Arvin tercengang melihat wanita yang selama tiga bulan terakhir tidak bisa melakukan apa-apa dan hanya tertidur, sekarang malah meneriaki setelah menjewer telinganya. Apa Arvin sebenarnya sudah tidur dan sedang bermimpi saat ini? Dia yakin dokter bilang Zoya baru akan bangun lagi tengah malam nanti saat obat biusnya habis."Wow, aku tidak tahu bisa mengalami mimpi yang sangat nyata seperti ini." Arvin bergumam takjub, masih merasakan sisa-sisa rasa panas dari jeweran Zoya."Mimpi?! Kamu pikir ini mimpi? Oh, baik kalau begitu!"Buagh!Arvin yang tidak sempat memahami kekesalan dalam nada suara istrinya langsung menerima bantal yang dilemparkan tepat mengenai wajahnya. Tidak sakit, tapi cukup membuatnya kaget. Pria itu berkedip, matanya berbinar melihat sikap bar-bar istrinya. Oh, apakah karena ini adalah mimpi, makanya Zoya bertingkah sangat galak begini?"Kamu masih belum sadar?! Masih berpikir ini adalah mimpi?!" Zoya mendesah jengkel, apalagi melihat raut bodoh suaminya. "Kalau bu
Setelah menautkan jari kelingking dan saling bersumpah untuk tidak pernah menyerah satu sama lain, Arvin dan Zoya tertidur di ranjang pasien. Untungnya Zoya berada di kamar VIP yang ukuran ranjangnya juga lumayan besar.Dalam tidurnya, Arvin tidak lagi bermimpi. Pria itu akhirnya bisa tidur sangat nyenyak tanpa bermimpi melihat Zoya bangun dari koma lagi. Seolah hari-hari itu hanyalah mimpi buruk. Zoya terbangun beberapa jam setelahnya, ketika merasakan kehadiran seseorang di sisi ranjang. Wanita itu menyipitkan mata, rasa kantuk membuat pandangannya masih buram dan sedikit sulit mengenali sosok jangkung yang sedang berdiri."Kenapa bangun? Tidurlah lagi, Love." Zoya merasakan usapan lembut di kepalanya sebelum tangan besar itu menutup kedua mata Zoya, mengisyaratkan agar ia kembali melanjutkan tidurnya. Zoya tidak bisa menolak saat rasa nyaman dari tangan hangat yang tengah menutup matanya kembali membuatnya terbuai dan terlelap. "Papa ...." Zoya bergumam pelan sebelum benar-benar
Pria itu tersenyum, sama seperti hari-hari lalu ketika datang dan menyapa seseorang yang kini gemetar. "Kenapa tidak menjawab? Bukankah aku, kekasihmu ini, sedang menyapamu?" Arvin memiringkan kepala, menatap dingin pada wanita yang saat ini berusaha membalas tatapannya. Mata yang dipenuhi ketakutan dan keputusasaan itu tidak memuaskan Arvin, sebenarnya tidak peduli berapa banyak ia membalas apa yang sudah istri dan anaknya terima, pria itu tetap tidak puas. Padahal selama tiga bulan sejak Arvin menangkapnya, Aileen tidak lagi terlihat seperti manusia. Tidak ada lagi sosok wanita berpendidikan dengan gelar tinggi dan penampilan anggun juga cerdas, yang sedang menatap Arvin saat ini hanyalah seseorang yang tidak punya lagi harapan hidup. "Maahhaakhuu ...."Arvin menaikkan sebelah alis saat akhirnya Aileen bicara dengan susah payah, sayang sekali usahanya sia-sia karena Arvin tidak mengerti apa yang wanita itu katakan."Katakan dengan jelas, Aileen, jangan bicara seperti sedang kumu
Arvin kembali ke rumah sakit tempat istrinya dirawat setelah menyempatkan waktu untuk menemui Elvio dan menemaninya makan malam. Tepat pukul sembilan malam, pria itu mengetuk pintu kamar Zoya. Suara-suara yang terdengar dari dalam sempat membuat Arvin mengurungkan niatnya untuk masuk, tapi seseorang membukakan pintu setelah ketukannya. "Oh, kenapa baru datang?" Kaindra selaku yang membuka pintu bertanya saat melihat Arvin. "Kupikir wanita itu akan langsung dibereskan setelah Lovania sadar?" tanyanya lagi, kali ini dengan suara teramat pelan."Yah, ada beberapa urusan lain mengenai perusahaan. Aku juga harus menemani Gavin sebentar." Arvin melangkah mundur saat Kaindra menjauh dari pintu sebelum menutupnya. Arvin tahu ada yang harus mereka bicarakan melihat gelagat Kaindra saat ini."Aku agak lapar, mau menemaniku mencari makanan di kantin?" Kaindra bertanya sembari melangkah lebih dulu, tidak repot menunggu jawaban Arvin karena tahu jika pria itu pasti akan langsung mengikutinya.A
