Satu minggu pertama telah berlalu dan Lyona masih memiliki 1 murid. Kendati demikian, ia tetap menerima karena baginya berbagi ilmu lebih utama dibandingkan gaji. Awalnya memang ia membuka les online untuk mendapatkan uang sebagai biaya study tour-nya, namun ketika melakukannya ia lebih merasa senang karena bisa membantu. Ia pun akhirnya mempunyai keinginan untuk menjalankan lesnya meskipun uang yang ia targetkan sudah terkumpul. Ia pun juga selalu menanyakan bagaimana pembelajarannya, dan ia menerima ulasan yang baik dari Malva. Malva mengatakan cara ia mengajarinya sangat sabar dan juga asyik. Lyona menjelaskan berulang-ulang hal yang belum dipahami hingga muridnya paham, karena jika muridnya tidak paham dan ia terus melanjutkan materinya ia merasa tidak ada gunanya. Hal itu sama saja tidak mengajari apa-apa. Yang terpenting muridnya paham dan bisa dengan apa yang diajarkannya. Ia tidak keberatan untuk menjelaskan kembali dan berulang-ulang jika ada materi yang belum dipahami. Malva pun juga menyukai tipe guru yang seperti itu katanya pada Lyona.
Lyona merasa sangat bahagia seakan hatinya telah sukses diambil oleh muridnya itu. Kata-kata yang diberikan Malva selalu membuatnya senang dan bersemangat. Ia pun merasa tidak akan melepaskan hal ini. Berawal dari iseng-iseng saja, ternyata berbuah hasil yang manis dan tidak mengecewakan. Ia meluangkan waktu yang ia punya untuk mengajar Malva. Ia bahkan membuat janji dengan dirinya bahwa ia harus memberikan hasil yang baik kepada Malva dan ia harus membuat muridnya itu masuk peringkat paralel sekolahnya. Tidak begitu bagaimana mereka memulai, yang terpenting adalah ketekunan dan juga tekad agar hasil akhirnya juga memuaskan. Lyona merasa seperti mengajari adiknya sendiri. Ia pun merasa nyaman ketika dipanggil ‘kak’, rasanya seperti ia dipanggil adiknya sendiri. Tanpa disadari, hal tersebut juga telah merubah hidupnya yang membosankan menjadi bersemangat kembali. Ia menekankan diri agar selalu produktif dan semangat.
Hari ini, ayah dan ibu Lyona belum pulang kerja. Lyona terpikirkan untuk melakukan zoom dengan Malva. Ia ingat kemarin Malva mengatakan tidak memahami materi yang dijelaskan oleh Lyona lewat chat. Akhirnya, ia menyarankan untuk menjelaskan lewat zoom saja dan Malva pun setuju. Lyona pun mengambil ponselnya untuk menghubungi Malva. Sekitar 3 menit kemudian Malva menjawab jika ia bersedia. Lyona pun tersenyum dan mengambil laptopnya. Ia membuat room dan membagikannya kepada Malva. Berselang 2 menit Malva pun bergabung. Ini pertama kalinya ia melihat muridnya itu walau hanya lewat zoom dan begitu pula Malva. Lyona menyambut Malva dengan senyuman manis.
“Haii… udah siap belum nih?” tanya Lyona basa-basi.
“Hai kak, udah kok,” jawab Malva.
“Ok. Sebelumnya, materi kemarin ada yang mau ditanyakan selain yang akan kita bahas ini? Atau ada materi baru yang kamu terima yang juga mau ditanyakan? Biar sekalian kita bahas.”
“Eeehhmmm… sepertinya gak ada kak. Udah cukup jelas kok penjelasannya kemarin dan hari ini aku mau belajar yang kemarin aja soalnya itu materi yang aku bener-bener gak paham.”
“Ok. Kalau gitu, kita akan bahas materi kemarin aja. Jangan lupa siapkan kertas dan pulpen untuk mencatat yaa!”
“Baik kak.”
Lyona mengajari Malva dengan gembira. Menurutnya, keadaan hati pengajar bisa berpengaruh kepada yang diajari. Jadi, ia harus dalam keadaan hati yang bahagia agar Malva juga senang dan tidak merasa terbebani oleh pekerjaan rumahnya dan juga materi-materi yang ia kurang paham, karena hal tersebut wajar dan semua orang pasti punya batas kemampuannya masing-masing.
