Hari sudah gelap saat aku selesai membersihkan semua lantai, dinding dan pillar di rumah bak istana tersebut, termasuk beberapa kamar kosong yang harus kusiapkan sesuai yang Tuan Akmal katakan. Kelelahan, aku hanya bisa minum air dingin. Ingin makan, Tuan Abizar belum kunjung pulang. Rasanya ingin berbuat curang, mengintai kotak roti dan hendak mencomotnya. Baru saja hendak kumasukkan utuh satu biskuit langsung kulemparkan ke tong sampah saat melihat Tuan Abizar memerhatikanku di ambang pintu. Beliau bersender di kusennya, lalu mendekatiku.
"Kapan pulangnya, Tuan?"
Tuan Abizar melirikku tajam, lalu menuangkan air dingin ke gelas. "Mobilku macet di tengah jalan, jadi aku ke sini sambil jalan kaki."
Setelah meminum segelas air, Tuan Abizar meraih kotak cokelat simpananku. Dia menjulang menatapku tajam, merasa bersalah aku menjatuhkan diri dari kursi lalu duduk bersimpuh di lantai. Kedapatan melanggar aturan, tentu saja itu ancaman. "Lapar?"
"Tentu saja, Tuan."
"Aku juga lapar," dia menjawab. "Kalau kamu nyatanya sudah kenyang sebelum aku makan, sekalipun aku lapar aku tetap tidak punya alasan untuk mengisi perut."
Di dalam hati aku bergumam. Aneh.
"Sudah kubilangkan, kenapa aku suka menyiksamu seperti ini karena agar aku punya alasan untuk memakan sesuatu."
Dia ikut menjatuhkan diri di lantai, duduk menghadapku yang bersimpuh sambil menundukkan kepala. Dia membuka kotak rotiku, merobek bungkusnya. Biskuit itu dia gigit kurang dari setengah, sisanya diberikan padaku. "Makan," aku menurut, memasukkannya ke dalam mulut. "Malam ini kita cuma makan roti simpananmu ini." Aku melenguh. Dasar Anda, Tuan. Senang sekali menyiksaku. Beliau kembali membuka bungkus yang baru, merobeknya, menggigitnya setengah darinya lalu diberikan sisanya padaku.
"Enak, ya? Rasa madu."
Aku berhenti mengunyah, "rasa madu?" Apa beliau mengalami gangguan dalam indra pengecapnya.
"Rasa madu 'kan?" Tuan Abizar melirik kotak roti tersebut, memang ada gambar lebah dan sangkar penuh madu di sana. Itu hanya kotak lama, yang kumasukkan roti simpanan yang kubeli di warung sebelah.
"Ini roti rasanya asin, Tuan."
Tuan Abizar terdiam, "asin? Oh, asin. Itu maksudku."
Aku berhenti berkutik.
"Mau kubuatkan kopi, Tuan? Sepertinya Anda akan begadang malam ini."
"Oke," Tuan Abizar menjawab dengan nada datarnya seperti biasa.
Segera kubuatkan kopi, sengaja hendak mengetesnya. Sepertinya ada yang salah lagi pada diri tuanku. Aku buatkan kopi tanpa gula, lalu meletakkannya ke lantai. Kembali duduk bersimpuh menghadapnya di lantai. "Minumlah, Tuan." Tuan Abizar menurut, dia seperti biasa saja saat menyeruput minumanku. Sampai tandas, hingga gelas itu kosong. Tak ada seruan protes lain 'kah?
"Bagaimana rasanya, Tuan?"
Tuan Abizar mengangguk-angguk, "seperti biasa, enak. Kopi dan gulanya pas."
Aku tersedak angin. "Tuan ...." Panggilku lirih. "Anda ada masalah di indra pengecap?"
Tuan Abizar menatapku dingin, lalu menghela napas. Senyumnya kecut, "ya. Aku tidak bisa merasakan enak, asin, pahit, manis atau tidak enaknya sebuah makanan. Makanya kubilang, selain karena kamu aku tidak memiliki alasan untuk makan. Memasukkan makanan tanpa rasa ke mulutku hanya untuk mengganjal perut, amat membosankan untukku. Seperti roti ini," Tuan Abizar memperlihatkan roti asinku. Lalu memasukkannya ke dalam mulut setengahnya. "Sama sekali tak ada rasa di mulutku. Tapi aku semangat memakannya, jika aku bisa membaginya denganmu." Tangannya memberikanku sisa roti yang dia kunyah. Aku berkaca-kaca, menerimanya lalu memasukkannya ke dalam mulut.
"Terimakasih, Tuan ...."
"Sudahlah, seharusnya aku yang bilang begitu." Tampik beliau sambil membuka bungkus baru roti.
