Selagi Abizar pergi Mawar sibuk bersih-bersih. Mulai dari seluruh kamar bekas saudara-saudara Abizar dan ruangan-ruangan yang sering ditempati mereka saat senggang, seperti ruang tengah, ruangan televisi dan teras. Termasuk halaman depan yang sepertinya rumput-rumput di halaman mulai memanjang. Dari lantai dua, saat Mawar tengah membersihkan kamar Akmal, wajah wanita itu gelisah saat mendapati seorang gadis cantik berwajah Arab dengan rambut indah sepinggang kini tengah melangkah menuju rumah diikuti oleh pembantunya. Tidak mungkin Mawar benar-benar mengusirnya 'kan seperti yang Abizar bilang? Mawar awalnya berniat pura-pura tidak tahu. Yang dicari Layla pasti Abizar atau Tuan Omar untuk memberikan sesuatu yang dia bawa. Tapi keduanya memang tidak ada di sini. Baru saja Mawar hendak bersembunyi, Layla mendongak ke lantai dua. Tersenyum ke arahnya yang tengah membersihkan balkon bekas kamar Akmal. Mawar menjadi canggung. Saat wanita itu berdiri di teras mau tidak mau Mawar harus turun
Sebenarnya Mawar merasa bersalah jika harus menyumbangkan makanan yang dibuat oleh Layla dan ibunya dengan susah-payah. Tapi mau bagaimana lagi, Mawar harus lebih memprioritaskan perasaan Abizar. Saat Abizar tengah membersihkan diri di dalam kamarnya, Mawar membersihkan lembar-lembar uang yang berserakan di lantai dapur. Dikumpulkannya lalu dimasukkannya ke dalam dompet Abizar yang tergeletak sembarangan. Setelah itu, Mawar mengendap-ngendap menyelinap masuk ke kamar Abizar. Dari bunyi shower Abizar tengah asyik mandi, Mawar mendesah saat mendapati bermacam mata uang milik Abizar masih berserakan di lantai kamarnya. Abizar seperti tidak ada niat untuk mengumpulkannya lagi lalu memasukkannya ke dalam brankas seperti semula. Mawar mengumpulkan semua uang yang berserakan itu. Termasuk kotak perhiasan yang entah kenapa Abizar mengumpulkannya sampai sebanyak itu, semua benda itu nampak berkilau-kilau indah. Mawar memasukkannya kembali ke dalam brankas, mata uang riyal, dollar, dengan jumla
Mawar berjalan menuju parkiran dengan langkah cepat, sesekali menoleh ke belakang, Rebi masih berdiri di atas teras masjid. Mawar segera menundukkan kepalanya, andai Rebi datang lebih cepat ... sebelum Abizar mengungkapkan semua isi hatinya, maka sudah sedari tadi Mawar akan ikut bersama Rebi, langsung pulang ke kampung dan tentu saja di depan orang tuanya Mawar akan menerima lamaran Rebi. "Tuan?" Mawar menengok ke kaca mobil, Abizar terlelap di bangku setir. Lelaki itu mendengkur. Mawar tersenyum, tanpa sadar tangannya terulur dan menyentuh rambut-rambut lebat Abizar. Mawar menepuk pipi lelaki itu, membuat Abizar terbangun. Lelaki itu bergumam ngantuk, "ah, maaf. Aku ketiduran." Abizar mengerjap-ngerjap, pandangannya masih buram. "Biar aku saja yang menyetir, Tuan." Abizar menoleh, "bisa?" "Anda sudah mengajari saya sebelumnya, 'kan? Tentu saja bisa." Abizar mengangguk, dia menaruh segenap kepercayaan untuk Mawar. Abizar menyingkirkan tubuhnya dari bangku setir dan berpindah ke s
