti cerita-cerita yang lain dari teman-temannya. Kini ia merasa lebih tenang.
“Eh, kamu ada ini gak, Lyo?” tanya Sekta disela-sela mengunyah.
“Ada apa?” tanya Lyona dan yang lain memasang ekspresi penasaran kepada Sekta.
“Ini… chat. Nah iya, kamu ada chat-kah sama Kinan?” pertanyaan Sekta membuat Lyona berhenti mengunyah dengan wajah terkejut.
“Gak ada. Kenapa?” balas Lyona.
“Gak apa-apa sih. Cuma tanya aja. Kali kamu ada chat sama dia.” Karine menyenggol tangan Sekta.
“Ih, apa sih pertanyaanmu? Jangan sampailah. Kita harus beneran pasang badan kalau Kinan berani chat Lyona,” yang lain mengangguk setuju dengan pendapat Karine.
“Ya makanya ini tanya. Kalau dia udah chat-kan berarti kita ini udah mulai perang. Gimana pun, kita harus jaga-jaga.” Sekta menjelaskan.
“Nah bener juga tuh. Jadi Lyo, kalau ada apa-apa terutama nih masalah Kinan, kamu harus cerita ke kita. OK?” Jian mengucapkan dengan memegang pundak Lyona.
“BENER!” semua kompak menjawab.
“Iya, terima kasih teman-temannya.” Lyona mengucapkannya dengan senyum manisnya.
“SAMA-SAMA.”
“Eh, di bawah lagi ada tanding basket. Lihat yuk!” ajak Okky.
“Lihat dari jendela aja. Pasti raami banget di sana.” Karine berdiri dan langsung menuju jendela.
Teman-teman Lyona pun ikut menuju ke jendela dan Lyona mengikuti mereka di belakang. Mereka melihat pertandingan basket yang sengit. Namun mata Lyona langsung tertuju kepada cowok yang memasukkan bola ke ring. Kinan? Tanya Lyona dalam hati yang langsung dijawab oleh pernyataan Sekta.
“Eh, itu kan Kinan? Main basket lagi?” Sekta bertanya dengan menunjuk Kinan di bawah yang sedang high five dengan temannya.
“Makanya ini cewek-cewek ramai banget gak seperti biasanya. Sialan. Anak kayak gitu masih banyak aja yang suka,” ketus Karine.
Jian melihat Lyona yang terdiam sambil melihat Kinan yang sedang meminta bola kepada temannya. Ia pun menepuk pundak Lyona yang mengagetkan Lyona dari lamunannya.
“Kenapa Lyo?” tanya Jian dan semua temannya menoleh ke arah Lyona bersamaan.
“Hmm? Ah, gak apa-apa kok.” Lyona menjawab dengan tersenyum.
“Cerita aja Lyo. Jangan diam aja. Kenapa?” desak Sekta.
“3 hari yang lalu waktu aku pulang sekolah, aku ketemu Kinan di jalan.” Teman-temannya terkejut. Lyona pun melanjutkan. “Aku ngerasa ada yang ngikutin, awalnya aku gak peduli tapi akhirnya aku balik badan dan ternyata Kinan. Terus aku tanyain mau ngapain, dia jawabnya cuma mau kenalan aja.”
“Wah tuh cowok. Tapi beneran gak diapa-apain kan? Gak dimintain nomor juga kan?” tanya Okky.
“Gak kok. Cuma gitu aja. Terus besoknya juga dia gak ngikutin lagi,” pungkas Lyona.
“OK. Kalau ada hal lain langsung cerita ke kita ya!” Lyona mengangguk dengan permintaan Jian.
Mereka pun melanjutkan menonton pertandingan basket. Saat Kinan minum air mineral, ia mendongak dan melihat Lyona. Ia melayangkan senyuman dan menatap selama beberapa detik. Lyona bergidik ngeri. Sebenarnya apa yang dia mau?
