Arvin tahu cepat atau lambat Zoya akan bertanya tentang Aileen, tapi tidak pernah berpikir akan secepat ini. Selama tiga bulan, Arvin sibuk dengan menjaga Zoya dan Elvio, juga beberapa urusan perusahaan yang banyak tertunda. Pria itu juga hanya ‘mengurus’ Aileen ala kadarnya—salah satu penyesalan Arvin karena tidak memberikan balasan setimpal, jadi Arvin belum sempat menyiapkan jawaban atas pertanyaan Zoya saat ini.“Arvin?” Zoya kembali memanggil, tangannya terulur dan menyentuh kening suaminya yang berkerut. “Tidak apa-apa, meski kamu langsung membunuhnya pada saat itu, aku tidak akan marah. Hanya karena kamu tidak menyisakan bagian untukku, bukan berarti aku harus marah, kan?”Arvin berkedip pelan. “Maksudnya ... kamu ingin membalas wanita itu dengan tanganmu sendiri?” tanyanya sedikit tidak percaya. Ia pikir istrinya adalah seseorang yang patuh pada hukum dan hanya akan memberikan keadilan untuk Aileen berdasarkan hukum yang berlaku.Satu alis Zoya terangkat melihat raut bingung s
Malam itu berlalu dengan sebuah obrolan panjang. Zoya mendengarkan saat suaminya mengatakan semua hal yang ia lakukan terhadap Aileen, juga kenyataan jika wanita itu baru diselesaikan hari ini. Pelan, tapi pasti, Arvin juga menceritakan bagaimana dia bisa mengajukan proposal perjodohan dengan Aldara. Pria itu meminta maaf atas tindakannya yang terkesan memaksa dan mampu melakukan apa pun demi mendapatkan Zoya.Zoya juga mendengarkan bagaimana suaminya mengungkapkan cintanya, bahwa Arvin menyadari jika cinta yang sesungguhnya adalah berbahagia ketika seseorang yang dia cintai bahagia. Alasan utama Arvin ingin mengembalikan Zoya ke orang tuanya, karena pria itu sudah mengerti caranya mencintai seseorang."Bahkan sampai beberapa bulan lalu, aku masih menganggap caraku mencintai dengan memaksamu menyetujui kontrak mengikat adalah cara yang benar. Aku benar-benar ... aku sungguh tidak bermaksud membuatmu menderita, tapi waktu itu kupikir lebih baik seperti itu daripada kehilanganmu lagi."
Zoya bertepuk tangan dengan heboh, tawanya ikut mengiringi bersama teriakannya. Bagaimana tidak, bunga yang dilempar Vanya melambung tinggi dan jatuh tepat ke pelukan Freya yang sedang berdiri agak jauh sambil menikmati sepotong cookies.Kaindra yang melihat bagaimana buket bunga itu mendarat sempurna di pelukan putrinya bergegas menghampiri Freya, langkahnya sangat lebar sebelum akhirnya sampai di depan Freya yang sedang kebingungan sekaligus mengagumi bunga di tangan. "Kamu tidak boleh memegang bunga ini, Frey! Papa tidak akan pernah mengizinkanmu menikah!" Kaindra meraih bunga di tangan putrinya sebelum menoleh ke arah kerumunan, keningnya berkerut melihat tawa orang-orang. "Nggak boleh jadi pengantin? Kenapa?" Kaindra segera meraih Freya ke gendongannya, memastikan gadis itu berada di pelukannya saat ia mengembalikan bunga pada Vanya."Nah, silakan diulangi lagi acara lempar bunganya, yang tadi tidak sah!" Vanya tersenyum lebar sembari menerima kembali buket bunga dari putrany
"Wow, aku tidak menyangka kamu akan terang-terangan begini, Arvin." Zoya berdecak kagum saat akhirnya memasuki sebuah ruangan yang dipilih Arvin untuk bicara. Itu adalah kamar mewah dengan desain elegan, sebuah kamar yang memiliki berbagai perlengkapan di dalamnya. Pernikahan Narendra dan Vanya dilaksanakan di sebuah vila pribadi milik Narendra, tapi daripada disebut hanya memiliki vila, Zoya lebih suka menyebut ayahnya sebagai pemilik pulau karena semua vila mewah yang ada di sini merupakan milik Narendra.Kakek benar-benar orang kaya, adalah kata-kata yang diucap Elvio begitu sampai di pulau ini. Zoya terkekeh pelan mengingat bagaimana putranya terus-terusan mengatakan sesuatu tentang kekayaan Narendra dengan nada menyindir. "Tempat ini memang disediakan untuk kita beristirahat, lalu aku tidak memikirkan apa pun saat membawamu ke sini." Ucapan Arvin membuat Zoya yang sedang mengagumi desain interior kamar tempatnya berada kini, langsung menoleh pada pria yang berjalan menghampiri