Malva mendengarkan dengan saksama penjelasan Lyona. Tidak lupa pula ia bertanya ketika penjelasan yang diberikan Lyona kurang jelas. Lyona pun tidak keberatan menjelaskan ulang hal yang sudah ia jelaskan, karena prinsipnya adalah yang terpenting bukan uang tetapi apakah anak didiknya paham atau tidak. Maka dari itu, ia selalu menanyakan disela-sela menjelaskan apakah Malva sudah paham atau perlu diulang. Malva pun mengungkapkan bahwa ia suka dengan guru yang seperti Lyona, karena dengan begitu ia dapat memahami materi yang ia pelajari dan mengerti.
Setengah jam berlalu dan Lyona pun menawarkan untuk istirahat sejenak yang langsung disambut anggukan oleh Malva. Lyona meregangkan tubuhnya dan bangkit untuk mengambil minum setelah dilihatnya Malva telah pergi lebih dulu untuk mengambil camilan. Lyona berjalan menuju dapur dan mengambil gelas lalu mengisinya dengan air. Ia pun berjalan kembali menuju kamarnya dan menaruh segelas airnya di sebelah laptopnya. Dilihatnya Malva belum kembali, ia pun membuka ponselnya dan mengecek W******p-nya yang menampakkan 129 pesan belum dibaca. Ia menggulir satu-satunya pesan dan menjawab pesan-pesan tersebut mulai dari bawah.
Malva pun kembali dengan camilannya di seberang sana. Lyona masih melihat ponselnya dan tidak memperhatikan jika Malva sudah kembali hingga Malva memanggil namanya dan Lyona mengangkat kepalanya seketika.
“Oh iya, maaf ya kakak masih balas pesan.”
“Iya kak, gak papa kok. Kakak teruskan dulu aja.”
“Udah selesai kok. Mau dilanjut?”
“5 menit lagi ya kak.”
Lyona menjawab Malva dengan anggukan dan senyuman. Setelah Malva siap, mereka pun melanjutkan pembelajaran hari ini. Sesekali mereka bercanda agar tidak bosan dan bertanya satu sama lain diluar materi yang dibahas. Hal tersebut agar mereka bisa lebih dekat.
Setelah 1 jam ditambah 15 menit istirahat, mereka pun menutup buku masing-masing. Untuk terakhir kali dan sebagai penutup, Lyona bertanya apakah ada hal yang Malva belum pahami atau mungkin pertanyaan. Namun, Malva menggeleng dan mengatakan bahwa materi yang disampaikan hari ini sudah jelas dan ia sudah paham bahkan materi yang sebelumnya ia tanyakan sebelum memulai zoom. Lyona pun merasa lega mendengar perkataan Malva. Ia bersyukur jika dirinya cukup baik dalam hal ini, padahal sebelumnya ia takut tidak bisa melakukannya.
Ketika Lyona menutup zoom dan akan berpamitan, Malva menahannya dan berkata ingin berbagi cerita kehidupan masing-masing. Malva terkadang tidak punya teman untuk bercerita dan menganggap Lyona bisa menjadi teman sekaligus kakak untuk bercerita. Mendengar hal tersebut, Lyona pun tersenyum dan mengiyakan permintaan Malva.
Lyona meminta Malva untuk bercerita terlebih dahulu lalu setelahnya Lyona yang akan bercerita. Namun sebaliknya, Malva ingin Lyona yang bercerita terlebih dahulu karena ia tadi sudah menceritakan sedikit tentang dirinya. Lyona pun mengalah dan menceritakan tentang dirinya. Mulai dari kenapa ia memulai membuka les online ini karena Malva sempat menanyakannya. Mau tidak mau, ia harus menceritakan bahwa dirinya melakukan hal ini karena ia tidak mau merepotkan orang tuanya karena biaya sekolahnya yang mahal dan juga biaya study tour.
Lyona bisa melihat jika mimik wajah Malva perlahan berubah ketika ia bercerita tentang dirinya. Ia melihat ada perasaan iba dalam tatapan Malva. Namun ia mengatakan bahwa hal tersebut sekarang tidak penting lagi, karena setelah ia melakukannya ternyata hal ini sangat menyenangkan dan membuatnya ingin melakukannya untuk waktu yang lama. Apalagi mempunyai Malva sebagai anak didiknya. Mendengar hal tersebut, Malva terlihat salah tingkah namun ia tidak ingin memperlihatkannya. Mereka mengobrol cukup lama setelahnya.