Lyona membuka pintu rumahnya dengan membuang napas kasar. Ia kemudian menutup kembali pintu yang ditutupnya di belakang. Ia melempar tas sembarangan ke pojok kamarnya dan melompat menuju kasurnya. Ia tidur telentang dan menatap langit-langit kamarnya. merasa lelah, ia memejamkan matanya dan menutupnya dengan tangan kirinya. Saat ia memejamkan mata, ia kembali melihat senyuman Kinan di lapangan basket tadi. “Ihh …” ia membuka matanya dengan lebar sambil menghembus-hembuskan napasnya dengan mulut. Ia bangun ke posisi duduk di atas ranjangnya dengan kedua tangan di samping badannya. Ia mengerjap-ngerjap berkali-kali berharap bayangan senyuman itu hilang. Namun ia malah semakin melihatnya jelas. Ia mengangkat tangannya menutupi wajahnya. “Aarrgghh …” ia mendongak kesal menatap langit-langit kamarnya. Kemudian ia beranjak turun dari ranjangnya dan membuka almari pakaiannya untuk berganti baju. Setelahnya ia mengambil tasnya yang tergel
Hari itu sangat panas di pesisir, orang-orang sibuk dengan urusan mereka. Orang-orang berlalu-lalang tanpa peduli dengan panasnya udara yang menerpa diri mereka. Bagaimana pun keadaan dan cuacanya mereka harus mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Mereka melakukannya dengan semangat yang tinggi demi sesuap nasi. Lyona, seorang siswi SMA terlihat keluar dari rumahnya untuk berangkat ke sekolah. Ia menyapa orang-orang yang dilewatinya dengan senyum manisnya. “Selamat pagi ibu,” sapanya kepada seorang ibu yang berangkat ke pasar untuk menjual ikan. “Oh. Pagi neng Lyona, mau berangkat sekolah neng?” tanya ibu tersebut. “Iya bu. Ini ibu mau ke pasar?” “Iya neng. Mau jualan hasil tangkapan semalem.” “Oh iya. Semoga laris manis ya bu.” “Amin. Terima kasih neng.” “Sama – sama ibu.” Setelah bertegur sapa Lyona dan ibu tersebut mengambil jalan berbeda dengan tujuan yang berbeda pula. Lyona dengan menggendong tas abu-abun
Lyona pulang setelah berpamitan dengan temannya. Hari pertama yang berat pikirnya. Memang tidak mudah bagi Lyona untuk bersosialisasi, ia terkenal anak yang pendiam sejak kecil. Bukan karena dia lemah atau penakut, namun ia tidak ingin kata – katanya menyakiti hati orang lain. Lyona takut akan berkata yang kurang pantas apalagi ketika ia marah, dirinya dapat melontarkan kata – kata yang buruk. Ia berjalan dengan senyum cerah agar dirinya tetap dalam mood yang baik. Ia tidak sabar bercerita kepada ibunya bagaimana hari pertamanya. Ia akan menceritakan bahagianya dia agar sang ibu tenang dan tidak gelisah lagi terhadap dunia persekolahnnya setelah masalah di sekolah lamanya. Lyona sempat dibully dan difitnah habis – habisan oleh teman – temannya di sekolah sebelumnya dan berakhir Lyona yang terpuruk secara mental. Masalahnya mungkin terdengar sepele, hanya karena salah satu teman perempuannya tidak suka jika pacarnya punya perasaan lebih terhadap Lyona. Padahal Lyona sendi
