Malam itu berlalu dengan sebuah obrolan panjang. Zoya mendengarkan saat suaminya mengatakan semua hal yang ia lakukan terhadap Aileen, juga kenyataan jika wanita itu baru diselesaikan hari ini. Pelan, tapi pasti, Arvin juga menceritakan bagaimana dia bisa mengajukan proposal perjodohan dengan Aldara. Pria itu meminta maaf atas tindakannya yang terkesan memaksa dan mampu melakukan apa pun demi mendapatkan Zoya.Zoya juga mendengarkan bagaimana suaminya mengungkapkan cintanya, bahwa Arvin menyadari jika cinta yang sesungguhnya adalah berbahagia ketika seseorang yang dia cintai bahagia. Alasan utama Arvin ingin mengembalikan Zoya ke orang tuanya, karena pria itu sudah mengerti caranya mencintai seseorang."Bahkan sampai beberapa bulan lalu, aku masih menganggap caraku mencintai dengan memaksamu menyetujui kontrak mengikat adalah cara yang benar. Aku benar-benar ... aku sungguh tidak bermaksud membuatmu menderita, tapi waktu itu kupikir lebih baik seperti itu daripada kehilanganmu lagi."
Zoya bertepuk tangan dengan heboh, tawanya ikut mengiringi bersama teriakannya. Bagaimana tidak, bunga yang dilempar Vanya melambung tinggi dan jatuh tepat ke pelukan Freya yang sedang berdiri agak jauh sambil menikmati sepotong cookies.Kaindra yang melihat bagaimana buket bunga itu mendarat sempurna di pelukan putrinya bergegas menghampiri Freya, langkahnya sangat lebar sebelum akhirnya sampai di depan Freya yang sedang kebingungan sekaligus mengagumi bunga di tangan. "Kamu tidak boleh memegang bunga ini, Frey! Papa tidak akan pernah mengizinkanmu menikah!" Kaindra meraih bunga di tangan putrinya sebelum menoleh ke arah kerumunan, keningnya berkerut melihat tawa orang-orang. "Nggak boleh jadi pengantin? Kenapa?" Kaindra segera meraih Freya ke gendongannya, memastikan gadis itu berada di pelukannya saat ia mengembalikan bunga pada Vanya."Nah, silakan diulangi lagi acara lempar bunganya, yang tadi tidak sah!" Vanya tersenyum lebar sembari menerima kembali buket bunga dari putrany
"Wow, aku tidak menyangka kamu akan terang-terangan begini, Arvin." Zoya berdecak kagum saat akhirnya memasuki sebuah ruangan yang dipilih Arvin untuk bicara. Itu adalah kamar mewah dengan desain elegan, sebuah kamar yang memiliki berbagai perlengkapan di dalamnya. Pernikahan Narendra dan Vanya dilaksanakan di sebuah vila pribadi milik Narendra, tapi daripada disebut hanya memiliki vila, Zoya lebih suka menyebut ayahnya sebagai pemilik pulau karena semua vila mewah yang ada di sini merupakan milik Narendra.Kakek benar-benar orang kaya, adalah kata-kata yang diucap Elvio begitu sampai di pulau ini. Zoya terkekeh pelan mengingat bagaimana putranya terus-terusan mengatakan sesuatu tentang kekayaan Narendra dengan nada menyindir. "Tempat ini memang disediakan untuk kita beristirahat, lalu aku tidak memikirkan apa pun saat membawamu ke sini." Ucapan Arvin membuat Zoya yang sedang mengagumi desain interior kamar tempatnya berada kini, langsung menoleh pada pria yang berjalan menghampiri