Pagi ini Lyona bangun 25 menit lebih lambat dari biasanya. Saat melihat jam dinding di kamarnya, ia bergegas bangun dan mengambil seragamnya. Dengan berlari, ia mengambar handuk dan masuk ke kamar mandi. Ia hampir tersandung kakinya sendiri saat berlari. Tidak seperti biasanya. Hari ini ia sendirian di rumah dan tidak ada yang membangunkannya. Kedua orang tuanya sedang berada di luar kota untuk urusan perdagangan ikan bersama beberapa warga. Biasanya ia akan dibangunkan jika tidak segera bangun. Karena itulah ia melewatkan waktu bangunnya. Sangat ceroboh pikirnya. Lyona menghabiskan waktu 15 menit untuk mandi dan memakai seragamnya. Lyona memutuskan untuk memakai bedak saja dan langsung berangkat ke sekolah. Pada hari biasa, ia menghabiskan 15 menit untuk mandi, 10 menit memakai seragam, dan 5 menit berdandan. Lyona memang tidak memakai make up ke sekolah, namun ia tetap memakai bedak, sunscreen, dan lip balm. Setelah aktivitas paginya itu, ia biasanya
Lyona berjalan dengan setengah menyeret kakinya. Nyeri karena berlari pagi tadi masih sedikit terasa dan itu membuat kakinya kaku. Ia berjalan sambil melamun karena uang yang diterimanya. Ia pun juga mulai memikirkan orang tuanya, bagaimana keadaannya dan apakah mereka baik-baik saja di sana. Ia menatap jalan yang ia lalui tanpa mengangkat tatapannya. Ia fokus dengan pikiran-pikiran yang terlintas di kepalanya. Bahkan ia berkedip 5 detik sekali. Kebiasaan yang sulit hilang. Di belakang Lyona ada yang berjalan memerhatikannya. Ia menatap Lyona sejak tadi tanpa Lyona sadari. Ia pun was-was jika Lyona akan tahu ia sedang mengikutinya. Karenanya, ia berjalan lebih lambat karena kaki panjangnya sebanding dengan 2 langkah kaki Lyona. Seitar 5 meter di belakang Lyona. Tidak tanggung-tanggung, ia mengikuti Lyona hingga ke daerah pemukimannya. Ia berhenti tepat di gapura masuk dan mengangkat kepalanya membaca nama yang terdapat di gapura. Sejenak ia melihat daerah itu dan
Alarm Lyona berbunyi nyaring dan Lyona seketika terbangun dari mimpinya. Alarm tersebut sengaja ia nyalakan dengan nada yang nyaring agar dirinya tidak lagi telat seperti kemarin. Namun tetap saja ia terkejut dengan nyaringnya alarm tersebut. Seperti alarm darurat ketika terjadi suatu bencana atau akan datangnya ombak besar pesisir, senyaring itu untuk luas kamarnya. Ia menghela napas ketika bangun dan mematikan ‘alarm kematian’-nya itu. “Hampir saja kena serangan jantung. Astaga, ternyata senyaring ini suaranya. Aku harus menggantinya nanti.” Lyona berdiri dan menghela napas agar dirinya kembali tenang. Ia pun bangkit dan menyambar seragamnya yang sudah digantungnya semalam. Ia berjalan santai menuju kamar mandi, karena ini masih pagi dan meskipun ia bergerak seperti siput pun tidak akan terlambat. Ia mengambil handuk dan masuk kamar mandi dengan menguap lebar yang ia biarkan saja tidak ditutup tangan. Ia bersenandung sambil mandi. Entah karena keadaan
Hari itu sangat panas di pesisir, orang-orang sibuk dengan urusan mereka. Orang-orang berlalu-lalang tanpa peduli dengan panasnya udara yang menerpa diri mereka. Bagaimana pun keadaan dan cuacanya mereka harus mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Mereka melakukannya dengan semangat yang tinggi demi sesuap nasi. Lyona, seorang siswi SMA terlihat keluar dari rumahnya untuk berangkat ke sekolah. Ia menyapa orang-orang yang dilewatinya dengan senyum manisnya. “Selamat pagi ibu,” sapanya kepada seorang ibu yang berangkat ke pasar untuk menjual ikan. “Oh. Pagi neng Lyona, mau berangkat sekolah neng?” tanya ibu tersebut. “Iya bu. Ini ibu mau ke pasar?” “Iya neng. Mau jualan hasil tangkapan semalem.” “Oh iya. Semoga laris manis ya bu.” “Amin. Terima kasih neng.” “Sama – sama ibu.” Setelah bertegur sapa Lyona dan ibu tersebut mengambil jalan berbeda dengan tujuan yang berbeda pula. Lyona dengan menggendong tas abu-abun
