Aku dibiarkan kelaparan, menahan sakitnya perut, tidak diizinkan untuk mengambil makananku sendiri.
Sekalipun perutku berbunyi terang-terangan, dimulai dari hari pertama aku bekerja aku tidak diizinkan mengisi perut kecuali makanan sisanya yang diapun jarang sekali makan sesuatu, bukan karena tidak mampu tapi beliau tidak berselera.Beliau akan menikmati semua makanan yang terhidang mewah di atas meja, sebelumnya memberi satu perintah padaku."Tutup mulutmu!" Untuk tidak bicara, termasuk tidak mengisi apapun ke perutku melalui mulutku.Aku hanya dipersilahkan untuk berdiri menungguinya, menelan ludah ingin, menahan ileran dari mulut, memerhatikan gerak bibirnya yang mengunyah, menatapnya penuh harap, menunggu kapan beliau selesai makan dan memberikan sisa makanannya padaku."Hapus ileranmu, menggunakan sapu tangan yang kuberikan padamu."Suruhannya tanpa menoleh, aku langsung mengambil sapu tangan di saku dan menghapus ileranku.Tuan Abizar menelan suapan terakhirnya, menyisakan makanan jatahku. Beliau belum mencuci tangannya, karena beliau biasa makan tanpa sendok, Tuan Abizar hanya mengusap mulutnya dengan tisu.Lelaki dengan darah campuran Indonesia-Arab Saudi itu menata kembali nasi dan gulai sisa ke dalam piringnya, dengan kode mata memintaku duduk di atas kursi yang sama dengannya, menyodorkan piring berisi lauk kepadaku, lalu menyuruhku makan.Sempat lupa adab, saking kelaparannya aku makan dengan rakus. Tuan Abizar yang jarang makan karena sibuk, imbasnya aku ikut tidak makan. Sudah dua hari ini aku hanya minum air, mengikuti Tuan Abizar yang tidak makan apapun selain air putih.Mulutku belepotan oleh butiran nasi dan kuah gulai, benar-benar seperti anak kecil aku lupa menjaga tata-krama, entah secringe apa Tuan Abizar saat melihatku.Mungkin Tuan Abizar memakluminya. Beliau tengah memerhatikanku yang begitu lahap memakan makanan sisanya dengan pandangan dalam yang tak bisa kuartikan.Aku nyaris berseru protes, saat Tuan Abizar yang duduk di sebelahku merebut piringku. Dia menambahkan nasi dan lauk lain yang tersisa di atas meja ke piringku, tangannya yang belum dicuci meraup butiran nasi. "Ini caraku berbagi kehidupan denganmu." Tuan Abizar menyuapiku, aku menelan suapannya.Beliau kembali menyuapiku dengan tangan besarnya, bibirku gemetar saat meraih jemarinya untuk menerima kembali suapannya.Saat memandang wajah kerasnya yang menatapku dingin, aku meneteskan air mata. Kali ini dengan antusias, menerima setiap suapan dari beliau. Aku mengunyah cepat, tidak sabar menanti suapannya yang ke selanjutnya. Tidak perduli umurku sudah 23 tahun, tapi beginilah cara Tuan Abizar 'berbagi kehidupan' denganku.Mawara Bunga, Semarang 2010>><<PRAK!Erangannya terdengar keras, disusul oleh bunyi hantaman sebuah benda. Bisa kutebak kekacauan apa lagi yang ada di lantai atas, tempat beliau bekerja dan berdiam diri.Langkahku tergopoh menaiki anak tangga, membuka pintu ruangannya, mendapati beliau yang menghamburkan semua kertas yang berterbangan di udara, laptopnya sudah rusak terhantam di lantai, sebelah tangannya membiru karena meninju meja.Tuan Abizar mendelik ke arahku, dia berteriak keras, "PERGI!"Tubuhku sontak menegang, belum beranjak, aku masih membeku di tempat. Hingga Tuan Abizar mengulangi perintahnya, "Pergi atau kubunuh kamu!"Aku melangkah mundur, lalu menutup pintu.Kubiarkan