Tuan Akmal mengurut kening saat Tuan Abizar sudah melaju pergi menggunakan mobilnya. Beliau menoleh, mendapatiku yang berhenti membersihkan pillar malah balik memeluk benda itu dengan kedua lengan karena terlalu fokus mendengarkan percakapan mereka. Aku salah tingkah saat diperhatikan Tuan Akmal, langsung kulepas dekapanku dari pillar lalu pura-pura membersihkan benda menjulang itu kembali.
Tuan Akmal membuang napas, sepertinya masih kesal dengan yang barusan. Sebenarnya salut untuk Tuan Abizar, aku tidak menyangka dia memiliki pola pikir seperti itu. Sekalipun kelakuannya selama ini cukup meresahkan. Langkah Tuan Akmal mengentak, dia menjatuhkan diri di sofa single yang ada di teras. Matanya melirikku yang masih membersihkan satu pillar, tidak kunjung-kunjung pindah ke pillar yang lain."Hei," Tuan Akmal memanggil, aku langsung balik badan dan menghadapnya."Ya Tuan?"Beliau masih mengurut kening dan pangkal hidung, "bisa aku mengajakmu bicara sebentar?"Aku mengangguk, "silahkan, Tuan.""Mungkin ini sedikit konyol, aku ingin memastikannya dengan bertanya langsung pada perempuan. Sekalipun yang suamimu lakukan itu tradisi, desakan orang tuanya, dan yang paling dicintai tetap dia, apakah perempuan masih merasakan sakit hati jika suaminya beristri lebih dari satu?" Tuan Akmal menatapku penuh tanya, sangat menuntut jawaban. Aku tahu isi kepalanya, dia berharap aku menggeleng. Yang berarti, istrinyapun begitu. Tapi aku perempuan, tentu saja aku mengangguk. Yang berarti Ashya-nya merasakan sakit itu."Tentu saja, Tuan." Mendengar jawabanku Tuan Akmal menahan napas."Sekalipun itu tradisi?""Tradisi bisa menyakiti perempuan," aku menjawab."Desakan orang tua?""Kadang mertua selalu menjadi alasan seorang istri terluka," aku tersenyum saat mendapati wajahnya gelisah."Yang paling kucintai tetap dia?""Perempuan menginginkan cinta yang utuh, bukan yang terbagi.""Kenapa perempuan bisa begitu egois?" Sambar Tuan Akmal kesal.Aku mengernyitkan dahi, "bukannya kalian—para lelaki—yang egois?" Mendengar jawabanku Tuan Akmal terdiam. "Begini Tuan, coba pikirkan perkataanku. Bagaimana jadinya istri yang kamu cintai berselingkuh?"Teriakan Tuan Akmal terdengar geram, "mana bisa! Akan kurajam."Aku tersenyum kecut, "tidak terima 'kan? Cemburu 'kan? Itu yang dirasakan perempuan, tidak terima. Cemburu, tapi kadang mereka tidak bisa mengelak. Tersiksanya mereka dalam sebuah rumah tangga yang kalian jalani, tidak bisa dipungkiri. Begitulah, itu jawabanku. Jawaban mayoritas wanita.""Tapi Ashya tidak pernah protes ... dia tidak pernah mengeluh atau menghalangiku ...." Tuan Akmal menatapku penuh harap."Anda tidak mengerti perempuan ternyata, Tuan. Perempuan itu mudah tersakiti dan merasa cemburu, tapi mereka paling ahli menahan rasa sakit dan cemburu itu. Sekalipun di luar baik-baik saja, bukan berarti di dalam sama saja. Mungkin dia tidak mau saja menunjukkannya ke Anda."Tuan Akmal terdiam, dia berusaha mengatur napas, sepertinya istri pertamanya menyita habis pikirannya. "Baiklah ...." Desahnya frustrasi. "Bisakah buatkan aku minuman? Yang dingin." Sambil mendekap lap kotor aku mengangguk, pergi ke dapur untuk membuatkannya minuman. Setelah minuman yang dia perintahkan sudah kuletakkan di atas meja, Tuan Akmal meminumnya untuk mendinginkan kepala. Wajah merahnya sudah membuktikan kalau beliau terjebak oleh amarah dan rasa kesal, termasuk sedikit percikan penyesalan."Abizar benar ...." Tuan Akmal bersuara. Aku mengambil posisi duduk, tidak mungkin duduk di sofa yang sama dengannya, kujatuhkan diri ke lantai dan duduk bersimpuh di sana."Di rumah kami memang penuh dengan tangis wanita, yang