Lyona pulang setelah berpamitan dengan temannya. Hari pertama yang berat pikirnya. Memang tidak mudah bagi Lyona untuk bersosialisasi, ia terkenal anak yang pendiam sejak kecil. Bukan karena dia lemah atau penakut, namun ia tidak ingin kata – katanya menyakiti hati orang lain. Lyona takut akan berkata yang kurang pantas apalagi ketika ia marah, dirinya dapat melontarkan kata – kata yang buruk. Ia berjalan dengan senyum cerah agar dirinya tetap dalam mood yang baik. Ia tidak sabar bercerita kepada ibunya bagaimana hari pertamanya. Ia akan menceritakan bahagianya dia agar sang ibu tenang dan tidak gelisah lagi terhadap dunia persekolahnnya setelah masalah di sekolah lamanya. Lyona sempat dibully dan difitnah habis – habisan oleh teman – temannya di sekolah sebelumnya dan berakhir Lyona yang terpuruk secara mental. Masalahnya mungkin terdengar sepele, hanya karena salah satu teman perempuannya tidak suka jika pacarnya punya perasaan lebih terhadap Lyona. Padahal Lyona sendi
Melihat bagaimana orang tuanya mengusahakan dirinya untuk tetap ikut membuat Lyona merasa membebani. Ia pun memutuskan untuk mencari kerja paruh waktu yang bisa ia lakukan disela-sela sekolahnya. Ada beberapa pekerjaan yang bisa ia lakukan saat ini. Namun, ia pikir jika dirinya melakukan ini terang-terangan, maka orang tuanya akan marah. Lama ia berlarut dalam pikirannya. Pada saat itu, ia mendengar teman-temannya sedang membicarakan tentang les dan juga bayaran les adik Karine. Lyona pun seperti mendapat sambaran petir dalam dirinya. Dengan senyum bahagianya, ia pun bertanya tentang les itu. “Maaf menyela, les kayak gitu diadakan kapan?” Lyona bertanya langsung pada intinya. Ia menunggu jawaban temannya dengan penuh harap. “Ah, kalau itu tergantung yang minta sih. Bisa juga buat janji dulu, bisanya yang ngasih les kapan dan yang les bisanya kapan.” Okky menjawab pertanyaan Lyona. “Kamu mau les juga nih?” goda Sekta. “Ah, bukan gitu, c
Pada minggu pagi, seperti biasanya Lyona sedang bermalas-malasan di atas ranjangnya. Ia hanya berguling ke kanan dan ke kiri lalu berhenti dan menatap langit-langit kamarnya. Ia ditinggal sendirian oleh kedua orang tuanya yang sedang berkunjung ke paman Lyona di kota. Juki merupakan kakak kedua dari ayah Lyona yang merantau ke kota setalah lulus sekolah untuk mencari pekerjaan dengan gaji yang lebih besar daripada di desa. Ayah Lyona tinggal di sebuah desa yang mayoritas penduduknya adalah petani dan ia merantau ke pesisir untuk menjadi pelaut. Mimpi ayahnya itu bermula ketika ia diajak kakek Lyona berlibur ke pantai dan ia melihat para pelaut yang sedang berlayar dan nelayan-nelayan yang sedang mencari ikan dengan perahu. Ayah Lyona sangat suka menaiki perahu dan suasana laut. Dalam benaknya, ia merasa sangat luas ketika berlayar di laut. Oleh karena itu, ia pun mendaftarkan dirinya untuk menjadi pelaut namun sayangnya ia tidak lolos tes untuk menjadi seorang pelayaran. Karena ia meru
Alarm Lyona berbunyi nyaring dan Lyona seketika terbangun dari mimpinya. Alarm tersebut sengaja ia nyalakan dengan nada yang nyaring agar dirinya tidak lagi telat seperti kemarin. Namun tetap saja ia terkejut dengan nyaringnya alarm tersebut. Seperti alarm darurat ketika terjadi suatu bencana atau akan datangnya ombak besar pesisir, senyaring itu untuk luas kamarnya. Ia menghela napas ketika bangun dan mematikan ‘alarm kematian’-nya itu. “Hampir saja kena serangan jantung. Astaga, ternyata senyaring ini suaranya. Aku harus menggantinya nanti.” Lyona berdiri dan menghela napas agar dirinya kembali tenang. Ia pun bangkit dan menyambar seragamnya yang sudah digantungnya semalam. Ia berjalan santai menuju kamar mandi, karena ini masih pagi dan meskipun ia bergerak seperti siput pun tidak akan terlambat. Ia mengambil handuk dan masuk kamar mandi dengan menguap lebar yang ia biarkan saja tidak ditutup tangan. Ia bersenandung sambil mandi. Entah karena keadaan