Melihat bagaimana orang tuanya mengusahakan dirinya untuk tetap ikut membuat Lyona merasa membebani. Ia pun memutuskan untuk mencari kerja paruh waktu yang bisa ia lakukan disela-sela sekolahnya. Ada beberapa pekerjaan yang bisa ia lakukan saat ini. Namun, ia pikir jika dirinya melakukan ini terang-terangan, maka orang tuanya akan marah. Lama ia berlarut dalam pikirannya. Pada saat itu, ia mendengar teman-temannya sedang membicarakan tentang les dan juga bayaran les adik Karine. Lyona pun seperti mendapat sambaran petir dalam dirinya. Dengan senyum bahagianya, ia pun bertanya tentang les itu. “Maaf menyela, les kayak gitu diadakan kapan?” Lyona bertanya langsung pada intinya. Ia menunggu jawaban temannya dengan penuh harap. “Ah, kalau itu tergantung yang minta sih. Bisa juga buat janji dulu, bisanya yang ngasih les kapan dan yang les bisanya kapan.” Okky menjawab pertanyaan Lyona. “Kamu mau les juga nih?” goda Sekta. “Ah, bukan gitu, c
Pada minggu pagi, seperti biasanya Lyona sedang bermalas-malasan di atas ranjangnya. Ia hanya berguling ke kanan dan ke kiri lalu berhenti dan menatap langit-langit kamarnya. Ia ditinggal sendirian oleh kedua orang tuanya yang sedang berkunjung ke paman Lyona di kota. Juki merupakan kakak kedua dari ayah Lyona yang merantau ke kota setalah lulus sekolah untuk mencari pekerjaan dengan gaji yang lebih besar daripada di desa. Ayah Lyona tinggal di sebuah desa yang mayoritas penduduknya adalah petani dan ia merantau ke pesisir untuk menjadi pelaut. Mimpi ayahnya itu bermula ketika ia diajak kakek Lyona berlibur ke pantai dan ia melihat para pelaut yang sedang berlayar dan nelayan-nelayan yang sedang mencari ikan dengan perahu. Ayah Lyona sangat suka menaiki perahu dan suasana laut. Dalam benaknya, ia merasa sangat luas ketika berlayar di laut. Oleh karena itu, ia pun mendaftarkan dirinya untuk menjadi pelaut namun sayangnya ia tidak lolos tes untuk menjadi seorang pelayaran. Karena ia meru
Satu minggu pertama telah berlalu dan Lyona masih memiliki 1 murid. Kendati demikian, ia tetap menerima karena baginya berbagi ilmu lebih utama dibandingkan gaji. Awalnya memang ia membuka les online untuk mendapatkan uang sebagai biaya study tour-nya, namun ketika melakukannya ia lebih merasa senang karena bisa membantu. Ia pun akhirnya mempunyai keinginan untuk menjalankan lesnya meskipun uang yang ia targetkan sudah terkumpul. Ia pun juga selalu menanyakan bagaimana pembelajarannya, dan ia menerima ulasan yang baik dari Malva. Malva mengatakan cara ia mengajarinya sangat sabar dan juga asyik. Lyona menjelaskan berulang-ulang hal yang belum dipahami hingga muridnya paham, karena jika muridnya tidak paham dan ia terus melanjutkan materinya ia merasa tidak ada gunanya. Hal itu sama saja tidak mengajari apa-apa. Yang terpenting muridnya paham dan bisa dengan apa yang diajarkannya. Ia tidak keberatan untuk menjelaskan kembali dan berulang-ulang jika ada materi yang belum dipah
Pagi ini Lyona bangun 25 menit lebih lambat dari biasanya. Saat melihat jam dinding di kamarnya, ia bergegas bangun dan mengambil seragamnya. Dengan berlari, ia mengambar handuk dan masuk ke kamar mandi. Ia hampir tersandung kakinya sendiri saat berlari. Tidak seperti biasanya. Hari ini ia sendirian di rumah dan tidak ada yang membangunkannya. Kedua orang tuanya sedang berada di luar kota untuk urusan perdagangan ikan bersama beberapa warga. Biasanya ia akan dibangunkan jika tidak segera bangun. Karena itulah ia melewatkan waktu bangunnya. Sangat ceroboh pikirnya. Lyona menghabiskan waktu 15 menit untuk mandi dan memakai seragamnya. Lyona memutuskan untuk memakai bedak saja dan langsung berangkat ke sekolah. Pada hari biasa, ia menghabiskan 15 menit untuk mandi, 10 menit memakai seragam, dan 5 menit berdandan. Lyona memang tidak memakai make up ke sekolah, namun ia tetap memakai bedak, sunscreen, dan lip balm. Setelah aktivitas paginya itu, ia biasanya