selalu kami anggap tidak ada—pasti kamu menguping pembicaraan kami sebelumnya. Istri-istri ayahku, saudara-saudaraku dan istri-istriku. Awalnya aku kurang perduli, kupikir kewajaran jika mereka merasakan hal itu, mereka cuma harus menahannya. Istri keduaku yang menangis saat kubawakan istri ketiga dan istri ketigaku yang menangis saat kubawakan istri keempat."Aku memasang telinga, mendengarkan dengan seksaman."Berbeda dengan istri-istri pertama saudara-saudaraku yang lain, aku tidak pernah mendapati Ashya menangis seperti yang mereka lakukan. Kukira aku tidak menyakitinya. Kukira dia memahamiku. Kukira dia tahu betul, sebanyak apapun wanita di rumah kami, tetap Ashya yang paling kucintai. Kukira ... tapi ternyata itu hanya harapanku saja, ya?"Gelas yang diseruput Tuan Akmal sudah kosong, dia tersenyum miris. "Aku tidak mengerti apa maksud Abizar sebelumnya? Bukan perceraian, tapi kematian? Aneh, dia senang sekali membuatku bingung.""Aku akan menghubungi ayah kami—menyampaikan lagi-lagi Abizar menentang pernikahan ini. Karena dari keluarga mana wanita yang akan dinikahkan dengan Abizar itu berasal, jadi kami harus memaksa Abizar untuk tetap menjalaninya." Mata Tuan Akmal meneliti semua pijakan lantai, dinding dan pillar."Oh ya, bersihkan semua ini dengan benar. Ayah kami akan datang ke Indonesia untuk menemui Abizar—menghajarnya sebagai balasan dari kata talak untuk Ulfa dan memaksanya untuk menurut lagi. Termasuk, siapkan sekitar beberapa kamar kosong. Mereka akan menginap—ayahku, calon istri Abizar dan beberapa orang yang lain. Untuk calon istri Abizar, siapkan kamar dari bangunan yang terpisah dari rumah utama ini." Tuan Akmal menunjuk sebuah bangunan di seberang kolam ikan yang terpisah dari rumah utama yang ditempati Tuan Abizar.Aku hanya mengangguk, ternyata takdir memaksaku untuk banting tulang hanya karena kelakuan Tuan Abizar yang lagi-lagi berani menentang keluarganya."Sepertinya Abizar cukup luluh padamu," Tuan Akmal memerhatikan pahatan wajahku. Lalu berdeham, "jika dia pulang coba kamu bujuk dia untuk tidak melawan. Termasuk, jangan beritahu kalau ayah kami akan mampir, perjalanan pesawat dari Arab Saudi ke sini akan memakan banyak waktu." Tuan Akmal melirik arlojinya, mengangguk-angguk. "Aku pamit, assalamualaikum." Setelah salam dia mengambil ponsel dari saku celana sembari berjalan menuju kendaraannya dan mulai berbincang dengan sosok terhormat di seberang sana. Kulihat Tuan Akmal menjauhkan ponselnya dari telinga saat sosok ayah mereka marah dan membentak. Tuan Akmal terdengar berusaha menyabarkannya. Tuan Akmal masih bersandar di body mobilnya, lalu mengetik nomor lain. Nada suaranya berubah, sepertinya wanita yang ditelepon itu istrinya."Assalamualaikum, Ashya. Apa kabar?"Raut wajah Tuan Akmal terlihat masam saat sambungan ponsel tersebut terputus. Beliau meringis, lalu menjatuhkan diri masuk ke dalam mobil.>><<Hari sudah gelap saat aku selesai membersihkan semua lantai, dinding dan pillar di rumah bak istana tersebut, termasuk beberapa kamar kosong yang harus kusiapkan sesuai yang Tuan Akmal katakan. Kelelahan, aku hanya bisa minum air dingin. Ingin makan, Tuan Abizar belum kunjung pulang. Rasanya ingin berbuat curang, mengintai kotak roti dan hendak mencomotnya. Baru saja hendak kumasukkan utuh satu biskuit langsung kulemparkan ke tong sampah saat melihat Tuan Abizar memerhatikanku di ambang pintu. Beliau bersender di kusennya, lalu mendekatiku. "Kapan pulangnya, Tuan?" Tuan Abizar melirikku tajam, lalu menuangkan air dingin ke gelas. "Mobilku macet di tengah jalan, jadi aku ke sini sambil jalan kaki." Setelah meminum segelas air, Tuan Abizar meraih kotak cokelat simpananku. Dia menjulang menatapku tajam, merasa bersalah aku menjatuhkan diri dari kursi lalu duduk bersimpuh di lantai. Kedapatan melanggar aturan, tentu saja itu ancaman. "Lapar?" "Tentu saja, Tuan." "Aku juga lapar," dia