Lyona berjalan dengan setengah menyeret kakinya. Nyeri karena berlari pagi tadi masih sedikit terasa dan itu membuat kakinya kaku. Ia berjalan sambil melamun karena uang yang diterimanya. Ia pun juga mulai memikirkan orang tuanya, bagaimana keadaannya dan apakah mereka baik-baik saja di sana. Ia menatap jalan yang ia lalui tanpa mengangkat tatapannya. Ia fokus dengan pikiran-pikiran yang terlintas di kepalanya. Bahkan ia berkedip 5 detik sekali. Kebiasaan yang sulit hilang. Di belakang Lyona ada yang berjalan memerhatikannya. Ia menatap Lyona sejak tadi tanpa Lyona sadari. Ia pun was-was jika Lyona akan tahu ia sedang mengikutinya. Karenanya, ia berjalan lebih lambat karena kaki panjangnya sebanding dengan 2 langkah kaki Lyona. Seitar 5 meter di belakang Lyona. Tidak tanggung-tanggung, ia mengikuti Lyona hingga ke daerah pemukimannya. Ia berhenti tepat di gapura masuk dan mengangkat kepalanya membaca nama yang terdapat di gapura. Sejenak ia melihat daerah itu dan
Pagi ini Lyona bangun 25 menit lebih lambat dari biasanya. Saat melihat jam dinding di kamarnya, ia bergegas bangun dan mengambil seragamnya. Dengan berlari, ia mengambar handuk dan masuk ke kamar mandi. Ia hampir tersandung kakinya sendiri saat berlari. Tidak seperti biasanya. Hari ini ia sendirian di rumah dan tidak ada yang membangunkannya. Kedua orang tuanya sedang berada di luar kota untuk urusan perdagangan ikan bersama beberapa warga. Biasanya ia akan dibangunkan jika tidak segera bangun. Karena itulah ia melewatkan waktu bangunnya. Sangat ceroboh pikirnya. Lyona menghabiskan waktu 15 menit untuk mandi dan memakai seragamnya. Lyona memutuskan untuk memakai bedak saja dan langsung berangkat ke sekolah. Pada hari biasa, ia menghabiskan 15 menit untuk mandi, 10 menit memakai seragam, dan 5 menit berdandan. Lyona memang tidak memakai make up ke sekolah, namun ia tetap memakai bedak, sunscreen, dan lip balm. Setelah aktivitas paginya itu, ia biasanya
Satu minggu pertama telah berlalu dan Lyona masih memiliki 1 murid. Kendati demikian, ia tetap menerima karena baginya berbagi ilmu lebih utama dibandingkan gaji. Awalnya memang ia membuka les online untuk mendapatkan uang sebagai biaya study tour-nya, namun ketika melakukannya ia lebih merasa senang karena bisa membantu. Ia pun akhirnya mempunyai keinginan untuk menjalankan lesnya meskipun uang yang ia targetkan sudah terkumpul. Ia pun juga selalu menanyakan bagaimana pembelajarannya, dan ia menerima ulasan yang baik dari Malva. Malva mengatakan cara ia mengajarinya sangat sabar dan juga asyik. Lyona menjelaskan berulang-ulang hal yang belum dipahami hingga muridnya paham, karena jika muridnya tidak paham dan ia terus melanjutkan materinya ia merasa tidak ada gunanya. Hal itu sama saja tidak mengajari apa-apa. Yang terpenting muridnya paham dan bisa dengan apa yang diajarkannya. Ia tidak keberatan untuk menjelaskan kembali dan berulang-ulang jika ada materi yang belum dipah