Lyona berjalan dengan setengah menyeret kakinya. Nyeri karena berlari pagi tadi masih sedikit terasa dan itu membuat kakinya kaku. Ia berjalan sambil melamun karena uang yang diterimanya. Ia pun juga mulai memikirkan orang tuanya, bagaimana keadaannya dan apakah mereka baik-baik saja di sana. Ia menatap jalan yang ia lalui tanpa mengangkat tatapannya. Ia fokus dengan pikiran-pikiran yang terlintas di kepalanya. Bahkan ia berkedip 5 detik sekali. Kebiasaan yang sulit hilang. Di belakang Lyona ada yang berjalan memerhatikannya. Ia menatap Lyona sejak tadi tanpa Lyona sadari. Ia pun was-was jika Lyona akan tahu ia sedang mengikutinya. Karenanya, ia berjalan lebih lambat karena kaki panjangnya sebanding dengan 2 langkah kaki Lyona. Seitar 5 meter di belakang Lyona. Tidak tanggung-tanggung, ia mengikuti Lyona hingga ke daerah pemukimannya. Ia berhenti tepat di gapura masuk dan mengangkat kepalanya membaca nama yang terdapat di gapura. Sejenak ia melihat daerah itu dan
Lyona membuka pintu rumahnya dengan membuang napas kasar. Ia kemudian menutup kembali pintu yang ditutupnya di belakang. Ia melempar tas sembarangan ke pojok kamarnya dan melompat menuju kasurnya. Ia tidur telentang dan menatap langit-langit kamarnya. merasa lelah, ia memejamkan matanya dan menutupnya dengan tangan kirinya. Saat ia memejamkan mata, ia kembali melihat senyuman Kinan di lapangan basket tadi. “Ihh …” ia membuka matanya dengan lebar sambil menghembus-hembuskan napasnya dengan mulut. Ia bangun ke posisi duduk di atas ranjangnya dengan kedua tangan di samping badannya. Ia mengerjap-ngerjap berkali-kali berharap bayangan senyuman itu hilang. Namun ia malah semakin melihatnya jelas. Ia mengangkat tangannya menutupi wajahnya. “Aarrgghh …” ia mendongak kesal menatap langit-langit kamarnya. Kemudian ia beranjak turun dari ranjangnya dan membuka almari pakaiannya untuk berganti baju. Setelahnya ia mengambil tasnya yang tergel
Pagi ini, Lyona berbisik kepada Jian jika dia punya sesuatu yang spesial. Tanpa berpikir panjang, Jian pun bertanya kepada Lyona apa yang hal spesial yang ia rahasiakan. Pertanyaan itu hanya dijawab dengan senyuman jahil dan meledek dari Lyona. “Nanti juga tau,” bisik Lyona saat guru masuk ke dalam kelas. “Kelamaan. Keponya sekarang bukan nanti,” balas bisik dari Jian yang membuat Lyona semakin tersenyum lebar. Selama satu jam pelajaran berlangsung, Jian merasa tidak tenang dan berkali-kali melirik kea rah Lyona yang juga dibalas tatapan bertanya dari Lyona. Hingga akhirnya ia menatap Lyona lekat-lekat. “Apa?” tanya Lyona tanpa bersuara. Jian pun mengambil sticky notes dan menuliskan pesan di atasnya. Ia menulis dengan fokus penuh. Lyona yang melihatnya bertanya-tanya dan berniat mengintip namun urung karena Jian mengangkat kepalanya dan menempel sticky notes itu di depan Lyona. Tertulis ‘kasih tau rahasianya sekara