Tuan Abizar menggila sendiri.Sehari-hari ini yang kualami tapi aku belum bisa terbiasa, tubuhku masih takut dan gemetar saat menghadapinya. Tiga tahun aku bekerja di rumahnya, tapi tak ada perubahan. Sikapnya masih sama dan ketakutanku tak pernah berkurang. Yang berubah hanyalah jumlah mantan istrinya, yang selalu dia ceraikan setelah semalam pernikahan tanpa alasan jelas.Langkahku lunglai saat berjalan di lorong, melewati salah satu kamar yang ditempati mantan istri Tuan Abizar yang tengah menjalani masa iddah tiga bulan."Mawar," wanita itu keluar dari kamarnya dan memanggil namaku.Nyonya Ulfa, sebenarnya dia sangat cantik dengan suara halus, entah kenapa setelah pernikahan Tuan Abizar malah menalaknya seperti istri-istrinya sebelumnya yang tak pernah ada bertahan lebih dari sehari.Aku menoleh, dengan hormat menyahut. "Ada apa, Nyonya?"Sebenarnya di rumah sebesar ini, hanya aku pembantu yang bekerja di rumah ini.Semuanya, aku yang mengurus dan menangani. Melayani, bersih-bersih, masak, mencuci dan semacamnya.Sekalipun gajiku cukup besar, tapi kuakui saja, sebenarnya aku tidak mampu. Seakan tidak peka, Tuan Abizar tidak merekrut pembantu lain untuk membantuku melayaninya sehari-hari."Bisakah buatkan aku minuman, tenggorokanku haus?"Baru saja hendak mengangguk, suara Tuan Abizar melengking memanggil namaku lagi. Terdengar seperti mengamuk."MAWAR! MAWAR!"Bukan hanya aku yang ketakutan oleh sikap kasarnya yang seperti itu. Nyonya Ulfa sama halnya, termasuk istri-istri Tuan Abizar yang ditalaknya dahulu.Terpaksa mengabaikan permintaan Nyonya Ulfa—yang berarti dia harus mengambil minumannya sendiri—aku tergopoh menuju ruangan Tuan Abizar.Saat kubuka pintu ruangannya, suara dinginnya langsung menusuk pendengaran."Bersihkan semua ini, cepat!" suruhnya, lalu berlalu pergi.Setelah dia keluar dari ruangannya yang sudah berantakan, segera kupungut setiap kertas kusut yang berhamburan di sekitar lantai. Serpihan laptopnya yang hancur berantakan kubersihkan, dan mengelap tumpahan kopi panas di atas meja.Genap tiga kali suci, akhirnya Nyonya Ulfa menyelesaikan iddah-nya. Hari ini dia akan keluar dari rumah majikanku, seutuhnya lepas dari status istri sah Tuan Abizar karena sejak awal menalaknya tak ada tanda-tanda dari Tuan Abizar kalau beliau ingin merujuknya."Sebelum aku pergi, apakah kamu ingin mendengar sedikit cerita dariku, Mawar?"Nyonya Ulfa bertanya saat aku mengemasi barang-barang pribadinya ke dalam koper. Wajahku menoleh, sedikit menggambarkan rona bingung. Kepalaku mengangguk, mempersilahkan dia bercerita. "Setelah mengucapkan ijab, wajah tuanmu sangat murung, seperti menyesal menikahiku padahal keluarganya sendiri yang memintaku untuk menikah dengannya ...."Pergerakan tanganku yang menyusun barang-barang pribadi Nyonya Ulfa berhenti. Aku fokus mendengarkannya, diam-diam memerhatikan semua perhiasan yang melekat di tubuhnya. Semua benda mahal itu dari Tuan Abizar, sekalipun sudah menceraikan Nyonya Ulfa Tuan Abizar tidak memintanya kembali.Nyonya Ulfa melanjutkan ce