Selama tujuh tahun melarikan diri dari luka-lukanya, Zoya tidak pernah berpikir akan kembali ke tempat di mana luka itu berasal. Waktu berlalu dengan sangat cepat. Rasanya Zoya baru saja meninggalkan rumah ini kemarin, tapi ternyata tujuh tahun berlalu begitu saja, anehnya tidak ada yang berubah di sini.Ya, Zoya resmi kembali ke kediaman utama Kalandra hari ini, bersama Elvio dan Arvin yang akhirnya juga bisa kembali fokus di perusahaan pusat. Beberapa hari terakhir Zoya memikirkan sikap apa yang harus ia ambil, kata-kata apa yang harus ia sampaikan dan kesan seperti apa yang harus ditunjukkan saat kembali ke kediaman utama Kalandra. Zoya sudah siap dengan pandangan tidak senang mau pun bisik-bisik ketidakpuasan para pekerja di rumah itu."Selamat kembali ke rumah, Nyonya." Sambutan hangat dari pria yang cukup renta di hadapannya membuat Zoya mengerjap, sedikit tidak siap dengan sikap sopan para pekerja yang diketuai oleh kepala pelayan. Mereka melakukan pekerjaan dengan baik, meny
Zoya terbangun saat mendengar gedoran di pintu kamarnya disertai panggilan keras dari Elvio. Entah apa yang sedang terjadi hingga anak yang selalu bersikap sopan, tiba-tiba memanggil dengan keras seperti itu. Wanita itu menguap sembari berjalan pelan menuju pintu.“Kenapa kamu teriak-teriak--!”“MAMA, PESAWATKU KETINGGALAN!!!”Zoya mengerjap saat Elvio berteriak sambil menangis, air matanya mengalir deras dan merah di bawah matanya menunjukkan jika anak itu sudah menangis cukup lama.“Coba tenang dulu, El.” Zoya langsung mengusap air mata di pipi Elvio sebelum meraihnya ke dalam gendongan. Wanita itu membawa putranya masuk ke kamar.“Ada apa?” Arvin yang juga terbangun sejak mendengar tangisan Elvio, bertanya seraya meregangkan tubuhnya yang sedikit kaku. Pria itu berjalan menuju kulkas kecil di sudut ruangan, meraih satu botol air mineral dan membawanya mendekat pada Zoya.Zoya menurunkan Elvio di sofa, menerima uluran air mineral dari Arvin dan menyodorkannya pada Elvio. “Minum dulu
Elvio hampir melemparkan miniatur Menara Eiffel yang sedang dilihatnya, kalau saja tidak cepat melihat jika yang baru saja mengagetkannya adalah seorang pria tua yang siang tadi menyambut kedatangannya di pintu.“Ah, maafkan saya jika membuat Anda terkejut, Tuan Muda.” Hannes membungkuk saat menyadari kesalahannya. “Nama saya Hannes, kepala pelayan di kediaman utama Kalandra. Saya sungguh memohon maaf atas kelancangan saya yang tiba-tiba mengganggu waktu Anda,” ucapnya tulus.Elvio berdeham, sedikit kikuk saat seseorang yang ia yakin tidak jauh berbeda usianya dari Narendra, sedang membungkuk padanya. “Aku tidak terkejut, jadi jangan berlebihan,” ucapnya acuh.Hannes sedikit tersentak, tapi segera tersenyum lembut. Ia kembali menegakkan tubuhnya dan menatap hangat pada Elvio. “Ruangan ini baru kami modifikasi dan siapkan secara terburu-buru sejak Tuan bilang akan membawa putranya ke sini beberapa bulan lalu. Kami mohon maaf jika masih banyak yang kurang karena ada beberapa barang yang
Elvio mendengarkan bisikan Hannes yang perlahan semakin jauh dan tidak lagi terdengar saat mereka benar-benar memasuki ruang makan. Ruangan yang terlalu megah dan besar bagi Elvio, termasuk meja makan panjang yang mungkin bisa digunakan untuk dua puluh orang lebih. Tapi, fungsi ruang makan ini sepertinya memang dibuat untuk menjamu para tamu juga, jadi Elvio tidak bisa protes. “Bagaimana jalan-jalannya?” Zoya bertanya setelah Elvio duduk di kursinya, tepat di sisi kiri Arvin. Elvio yang sempat khawatir para pelayan akan mulai menghidangkan makanan, sedikit menghela napas lega saat semua makanannya ternyata sudah tertata di atas meja. Entah Elvio yang terlalu lama bermain hingga makanannya sudah dihidangkan sebelum kedatangannya atau benar seperti yang Hannes katakan tadi, bahwa tidak akan ada yang membuatnya tidak nyaman di rumah ini. Hanya saja … kenapa? Elvio tidak mengerti kenapa mereka memperlakukannya dengan baik padahal belum pernah bertemu dengan Elvio sebelumnya. “Aku nggak