Langitnya menghilang, begitu pun laut di bawah kakinya. Zoya menoleh ke arah air terjun yang juga perlahan memudar dan menyayangkan saat taman di sisi kirinya juga turut menghilang. Zoya hanya bisa melihat kabut putih di sekitarnya kini, mirip seperti ruang hampa di mana tidak ada yang bisa dilihat maupun didengar. Wanita itu juga tidak duduk di kursi, tubuhnya berdiri di tengah ruang putih tak terbatas."Apa aku bisa berjalan sekarang?" Zoya bergumam sembari mulai melangkah ke depan, entah bagaimana tidak ada kekhawatiran akan menabrak sesuatu yang tidak terlihat di depan. Perjalanannya jauh dan Zoya tidak tahu kapan ia harus berhenti atau sampai di tempat tujuan, tapi sama seperti saat ia duduk di kursi sebelumnya, tubuhnya tidak mau berhenti berjalan meski Zoya ingin berhenti."Aku benar-benar akan ke akhirat?" Zoya berguman entah untuk yang ke berapa kali, keningnya mengernyit setelah beberapa saat. "Kenapa aku bisa ada di sini, ya?" Pikiran wanita itu kosong, jangankan menging
Zoya kembali tertidur setelah melalui beberapa pemeriksaan, alat-alat di tubuhnya juga sudah dilepas dan hanya menyisakan infus. Kondisinya jauh lebih baik dari beberapa bulan terakhir, seolah kondisi kritisnya selama ini hanyalah candaan.Arvin datang satu jam setelah Vanya meneleponnya, bersama Elvio dan Mia. Tapi, mereka tidak sempat bertemu karena Zoya harus kembali beristirahat. "Kalau gitu, Mama akan bangun sebentar lagi, kan?" Elvio yang sejak datang selalu duduk di samping ranjang ibunya, bertanya setelah mendengarkan obrolan para orang dewasa tentang kondisi terkini Zoya.Meski Elvio tidak mengenal wanita baya yang kini turut berada di ruangan ibunya, ia bisa menebak dengan yakin tentang status wanita itu. Sepertinya Arvin benar-benar mendengarkan kata-katanya tentang hubungan anak dan orang tua."Iya, sayang, Mama akan segera bangun setelah beristirahat sebentar. Tapi, dokter bilang, karena pengaruh obat, Mama mungkin baru akan bangun tengah malam nanti." Arvin menjawab den
Arvin tercengang melihat wanita yang selama tiga bulan terakhir tidak bisa melakukan apa-apa dan hanya tertidur, sekarang malah meneriaki setelah menjewer telinganya. Apa Arvin sebenarnya sudah tidur dan sedang bermimpi saat ini? Dia yakin dokter bilang Zoya baru akan bangun lagi tengah malam nanti saat obat biusnya habis."Wow, aku tidak tahu bisa mengalami mimpi yang sangat nyata seperti ini." Arvin bergumam takjub, masih merasakan sisa-sisa rasa panas dari jeweran Zoya."Mimpi?! Kamu pikir ini mimpi? Oh, baik kalau begitu!"Buagh!Arvin yang tidak sempat memahami kekesalan dalam nada suara istrinya langsung menerima bantal yang dilemparkan tepat mengenai wajahnya. Tidak sakit, tapi cukup membuatnya kaget. Pria itu berkedip, matanya berbinar melihat sikap bar-bar istrinya. Oh, apakah karena ini adalah mimpi, makanya Zoya bertingkah sangat galak begini?"Kamu masih belum sadar?! Masih berpikir ini adalah mimpi?!" Zoya mendesah jengkel, apalagi melihat raut bodoh suaminya. "Kalau bu