Kenapa nasib Abizar semalang ini? Berhari-hari dia terus melihat wajah Layla, entah itu lewat di depan rumahnya—sengaja atau tidak. Atau mengantar makanan untuknya, meskipun cuma singgah—makanan itu selalu Abizar sumbangkan kepada kucing, anjing atau Mawar yang terlihat lebih menggemaskan daripada dua hewan itu. Kadang Layla mengirim makanan ke kantornya, yang selalu berakhir Abizar sumbangkan kepada satpam yang menjaga gerbang perusahaan. Atau pengemis yang lewat. Lama-kelamaan Abizar tidak bisa menahan diri. "Tak perlu datang lagi," ketusnya kepada Layla saat wanita itu membawakannya buah-buahan. Kenapa Layla selalu membawakannya makanan? Padahal Abizar paling benci makan, karena semuanya terasa hambar. Kecuali jika dia berbagi dengan Mawar. Layla terlihat sendu, "aku hanya bisa membawa buah-buahan, Tuan. Ibuku sudah kembali ke Saudi bersama ayahku, mereka akan kembali ke sini tiga atau empat hari lagi. Karena aku tidak bisa memasak selihai Ibu, hanya ini yang bisa kuberikan sesuai
Sesampainya Abizar dengan Layla di Saudi, Abizar mengantar Layla langsung ke rumahnya. Orang tua Layla terkejut melihat kehadiran putri semata-wayang mereka bersama dengan Abizar. Awalnya mengira Abizar menyetujui pernikahan ini dan ingin menemui calon mertuanya langsung agar merestui pernikahan mereka yang akan dilaksanakan secepatnya. Tapi harapan itu ambyar saat melihat raut wajah Layla yang ditekuk. Sepanjang perjalanan wanita itu berusaha menangis tangis, kesedihan benar-benar tercerminkan di matanya. Kedua orangtuanya hanya bisa menghela napas dan pasrah. Berterimakasih kepada Abizar yang sudah mengantar putri mereka pulang. Mereka tidak bisa menyalahkan Abizar, pernikahan ini memang hanyalah keinginan sepihak dari Omar tanpa meminta persetujuan anak sulungnya terlebih dahulu. "Dengan segenap jiwa saya meminta maaf ...." Abizar terlihat merasa bersalah. Ukiran topeng di wajahnya benar-benar bagus. Dia bertekuk di depan ibu dan ayahnya Layla. Abizar terlihat begitu merendah. "Te
Tok, tok, tok. Ckrek! Setelah ketukan tersebut, Mawar malah membukakan pintu. Dengan polosnya perempuan itu bertanya, "ada apa, Tuan? Mengetuk malam-malam begini?" "Sial," Abizar berdesis. Tatapannya tajam dan lurus ke arah Mawar. "Apa kamu lupa? Sudah kubilang, tuanmu ini berbahaya! Kenapa kamu malah membukakan pintu, bodoh! Bagaimana kalau aku malah berniat macam-macam padamu!" Abizar berteriak serak. Mata Mawar melebar, dia baru ingat. Saudi yang cuacanya panas bahkan di malam hari membuat ingatan Mawar sedikit terganggu. "Begitu, ya Tuan? Lalu kenapa Anda mengetuk pintu?" Pertanyaan Mawar yang terdengar luwes. "Aku hanya mengetesmu, ternyata kamu tidak berhati-hati! Padahal sudah kubilang, aku ini berbahaya!" "Anda masih sama seperti biasanya," Mawar tersenyum. "Kalau tidak ada keperluan, kututup lagi, ya Tuan?" Brak! Pintu kembali ditutup oleh Mawar dan menguncinya dari dalam. Seling setengah jam, Abizar masih berdiri di depan pintu yang sama. Kembali diketuknya pintu, tes k
"Hei Abizar," selangkah Abizar memasuki rumahnya sendiri setelah pintu raksasa itu dibukakan oleh beberapa pelayan lelaki, Mawar tersentak ke belakang saat seorang lelaki memeluk majikannya. Awalnya Mawar kira itu Akmal, saat Mawar memastikannya ternyata bukan. Abizar membalas pelukan lelaki itu, beberapa tepukan mengenai punggung badan adiknya. Lelaki itu nampak semringah mendapati kakaknya pulang, lalu melirik Mawar. Pandangan lelaki itu menyipit, "dia pembantumu? Atau ...," bibirnya menyeringai. "Calon istrimu?" Saat dia tertawa, Abizar hanya menyentil pelan bahu kokohnya. "Jangan bahas itu sekarang." "Kamu pulang, Abizar! Ini keajaiban!" Lelaki itu berseru. Selaku adik bungsunya Abizar, Malik cukup akrab dengan kakak sulungnya. Di antara saudara-saudara Abizar, hanya Malik yang belum pernah menikah. Dan di antara seluruh anggota keluarga Abizar, hanya Malik yang tidak menerapkan dan menentang semua tradisi. Bahkan ajaran agama. Tinggal lima tahun di Amerika saat kuliah, Malik su