Selama tujuh tahun melarikan diri dari luka-lukanya, Zoya tidak pernah berpikir akan kembali ke tempat di mana luka itu berasal. Waktu berlalu dengan sangat cepat. Rasanya Zoya baru saja meninggalkan rumah ini kemarin, tapi ternyata tujuh tahun berlalu begitu saja, anehnya tidak ada yang berubah di sini.Ya, Zoya resmi kembali ke kediaman utama Kalandra hari ini, bersama Elvio dan Arvin yang akhirnya juga bisa kembali fokus di perusahaan pusat. Beberapa hari terakhir Zoya memikirkan sikap apa yang harus ia ambil, kata-kata apa yang harus ia sampaikan dan kesan seperti apa yang harus ditunjukkan saat kembali ke kediaman utama Kalandra. Zoya sudah siap dengan pandangan tidak senang mau pun bisik-bisik ketidakpuasan para pekerja di rumah itu."Selamat kembali ke rumah, Nyonya." Sambutan hangat dari pria yang cukup renta di hadapannya membuat Zoya mengerjap, sedikit tidak siap dengan sikap sopan para pekerja yang diketuai oleh kepala pelayan. Mereka melakukan pekerjaan dengan baik, meny
Zoya terbangun saat mendengar gedoran di pintu kamarnya disertai panggilan keras dari Elvio. Entah apa yang sedang terjadi hingga anak yang selalu bersikap sopan, tiba-tiba memanggil dengan keras seperti itu. Wanita itu menguap sembari berjalan pelan menuju pintu.“Kenapa kamu teriak-teriak--!”“MAMA, PESAWATKU KETINGGALAN!!!”Zoya mengerjap saat Elvio berteriak sambil menangis, air matanya mengalir deras dan merah di bawah matanya menunjukkan jika anak itu sudah menangis cukup lama.“Coba tenang dulu, El.” Zoya langsung mengusap air mata di pipi Elvio sebelum meraihnya ke dalam gendongan. Wanita itu membawa putranya masuk ke kamar.“Ada apa?” Arvin yang juga terbangun sejak mendengar tangisan Elvio, bertanya seraya meregangkan tubuhnya yang sedikit kaku. Pria itu berjalan menuju kulkas kecil di sudut ruangan, meraih satu botol air mineral dan membawanya mendekat pada Zoya.Zoya menurunkan Elvio di sofa, menerima uluran air mineral dari Arvin dan menyodorkannya pada Elvio. “Minum dulu
Elvio hampir melemparkan miniatur Menara Eiffel yang sedang dilihatnya, kalau saja tidak cepat melihat jika yang baru saja mengagetkannya adalah seorang pria tua yang siang tadi menyambut kedatangannya di pintu.“Ah, maafkan saya jika membuat Anda terkejut, Tuan Muda.” Hannes membungkuk saat menyadari kesalahannya. “Nama saya Hannes, kepala pelayan di kediaman utama Kalandra. Saya sungguh memohon maaf atas kelancangan saya yang tiba-tiba mengganggu waktu Anda,” ucapnya tulus.Elvio berdeham, sedikit kikuk saat seseorang yang ia yakin tidak jauh berbeda usianya dari Narendra, sedang membungkuk padanya. “Aku tidak terkejut, jadi jangan berlebihan,” ucapnya acuh.Hannes sedikit tersentak, tapi segera tersenyum lembut. Ia kembali menegakkan tubuhnya dan menatap hangat pada Elvio. “Ruangan ini baru kami modifikasi dan siapkan secara terburu-buru sejak Tuan bilang akan membawa putranya ke sini beberapa bulan lalu. Kami mohon maaf jika masih banyak yang kurang karena ada beberapa barang yang
Elvio mendengarkan bisikan Hannes yang perlahan semakin jauh dan tidak lagi terdengar saat mereka benar-benar memasuki ruang makan. Ruangan yang terlalu megah dan besar bagi Elvio, termasuk meja makan panjang yang mungkin bisa digunakan untuk dua puluh orang lebih. Tapi, fungsi ruang makan ini sepertinya memang dibuat untuk menjamu para tamu juga, jadi Elvio tidak bisa protes. “Bagaimana jalan-jalannya?” Zoya bertanya setelah Elvio duduk di kursinya, tepat di sisi kiri Arvin. Elvio yang sempat khawatir para pelayan akan mulai menghidangkan makanan, sedikit menghela napas lega saat semua makanannya ternyata sudah tertata di atas meja. Entah Elvio yang terlalu lama bermain hingga makanannya sudah dihidangkan sebelum kedatangannya atau benar seperti yang Hannes katakan tadi, bahwa tidak akan ada yang membuatnya tidak nyaman di rumah ini. Hanya saja … kenapa? Elvio tidak mengerti kenapa mereka memperlakukannya dengan baik padahal belum pernah bertemu dengan Elvio sebelumnya. “Aku nggak