Setelah menautkan jari kelingking dan saling bersumpah untuk tidak pernah menyerah satu sama lain, Arvin dan Zoya tertidur di ranjang pasien. Untungnya Zoya berada di kamar VIP yang ukuran ranjangnya juga lumayan besar.Dalam tidurnya, Arvin tidak lagi bermimpi. Pria itu akhirnya bisa tidur sangat nyenyak tanpa bermimpi melihat Zoya bangun dari koma lagi. Seolah hari-hari itu hanyalah mimpi buruk. Zoya terbangun beberapa jam setelahnya, ketika merasakan kehadiran seseorang di sisi ranjang. Wanita itu menyipitkan mata, rasa kantuk membuat pandangannya masih buram dan sedikit sulit mengenali sosok jangkung yang sedang berdiri."Kenapa bangun? Tidurlah lagi, Love." Zoya merasakan usapan lembut di kepalanya sebelum tangan besar itu menutup kedua mata Zoya, mengisyaratkan agar ia kembali melanjutkan tidurnya. Zoya tidak bisa menolak saat rasa nyaman dari tangan hangat yang tengah menutup matanya kembali membuatnya terbuai dan terlelap. "Papa ...." Zoya bergumam pelan sebelum benar-benar
Pria itu tersenyum, sama seperti hari-hari lalu ketika datang dan menyapa seseorang yang kini gemetar. "Kenapa tidak menjawab? Bukankah aku, kekasihmu ini, sedang menyapamu?" Arvin memiringkan kepala, menatap dingin pada wanita yang saat ini berusaha membalas tatapannya. Mata yang dipenuhi ketakutan dan keputusasaan itu tidak memuaskan Arvin, sebenarnya tidak peduli berapa banyak ia membalas apa yang sudah istri dan anaknya terima, pria itu tetap tidak puas. Padahal selama tiga bulan sejak Arvin menangkapnya, Aileen tidak lagi terlihat seperti manusia. Tidak ada lagi sosok wanita berpendidikan dengan gelar tinggi dan penampilan anggun juga cerdas, yang sedang menatap Arvin saat ini hanyalah seseorang yang tidak punya lagi harapan hidup. "Maahhaakhuu ...."Arvin menaikkan sebelah alis saat akhirnya Aileen bicara dengan susah payah, sayang sekali usahanya sia-sia karena Arvin tidak mengerti apa yang wanita itu katakan."Katakan dengan jelas, Aileen, jangan bicara seperti sedang kumu
Arvin kembali ke rumah sakit tempat istrinya dirawat setelah menyempatkan waktu untuk menemui Elvio dan menemaninya makan malam. Tepat pukul sembilan malam, pria itu mengetuk pintu kamar Zoya. Suara-suara yang terdengar dari dalam sempat membuat Arvin mengurungkan niatnya untuk masuk, tapi seseorang membukakan pintu setelah ketukannya. "Oh, kenapa baru datang?" Kaindra selaku yang membuka pintu bertanya saat melihat Arvin. "Kupikir wanita itu akan langsung dibereskan setelah Lovania sadar?" tanyanya lagi, kali ini dengan suara teramat pelan."Yah, ada beberapa urusan lain mengenai perusahaan. Aku juga harus menemani Gavin sebentar." Arvin melangkah mundur saat Kaindra menjauh dari pintu sebelum menutupnya. Arvin tahu ada yang harus mereka bicarakan melihat gelagat Kaindra saat ini."Aku agak lapar, mau menemaniku mencari makanan di kantin?" Kaindra bertanya sembari melangkah lebih dulu, tidak repot menunggu jawaban Arvin karena tahu jika pria itu pasti akan langsung mengikutinya.A
Arvin tahu cepat atau lambat Zoya akan bertanya tentang Aileen, tapi tidak pernah berpikir akan secepat ini. Selama tiga bulan, Arvin sibuk dengan menjaga Zoya dan Elvio, juga beberapa urusan perusahaan yang banyak tertunda. Pria itu juga hanya ‘mengurus’ Aileen ala kadarnya—salah satu penyesalan Arvin karena tidak memberikan balasan setimpal, jadi Arvin belum sempat menyiapkan jawaban atas pertanyaan Zoya saat ini.“Arvin?” Zoya kembali memanggil, tangannya terulur dan menyentuh kening suaminya yang berkerut. “Tidak apa-apa, meski kamu langsung membunuhnya pada saat itu, aku tidak akan marah. Hanya karena kamu tidak menyisakan bagian untukku, bukan berarti aku harus marah, kan?”Arvin berkedip pelan. “Maksudnya ... kamu ingin membalas wanita itu dengan tanganmu sendiri?” tanyanya sedikit tidak percaya. Ia pikir istrinya adalah seseorang yang patuh pada hukum dan hanya akan memberikan keadilan untuk Aileen berdasarkan hukum yang berlaku.Satu alis Zoya terangkat melihat raut bingung s