"Paham?" Abizar menatap Mawar dalam, diangkatnya kedua alis yang tercetak rapi. Mawar tertunduk malu, kedua pipinya bersemu merah. "Paham ...." Pelan, jawabannya terdengar begitu lirih dan takut. Abizar tersenyum tipis, "bagus kalau kamu paham. Jangan jadikan alasan tidak masuk akal itu untuk kabur suatu saat, aku bersumpah akan mengejarmu sampai ke ujung dunia." Satu lirikan tajam Abizar untuk Mawar yang menelan saliva. Setelah itu Abizar kembali mengembangkan senyum. Mawar membiarkan Abizar yang menenangkan Ashya sekali lagi. Mawar semakin malu saat Ashya menatapnya sedikit aneh. Mawar sedikit menyingkirkan tubuh. Sekalipun Ashya saudari sesusuan untuk Abizar, sebenarnya Mawar iri melihat kedekatan mereka. Abizar bisa memeluk Ashya dengan leluasa, apalagi saat Abizar mencium kening Ashya, berusaha meredam kesedihan wanita itu. Berbeda dengan Mawar, Abizar selalu mengancamkan air panas atau bara api pada diri sendiri jika berani menyentuh Mawar, pelajaran untuk Abizar agar hal yang
Yang tertulis di surat keemasan itu, hanyalah bait doa dan kalimat-kalimat damba. Omar menjatuhkan diri di sebelah makam Melati, duduk bersimpuh, lalu membelai kepala nisan wanita itu. Omar membuka lipatan kertas, membacakan doa yang panjang untuk Melati. Semalaman, Omar tidak beranjak. Membiarkan gamis putihnya kotor oleh tanah.Mendadak Omar lemas, wajah lelaki itu terlihat lelah. Bibirnya yang semula membacakan 'surat cinta' itu dengan suara keras, kini berubah lirih. Omar menjatuhkan keningnya ke kepala nisan Melati, memeluknya, menciumi puncaknya, air mata yang semula berusaha Omar tahan kini lolos begitu saja. "Aku merindukanmu, Melati. Aku mencintaimu. Aku sangat mencintaimu." Omar tidak perduli, selain Melati, di bawah sana lelaki lain bisa mendengarkannya.Entah kenapa kerongkongan Omar menjadi begitu kering dan haus. Daripada minum, hanya sebuah kalimat yang bisa menuntaskan dahaganya. Setelah air matanya kering, Omar dengan susah-payah menyebut nama Allah. Kesaksiannya atas
"Astaga, ternyata kalian di sini." Malik menghembuskan napas kasar, tangan besarnya mengacak rambutnya yang basah oleh keringat. "Semalaman aku mencari, kukira sesuatu yang buruk terjadi pada kalian berdua.""Kami hanya bermalam di hotel sebagai sepasang suami-istri," Abizar melingkarkan tangan ke bahu Mawar, lalu membawa istrinya merapat."Pulang, sebelum Akmal membuat heboh keluarga Hafshan karena mengira kamu dan Mawar menghilang." Malik mengibaskan kedua tangannya malas, memberi intruksi kepada bawahan-bawahan yang dia bawa ikut serta untuk meninggalkan gedung hotel dan masuk kembali ke dalam kendaraan masing-masing. Malik menyisakan satu mobil untuk Abizar dan Mawar. Abizar menarik Mawar untuk masuk ke dalam mobil, istrinya sudah bersih dan rapi setelah mandi di kamar hotel dan meminjam pakaiannya istri Pangeran Adzriel.Abizar menghubungi Ahmad, Abizar ingin membawa Mawar ke gedung yang Omar sewa untuk acara pernikahan mereka. Termasuk pergi ke butik, untuk memilih dan merancang