"Untuk wanita baru yang akan dinikahkan dengan Tuan apakah Tuan benar-benar akan menolaknya lagi?"
Tuan Abizar menatapku tajam saat aku memberanikan diri menanyakannya. "Kenapa kamu bertanya seperti itu?"
"Apa salahnya, Tuan? Umur Anda sudah cukup tua—maksudku 27 tahun, apa salahnya menikah? Memiliki anak? Bahagia?"
"Diam," Tuan Abizar menyumpal roti ke mulutku. "Aku malas membahasnya."
"Saatnya berhenti menjadi pemilih dan waktunya untuk memilih, oke?"
"Aku sudah memilih tapi wanita itu tidak memilihku balik. Terlebih, untuk nasib pernikahan kami kelak aku tidak bisa memilih untuk benar-benar membahagiakannya. Menghindarkan semua rasa sakit dari pernikahan kami kelak, aku tidak bisa memilih untuk itu. Karena keluargaku yang akan memilih."
Aku terdiam.
"Tuan," napasku terhembus. "Saya tidak kuat melihat hidupmu yang kacau seperti ini. Terombang-ambing, tidak teratur, seperti tidak ada pedoman dan pemandu. Bahkan tujuan ...."
"Hidupku memang kacau, terombang-ambing, tidak teratur dan seperti tidak ada pedoman dan pemandu seperti yang kamu katakan. Oke, aku akui. Tapi aku memiliki tujuan." Tuan Abizar menatapku dalam.
"Kalau begitu Anda butuh pemandu, pengendali, yaitu istri. Yang akan menemanimu dan memberitahumu kalau kamu berbuat salah agar jalan yang kamu lalui lebih jelas—"
"Kamu mau mendengarkan tujuanku? Yaitu menjadikanmu pemanduku." Kedua tangan Tuan Abizar menangkup pipiku. "Istriku. Wanitaku. Cintaku. Agar aku tidak tersesat, agar kehidupanku tidak terombang-ambing, agar kehidupanku memiliki pegangan tapi bagaimana caranya aku mempertahankan pemanduku? Bagaimana caranya agar dia tidak terluka dan tersakiti, padahal di keluargaku kami sumber duri untuk hati wanita?" Beliau menempelkan kedua kening kami, membelai ujung hidungku dengan ujung hidungnya, masih menangkup kuat kedua pipiku seakan tidak ingin melepaskannya. Aku panik saat bibirnya nyaris menggapai bibirku. Tidak, Tuan. Jangan berbuat dosa karena aku. Pergerakannya berhenti, seperti sadar. Aku lihat matanya memerah, "kamu tahu." Dia berbisik, "aku pernah nyaris menidurimu di kamarmu. Aku pernah nyaris menciummu saat kamu tidur. Aku berkali-kali nyaris memerkosamu. Tapi aku berusaha menahan diri. Dan memberi pelajaran terhadap diriku sendiri." Napas hangatnya terhembus, "agar aku jera dan tidak pernah melakukannya. Ajaibnya, selama tiga tahun aku berhasil. Bahkan aku tidak pernah mencium bibirmu, apalagi menodaimu."
Tuan Abizar bangkit, beliau mendekati kompor mengambil sebuah panci air panas. Awalnya pergerakannya belum bisa kutebak. "Bara api panas lebih baik kupegang daripada kamu 'kan? Ini cara lelaki untuk tegas pada diri sendiri, kadang mereka harus belajar bagaimana caranya menahan diri, termasuk rasa keinginan kuat mereka terhadap seorang wanita."
"TUAN!" Aku menjerit saat dia membasuh kedua tangannya dengan air panas itu. Aku langsung menahan pinggangnya, berusaha menjauhkannya dari kompor. Tanpa sadar aku terisak, "kumohon, jangan berbuat BODOH! Anda boleh memeluk saya, Anda boleh menyentuh tangan saya, Anda boleh mencium saya, tapi jangan berbuat bodoh! Saya mohon, jangan berbuat bodoh, Tuan!"
"Sekalipun begitu, saya tidak mau menodaimu, Mawar ...." Dagu beliau mendekat, seperti ragu untuk menyapukan bibir ke keningku. Niat itu diurungkan.