Pada minggu pagi, seperti biasanya Lyona sedang bermalas-malasan di atas ranjangnya. Ia hanya berguling ke kanan dan ke kiri lalu berhenti dan menatap langit-langit kamarnya. Ia ditinggal sendirian oleh kedua orang tuanya yang sedang berkunjung ke paman Lyona di kota. Juki merupakan kakak kedua dari ayah Lyona yang merantau ke kota setalah lulus sekolah untuk mencari pekerjaan dengan gaji yang lebih besar daripada di desa. Ayah Lyona tinggal di sebuah desa yang mayoritas penduduknya adalah petani dan ia merantau ke pesisir untuk menjadi pelaut. Mimpi ayahnya itu bermula ketika ia diajak kakek Lyona berlibur ke pantai dan ia melihat para pelaut yang sedang berlayar dan nelayan-nelayan yang sedang mencari ikan dengan perahu. Ayah Lyona sangat suka menaiki perahu dan suasana laut. Dalam benaknya, ia merasa sangat luas ketika berlayar di laut. Oleh karena itu, ia pun mendaftarkan dirinya untuk menjadi pelaut namun sayangnya ia tidak lolos tes untuk menjadi seorang pelayaran. Karena ia meru
Melihat bagaimana orang tuanya mengusahakan dirinya untuk tetap ikut membuat Lyona merasa membebani. Ia pun memutuskan untuk mencari kerja paruh waktu yang bisa ia lakukan disela-sela sekolahnya. Ada beberapa pekerjaan yang bisa ia lakukan saat ini. Namun, ia pikir jika dirinya melakukan ini terang-terangan, maka orang tuanya akan marah. Lama ia berlarut dalam pikirannya. Pada saat itu, ia mendengar teman-temannya sedang membicarakan tentang les dan juga bayaran les adik Karine. Lyona pun seperti mendapat sambaran petir dalam dirinya. Dengan senyum bahagianya, ia pun bertanya tentang les itu. “Maaf menyela, les kayak gitu diadakan kapan?” Lyona bertanya langsung pada intinya. Ia menunggu jawaban temannya dengan penuh harap. “Ah, kalau itu tergantung yang minta sih. Bisa juga buat janji dulu, bisanya yang ngasih les kapan dan yang les bisanya kapan.” Okky menjawab pertanyaan Lyona. “Kamu mau les juga nih?” goda Sekta. “Ah, bukan gitu, c
Lyona pulang setelah berpamitan dengan temannya. Hari pertama yang berat pikirnya. Memang tidak mudah bagi Lyona untuk bersosialisasi, ia terkenal anak yang pendiam sejak kecil. Bukan karena dia lemah atau penakut, namun ia tidak ingin kata – katanya menyakiti hati orang lain. Lyona takut akan berkata yang kurang pantas apalagi ketika ia marah, dirinya dapat melontarkan kata – kata yang buruk. Ia berjalan dengan senyum cerah agar dirinya tetap dalam mood yang baik. Ia tidak sabar bercerita kepada ibunya bagaimana hari pertamanya. Ia akan menceritakan bahagianya dia agar sang ibu tenang dan tidak gelisah lagi terhadap dunia persekolahnnya setelah masalah di sekolah lamanya. Lyona sempat dibully dan difitnah habis – habisan oleh teman – temannya di sekolah sebelumnya dan berakhir Lyona yang terpuruk secara mental. Masalahnya mungkin terdengar sepele, hanya karena salah satu teman perempuannya tidak suka jika pacarnya punya perasaan lebih terhadap Lyona. Padahal Lyona sendi
Hari itu sangat panas di pesisir, orang-orang sibuk dengan urusan mereka. Orang-orang berlalu-lalang tanpa peduli dengan panasnya udara yang menerpa diri mereka. Bagaimana pun keadaan dan cuacanya mereka harus mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Mereka melakukannya dengan semangat yang tinggi demi sesuap nasi. Lyona, seorang siswi SMA terlihat keluar dari rumahnya untuk berangkat ke sekolah. Ia menyapa orang-orang yang dilewatinya dengan senyum manisnya. “Selamat pagi ibu,” sapanya kepada seorang ibu yang berangkat ke pasar untuk menjual ikan. “Oh. Pagi neng Lyona, mau berangkat sekolah neng?” tanya ibu tersebut. “Iya bu. Ini ibu mau ke pasar?” “Iya neng. Mau jualan hasil tangkapan semalem.” “Oh iya. Semoga laris manis ya bu.” “Amin. Terima kasih neng.” “Sama – sama ibu.” Setelah bertegur sapa Lyona dan ibu tersebut mengambil jalan berbeda dengan tujuan yang berbeda pula. Lyona dengan menggendong tas abu-abun