Gedoran di pintu membuat Abizar mengerang kesal. Lelaki itu menjatuhkan diri dari kasur dan mendelik ke arah pintu, pelayan-pelayan tersebut menganggu pagi indahnya bersama Mawar. Matahari di luar mulai terik, setelah salat Subuh Abizar dan Mawar segera mengistirahatkan diri. Abizar yang nyenyak dalam dekapan Mawar, malah dihancur-leburkan semua khayalannya."Buka pintunya, Nona. Atau kami masuk tanpa izin dari Anda." Suara familiar yang meminta dari luar dalam bahasa Arab. Mawar terbangun, langsung melingkarkan tangan ke pinggang Abizar yang tengah merapikan bungkusan pakaiannya. "Siapa, Mas?"Abizar berdecak, "aku bingung bagaimana menjelaskan kepada mereka, kalau kamu benar-benar istriku." "Perbaiki pakaianmu, Mawar." Abizar memperingatkan, dengan tangan yang mengelus-ngelus lengan terbuka Mawar. Abizar mendaratkan kecupan di bahu wanita itu, lalu melanjutkan. "Mungkin ada beberapa pelayan lelaki di luar. Ingat, aku bisa menusuk mata siapapun yang berani melihat keseksianmu." Abi
Keputusan gegabah Abizar membuat sepasang suami-istri tersebut terdampar di tepi jalan yang senyap dan sepi. Tiada taxi yang lewat, hanya beberapa kendaraan yang berlalu-lalang. Abizar menyesal membuat Mawar kesusahan, wanita itu berdiri lesu di sisi tubuhnya. Sepertinya mulai mengantuk dan kedinginan. "Maafkan aku, sayang."Mendengar ungkapan maaf Abizar, Mawar menggeleng. "Tidak apa-apa."Takut tubuh Mawar terhuyung dan wanita itu jatuh menimpa aspal, Abizar langsung mengangkat tubuhnya dan menggendongnya. Mawar meletakkan kepalanya ke bahu Abizar, menggesek-gesek, mencari letak nyaman. Sepertinya sia-sia menunggu taxi yang tidak akan lewat, Abizar memilih berjalan mencari hotel terdekat. Mawar di dekapan dadanya nyaris tertidur, Abizar mencuri beberapa ciuman di bibir dan pipi wanita itu."Pipimu dingin sekali, Mawar." Abizar menghela napas. Ini salahnya, memaksa turun dan membuat mereka diserang angin malam yang menusuk kulit. Abizar berusaha menghangatkan wajah istrinya, Abizar p
Mereka mengambil penerbangan pagi. Sepasang pengantin baru—Abizar dan Mawar—menumpangi penerbangan yang sama dengan keempat saudaranya. Sementara Omar, akan menyusul keesokan harinya atau lusa. Entah kenapa lelaki tua itu suka sekali menunda.Setelah hampir 17 jam penerbangan, bersisakan dua jam agar pesawat mendarat di Saudi, Mawar tertidur di lengan kokoh suaminya. Abizar tersenyum, sesekali mengecup rambut kepala istrinya lalu memainkan surat undangan keemasan yang ada di tangannya. Entah berapa ribu surat undangan yang serupa dibagikan untuk acara pernikahan mereka."Qad yajidun sueubatan fi qabul zawjatik, Abizar—mereka mungkin akan susah menerima istrimu, Abizar." Haikal yang menduduki bangku yang ada di belakang berbisik di telinga Abizar.Wajah semringah Abizar menjadi masam, lelaki itu menghela napas. Diliriknya Mawar, memastikan istrinya masih terlelap. Syukurlah, sepertinya Mawar tidur mati seperti biasanya. "Kita lihat saja nanti." Abizar memelankan suara, "aku akan berusa
"Semalam tidak ke sana, menyapa istrinya Abizar?" Omar bertanya saat matahari naik. Iqbal menggeleng, lelaki itu tengah duduk di teras sambil memangku Al-Qur'an. "Maaf, tidak. Aku tahu apa yang dilakukan sepasang suami-istri di malam hari jika berdua saja, aku tidak mau menganggu.""Maaf Tuan Omar Hafshan, sepertinya ketiga anakmu yang lain akan datang kemari." Lelaki itu tersenyum tanpa merasa bersalah.Omar langsung mengerti maksudnya, lelaki tua itu pasrah. "Kamu yang memberitahu mereka, ya?" "Yap," Iqbal mengangguk tanpa perduli. "Akmal nyaris kecelakaan di Jakarta karena mencari-carimu, lebih baik kuberitahu sebelum dia nyasar tanpa hasil lagi. Sedangkan Malik, tak ada pilihan selain memberitahunya daripada dia datang ke kelab malam Semarang untuk melampiaskan emosi. Aku kasihan kepada wanita-wanita yang akan menjadi sasaran kebejatannya kalau mabuk.""Meskipun tidak kuberitahu 'pun sebenarnya Haikal sudah tahu kalau kamu ada di sini, dia hanya menunggu dua saudaranya yang lain
