"Tuan, bulan depan saya ingin pulang kampung. Dua minggu saja ngambil libur, boleh?"
Saat memerhatikannya makan aku mengambil kesempatan untuk meminta izin. Tuan Abizar tersedak, lalu melirikku. Dengan berat kepalanya mengangguk, "baiklah, terserah kamu saja." Tangannya berhenti meraup nasi, mendadak kelihatan tidak berselera. Tuan Abizar mendorong piring makannya menjauh. Selama tiga tahun ini bisa kutebak beliau cukup baik, Tuan Abizar selalu menyisakan lauk-lauk enak untukku, saat beliau hanya mengambil nasi dan sayur rebus saja.
"Makanlah," suruh Tuan Abizar, masih duduk di tempat. Aku menarik piringnya mendekat setelah mencuci tangan, sesekali melirik beliau aku memasukkan beberapa suapan nasi ke dalam mulut.
Tuan Abizar mendelik ke arahku, entah kenapa kali ini beliau mudah kesal. "Aku benci melihat caramu makan, lambat." Diambil alihnya piringku, lalu mengambil nasi dan lauk dengan tangannya, beliau menyuapiku seperti biasanya. Lagi-lagi lupa umur, aku menerima suapan nasi dari tangannya. Selalu saja, tiap kali dia memperlakukanku seperti ini, aku seperti ingin menangis. Air mataku sudah menetes, tapi masih dengan antusias menerima semua suapan darinya. Tuan Abizar terlihat datar dan tak berkutik, aku tidak bisa menebak perasaannya dari raut wajahnya yang tidak berubah itu, apakah dia jijik? Senang? Atau biasa saja?
"Aku bisa makan sendiri, Tuan ...." Aku berkata sambil mengunyah nasi.
"Aku tahu kamu bisa makan sendiri," Tuan Abizar berbisik. Dia mengambilkanku air minum, melihat wajah merahku yang seperti nyaris tersedak. Aku menerimanya lalu menenggak air mineralnya hingga tandas. Tangan besar Tuan Abizar kembali bersiap hendak menyuapiku lagi, aku hanya membuka mulut, menerima suapannya dan mengunyah.
"Saya sudah kenyang, Tuan ...." Aku berbisik dengan pipi mengembung, penuh dengan lauk dan nasi.
"Kalau kamu sudah kenyang, siapa yang akan menghabiskan semua sisa makanan ini ...." Kalimatnya masih datar, kembali memberikan aku air minum, saat mendapatiku susah menelan setiap suapannya.
"Aku tidak bisa menghabiskannya sendirian ...."
Aku menatap wajahnya yang diam sebentar. Lalu kepalanya mengangguk, "kalau begitu aku ikut makan." Dia meraup nasi untuk dirinya sendiri, berhenti menyuapiku, dia kembali makan dan menyuruhku mandiri. Dari piring yang sama, aku mengambil nasi dan lauk untuk kumasukkan ke dalam mulut. Aku memerhatikan kebiasaan Tuan Abizar, lagi-lagi dia menyisakan lauk enak untukku, lebih memilih memakan nasi dan sayur yang rasanya hambar.
"Kalau Tuan ingin berbagi kehidupan Tuan denganku, kalau begitu bolehkah aku juga membagi kehidupanku dengan Tuan?"
Mendengar pertanyaanku Tuan Abizar berhenti menyuap. Beliau mengerjap, berusaha mencerna kalimatku. Lalu tebakannya terlontar, "kamu juga ingin menyuapiku?"
Tebakan yang tepat sasaran, apalagi tanganku sudah terangkat hendak menyuapinya. Kukira Tuan Abizar akan berubah jijik, menatapku dingin, marah lalu pergi. Ternyata dugaan terlalu berlebihan, Tuan Abizar membuka mulutnya, menerima suapanku langsung dari tanganku. Setelah mengunyah, dia bertanya. "Hanya sekali saja?" Aku kembali meraup nasi dan lauk yang dia abaikan. Sengaja aku menyuapinya agar dia ikut memakan makanan enak yang sengaja dia abaikan untukku. Bibirnya kembali mengambil suapan di tanganku, Tuan Abizar mengunyah, kepalanya mengangguk-angguk. "Enak," ini kali pertama aku mendengar dia memuji sebuah makanan. Aku senang mendengarnya.