Tuan Abizar hanya bisa mematung di tempat saat sebuah mobil panjang yang berkilat indah berhenti tepat di halaman depan rumahnya. Seorang lelaki yang mirip dengannya menurunkan diri dari kendaraan tersebut, aku bisa menyaksikan kegugupan Tuan Abizar membuatku ikut menelan ludah. Lelaki dengan wajah penuh kerutan akibat penuaan, melangkah mendekat lalu ... PLAK! Aku spontan terdorong ke belakang. Tuan Abizar ditampar telak oleh ayahnya. Tuan Abizar diam, pipinya kelu. PLAK! Tamparan kedua, membuatku meringis ngilu. Kasihan kepada Tuan Abizar yang bahkan tidak bisa berkutik. Baru saja hendak melayangkan tamparan ketiga, Tuan Abizar menyela. "Makam ibu ... apakah Abi tidak mau menziarahinya?" Benar saja, ayahnya berhenti memberikan pelajaran. Tangannya jatuh ke samping paha, ayahnya Tuan Abizar seperti menahan perih dan rasa sakit. "Untuk apa aku menziarahi makam seorang wanita yang dimakamkan di satu liang yang sama bersama suami barunya?" Pertanyaan tersebut membuat Tuan Abizar menye
POV Author Mereka tidak mau mendengarkannya. Hal itu yang membuat Abizar begitu kesal. Seharusnya Layla mendengarkannya, lalu membujuk kedua orangtuanya untuk pulang ke Arab Saudi. Padahal Abizar sudah terang-terangan, dia menolak pernikahan dan perjodohan ini! Dia tidak mau diganggu ataupun berurusan dengan mereka. Tapi apa? Mereka bebal. Tetap pada rencana pertama, terus melakukan pengenalan. Wanita itu bersama keluarganya menyewa sebuah rumah yang tidak berjauhan dari sini. Abizar geram setengah mati, mulai hari ini sampai mereka pergi, pasti dia akan diganggu setiap hari. Wanita itu pasti sering berkunjung dengan berbagai alasannya. "Ada yang perlu saya buatkan, Tuan?" Suara Mawar, berhasil menyejukkan hati Abizar yang sempat memanas. Abizar menghembuskan napas, lalu berkata. "Tak perlu buatkan apa-apa, cukup duduk di sini, temani aku." Mawar menganggukkan kepala, mengambil kursi dan duduk di sebelah Abizar. Di mata Mawar Abizar terlihat begitu frustrasi, sebelah tangannya tid
"Hei," panggilan Abizar tepat di telinga kirinya membuat Mawar terperanjat. Mawar perlahan membalik tubuh, menemukan Abizar yang berdiri di balik punggungnya. "Mau masak apa?" Abizar bertanya saat melihat Mawar asyik mengotak-atik perabotan dapur. "Tumben Tuan perduli saya mau masak apa?" "Saranku, capcay, sop ayam dan nasi goreng." Tatapan Mawar menyipit ke arahnya, "sebelum kehilangan indra pengecap itu makanan yang Anda suka, ya Tuan?" Abizar menggelengkan kepala, pertanyaan Mawar terdengar sok tahu. "Aku sudah kehilangan indra pengecapku sejak kecil. Jadi, karena aku tidak punya alasan untuk makan, semasa kecil aku sering kena maag dan sakit-sakitan. Sekalipun dipaksa, paling sering aku hanya makan tiga hari sekali itu 'pun dengan poris sedikit." Mawar terdiam. Ikut berempati mendengar cerita sedih tuannya. "Semenjak kamu datang, mulai saat itu, jika teringat kamu akan kelaparan jika aku tidak makan—karena kamu hanya makan makanan sisaku—aku mulai bisa mengatur pola makanku. J
"Dalam satu liang ini ada sepasang suami-istri yang saling mencintai sampai mati, Abi." Mereka sudah sampai di sebuah tanah luas yang hanya terdiri dari satu liang yang diisi dua badan. Sudah beruntung Omar tidak harus menangis keras saat menginjakkan kaki di sini, Abizar yang memang tadinya sempat merasa bersalah kini memancing kesedihan ayahnya lagi. Omar yang matanya memerah hanya melirik tajam anaknya. Abizar yang tidak kenal takut melanjutkan, "mereka saling berpelukan dan terus mengatakan cinta. Setidaknya mereka terus bersama, sepasang malaikat Mungkar dan Nangkir 'pun iri melihat kemesraan mereka." Tangan Omar semakin mengepal, dia berusaha menahan emosi. Tatapannya tertuju pada makam mantan istrinya dengan suami barunya, Omar tidak bisa menahan ledakan di dadanya. "Saat salah satu malaikat bertanya, manrabbuka? Siapa Tuhanmu?" Abizar masih melanjutkan celotehannya, "dan kedua sepasang suami-istri itu menjawab, 'Maha Suci Allah yang telah mempertemukan kami, menjadikan kami