"Apakah rumah ini sudah cukup layak untuk menjadi tempat persembunyianmu, Tuan Omar Hafshan?" Abizar membalik tubuh dan menyeringai. Omar menganggukkan kepala, baginya lebih dari cukup. Rumah minimalis di depan mereka cukup tersembunyi, terletak di dekat hutan dengan pemandangan asri. Bukan hanya bersembunyi, Omar juga bisa bersantai di sini. Omar bukan takut menghadapi anak-anaknya, mau bagaimanapun juga Omar adalah Ayah yang patut ditakuti, Malik yang lancang sekalipun tidak akan berani memukul ayahnya sendiri. Omar hanya tidak sanggup jika mendapati raut kecewa keempat anaknya yang lain. Abizar yang tidak dirugikan saja, terlihat begitu kecewa, apalagi anak-anaknya yang lain. Omar tidak mau menerima kenyataan bahwa dirinya gagal menjadi seorang Ayah lima kali berturut-turut. Alif membawa pakaian ganti Omar, menyusul langkah lelaki tua tersebut. "Untuk sementara kita akan berbulan madu di sini, Mawar." Abizar mengampit pinggang Mawar. Lelaki itu mengecup dahi wanita yang dicintain
Alif berusaha fokus menyetir, tapi tetap saja mustahil. Pasangan di bangku belakang benar-benar membuat hatinya resah, mereka terlalu mesra membuat jiwa kesepian Alif sebagai lelaki tanpa pasangan terusik. Setelah Maghrib mereka memutuskan kembali ke Semarang, acara dan resepsi pernikahan harus segera direncanakan. Abizar harus membahasnya dengan Omar, lalu membawa Mawar ke Saudi, untuk dikenalkan kepada keluarganya dan menyiapkan acara pernikahan."Jangan mengintip, Alif." Abizar mengingatkan, Alif hanya mengangguk sambil menelan saliva. Kedua tangannya yang mencekram setir bergetar, menahan diri untuk tidak melihat spion, sangat penasaran apa yang terjadi di belakang.Mawar menyenderkan tubuhnya ke salahsatu pintu mobil, wajahnya cemberut saat memerhatikan jalanan depan, Abizar mengungkungnya dari belakang, Mawar duduk di pangkuannya. "Capek atau gugup?" Abizar bertanya, tidak berhenti menciumi rahang Mawar. Dia sudah menahan diri untuk tidak menyentuh selama tiga tahun, sekarang wa
Tadi malam setelah kelelahan Mawar langsung tidur. Wajah kusutnya mencerminkan rasa sakit yang dia dapatkan.Sedangkan wajah Abizar berseri-seri, kungkungannya tidak lepas dari tubuh terbuka Mawar, saking senangnya Abizar tidak mau melelapkan diri, dia ingin lanjut mencumbu tubuh indah yang membuatnya mabuk kepayang. Setidaknya izinkan tangan dan bibirnya memainkan peran, tidak yang lain, Abizar tidak mau menganggu waktu istirahat Mawar karena wanita itu benar-benar kelelalahan, padahal sentuhan Abizar lembut dan gemulai.Nyaris Subuh menyapa, kantuk seakan tidak ada di kamus Abizar, semalaman Abizar hanya memandangi wajah Mawar. Tangannya mengusap rambut, pinggang, punggung dan perut yang dia khayalkan akan membesar. Pelan-pelan agar tidak membangunkan Mawar, Abizar menciumi wajah, tangan dan punggung Mawar. Sangat dihindarkannya bibir, Abizar suka kelepasan ingin menyedot seluruh napas Mawar."Aku mencintaimu, Mawar. Sangat. Demi Allah." Abizar menurunkan diri dari ranjang putih yang