Zoya tercekat, tahu dengan pasti apa yang Arvin maksud dengan mental yang tidak baik-baik saja. Bagaimana Zoya harus menanggapi masalah ini saat ia sendiri tidak tahu bagian mana dari mental anaknya yang terganggu? "Bisa kamu katakan lebih jelas? Aku tidak melihat sesuatu yang salah dari El," ucap Zoya setelah berhasil menenangkan diri. "Ya, tentu saja, dia selalu baik-baik saja jika bersamamu atau Mia. Sejak penculikan itu, Gavin tidak bisa berdekatan dengan wanita, tapi dia baik-baik saja dengan anak-anak seusianya. Gejalanya terlihat saat Gavin sudah sadar setelah kejadian itu, ketika perawat mendekat untuk memeriksa kondisinya, Gavin gemetar ketakutan, dia kesulitan bernapas sebelum perawat itu menjauh darinya." Penjelasan Arvin membuat tubuh Zoya gemetar, membayangkan putranya menderita hanya dengan mengingat bagaimana Aileen menyiksanya membuat Zoya menangis, rasa bersalahnya kembali bercokol dan menyesakkan dadanya. Padahal selama Zoya dirawat di rumah sakit, Elvio sering men
Gelap. Arvin menyadari jika matanya ditutup oleh sesuatu ketika ia tidak bisa membuka kedua matanya meski kesadarannya perlahan pulih. Pria itu menggeliat pelan, hanya untuk menyadari bahwa tubuhnya terikat. Meski tidak tahu pasti posisinya, Arvin yakin saat ini ia diikat pada sebuah kursi, tangan dan kakinya tidak bisa bergerak. “Sepertinya kau mulai sadar.”Suara itu membuat Arvin menegakkan tubuh siaga. Meski baru sekali mendengar suaranya, tapi Arvin yakin itu milik pria yang sama dengan yang menodongkan pistol pada Arvin, seseorang yang dipanggil Zayn. Sial, apa Arvin terjebak di sarang musuh?!‘Bagaimana bisa aku masih diculik di usia segini?’ Arvin membatin jengkel, menyalahkan dirinya yang masih lemah dan tidak ada bedanya dengan masa kecilnya dulu. Hanya saja, dulu tidak ada yang Arvin pedulikan, karena ia percaya anak buah kakeknya akan segera datang menyelamatkan.Tapi, situasinya berbeda saat ini! Arvin memiliki orang-orang yang ingin ia lindungi. Kalau ia terjebak di tem
"Kalian sengaja melakukan ini, kan? Katakan padaku, sejak kapan kalian merencanakan pengkhianatan seperti ini?" Kaindra menatap galak pada wanita yang tengah duduk dengan tenang. "Kamu bahkan tidak punya rasa bersalah, Lova! Bagaimana kamu tega melakukan ini pada adikmu?" Kaindra kembali mengejar dengan pertanyaan, kaki yang sebelumnya sempat terhenti hanya untuk menatap penuh permusuhan pada Zoya, kembali melangkah gusar mengelilingi ruangan."Jangan mengerutkan keningmu," ucap salah satu wanita di hadapan Zoya.Hari ini adalah hari pernikahan Zoya dan Arvin dilaksanakan, jaraknya hanya satu minggu dari pernikahan Kaindra dan Mia.Zoya yang sejak seminggu terakhir terus mendengar omelan Kaindra tentang pengkhianatan hanya bisa menghela napas dan mengabaikan tingkah kekanakkan saudara kembarnya.Hari ini adalah hari di mana Zoya akan menikah dengan seseorang yang dicintai dan mencintainya. Dalam pernikahannya kali ini, Zoya tidak sendirian. Meski tidak dimulai dengan mengucap janji su