"Tuan?"Aku memanggilnya pelan. Hingga akhirnya Tuan Abizar menoleh sinis."Apa?" Nadanya nyaris sama seperti menggeram, sebelah tangannya sibuk menggores isi dokumen. Ingin fokus dengan pekerjaannya, aku malah menganggu konsentrasinya."Nyonya Ulfa sudah menunggu di depan, Anda tidak mau menemuinya sebentar, mengucapkan selamat tinggal sebelum beliau dipulangkan ke rumahnya."Tuan Abizar mendelik tidak suka. "Tidak usah.""Benar tidak usah, Tuan?""Iya, tidak usah."Aku hanya menghela napas, dengusanku ternyata disadari olehnya yang menatapku dingin. Aku pura-pura tidak melihat.Punggungku merunduk. "Kalau begitu saya pamit, Tuan. Untuk ke depan, menemani Nyonya Ulfa."Badannya langsung tegap, bertanya sinis. "Kamu lebih memilih menemani wanita itu dari pada menemaniku, di sini siapa yang tuanmu?"Aku mengalah, berdiri di tempat untuk menungguinya. Setelah menggores beberapa lembar dokumen, perintahnya terdengar. "Pergilah, temani Ulfa sampai keluarganya menjemput. Setelah itu, kemba
"Pesankan aku makanan."Beliau yang ingin makan, aku yang kegirangan.Menahan pekikan senangku, kuambil telepon rumah yang ada di atas mejanya. Menekan nomor langganan sebuah restoran mewah dan memesan beberapa paket makanan yang biasa Tuan Abizar pesan. Yang jujur saja, semua makanan kesukaan beliau adalah makanan kesukaanku. Entah ini kebetulan atau kesengajaan.Menunggu paket makanan sampai, aku duduk manis di atas sofa yang ada di ruangannya.Saat suara deru motor terdengar di halaman depan, aku melaju bak kilat untuk menerima pesanan dari kurir hidangan. Seharusnya tingkahku ini aneh, tapi Tuan Abizar seperti memakluminya. Aku mengambil piring, menyiapkan setiap makanan dan hidangan yang dibeli keatas meja Tuan Abizar. Sebelum giliranku, aku mempersilahkan tuanku menikmati makanan-makanan ini terlebih dahulu. "Silahkan Tuan." Gerakan tanganku seperti tidak sabar, lalu duduk menghadapnya. Tuan Abizar menepikan map, kertas dan laptopnya dari atas meja. Beliau melirikku. "Ambil
TV itu sengaja dinyalakan. Abizar yang merasa sepi, hanya ingin suara pembawa berita menemani kesepiannya sambil menggores-gores isi dokumen. Awalnya Abizar fokus dan serius, hingga tayangan televisi berganti. Menjadi acara musik. Suara gitar dan piano beradu, diikut-sertakan dengan nyanyian yang menggelora. Awalnya Abizar berhasil menahan tangannya yang gatal, bibirnya yag bergetar dan telinganya yang memanas. Tapi seperti hilang akal dan kesadaran diri, Abizar melempar sesuatu ke arah layar televisi. Benda itu rusak, suara yang menggema keluar darinya sudah tidak terdengar. Abizar bisa merasakan kemarahannya reda saat suara itu menghilang, napasnya mulai terhembus beraturan. Kembali dijatuhkannya diri ke atas kursi. Seleranya untuk bekerja mendadak hilang, saat serpihan televisi kini telah mengotori lantainya, ruangannya kembali menjadi seperti sediakala—hancur berantakan. Abizar hanya bisa menggusar rambut, berusaha menghilangan gemaan suara music yang terbayang di kepalanya seaka
"Tuan, bulan depan saya ingin pulang kampung. Dua minggu saja ngambil libur, boleh?" Saat memerhatikannya makan aku mengambil kesempatan untuk meminta izin. Tuan Abizar tersedak, lalu melirikku. Dengan berat kepalanya mengangguk, "baiklah, terserah kamu saja." Tangannya berhenti meraup nasi, mendadak kelihatan tidak berselera. Tuan Abizar mendorong piring makannya menjauh. Selama tiga tahun ini bisa kutebak beliau cukup baik, Tuan Abizar selalu menyisakan lauk-lauk enak untukku, saat beliau hanya mengambil nasi dan sayur rebus saja. "Makanlah," suruh Tuan Abizar, masih duduk di tempat. Aku menarik piringnya mendekat setelah mencuci tangan, sesekali melirik beliau aku memasukkan beberapa suapan nasi ke dalam mulut. Tuan Abizar mendelik ke arahku, entah kenapa kali ini beliau mudah kesal. "Aku benci melihat caramu makan, lambat." Diambil alihnya piringku, lalu mengambil nasi dan lauk dengan tangannya, beliau menyuapiku seperti biasanya. Lagi-lagi lupa umur, aku menerima suapan nasi da