Wajahnya kembali mendekat, menanti suapanku ke selanjutnya. Dengan semangat, aku kembali menyuapinya. Rasanya seperti menyuapi adikku di kampung, wajah Tuan Abizar terlihat seperti itu. "Aku sudah kenyang," Tuan Abizar baru bilang seperti itu setelah semua makanan di atas meja sudah habis. Aku tersenyum, dia yang menghabiskan semuanya. Sepertinya dia bisa menambah makanan lebih banyak jika aku yang menyuapinya. Ah, teringat umur, saat hal barusan terbayang di kepalaku, kupikir kami kekanakan sekali.
"Kamu itu suka berdandan, tapi garis bedak di bawah matamu selalu kelihatan ...." Tuan Abizar berdecak setelah mengamati wajahku selama beberapa detik. Jari telunjuk kanannya meratakan garis bedak di bawah mataku, lalu setelah itu tersadar. Tuan Abizar menatap telunjuknya lama, lalu memeringatkan. "Sepertinya bedak murahmu itu tidak cocok di wajahmu, perlu kubelikan make up lain?"
"Tidak usah, Tuan. Setidaknya bedak itu tidak membuat wajahku berjerawat."
Aku menampik, memerhatikan Tuan Abizar yang tidak mengalihkan tatapannya dari ujung telunjuknya.
"Bisa buatkan aku kopi? Agar aku tidak mengantuk, karena setelah ini aku harus bergadang mengurus dokumen."
Kepalaku mengangguk, baru saja bangkit beliau kembali menambahkan. "Yang panas."
"Yang panas?"
Tuan Abizar mengangguk, "benar, yang sangat panas."
Tanpa bertanya, aku mengiakan saja. Setelah kubuatkan Tuan Abizar membawa gelas kopi tersebut ke ruangannya. Beliau duduk diam di atas kursi kerjanya, meletakkan cangkir kopi tersebut, lalu memasukkan ujung telunjuknya ke dalam cairan hitam yang masih begitu panas. Tuan Abizar hanya meringis, tidak mengangkat telunjuknya sebelum kopi itu dingin.
>><<
Aku mengenali sosok yang datang yang wajahnya menyerupai Tuan Abizar. Kalau tidak salah, namanya Tuan Akmal. Adiknya Tuan Abizar, yang sesekali datang ke Indonesia, tapi dia menetap di Arab Saudi. Dia datang pagi-pagi ke rumah Tuan Abizar, sepertinya mendarat di Indonesia kemaren dan semalam menginap di hotel. Tuan Abizar baru saja hendak keluar dari rumah untuk berangkat bekerja, mengabaikan kehadiran adiknya begitu saja, aku lihat Tuan Akmal mengejar langkah Tuan Abizar lalu menahan lengannya.
"Jangan ganggu aku," Tuan Abizar berkata sinis.
"Abizar, ayolah ikut aku sekarang juga. Pukul 08.00 kita berangkat ke Arab Saudi, Abi ingin mengenalkanmu dengan seorang wanita dari keluarga terhormat, barang kali kamu berubah pikiran kali ini."
"Sudah kubilang sejak awal, aku tidak berminat. Kamu ingin hal yang sama terulang?"
"Abizar, wanita yang akan kami nikahkan lagi denganmu adalah wanita yang memiliki nasab dengan ulama terkenal. Jangan main-main kali ini, jika kamu membuat ulah lagi, keluarga kita akan hancur."
"Kalian tahu aku akan membuat ulah, lalu kenapa kalian mencarikan aku wanita yang baru?" Tuan Abizar mendengus.
"Kami pikir, kami perlu mencari wanita terbaik, agar kamu tidak punya alasan untuk menolak."