Malam itu berlalu dengan sebuah obrolan panjang. Zoya mendengarkan saat suaminya mengatakan semua hal yang ia lakukan terhadap Aileen, juga kenyataan jika wanita itu baru diselesaikan hari ini. Pelan, tapi pasti, Arvin juga menceritakan bagaimana dia bisa mengajukan proposal perjodohan dengan Aldara. Pria itu meminta maaf atas tindakannya yang terkesan memaksa dan mampu melakukan apa pun demi mendapatkan Zoya.Zoya juga mendengarkan bagaimana suaminya mengungkapkan cintanya, bahwa Arvin menyadari jika cinta yang sesungguhnya adalah berbahagia ketika seseorang yang dia cintai bahagia. Alasan utama Arvin ingin mengembalikan Zoya ke orang tuanya, karena pria itu sudah mengerti caranya mencintai seseorang."Bahkan sampai beberapa bulan lalu, aku masih menganggap caraku mencintai dengan memaksamu menyetujui kontrak mengikat adalah cara yang benar. Aku benar-benar ... aku sungguh tidak bermaksud membuatmu menderita, tapi waktu itu kupikir lebih baik seperti itu daripada kehilanganmu lagi."
Gelap. Arvin menyadari jika matanya ditutup oleh sesuatu ketika ia tidak bisa membuka kedua matanya meski kesadarannya perlahan pulih. Pria itu menggeliat pelan, hanya untuk menyadari bahwa tubuhnya terikat. Meski tidak tahu pasti posisinya, Arvin yakin saat ini ia diikat pada sebuah kursi, tangan dan kakinya tidak bisa bergerak. “Sepertinya kau mulai sadar.”Suara itu membuat Arvin menegakkan tubuh siaga. Meski baru sekali mendengar suaranya, tapi Arvin yakin itu milik pria yang sama dengan yang menodongkan pistol pada Arvin, seseorang yang dipanggil Zayn. Sial, apa Arvin terjebak di sarang musuh?!‘Bagaimana bisa aku masih diculik di usia segini?’ Arvin membatin jengkel, menyalahkan dirinya yang masih lemah dan tidak ada bedanya dengan masa kecilnya dulu. Hanya saja, dulu tidak ada yang Arvin pedulikan, karena ia percaya anak buah kakeknya akan segera datang menyelamatkan.Tapi, situasinya berbeda saat ini! Arvin memiliki orang-orang yang ingin ia lindungi. Kalau ia terjebak di tem
"Kalian sengaja melakukan ini, kan? Katakan padaku, sejak kapan kalian merencanakan pengkhianatan seperti ini?" Kaindra menatap galak pada wanita yang tengah duduk dengan tenang. "Kamu bahkan tidak punya rasa bersalah, Lova! Bagaimana kamu tega melakukan ini pada adikmu?" Kaindra kembali mengejar dengan pertanyaan, kaki yang sebelumnya sempat terhenti hanya untuk menatap penuh permusuhan pada Zoya, kembali melangkah gusar mengelilingi ruangan."Jangan mengerutkan keningmu," ucap salah satu wanita di hadapan Zoya.Hari ini adalah hari pernikahan Zoya dan Arvin dilaksanakan, jaraknya hanya satu minggu dari pernikahan Kaindra dan Mia.Zoya yang sejak seminggu terakhir terus mendengar omelan Kaindra tentang pengkhianatan hanya bisa menghela napas dan mengabaikan tingkah kekanakkan saudara kembarnya.Hari ini adalah hari di mana Zoya akan menikah dengan seseorang yang dicintai dan mencintainya. Dalam pernikahannya kali ini, Zoya tidak sendirian. Meski tidak dimulai dengan mengucap janji su
