"Hei Abizar," selangkah Abizar memasuki rumahnya sendiri setelah pintu raksasa itu dibukakan oleh beberapa pelayan lelaki, Mawar tersentak ke belakang saat seorang lelaki memeluk majikannya. Awalnya Mawar kira itu Akmal, saat Mawar memastikannya ternyata bukan. Abizar membalas pelukan lelaki itu, beberapa tepukan mengenai punggung badan adiknya. Lelaki itu nampak semringah mendapati kakaknya pulang, lalu melirik Mawar. Pandangan lelaki itu menyipit, "dia pembantumu? Atau ...," bibirnya menyeringai. "Calon istrimu?" Saat dia tertawa, Abizar hanya menyentil pelan bahu kokohnya. "Jangan bahas itu sekarang." "Kamu pulang, Abizar! Ini keajaiban!" Lelaki itu berseru. Selaku adik bungsunya Abizar, Malik cukup akrab dengan kakak sulungnya. Di antara saudara-saudara Abizar, hanya Malik yang belum pernah menikah. Dan di antara seluruh anggota keluarga Abizar, hanya Malik yang tidak menerapkan dan menentang semua tradisi. Bahkan ajaran agama. Tinggal lima tahun di Amerika saat kuliah, Malik su
"Paham?" Abizar menatap Mawar dalam, diangkatnya kedua alis yang tercetak rapi. Mawar tertunduk malu, kedua pipinya bersemu merah. "Paham ...." Pelan, jawabannya terdengar begitu lirih dan takut. Abizar tersenyum tipis, "bagus kalau kamu paham. Jangan jadikan alasan tidak masuk akal itu untuk kabur suatu saat, aku bersumpah akan mengejarmu sampai ke ujung dunia." Satu lirikan tajam Abizar untuk Mawar yang menelan saliva. Setelah itu Abizar kembali mengembangkan senyum. Mawar membiarkan Abizar yang menenangkan Ashya sekali lagi. Mawar semakin malu saat Ashya menatapnya sedikit aneh. Mawar sedikit menyingkirkan tubuh. Sekalipun Ashya saudari sesusuan untuk Abizar, sebenarnya Mawar iri melihat kedekatan mereka. Abizar bisa memeluk Ashya dengan leluasa, apalagi saat Abizar mencium kening Ashya, berusaha meredam kesedihan wanita itu. Berbeda dengan Mawar, Abizar selalu mengancamkan air panas atau bara api pada diri sendiri jika berani menyentuh Mawar, pelajaran untuk Abizar agar hal yang
"Tuan ... Tuan ...." Tangis Mawar terdengar seperti rintihan. Tangannya sudah tidak sanggup untuk menggedor-gedor pintu kamar Abizar yang terkatup rapat. Abizar yang terlelap di dalam sana sontak terbangun, ditajamkannya pendengaran, heran mendengar tangis Mawar yang dengan lambat memukul-mukul pelan pintu kamarnya. Abizar mengusap wajah lalu turun dari ranjang. Didekatinya pintu, Abizar mendekatkan telinganya ke sana. Mawar menangis seperti orang kesakitan, dengan cemas Abizar langsung membuka pintu. Mata Abizar melebar, mendapati wajah kacau Mawar. Gadis itu meluapkan tangisnya saat menghadap Abizar. Pipi dan mata Mawar panas dan merah, hidungnya berbunyi menarik ingus. "Tuan ...." Panggil Mawar, rasanya ingin memeluk Abizar tapi tidak berani. "Kamu kenapa, Mawar?" Abizar terdengar panik, tangannya nyaris menyentuh pipi merah Mawar. "Apa di rumah ini ada yang menjahatimu, hem?" Nada suara Abizar terdengar membujuk. Mawar menggelengkan kepala, "b-bukan ...." "Lalu kenapa?" Abizar
"Jangan gila!" Raungan Akmal sambil menelan saliva. Tidak mungkin dia memotong tangan Mawar, sekalipun itu hukumnya? Terlebih Mawar orang Indonesia yang tidak cocok dengan hukum keras semacam itu. "Kenapa disebut gila?" Iqbal melempar balik teriakan Akmal. "Pasti ada kesalahpahaman di sini ...." Suara Akmal lemah. Dia percaya itu dan memang semuanya terasa tidak mungkin. Suara Akmal meninggi, "cek semua CCTV!" Raungannya terdengar memerintah yang segera disela Iqbal. "Apa kamu lupa, Akmal? Di rumah ini hanya bagian tertentu saja yang dipasang CCTV. Wilayah-wilayah pribadi khususnya wilayah-wilayah para wanita tidak dipasang kamera karena ada aurat dan hal-hal pribadi lainnya yang harusnya dijaga." Akmal terdiam, karena ketakutan Mawar dituduh dia sampai lupa. Andai ada Abizar di sini dia pasti mendukung Mawar habis-habisan atau bahkan menggampar Iqbal yang sembarangan menentukan seperti itu. Sedangkan Mawar yang tahu situasi saat dijelaskan oleh Malik semakin ketakutan di balik
"Tidurlah, Mawar. Besok kita akan kembali ke Indonesia." Bibir Mawar membentuk segaris senyum saat kalimat Abizar sebelum lelaki itu menutup pintu kembali terngiang di telinganya. Malam ini, sekalipun Abizar menyuruhnya tidur Mawar tidak bisa tidur. Entah kenapa Mawar sangat bahagia malam ini, meskipun beberapa jam sebelumnya dia sempat ketakutan karena dituduh satu rumah mencuri. Mawar tidak bisa membayangkan jika dia benar-benar terbukti bersalah dan kedua tangannya dipotong. Tanpa tangan, Mawar tidak bisa melayani Abizar lagi 'kan? Mawar tidak bisa bersih-bersih, membawakan apa yang Abizar suruh ataupun menyuapi Abizar saat mereka makan. Mawar salut kepada tuannya. Sekalipun satu rumah menuduhnya dengan beberapa bukti, Abizar tetap membelanya. Abizar tetap percaya padanya. Dan hal itu membuat Mawar bersyukur, sekalipun Abizar menyebalkan, sering membuatnya kesal dan kelaparan, kasar dan emosian Mawar tetap bersyukur pernah bekerja untuk Abizar dan menjadi pelayan kesayangannya.