Minggu pagi ini Lyona bangun lebih awal dari hari Minggu biasanya. Ia bergegas mandi dan berganti baju. Hari ini memang hari yang dinantinya. Lyona menunggu kepulangan orang tuanya dari luar kota. Tak lupa pula ia memasak. Ia ingin memamerkan bakat memasaknya kepada ibunya. Karena ibunya selalu khawatir ia tidak bisa makan karena tidak bisa memasak. Namun, ia dengan percaya diri mengatakan bahwa dirinya bisa memasak dan tidak akan mati kelaparan. Ia tahu ibunya tidak akan percaya hal tersebut, maka dari itu ia memasakkan orang tuanya. Ia mengambil penggorengan lalu menyalakan kompor. Ia akan memasak ikan tuna. Berbeda dengan ikan tuna ibunya yang dimasak asam pedas, ia akan membuat oseng ikan tuna. Ini juga kali pertama Lyona memasak dan mengolah ikan. Ia sangat menunggu ulasan dari sang ahli, yaitu ibunya. Ia memasak dengan sungguh-sungguh. 1 jam kemudian, pintu depan diketuk. Lyona yang sudah menyiapkan makanan yang ia masak tadi pun mendongak. Ia ber
Alarm Lyona berbunyi nyaring dan Lyona seketika terbangun dari mimpinya. Alarm tersebut sengaja ia nyalakan dengan nada yang nyaring agar dirinya tidak lagi telat seperti kemarin. Namun tetap saja ia terkejut dengan nyaringnya alarm tersebut. Seperti alarm darurat ketika terjadi suatu bencana atau akan datangnya ombak besar pesisir, senyaring itu untuk luas kamarnya. Ia menghela napas ketika bangun dan mematikan ‘alarm kematian’-nya itu. “Hampir saja kena serangan jantung. Astaga, ternyata senyaring ini suaranya. Aku harus menggantinya nanti.” Lyona berdiri dan menghela napas agar dirinya kembali tenang. Ia pun bangkit dan menyambar seragamnya yang sudah digantungnya semalam. Ia berjalan santai menuju kamar mandi, karena ini masih pagi dan meskipun ia bergerak seperti siput pun tidak akan terlambat. Ia mengambil handuk dan masuk kamar mandi dengan menguap lebar yang ia biarkan saja tidak ditutup tangan. Ia bersenandung sambil mandi. Entah karena keadaan hatinya yang
Lyona berjalan dengan setengah menyeret kakinya. Nyeri karena berlari pagi tadi masih sedikit terasa dan itu membuat kakinya kaku. Ia berjalan sambil melamun karena uang yang diterimanya. Ia pun juga mulai memikirkan orang tuanya, bagaimana keadaannya dan apakah mereka baik-baik saja di sana. Ia menatap jalan yang ia lalui tanpa mengangkat tatapannya. Ia fokus dengan pikiran-pikiran yang terlintas di kepalanya. Bahkan ia berkedip 5 detik sekali. Kebiasaan yang sulit hilang. Di belakang Lyona ada yang berjalan memerhatikannya. Ia menatap Lyona sejak tadi tanpa Lyona sadari. Ia pun was-was jika Lyona akan tahu ia sedang mengikutinya. Karenanya, ia berjalan lebih lambat karena kaki panjangnya sebanding dengan 2 langkah kaki Lyona. Seitar 5 meter di belakang Lyona. Tidak tanggung-tanggung, ia mengikuti Lyona hingga ke daerah pemukimannya. Ia berhenti tepat di gapura masuk dan mengangkat kepalanya membaca nama yang terdapat di gapura. Sejenak ia melihat daerah itu dan
Pagi ini Lyona bangun 25 menit lebih lambat dari biasanya. Saat melihat jam dinding di kamarnya, ia bergegas bangun dan mengambil seragamnya. Dengan berlari, ia mengambar handuk dan masuk ke kamar mandi. Ia hampir tersandung kakinya sendiri saat berlari. Tidak seperti biasanya. Hari ini ia sendirian di rumah dan tidak ada yang membangunkannya. Kedua orang tuanya sedang berada di luar kota untuk urusan perdagangan ikan bersama beberapa warga. Biasanya ia akan dibangunkan jika tidak segera bangun. Karena itulah ia melewatkan waktu bangunnya. Sangat ceroboh pikirnya. Lyona menghabiskan waktu 15 menit untuk mandi dan memakai seragamnya. Lyona memutuskan untuk memakai bedak saja dan langsung berangkat ke sekolah. Pada hari biasa, ia menghabiskan 15 menit untuk mandi, 10 menit memakai seragam, dan 5 menit berdandan. Lyona memang tidak memakai make up ke sekolah, namun ia tetap memakai bedak, sunscreen, dan lip balm. Setelah aktivitas paginya itu, ia biasanya