"Dia memang sudah agak besar, tapi-- kenapa senyummu terlihat mencurigakan, Tuan Kalandra? Jangan bilang kamu belum pamit pada El?!" Zoya mengerutkan kening sejak pemuda di sisinya tampak tersenyum kikuk."Aku tidak melakukan kesalahan sama sekali," ucap Arvin membela diri, tapi jawabannya justru membuat kening Zoya semakin berkerut dalam. "Ma-maksudku ... yah, aku lupa. Tapi, bisakah sekarang kamu fokus saja ke depan?" pintanya seraya mengusap punggung wanitanya.Zoya memilih mengikuti apa yang diminta Arvin, menelan kembali kata-katanya untuk mendebat pemuda itu."Wah!" Zoya tidak bisa menahan rasa kagum melihat pemandangan di hadapannya. Lampu-lampu yang berasal dari seluruh kota di bawah sana, dipadukan dengan gemerlap bintang di langit serta keheningan di sekitarnya membuat Zoya tersenyum cerah.Dia tidak tahu apa yang Arvin persiapkan, tapi sudah bisa menebak beberapa hal. Bukankah adegan seperti ini sudah sangat biasa di akhir sebuah novel? Zoya mengulum bibir, menahan senyum h
Arvin terkekeh saat Zoya memukul bahunya. Arvin meletakkan bunga di atas meja sebelum meraih Zoya ke dalam pelukan."Bisa ditahan dulu tidak menangisnya? Kita pindah ke tempat di mana tidak ada orang lain, setelah itu kamu boleh menangis lagi." Arvin berucap lembut, tangannya mengusap punggung istrinya dengan perlahan. Arvin berhasil membawa Zoya menjauh dari tempat pesta setelah wanita itu lebih tenang. Meski sempat dipelototi Kaindra dan Narendra, pemuda itu akhirnya bisa membawa wanitanya ke tempat lebih privat."Kita mau ke mana?" Zoya bertanya ketika Arvin terus menuntunnya keluar dari gedung. Pestanya belum selesai dan Zoya belum sempat berpamitan pada ibunya atau Elvio."Ke tempat di mana kita bisa bicara berdua tanpa gangguan," ucap Arvin sembari membukakan pintu mobil, senyumnya tidak pernah lepas.Zoya memasuki mobil tanpa bertanya lagi. Mereka mungkin memang perlu bicara berdua di tempat yang tenang. Sepanjang perjalanan, Zoya hanya diam, menahan diri untuk membicarakan b
"Apa kau keberatan kalau aku duduk di sini?"Zoya menoleh saat seseorang mendekat, pria yang menjadi topik hangat karena menjadi best man hari ini tampak tersenyum, bertanya dengan suara lembut pada Zoya. "Ah ya, silakan, tidak apa-apa." Zoya menggeser sedikit kursinya, memberi jarak pada kursi kosong di sampingnya. "Terima kasih. Ngomong-ngomong, bagaimana kabarmu?"Hm? Zoya sedikit mengernyit saat pria di sisinya, aktor yang mendapat julukan sebagai pria tertampan di dunia, bertanya santai seolah mereka sudah saling mengenal cukup lama."Aku ... baik," ucap Zoya tidak yakin. "Anda sendiri ... Tuan Ragava, bagaimana bisa mengenal Kaindra?" Pria yang dipanggil Ragava menaikkan satu alis sebelum bibirnya naik, tawanya terdengar renyah dan sedikit menggelitik di telinga Zoya. Untuk sesaat wanita itu terpesona, sedikitnya mengerti alasan pria di sampingnya disebut sebagai yang tertampan dan terseksi. "Yah, hanya kebetulan bertemu saat kami sedang di luar negeri. Tapi, kau benar-benar
"Memangnya saat kamu dan Tuan Arvin menikah, kalian tidak melempar bunga?" Grace bertanya dengan kening berkerut, setahunya pernikahan di mana-mana sama. Sayang sekali ia tidak bisa datang ke resepsi pernikahan Zoya dan Arvin karena harus menyiapkan banyak hal di kediaman utama Kalandra untuk menyambut nyonya baru.Zoya memiringkan kepala saat mengingat kembali hari pernikahannya. "Kami juga melakukannya, tapi aku tidak ingat siapa yang dapat bunga itu. Yah, waktu itu pikiranku sedikit kacau."Pernikahan pertama Zoya tidak dihadiri oleh orang tuanya, Kaindra juga tidak ada. Saat itu Zoya juga tidak punya seseorang yang bisa disebut teman selain Mia.Grace meletakkan karangan bunga lili ke atas meja kaca di sampingnya. "Maaf, seharusnya saat itu aku berusaha lebih keras untuk lebih dekat denganmu."Zoya tersenyum saat Grace menggenggam tangannya. Perasaan tulus sosok di sampingnya membuat Zoya merasa cukup. "Tidak apa-apa, semuanya sudah jadi masa lalu. Jangan memasang wajah seperti it