"Semua wanita itu terbaik, tidak ada wanita yang buruk. Hanya saja, yang kucari bukan wanita yang terbaik. Sudahlah, kembali ke Saudi sana. Aku menolak pernikahan ini, tidak perduli dari keluarga mana wanita itu berasal. Kalian tidak bisa seenaknya hendak menjodohkan aku dengan seorang wanita. Sekalipun penolakanku kali ini, lagi-lagi akan mempermalukan keluarga kita. Bukan aku yang salah, kalian yang seenaknya."
"Ayolah Abizar," Akmal mengacak-ngacak rambut.
"Kamu ingin Abi yang mendatangimu langsung dan menghajarmu? Abi akan memaafkanmu jika kamu datang ke Saudi sekarang juga. Jadi ini kesempatan untukmu, atau Abi sendiri yang akan menghancurkan anak bebal sepertimu. Ada yang salah denganmu, emangnya apa yang salah dari pernikahan dan poligini? Kamu selalu menolak keduanya."
"Ini yang kubenci dari keluarga kita dan semua orang yang menyerupai keluarga kita."
Tuan Abizar bersiap membuka pintu mobilnya, "pertama, menganggap apa yang kalian lakukan bukan kesalahan. Kamu tahu, saat kamu memiliki istri kedua, hanya kamu yang menjadi pihak yang diuntungkan. Dan istri pertama yang menemanimu selama ini, hanya akan mengalami kerugian, kehilangan setengah haknya sebagai istri dan harus merasakan luka terperih yang bahkan lebih sakit dari sebuah kata talak."
Mata Tuan Abizar berair, dia seperti berat menjelaskannya. "Saat kamu menikahi istri ketiga, di antara kamu dan kedua istrimu sebelumnya, hanya kamu yang akan menjadi pihak yang diuntungkan. Hanya kamu, dari tiga orang di antara kalian. Kamu menambah daftar orang yang terluka, kamu mengurangi hak-hak mereka, nafkah ranjang maupun material, kamu memaksa mereka untuk berbagi hak sekalipun kadang mereka butuh nafkah dan sentuhan lebih dari yang kamu bagi-ratakan. Kamu menikah lagi, dengan alasan tidak bisa menahan diri. Tapi kenapa kamu tidak merasa bersalah saat mendesak semua istrimu untuk menahan diri? Sekalipun mereka bisa menahannya, menahan nafus dan rasa sakit itu, tapi bisakah kamu pikirkan kembali? Kenapa hanya mereka, kenapa tidak kalian juga, bersabar, menahan diri?"
"Budaya di sini dan di sana beda, Abizar. Setiap orang memiliki sudut pandang berbeda."
"Itulah yang kubenci, sudut pandang mereka yang menganggap tidak salah hal tersebut. Aib di sana, lumrah di sini. Ingat, aku campuran Indonesia-Arab Saudi, aku memiliki dua budaya dan dua sudut pandang. Tapi semua orang di sana, tidak seharusnya memiliki sudut pandang yang sama 'kan? Kadang mereka—kamu dan juga Abi—harus berpikir, yang harus menahan diri dan bersabar bukan hanya istri-istri kalian, tapi kalian juga."
"Jika Abi mendengar ini dia pasti menyesal menikahi ibumu dan memiliki anak sepertimu, sindiranmu mengena sekali." Tuan Akmal terkekeh, sambil mengelap pillar dengan kain basah aku hanya memerhatikan mereka yang terus beradu pandang. "Semenjak kamu tinggal di Indonesia, pola pikirmu banyak berubah, Abizar. Dulu, kamu memang tidak mendukung sama sekali tradisi keluarga kita—poligini atau semacamnya 'lah. Kamu tidak pernah protes, saat saudara-saudara kita menikahi wanita lebih dari satu atau ayah kita sendiri menalak istri tuanya hanya untuk wanita baru. Tapi sekarang, kamu sudah sedikit berani ternyata."
"Karena aku berpikir, emangnya layak wanita yang kamu cintai merasakan semua itu?"
"Oke, oke, wanita yang kamu cintai." Tuan Akmal menanggapi, dia tertawa.
"Ashya mungkin tersiksa selama ini semenjak kamu mencari istri kedua, ketiga dan keselanjutnya." Saat Tuan Abizar menyebut nama itu, raut wajah Tuan Akmal berubah. Semakin gelap, bahunya gemetar.