Tuan Abizar hanya bisa mematung di tempat saat sebuah mobil panjang yang berkilat indah berhenti tepat di halaman depan rumahnya. Seorang lelaki yang mirip dengannya menurunkan diri dari kendaraan tersebut, aku bisa menyaksikan kegugupan Tuan Abizar membuatku ikut menelan ludah. Lelaki dengan wajah penuh kerutan akibat penuaan, melangkah mendekat lalu ... PLAK! Aku spontan terdorong ke belakang. Tuan Abizar ditampar telak oleh ayahnya. Tuan Abizar diam, pipinya kelu. PLAK! Tamparan kedua, membuatku meringis ngilu. Kasihan kepada Tuan Abizar yang bahkan tidak bisa berkutik. Baru saja hendak melayangkan tamparan ketiga, Tuan Abizar menyela. "Makam ibu ... apakah Abi tidak mau menziarahinya?" Benar saja, ayahnya berhenti memberikan pelajaran. Tangannya jatuh ke samping paha, ayahnya Tuan Abizar seperti menahan perih dan rasa sakit. "Untuk apa aku menziarahi makam seorang wanita yang dimakamkan di satu liang yang sama bersama suami barunya?" Pertanyaan tersebut membuat Tuan Abizar menye
POV Author Mereka tidak mau mendengarkannya. Hal itu yang membuat Abizar begitu kesal. Seharusnya Layla mendengarkannya, lalu membujuk kedua orangtuanya untuk pulang ke Arab Saudi. Padahal Abizar sudah terang-terangan, dia menolak pernikahan dan perjodohan ini! Dia tidak mau diganggu ataupun berurusan dengan mereka. Tapi apa? Mereka bebal. Tetap pada rencana pertama, terus melakukan pengenalan. Wanita itu bersama keluarganya menyewa sebuah rumah yang tidak berjauhan dari sini. Abizar geram setengah mati, mulai hari ini sampai mereka pergi, pasti dia akan diganggu setiap hari. Wanita itu pasti sering berkunjung dengan berbagai alasannya. "Ada yang perlu saya buatkan, Tuan?" Suara Mawar, berhasil menyejukkan hati Abizar yang sempat memanas. Abizar menghembuskan napas, lalu berkata. "Tak perlu buatkan apa-apa, cukup duduk di sini, temani aku." Mawar menganggukkan kepala, mengambil kursi dan duduk di sebelah Abizar. Di mata Mawar Abizar terlihat begitu frustrasi, sebelah tangannya tid
"Hei," panggilan Abizar tepat di telinga kirinya membuat Mawar terperanjat. Mawar perlahan membalik tubuh, menemukan Abizar yang berdiri di balik punggungnya. "Mau masak apa?" Abizar bertanya saat melihat Mawar asyik mengotak-atik perabotan dapur. "Tumben Tuan perduli saya mau masak apa?" "Saranku, capcay, sop ayam dan nasi goreng." Tatapan Mawar menyipit ke arahnya, "sebelum kehilangan indra pengecap itu makanan yang Anda suka, ya Tuan?" Abizar menggelengkan kepala, pertanyaan Mawar terdengar sok tahu. "Aku sudah kehilangan indra pengecapku sejak kecil. Jadi, karena aku tidak punya alasan untuk makan, semasa kecil aku sering kena maag dan sakit-sakitan. Sekalipun dipaksa, paling sering aku hanya makan tiga hari sekali itu 'pun dengan poris sedikit." Mawar terdiam. Ikut berempati mendengar cerita sedih tuannya. "Semenjak kamu datang, mulai saat itu, jika teringat kamu akan kelaparan jika aku tidak makan—karena kamu hanya makan makanan sisaku—aku mulai bisa mengatur pola makanku. J