Zoya menyambut paginya dengan ketukan keras di pintu kamar. Masih subuh, tapi orang-orang di sekitarnya sudah sangat sibuk. Wanita itu duduk melamun di atas ranjang, membiarkan pelayan mondar-mandir di sekitar kamarnya.Ini adalah hari yang penting. Hari pernikahan Kaindra dan Mia digelar. Padahal yang menjadi pengantin hari ini bukan Zoya, tapi pelayan malah sangat sibuk mempersiapkan banyak hal untuknya. Ini bukan pertama kali Zoya menerima perlakuan seperti Tuan Putri. Saat masih di kediaman utama Aldara, setiap kali ada pesta perusahaan yang akan dilaksanakan, Zoya tidak pernah berdandan sendiri. Setiap kali dandanannya tidak sesuai selera sang Oma, wanita itu akan memarahi para pelayan karena tidak memperhatikan dengan benar saat merawat Zoya.Kalau sudah seperti itu, Zoya akan kembali ke depan cermin dan membiarkan pelayan memperbaiki riasannya. Padahal saat itu ia bahkan masih remaja yang harusnya tidak menggunakan make up terlalu tebal.Menghela napas, Zoya beranjak dari ranj
"Sudah tidur, ya?" Kaindra bertanya pelan sembari menatap pada Freya yang tengah terlelap, tampak beberapa bulir keringat di wajahnya. Mia yang baru selesai meletakkan guling dan bantal di sekitar Freya sedikit terkejut ketika Kaindra tiba-tiba sudah berdiri tepat di belakangnya. Wanita itu memberi isyarat agar Kaindra tidak berisik dengan meletakkan jari telunjuknya di bibir. Freya baru tertidur setelah meminum obat penurun panas.Kaindra mengecup kilat jari telunjuk Mia yang masih berada di bibir, tersenyum jahil melihat kening berkerut wanita di hadapannya sebelum kembali melayangkan kecupan lain di pipi wanitanya.Mia segera menarik Kaindra keluar dari kamar. Sepasang manusia itu berpapasan dengan Zoya yang juga ingin memeriksa kondisi Freya."Wah, si tidak tahu malu ini benar-benar menyusul ke sini!" Zoya mencubit lengan saudara kembarnya. "Bagaimana kondisi Freya?" tanyanya pada Mia setelah mengabaikan ringisan Kaindra."Dia tidur setelah minum obat, aku juga sudah memasang ple
"Selamat siang, Putri Tidur!" Sapaan itu membuat Zoya yang baru sampai di ruang keluarga sambil menguap, menggaruk kepalanya seraya tertawa canggung. Ia ingin menyalahkan Arvin yang mengajaknya begadang hingga membuatnya kesiangan, tapi pria itu bahkan sudah tidak ada di sisinya saat Zoya membuka mata."Halo, Ma!""Hai, Tante!"Zoya terkekeh gemas saat Elvio dan Freya juga turut menyapa."Selamat siang, anak-anak! Hehe ... selamat siang juga, Mama tersayang!" Zoya membalas sapaan sang ibu dengan senyum lebar. "Di mana yang lain?" tanya Zoya sembari berjalan mendekati ibunya."Arvin di taman belakang bersama Prazta dan Hannes." Vanya menjawab lembut pertanyaan putrinya. "Kamu makan dulu sana! Jangan sampai terlambat bangun membuatmu mengabaikan makan," peringatnya sembari memberi isyarat Zoya untuk pergi.Zoya hampir menanyakan apakah putranya dan Freya sudah makan, tapi segera menutup mulutnya saat mengingat jika matahari sudah cukup tinggi sekarang."Papa pasti ke kantor, kan? Tapi,