"Salah satu hal yang tidak betah membuatku berkunjung ke Arab Saudi, karena terlalu sering melihat istri-istri tua kalian menangisi kalian. Rumah yang seharusnya penuh kebahagiaan, malah menjadi penjara hati setiap wanita. Aku bukan tipe lelaki yang begitu menghargai perempuan, kamu tahu itu setelah mendapati kelakuanku selama ini. Tapi yang tidak pas di hatiku, kenapa para wanita kalian harus menahan diri, bersabar dan ikhlas, sedangkan kalian tidak dituntut hal yang serupa?"
"Jangan ungkit nama Ashya, jika membahas ini denganku."
"Harus, karena Ashya adalah wanita yang sudah menemanimu selama lima tahun, penuh kesabaran, menahan diri dan keikhlasan saat kamu kehilangan kepercayaan dari Abi, perusahaanmu yang kamu olah hampir bangkrut, tapi untuk mencari wanita lain saja, kamu tidak bisa bersabar dan menahan diri."
"Abizar, Abi yang memintaku. Andai tidak, sebelumnya aku tidak berpikir seperti demikian untuk menyakiti Ashya." Tuan Akmal berusaha menyangkal. Dari teras depan aku masih memerhatikan mereka, sepertinya Tuan Abizar akan terlambat ke kantor. Tanpa sadar kupeluk pillar yang ada di teras. "Abi dan kakek-kakek kita sebelumnya melakukan hal yang serupa, makanya kita dianjurkan untuk melakukan hal yang sama."
"Kalau begitu, aku orang pertama yang tidak akan melakukan hal yang serupa. Bilang ke Abi, jangan carikan aku wanita manapun, aku hanya akan mencari satu yang akan kucari sendiri. Aku tidak akan mengikuti jejak kalian, harap maklumi aku. Aku tidak mau mendengar rumahku penuh tangisan dari wanita yang kucintai."
"Abizar," Tuan Akmal mendesah lelah.
"Satu lagi, Akmal. Jaga Ashya baik-baik. Nanti kamu akan kehilangannya. Yang kubahas bukan perceraian, tapi kematian. Tapi untuk sekarang Ashya baik-baik saja, tergantung bagaimana perasaannya kelak."
Peringatan itu membuat Tuan Akmal tergugu. Tuan Abizar masuk ke dalam mobil, menjatuhkan diri ke bangku setir dan melajukan mobilnya.
Tuan Akmal mengurut kening saat Tuan Abizar sudah melaju pergi menggunakan mobilnya. Beliau menoleh, mendapatiku yang berhenti membersihkan pillar malah balik memeluk benda itu dengan kedua lengan karena terlalu fokus mendengarkan percakapan mereka. Aku salah tingkah saat diperhatikan Tuan Akmal, langsung kulepas dekapanku dari pillar lalu pura-pura membersihkan benda menjulang itu kembali. Tuan Akmal membuang napas, sepertinya masih kesal dengan yang barusan. Sebenarnya salut untuk Tuan Abizar, aku tidak menyangka dia memiliki pola pikir seperti itu. Sekalipun kelakuannya selama ini cukup meresahkan. Langkah Tuan Akmal mengentak, dia menjatuhkan diri di sofa single yang ada di teras. Matanya melirikku yang masih membersihkan satu pillar, tidak kunjung-kunjung pindah ke pillar yang lain. "Hei," Tuan Akmal memanggil, aku langsung balik badan dan menghadapnya. "Ya Tuan?" Beliau masih mengurut kening dan pangkal hidung, "bisa aku mengajakmu bicara sebentar?" Aku mengangguk, "silahkan