"Dalam satu liang ini ada sepasang suami-istri yang saling mencintai sampai mati, Abi." Mereka sudah sampai di sebuah tanah luas yang hanya terdiri dari satu liang yang diisi dua badan. Sudah beruntung Omar tidak harus menangis keras saat menginjakkan kaki di sini, Abizar yang memang tadinya sempat merasa bersalah kini memancing kesedihan ayahnya lagi. Omar yang matanya memerah hanya melirik tajam anaknya. Abizar yang tidak kenal takut melanjutkan, "mereka saling berpelukan dan terus mengatakan cinta. Setidaknya mereka terus bersama, sepasang malaikat Mungkar dan Nangkir 'pun iri melihat kemesraan mereka." Tangan Omar semakin mengepal, dia berusaha menahan emosi. Tatapannya tertuju pada makam mantan istrinya dengan suami barunya, Omar tidak bisa menahan ledakan di dadanya. "Saat salah satu malaikat bertanya, manrabbuka? Siapa Tuhanmu?" Abizar masih melanjutkan celotehannya, "dan kedua sepasang suami-istri itu menjawab, 'Maha Suci Allah yang telah mempertemukan kami, menjadikan kami
Selagi Abizar pergi Mawar sibuk bersih-bersih. Mulai dari seluruh kamar bekas saudara-saudara Abizar dan ruangan-ruangan yang sering ditempati mereka saat senggang, seperti ruang tengah, ruangan televisi dan teras. Termasuk halaman depan yang sepertinya rumput-rumput di halaman mulai memanjang. Dari lantai dua, saat Mawar tengah membersihkan kamar Akmal, wajah wanita itu gelisah saat mendapati seorang gadis cantik berwajah Arab dengan rambut indah sepinggang kini tengah melangkah menuju rumah diikuti oleh pembantunya. Tidak mungkin Mawar benar-benar mengusirnya 'kan seperti yang Abizar bilang? Mawar awalnya berniat pura-pura tidak tahu. Yang dicari Layla pasti Abizar atau Tuan Omar untuk memberikan sesuatu yang dia bawa. Tapi keduanya memang tidak ada di sini. Baru saja Mawar hendak bersembunyi, Layla mendongak ke lantai dua. Tersenyum ke arahnya yang tengah membersihkan balkon bekas kamar Akmal. Mawar menjadi canggung. Saat wanita itu berdiri di teras mau tidak mau Mawar harus turun
Sebenarnya Mawar merasa bersalah jika harus menyumbangkan makanan yang dibuat oleh Layla dan ibunya dengan susah-payah. Tapi mau bagaimana lagi, Mawar harus lebih memprioritaskan perasaan Abizar. Saat Abizar tengah membersihkan diri di dalam kamarnya, Mawar membersihkan lembar-lembar uang yang berserakan di lantai dapur. Dikumpulkannya lalu dimasukkannya ke dalam dompet Abizar yang tergeletak sembarangan. Setelah itu, Mawar mengendap-ngendap menyelinap masuk ke kamar Abizar. Dari bunyi shower Abizar tengah asyik mandi, Mawar mendesah saat mendapati bermacam mata uang milik Abizar masih berserakan di lantai kamarnya. Abizar seperti tidak ada niat untuk mengumpulkannya lagi lalu memasukkannya ke dalam brankas seperti semula. Mawar mengumpulkan semua uang yang berserakan itu. Termasuk kotak perhiasan yang entah kenapa Abizar mengumpulkannya sampai sebanyak itu, semua benda itu nampak berkilau-kilau indah. Mawar memasukkannya kembali ke dalam brankas, mata uang riyal, dollar, dengan jumla
Mawar berjalan menuju parkiran dengan langkah cepat, sesekali menoleh ke belakang, Rebi masih berdiri di atas teras masjid. Mawar segera menundukkan kepalanya, andai Rebi datang lebih cepat ... sebelum Abizar mengungkapkan semua isi hatinya, maka sudah sedari tadi Mawar akan ikut bersama Rebi, langsung pulang ke kampung dan tentu saja di depan orang tuanya Mawar akan menerima lamaran Rebi. "Tuan?" Mawar menengok ke kaca mobil, Abizar terlelap di bangku setir. Lelaki itu mendengkur. Mawar tersenyum, tanpa sadar tangannya terulur dan menyentuh rambut-rambut lebat Abizar. Mawar menepuk pipi lelaki itu, membuat Abizar terbangun. Lelaki itu bergumam ngantuk, "ah, maaf. Aku ketiduran." Abizar mengerjap-ngerjap, pandangannya masih buram. "Biar aku saja yang menyetir, Tuan." Abizar menoleh, "bisa?" "Anda sudah mengajari saya sebelumnya, 'kan? Tentu saja bisa." Abizar mengangguk, dia menaruh segenap kepercayaan untuk Mawar. Abizar menyingkirkan tubuhnya dari bangku setir dan berpindah ke s