Satu minggu pertama telah berlalu dan Lyona masih memiliki 1 murid. Kendati demikian, ia tetap menerima karena baginya berbagi ilmu lebih utama dibandingkan gaji. Awalnya memang ia membuka les online untuk mendapatkan uang sebagai biaya study tour-nya, namun ketika melakukannya ia lebih merasa senang karena bisa membantu. Ia pun akhirnya mempunyai keinginan untuk menjalankan lesnya meskipun uang yang ia targetkan sudah terkumpul. Ia pun juga selalu menanyakan bagaimana pembelajarannya, dan ia menerima ulasan yang baik dari Malva. Malva mengatakan cara ia mengajarinya sangat sabar dan juga asyik. Lyona menjelaskan berulang-ulang hal yang belum dipahami hingga muridnya paham, karena jika muridnya tidak paham dan ia terus melanjutkan materinya ia merasa tidak ada gunanya. Hal itu sama saja tidak mengajari apa-apa. Yang terpenting muridnya paham dan bisa dengan apa yang diajarkannya. Ia tidak keberatan untuk menjelaskan kembali dan berulang-ulang jika ada materi yang belum dipah
Pada minggu pagi, seperti biasanya Lyona sedang bermalas-malasan di atas ranjangnya. Ia hanya berguling ke kanan dan ke kiri lalu berhenti dan menatap langit-langit kamarnya. Ia ditinggal sendirian oleh kedua orang tuanya yang sedang berkunjung ke paman Lyona di kota. Juki merupakan kakak kedua dari ayah Lyona yang merantau ke kota setalah lulus sekolah untuk mencari pekerjaan dengan gaji yang lebih besar daripada di desa. Ayah Lyona tinggal di sebuah desa yang mayoritas penduduknya adalah petani dan ia merantau ke pesisir untuk menjadi pelaut. Mimpi ayahnya itu bermula ketika ia diajak kakek Lyona berlibur ke pantai dan ia melihat para pelaut yang sedang berlayar dan nelayan-nelayan yang sedang mencari ikan dengan perahu. Ayah Lyona sangat suka menaiki perahu dan suasana laut. Dalam benaknya, ia merasa sangat luas ketika berlayar di laut. Oleh karena itu, ia pun mendaftarkan dirinya untuk menjadi pelaut namun sayangnya ia tidak lolos tes untuk menjadi seorang pelayaran. Karena ia meru
Melihat bagaimana orang tuanya mengusahakan dirinya untuk tetap ikut membuat Lyona merasa membebani. Ia pun memutuskan untuk mencari kerja paruh waktu yang bisa ia lakukan disela-sela sekolahnya. Ada beberapa pekerjaan yang bisa ia lakukan saat ini. Namun, ia pikir jika dirinya melakukan ini terang-terangan, maka orang tuanya akan marah. Lama ia berlarut dalam pikirannya. Pada saat itu, ia mendengar teman-temannya sedang membicarakan tentang les dan juga bayaran les adik Karine. Lyona pun seperti mendapat sambaran petir dalam dirinya. Dengan senyum bahagianya, ia pun bertanya tentang les itu. “Maaf menyela, les kayak gitu diadakan kapan?” Lyona bertanya langsung pada intinya. Ia menunggu jawaban temannya dengan penuh harap. “Ah, kalau itu tergantung yang minta sih. Bisa juga buat janji dulu, bisanya yang ngasih les kapan dan yang les bisanya kapan.” Okky menjawab pertanyaan Lyona. “Kamu mau les juga nih?” goda Sekta. “Ah, bukan gitu, c