Hari sudah gelap saat aku selesai membersihkan semua lantai, dinding dan pillar di rumah bak istana tersebut, termasuk beberapa kamar kosong yang harus kusiapkan sesuai yang Tuan Akmal katakan. Kelelahan, aku hanya bisa minum air dingin. Ingin makan, Tuan Abizar belum kunjung pulang. Rasanya ingin berbuat curang, mengintai kotak roti dan hendak mencomotnya. Baru saja hendak kumasukkan utuh satu biskuit langsung kulemparkan ke tong sampah saat melihat Tuan Abizar memerhatikanku di ambang pintu. Beliau bersender di kusennya, lalu mendekatiku. "Kapan pulangnya, Tuan?" Tuan Abizar melirikku tajam, lalu menuangkan air dingin ke gelas. "Mobilku macet di tengah jalan, jadi aku ke sini sambil jalan kaki." Setelah meminum segelas air, Tuan Abizar meraih kotak cokelat simpananku. Dia menjulang menatapku tajam, merasa bersalah aku menjatuhkan diri dari kursi lalu duduk bersimpuh di lantai. Kedapatan melanggar aturan, tentu saja itu ancaman. "Lapar?" "Tentu saja, Tuan." "Aku juga lapar," dia
Tuan Abizar hanya bisa mematung di tempat saat sebuah mobil panjang yang berkilat indah berhenti tepat di halaman depan rumahnya. Seorang lelaki yang mirip dengannya menurunkan diri dari kendaraan tersebut, aku bisa menyaksikan kegugupan Tuan Abizar membuatku ikut menelan ludah. Lelaki dengan wajah penuh kerutan akibat penuaan, melangkah mendekat lalu ... PLAK! Aku spontan terdorong ke belakang. Tuan Abizar ditampar telak oleh ayahnya. Tuan Abizar diam, pipinya kelu. PLAK! Tamparan kedua, membuatku meringis ngilu. Kasihan kepada Tuan Abizar yang bahkan tidak bisa berkutik. Baru saja hendak melayangkan tamparan ketiga, Tuan Abizar menyela. "Makam ibu ... apakah Abi tidak mau menziarahinya?" Benar saja, ayahnya berhenti memberikan pelajaran. Tangannya jatuh ke samping paha, ayahnya Tuan Abizar seperti menahan perih dan rasa sakit. "Untuk apa aku menziarahi makam seorang wanita yang dimakamkan di satu liang yang sama bersama suami barunya?" Pertanyaan tersebut membuat Tuan Abizar menye
POV Author Mereka tidak mau mendengarkannya. Hal itu yang membuat Abizar begitu kesal. Seharusnya Layla mendengarkannya, lalu membujuk kedua orangtuanya untuk pulang ke Arab Saudi. Padahal Abizar sudah terang-terangan, dia menolak pernikahan dan perjodohan ini! Dia tidak mau diganggu ataupun berurusan dengan mereka. Tapi apa? Mereka bebal. Tetap pada rencana pertama, terus melakukan pengenalan. Wanita itu bersama keluarganya menyewa sebuah rumah yang tidak berjauhan dari sini. Abizar geram setengah mati, mulai hari ini sampai mereka pergi, pasti dia akan diganggu setiap hari. Wanita itu pasti sering berkunjung dengan berbagai alasannya. "Ada yang perlu saya buatkan, Tuan?" Suara Mawar, berhasil menyejukkan hati Abizar yang sempat memanas. Abizar menghembuskan napas, lalu berkata. "Tak perlu buatkan apa-apa, cukup duduk di sini, temani aku." Mawar menganggukkan kepala, mengambil kursi dan duduk di sebelah Abizar. Di mata Mawar Abizar terlihat begitu frustrasi, sebelah tangannya tid
"Hei," panggilan Abizar tepat di telinga kirinya membuat Mawar terperanjat. Mawar perlahan membalik tubuh, menemukan Abizar yang berdiri di balik punggungnya. "Mau masak apa?" Abizar bertanya saat melihat Mawar asyik mengotak-atik perabotan dapur. "Tumben Tuan perduli saya mau masak apa?" "Saranku, capcay, sop ayam dan nasi goreng." Tatapan Mawar menyipit ke arahnya, "sebelum kehilangan indra pengecap itu makanan yang Anda suka, ya Tuan?" Abizar menggelengkan kepala, pertanyaan Mawar terdengar sok tahu. "Aku sudah kehilangan indra pengecapku sejak kecil. Jadi, karena aku tidak punya alasan untuk makan, semasa kecil aku sering kena maag dan sakit-sakitan. Sekalipun dipaksa, paling sering aku hanya makan tiga hari sekali itu 'pun dengan poris sedikit." Mawar terdiam. Ikut berempati mendengar cerita sedih tuannya. "Semenjak kamu datang, mulai saat itu, jika teringat kamu akan kelaparan jika aku tidak makan—karena kamu hanya makan makanan sisaku—aku mulai bisa mengatur pola makanku. J