"Dia memang sudah agak besar, tapi-- kenapa senyummu terlihat mencurigakan, Tuan Kalandra? Jangan bilang kamu belum pamit pada El?!" Zoya mengerutkan kening sejak pemuda di sisinya tampak tersenyum kikuk."Aku tidak melakukan kesalahan sama sekali," ucap Arvin membela diri, tapi jawabannya justru membuat kening Zoya semakin berkerut dalam. "Ma-maksudku ... yah, aku lupa. Tapi, bisakah sekarang kamu fokus saja ke depan?" pintanya seraya mengusap punggung wanitanya.Zoya memilih mengikuti apa yang diminta Arvin, menelan kembali kata-katanya untuk mendebat pemuda itu."Wah!" Zoya tidak bisa menahan rasa kagum melihat pemandangan di hadapannya. Lampu-lampu yang berasal dari seluruh kota di bawah sana, dipadukan dengan gemerlap bintang di langit serta keheningan di sekitarnya membuat Zoya tersenyum cerah.Dia tidak tahu apa yang Arvin persiapkan, tapi sudah bisa menebak beberapa hal. Bukankah adegan seperti ini sudah sangat biasa di akhir sebuah novel? Zoya mengulum bibir, menahan senyum h
Arvin terkekeh saat Zoya memukul bahunya. Arvin meletakkan bunga di atas meja sebelum meraih Zoya ke dalam pelukan."Bisa ditahan dulu tidak menangisnya? Kita pindah ke tempat di mana tidak ada orang lain, setelah itu kamu boleh menangis lagi." Arvin berucap lembut, tangannya mengusap punggung istrinya dengan perlahan. Arvin berhasil membawa Zoya menjauh dari tempat pesta setelah wanita itu lebih tenang. Meski sempat dipelototi Kaindra dan Narendra, pemuda itu akhirnya bisa membawa wanitanya ke tempat lebih privat."Kita mau ke mana?" Zoya bertanya ketika Arvin terus menuntunnya keluar dari gedung. Pestanya belum selesai dan Zoya belum sempat berpamitan pada ibunya atau Elvio."Ke tempat di mana kita bisa bicara berdua tanpa gangguan," ucap Arvin sembari membukakan pintu mobil, senyumnya tidak pernah lepas.Zoya memasuki mobil tanpa bertanya lagi. Mereka mungkin memang perlu bicara berdua di tempat yang tenang. Sepanjang perjalanan, Zoya hanya diam, menahan diri untuk membicarakan b
"Apa kau keberatan kalau aku duduk di sini?"Zoya menoleh saat seseorang mendekat, pria yang menjadi topik hangat karena menjadi best man hari ini tampak tersenyum, bertanya dengan suara lembut pada Zoya. "Ah ya, silakan, tidak apa-apa." Zoya menggeser sedikit kursinya, memberi jarak pada kursi kosong di sampingnya. "Terima kasih. Ngomong-ngomong, bagaimana kabarmu?"Hm? Zoya sedikit mengernyit saat pria di sisinya, aktor yang mendapat julukan sebagai pria tertampan di dunia, bertanya santai seolah mereka sudah saling mengenal cukup lama."Aku ... baik," ucap Zoya tidak yakin. "Anda sendiri ... Tuan Ragava, bagaimana bisa mengenal Kaindra?" Pria yang dipanggil Ragava menaikkan satu alis sebelum bibirnya naik, tawanya terdengar renyah dan sedikit menggelitik di telinga Zoya. Untuk sesaat wanita itu terpesona, sedikitnya mengerti alasan pria di sampingnya disebut sebagai yang tertampan dan terseksi. "Yah, hanya kebetulan bertemu saat kami sedang di luar negeri. Tapi, kau benar-benar
"Memangnya saat kamu dan Tuan Arvin menikah, kalian tidak melempar bunga?" Grace bertanya dengan kening berkerut, setahunya pernikahan di mana-mana sama. Sayang sekali ia tidak bisa datang ke resepsi pernikahan Zoya dan Arvin karena harus menyiapkan banyak hal di kediaman utama Kalandra untuk menyambut nyonya baru.Zoya memiringkan kepala saat mengingat kembali hari pernikahannya. "Kami juga melakukannya, tapi aku tidak ingat siapa yang dapat bunga itu. Yah, waktu itu pikiranku sedikit kacau."Pernikahan pertama Zoya tidak dihadiri oleh orang tuanya, Kaindra juga tidak ada. Saat itu Zoya juga tidak punya seseorang yang bisa disebut teman selain Mia.Grace meletakkan karangan bunga lili ke atas meja kaca di sampingnya. "Maaf, seharusnya saat itu aku berusaha lebih keras untuk lebih dekat denganmu."Zoya tersenyum saat Grace menggenggam tangannya. Perasaan tulus sosok di sampingnya membuat Zoya merasa cukup. "Tidak apa-apa, semuanya sudah jadi masa lalu. Jangan memasang wajah seperti it