Tuan Akmal mengurut kening saat Tuan Abizar sudah melaju pergi menggunakan mobilnya. Beliau menoleh, mendapatiku yang berhenti membersihkan pillar malah balik memeluk benda itu dengan kedua lengan karena terlalu fokus mendengarkan percakapan mereka. Aku salah tingkah saat diperhatikan Tuan Akmal, langsung kulepas dekapanku dari pillar lalu pura-pura membersihkan benda menjulang itu kembali. Tuan Akmal membuang napas, sepertinya masih kesal dengan yang barusan. Sebenarnya salut untuk Tuan Abizar, aku tidak menyangka dia memiliki pola pikir seperti itu. Sekalipun kelakuannya selama ini cukup meresahkan. Langkah Tuan Akmal mengentak, dia menjatuhkan diri di sofa single yang ada di teras. Matanya melirikku yang masih membersihkan satu pillar, tidak kunjung-kunjung pindah ke pillar yang lain. "Hei," Tuan Akmal memanggil, aku langsung balik badan dan menghadapnya. "Ya Tuan?" Beliau masih mengurut kening dan pangkal hidung, "bisa aku mengajakmu bicara sebentar?" Aku mengangguk, "silahkan
Hari sudah gelap saat aku selesai membersihkan semua lantai, dinding dan pillar di rumah bak istana tersebut, termasuk beberapa kamar kosong yang harus kusiapkan sesuai yang Tuan Akmal katakan. Kelelahan, aku hanya bisa minum air dingin. Ingin makan, Tuan Abizar belum kunjung pulang. Rasanya ingin berbuat curang, mengintai kotak roti dan hendak mencomotnya. Baru saja hendak kumasukkan utuh satu biskuit langsung kulemparkan ke tong sampah saat melihat Tuan Abizar memerhatikanku di ambang pintu. Beliau bersender di kusennya, lalu mendekatiku. "Kapan pulangnya, Tuan?" Tuan Abizar melirikku tajam, lalu menuangkan air dingin ke gelas. "Mobilku macet di tengah jalan, jadi aku ke sini sambil jalan kaki." Setelah meminum segelas air, Tuan Abizar meraih kotak cokelat simpananku. Dia menjulang menatapku tajam, merasa bersalah aku menjatuhkan diri dari kursi lalu duduk bersimpuh di lantai. Kedapatan melanggar aturan, tentu saja itu ancaman. "Lapar?" "Tentu saja, Tuan." "Aku juga lapar," dia
Tuan Abizar hanya bisa mematung di tempat saat sebuah mobil panjang yang berkilat indah berhenti tepat di halaman depan rumahnya. Seorang lelaki yang mirip dengannya menurunkan diri dari kendaraan tersebut, aku bisa menyaksikan kegugupan Tuan Abizar membuatku ikut menelan ludah. Lelaki dengan wajah penuh kerutan akibat penuaan, melangkah mendekat lalu ... PLAK! Aku spontan terdorong ke belakang. Tuan Abizar ditampar telak oleh ayahnya. Tuan Abizar diam, pipinya kelu. PLAK! Tamparan kedua, membuatku meringis ngilu. Kasihan kepada Tuan Abizar yang bahkan tidak bisa berkutik. Baru saja hendak melayangkan tamparan ketiga, Tuan Abizar menyela. "Makam ibu ... apakah Abi tidak mau menziarahinya?" Benar saja, ayahnya berhenti memberikan pelajaran. Tangannya jatuh ke samping paha, ayahnya Tuan Abizar seperti menahan perih dan rasa sakit. "Untuk apa aku menziarahi makam seorang wanita yang dimakamkan di satu liang yang sama bersama suami barunya?" Pertanyaan tersebut membuat Tuan Abizar menye