"Kamu, tunggu dulu." Panggilan Omar menahan langkah Mawar yang baru saja hendak menyusul Abizar di halaman depan. Di bawah matahari redup di pagi hari, Mawar menoleh dengan sopan. Wanita itu mendekati Omar dan membungkukkan badan termasuk pandangan. "Ada apa, Tuan?" Karena Omar memanggilnya menggunakan bahasa Indonesia, Mawar menjawab dengan bahasa yang sama. Omar diam beberapa saat lalu berdeham, "kutitip Abizar. Jaga dia baik-baik." Mawar refleks mendongak, mata wanita itu melebar. Setelah senyumnya terbit akhirnya Mawar mengangguk. "Tentu saja, Tuan." "Mawar!" Panggilan Abizar sontak membuat Mawar berbalik. "Cepat ke sini atau kutinggalkan kamu!" Dengan gesit Mawar berlari mendekati tuannya setelah melempar salam untuk Omar, yang menjawabnya lirih nyaris tidak kedengaran. Sebelum ke bandara, masih ada waktu satu jam untuk keduanya mampir ke rumah sakit. Menjenguk Ashya yang sudah sadarkan diri dan baik-baik saja. Karena haru melihat kondisi Ashya, Mawar tidak bisa menahan tangi
"Mawar, Mawar." Abizar berusaha membangunkan gadis itu. Di bangkunya Mawar bergumam dan menggeliat, padahal mobil yang dikendarai Abizar sudah sampai di kampung halamannya. Hanya saja, Abizar butuh arahan Mawar karena meskipun tahu nama kampung halamannya Mawar Abizar tidak tahu letak rumah gadis itu. Mawar ternyata susah bangun, membuat Abizar berdesis. Tangan Abizar tarik-ulur ragu, ingin menepuk pipi Mawar atau mengguncang tubuhnya membangunkan wanita itu. Menggunakan suara saja, sepertinya tidak akan berefek. "Ayolah bangun Mawar, Mawar. Mawar!" Abizar menghela napas, tak ada respon dari Mawar yang tidur seperti mati. Napas panas Abizar meniup-niup pipi Mawar, berusaha membangunkannya. Beralih ke mata, tapi ternyata tak ada efek sama sekali. Abizar yang lama-kelamaan kesal—mereka sudah terlalu lama berhenti di tepi jalan tanpa tujuan jika Mawar tidak memberi arahan, Abizar menarik kunci mobil dari lubangnya lalu diayunkannya ke kening Mawar. Rasa sakit yang tidak main-main berde
"Owalah!" Wanita tua tersebut terperanjat saat melewati teras dan masuk ke dalam rumah. Sayur-sayuran yang dibelinya terjatuh ke lantai dan berantakan. Langkah kecilnya mendekat, lalu bertanya kepada orang yang asing di matanya. "Kamu siapa, toh? Turis nyasar?" Abizar mengerjap, lalu tersenyum geli. Mungkin ini ibunya Mawar, yang habis pulang dari pasar. Mawar dengan cepat beranjak ke ruang tengah, menggantikan Abizar untuk menjelaskan. "Dia majikanku dari Semarang, Mak." "Mawar!" Wanita tua tersebut terkejut melihat putri sulungnya yang sudah ada di rumah. Mengabaikan 'turis yang nyasar di rumahnya' tersebut, perempuan itu langsung memeluk erat anaknya. Tangis haru terdengar di antara mereka. "Akhirnya kamu pulang, Nak. Kukira kota Semarang membuatmu lupa kampung." Kecupan bertubi ibunya layangkan ke pipi dan kening Mawar. Mawar tidak bisa menahan tangis, sedikit tidak enak saat diliriknya Abizar yang memerhatikan. Semoga Abizar tidak keberatan dengan suasana asing di rumah ini.