Zoya menyambut paginya dengan ketukan keras di pintu kamar. Masih subuh, tapi orang-orang di sekitarnya sudah sangat sibuk. Wanita itu duduk melamun di atas ranjang, membiarkan pelayan mondar-mandir di sekitar kamarnya.Ini adalah hari yang penting. Hari pernikahan Kaindra dan Mia digelar. Padahal yang menjadi pengantin hari ini bukan Zoya, tapi pelayan malah sangat sibuk mempersiapkan banyak hal untuknya. Ini bukan pertama kali Zoya menerima perlakuan seperti Tuan Putri. Saat masih di kediaman utama Aldara, setiap kali ada pesta perusahaan yang akan dilaksanakan, Zoya tidak pernah berdandan sendiri. Setiap kali dandanannya tidak sesuai selera sang Oma, wanita itu akan memarahi para pelayan karena tidak memperhatikan dengan benar saat merawat Zoya.Kalau sudah seperti itu, Zoya akan kembali ke depan cermin dan membiarkan pelayan memperbaiki riasannya. Padahal saat itu ia bahkan masih remaja yang harusnya tidak menggunakan make up terlalu tebal.Menghela napas, Zoya beranjak dari ranj
"Sudah tidur, ya?" Kaindra bertanya pelan sembari menatap pada Freya yang tengah terlelap, tampak beberapa bulir keringat di wajahnya. Mia yang baru selesai meletakkan guling dan bantal di sekitar Freya sedikit terkejut ketika Kaindra tiba-tiba sudah berdiri tepat di belakangnya. Wanita itu memberi isyarat agar Kaindra tidak berisik dengan meletakkan jari telunjuknya di bibir. Freya baru tertidur setelah meminum obat penurun panas.Kaindra mengecup kilat jari telunjuk Mia yang masih berada di bibir, tersenyum jahil melihat kening berkerut wanita di hadapannya sebelum kembali melayangkan kecupan lain di pipi wanitanya.Mia segera menarik Kaindra keluar dari kamar. Sepasang manusia itu berpapasan dengan Zoya yang juga ingin memeriksa kondisi Freya."Wah, si tidak tahu malu ini benar-benar menyusul ke sini!" Zoya mencubit lengan saudara kembarnya. "Bagaimana kondisi Freya?" tanyanya pada Mia setelah mengabaikan ringisan Kaindra."Dia tidur setelah minum obat, aku juga sudah memasang ple
"Selamat siang, Putri Tidur!" Sapaan itu membuat Zoya yang baru sampai di ruang keluarga sambil menguap, menggaruk kepalanya seraya tertawa canggung. Ia ingin menyalahkan Arvin yang mengajaknya begadang hingga membuatnya kesiangan, tapi pria itu bahkan sudah tidak ada di sisinya saat Zoya membuka mata."Halo, Ma!""Hai, Tante!"Zoya terkekeh gemas saat Elvio dan Freya juga turut menyapa."Selamat siang, anak-anak! Hehe ... selamat siang juga, Mama tersayang!" Zoya membalas sapaan sang ibu dengan senyum lebar. "Di mana yang lain?" tanya Zoya sembari berjalan mendekati ibunya."Arvin di taman belakang bersama Prazta dan Hannes." Vanya menjawab lembut pertanyaan putrinya. "Kamu makan dulu sana! Jangan sampai terlambat bangun membuatmu mengabaikan makan," peringatnya sembari memberi isyarat Zoya untuk pergi.Zoya hampir menanyakan apakah putranya dan Freya sudah makan, tapi segera menutup mulutnya saat mengingat jika matahari sudah cukup tinggi sekarang."Papa pasti ke kantor, kan? Tapi,