"Dalam satu liang ini ada sepasang suami-istri yang saling mencintai sampai mati, Abi." Mereka sudah sampai di sebuah tanah luas yang hanya terdiri dari satu liang yang diisi dua badan. Sudah beruntung Omar tidak harus menangis keras saat menginjakkan kaki di sini, Abizar yang memang tadinya sempat merasa bersalah kini memancing kesedihan ayahnya lagi. Omar yang matanya memerah hanya melirik tajam anaknya. Abizar yang tidak kenal takut melanjutkan, "mereka saling berpelukan dan terus mengatakan cinta. Setidaknya mereka terus bersama, sepasang malaikat Mungkar dan Nangkir 'pun iri melihat kemesraan mereka." Tangan Omar semakin mengepal, dia berusaha menahan emosi. Tatapannya tertuju pada makam mantan istrinya dengan suami barunya, Omar tidak bisa menahan ledakan di dadanya. "Saat salah satu malaikat bertanya, manrabbuka? Siapa Tuhanmu?" Abizar masih melanjutkan celotehannya, "dan kedua sepasang suami-istri itu menjawab, 'Maha Suci Allah yang telah mempertemukan kami, menjadikan kami
Selagi Abizar pergi Mawar sibuk bersih-bersih. Mulai dari seluruh kamar bekas saudara-saudara Abizar dan ruangan-ruangan yang sering ditempati mereka saat senggang, seperti ruang tengah, ruangan televisi dan teras. Termasuk halaman depan yang sepertinya rumput-rumput di halaman mulai memanjang. Dari lantai dua, saat Mawar tengah membersihkan kamar Akmal, wajah wanita itu gelisah saat mendapati seorang gadis cantik berwajah Arab dengan rambut indah sepinggang kini tengah melangkah menuju rumah diikuti oleh pembantunya. Tidak mungkin Mawar benar-benar mengusirnya 'kan seperti yang Abizar bilang? Mawar awalnya berniat pura-pura tidak tahu. Yang dicari Layla pasti Abizar atau Tuan Omar untuk memberikan sesuatu yang dia bawa. Tapi keduanya memang tidak ada di sini. Baru saja Mawar hendak bersembunyi, Layla mendongak ke lantai dua. Tersenyum ke arahnya yang tengah membersihkan balkon bekas kamar Akmal. Mawar menjadi canggung. Saat wanita itu berdiri di teras mau tidak mau Mawar harus turun
Sebenarnya Mawar merasa bersalah jika harus menyumbangkan makanan yang dibuat oleh Layla dan ibunya dengan susah-payah. Tapi mau bagaimana lagi, Mawar harus lebih memprioritaskan perasaan Abizar. Saat Abizar tengah membersihkan diri di dalam kamarnya, Mawar membersihkan lembar-lembar uang yang berserakan di lantai dapur. Dikumpulkannya lalu dimasukkannya ke dalam dompet Abizar yang tergeletak sembarangan. Setelah itu, Mawar mengendap-ngendap menyelinap masuk ke kamar Abizar. Dari bunyi shower Abizar tengah asyik mandi, Mawar mendesah saat mendapati bermacam mata uang milik Abizar masih berserakan di lantai kamarnya. Abizar seperti tidak ada niat untuk mengumpulkannya lagi lalu memasukkannya ke dalam brankas seperti semula. Mawar mengumpulkan semua uang yang berserakan itu. Termasuk kotak perhiasan yang entah kenapa Abizar mengumpulkannya sampai sebanyak itu, semua benda itu nampak berkilau-kilau indah. Mawar memasukkannya kembali ke dalam brankas, mata uang riyal, dollar, dengan jumla