Arvin tahu cepat atau lambat Zoya akan bertanya tentang Aileen, tapi tidak pernah berpikir akan secepat ini. Selama tiga bulan, Arvin sibuk dengan menjaga Zoya dan Elvio, juga beberapa urusan perusahaan yang banyak tertunda. Pria itu juga hanya ‘mengurus’ Aileen ala kadarnya—salah satu penyesalan Arvin karena tidak memberikan balasan setimpal, jadi Arvin belum sempat menyiapkan jawaban atas pertanyaan Zoya saat ini.“Arvin?” Zoya kembali memanggil, tangannya terulur dan menyentuh kening suaminya yang berkerut. “Tidak apa-apa, meski kamu langsung membunuhnya pada saat itu, aku tidak akan marah. Hanya karena kamu tidak menyisakan bagian untukku, bukan berarti aku harus marah, kan?”Arvin berkedip pelan. “Maksudnya ... kamu ingin membalas wanita itu dengan tanganmu sendiri?” tanyanya sedikit tidak percaya. Ia pikir istrinya adalah seseorang yang patuh pada hukum dan hanya akan memberikan keadilan untuk Aileen berdasarkan hukum yang berlaku.Satu alis Zoya terangkat melihat raut bingung s
Malam itu berlalu dengan sebuah obrolan panjang. Zoya mendengarkan saat suaminya mengatakan semua hal yang ia lakukan terhadap Aileen, juga kenyataan jika wanita itu baru diselesaikan hari ini. Pelan, tapi pasti, Arvin juga menceritakan bagaimana dia bisa mengajukan proposal perjodohan dengan Aldara. Pria itu meminta maaf atas tindakannya yang terkesan memaksa dan mampu melakukan apa pun demi mendapatkan Zoya.Zoya juga mendengarkan bagaimana suaminya mengungkapkan cintanya, bahwa Arvin menyadari jika cinta yang sesungguhnya adalah berbahagia ketika seseorang yang dia cintai bahagia. Alasan utama Arvin ingin mengembalikan Zoya ke orang tuanya, karena pria itu sudah mengerti caranya mencintai seseorang."Bahkan sampai beberapa bulan lalu, aku masih menganggap caraku mencintai dengan memaksamu menyetujui kontrak mengikat adalah cara yang benar. Aku benar-benar ... aku sungguh tidak bermaksud membuatmu menderita, tapi waktu itu kupikir lebih baik seperti itu daripada kehilanganmu lagi."
Zoya bertepuk tangan dengan heboh, tawanya ikut mengiringi bersama teriakannya. Bagaimana tidak, bunga yang dilempar Vanya melambung tinggi dan jatuh tepat ke pelukan Freya yang sedang berdiri agak jauh sambil menikmati sepotong cookies.Kaindra yang melihat bagaimana buket bunga itu mendarat sempurna di pelukan putrinya bergegas menghampiri Freya, langkahnya sangat lebar sebelum akhirnya sampai di depan Freya yang sedang kebingungan sekaligus mengagumi bunga di tangan. "Kamu tidak boleh memegang bunga ini, Frey! Papa tidak akan pernah mengizinkanmu menikah!" Kaindra meraih bunga di tangan putrinya sebelum menoleh ke arah kerumunan, keningnya berkerut melihat tawa orang-orang. "Nggak boleh jadi pengantin? Kenapa?" Kaindra segera meraih Freya ke gendongannya, memastikan gadis itu berada di pelukannya saat ia mengembalikan bunga pada Vanya."Nah, silakan diulangi lagi acara lempar bunganya, yang tadi tidak sah!" Vanya tersenyum lebar sembari menerima kembali buket bunga dari putrany
"Wow, aku tidak menyangka kamu akan terang-terangan begini, Arvin." Zoya berdecak kagum saat akhirnya memasuki sebuah ruangan yang dipilih Arvin untuk bicara. Itu adalah kamar mewah dengan desain elegan, sebuah kamar yang memiliki berbagai perlengkapan di dalamnya. Pernikahan Narendra dan Vanya dilaksanakan di sebuah vila pribadi milik Narendra, tapi daripada disebut hanya memiliki vila, Zoya lebih suka menyebut ayahnya sebagai pemilik pulau karena semua vila mewah yang ada di sini merupakan milik Narendra.Kakek benar-benar orang kaya, adalah kata-kata yang diucap Elvio begitu sampai di pulau ini. Zoya terkekeh pelan mengingat bagaimana putranya terus-terusan mengatakan sesuatu tentang kekayaan Narendra dengan nada menyindir. "Tempat ini memang disediakan untuk kita beristirahat, lalu aku tidak memikirkan apa pun saat membawamu ke sini." Ucapan Arvin membuat Zoya yang sedang mengagumi desain interior kamar tempatnya berada kini, langsung menoleh pada pria yang berjalan menghampiri