Selagi Abizar pergi Mawar sibuk bersih-bersih. Mulai dari seluruh kamar bekas saudara-saudara Abizar dan ruangan-ruangan yang sering ditempati mereka saat senggang, seperti ruang tengah, ruangan televisi dan teras. Termasuk halaman depan yang sepertinya rumput-rumput di halaman mulai memanjang. Dari lantai dua, saat Mawar tengah membersihkan kamar Akmal, wajah wanita itu gelisah saat mendapati seorang gadis cantik berwajah Arab dengan rambut indah sepinggang kini tengah melangkah menuju rumah diikuti oleh pembantunya. Tidak mungkin Mawar benar-benar mengusirnya 'kan seperti yang Abizar bilang? Mawar awalnya berniat pura-pura tidak tahu. Yang dicari Layla pasti Abizar atau Tuan Omar untuk memberikan sesuatu yang dia bawa. Tapi keduanya memang tidak ada di sini. Baru saja Mawar hendak bersembunyi, Layla mendongak ke lantai dua. Tersenyum ke arahnya yang tengah membersihkan balkon bekas kamar Akmal. Mawar menjadi canggung. Saat wanita itu berdiri di teras mau tidak mau Mawar harus turun
Sebenarnya Mawar merasa bersalah jika harus menyumbangkan makanan yang dibuat oleh Layla dan ibunya dengan susah-payah. Tapi mau bagaimana lagi, Mawar harus lebih memprioritaskan perasaan Abizar. Saat Abizar tengah membersihkan diri di dalam kamarnya, Mawar membersihkan lembar-lembar uang yang berserakan di lantai dapur. Dikumpulkannya lalu dimasukkannya ke dalam dompet Abizar yang tergeletak sembarangan. Setelah itu, Mawar mengendap-ngendap menyelinap masuk ke kamar Abizar. Dari bunyi shower Abizar tengah asyik mandi, Mawar mendesah saat mendapati bermacam mata uang milik Abizar masih berserakan di lantai kamarnya. Abizar seperti tidak ada niat untuk mengumpulkannya lagi lalu memasukkannya ke dalam brankas seperti semula. Mawar mengumpulkan semua uang yang berserakan itu. Termasuk kotak perhiasan yang entah kenapa Abizar mengumpulkannya sampai sebanyak itu, semua benda itu nampak berkilau-kilau indah. Mawar memasukkannya kembali ke dalam brankas, mata uang riyal, dollar, dengan jumla
Mawar berjalan menuju parkiran dengan langkah cepat, sesekali menoleh ke belakang, Rebi masih berdiri di atas teras masjid. Mawar segera menundukkan kepalanya, andai Rebi datang lebih cepat ... sebelum Abizar mengungkapkan semua isi hatinya, maka sudah sedari tadi Mawar akan ikut bersama Rebi, langsung pulang ke kampung dan tentu saja di depan orang tuanya Mawar akan menerima lamaran Rebi. "Tuan?" Mawar menengok ke kaca mobil, Abizar terlelap di bangku setir. Lelaki itu mendengkur. Mawar tersenyum, tanpa sadar tangannya terulur dan menyentuh rambut-rambut lebat Abizar. Mawar menepuk pipi lelaki itu, membuat Abizar terbangun. Lelaki itu bergumam ngantuk, "ah, maaf. Aku ketiduran." Abizar mengerjap-ngerjap, pandangannya masih buram. "Biar aku saja yang menyetir, Tuan." Abizar menoleh, "bisa?" "Anda sudah mengajari saya sebelumnya, 'kan? Tentu saja bisa." Abizar mengangguk, dia menaruh segenap kepercayaan untuk Mawar. Abizar menyingkirkan tubuhnya dari bangku setir dan berpindah ke s
Kenapa nasib Abizar semalang ini? Berhari-hari dia terus melihat wajah Layla, entah itu lewat di depan rumahnya—sengaja atau tidak. Atau mengantar makanan untuknya, meskipun cuma singgah—makanan itu selalu Abizar sumbangkan kepada kucing, anjing atau Mawar yang terlihat lebih menggemaskan daripada dua hewan itu. Kadang Layla mengirim makanan ke kantornya, yang selalu berakhir Abizar sumbangkan kepada satpam yang menjaga gerbang perusahaan. Atau pengemis yang lewat. Lama-kelamaan Abizar tidak bisa menahan diri. "Tak perlu datang lagi," ketusnya kepada Layla saat wanita itu membawakannya buah-buahan. Kenapa Layla selalu membawakannya makanan? Padahal Abizar paling benci makan, karena semuanya terasa hambar. Kecuali jika dia berbagi dengan Mawar. Layla terlihat sendu, "aku hanya bisa membawa buah-buahan, Tuan. Ibuku sudah kembali ke Saudi bersama ayahku, mereka akan kembali ke sini tiga atau empat hari lagi. Karena aku tidak bisa memasak selihai Ibu, hanya ini yang bisa kuberikan sesuai