"Jangan gila!" Raungan Akmal sambil menelan saliva. Tidak mungkin dia memotong tangan Mawar, sekalipun itu hukumnya? Terlebih Mawar orang Indonesia yang tidak cocok dengan hukum keras semacam itu. "Kenapa disebut gila?" Iqbal melempar balik teriakan Akmal. "Pasti ada kesalahpahaman di sini ...." Suara Akmal lemah. Dia percaya itu dan memang semuanya terasa tidak mungkin. Suara Akmal meninggi, "cek semua CCTV!" Raungannya terdengar memerintah yang segera disela Iqbal. "Apa kamu lupa, Akmal? Di rumah ini hanya bagian tertentu saja yang dipasang CCTV. Wilayah-wilayah pribadi khususnya wilayah-wilayah para wanita tidak dipasang kamera karena ada aurat dan hal-hal pribadi lainnya yang harusnya dijaga." Akmal terdiam, karena ketakutan Mawar dituduh dia sampai lupa. Andai ada Abizar di sini dia pasti mendukung Mawar habis-habisan atau bahkan menggampar Iqbal yang sembarangan menentukan seperti itu. Sedangkan Mawar yang tahu situasi saat dijelaskan oleh Malik semakin ketakutan di balik
"Tidurlah, Mawar. Besok kita akan kembali ke Indonesia." Bibir Mawar membentuk segaris senyum saat kalimat Abizar sebelum lelaki itu menutup pintu kembali terngiang di telinganya. Malam ini, sekalipun Abizar menyuruhnya tidur Mawar tidak bisa tidur. Entah kenapa Mawar sangat bahagia malam ini, meskipun beberapa jam sebelumnya dia sempat ketakutan karena dituduh satu rumah mencuri. Mawar tidak bisa membayangkan jika dia benar-benar terbukti bersalah dan kedua tangannya dipotong. Tanpa tangan, Mawar tidak bisa melayani Abizar lagi 'kan? Mawar tidak bisa bersih-bersih, membawakan apa yang Abizar suruh ataupun menyuapi Abizar saat mereka makan. Mawar salut kepada tuannya. Sekalipun satu rumah menuduhnya dengan beberapa bukti, Abizar tetap membelanya. Abizar tetap percaya padanya. Dan hal itu membuat Mawar bersyukur, sekalipun Abizar menyebalkan, sering membuatnya kesal dan kelaparan, kasar dan emosian Mawar tetap bersyukur pernah bekerja untuk Abizar dan menjadi pelayan kesayangannya.
"Kamu, tunggu dulu." Panggilan Omar menahan langkah Mawar yang baru saja hendak menyusul Abizar di halaman depan. Di bawah matahari redup di pagi hari, Mawar menoleh dengan sopan. Wanita itu mendekati Omar dan membungkukkan badan termasuk pandangan. "Ada apa, Tuan?" Karena Omar memanggilnya menggunakan bahasa Indonesia, Mawar menjawab dengan bahasa yang sama. Omar diam beberapa saat lalu berdeham, "kutitip Abizar. Jaga dia baik-baik." Mawar refleks mendongak, mata wanita itu melebar. Setelah senyumnya terbit akhirnya Mawar mengangguk. "Tentu saja, Tuan." "Mawar!" Panggilan Abizar sontak membuat Mawar berbalik. "Cepat ke sini atau kutinggalkan kamu!" Dengan gesit Mawar berlari mendekati tuannya setelah melempar salam untuk Omar, yang menjawabnya lirih nyaris tidak kedengaran. Sebelum ke bandara, masih ada waktu satu jam untuk keduanya mampir ke rumah sakit. Menjenguk Ashya yang sudah sadarkan diri dan baik-baik saja. Karena haru melihat kondisi Ashya, Mawar tidak bisa menahan tangi
"Mawar, Mawar." Abizar berusaha membangunkan gadis itu. Di bangkunya Mawar bergumam dan menggeliat, padahal mobil yang dikendarai Abizar sudah sampai di kampung halamannya. Hanya saja, Abizar butuh arahan Mawar karena meskipun tahu nama kampung halamannya Mawar Abizar tidak tahu letak rumah gadis itu. Mawar ternyata susah bangun, membuat Abizar berdesis. Tangan Abizar tarik-ulur ragu, ingin menepuk pipi Mawar atau mengguncang tubuhnya membangunkan wanita itu. Menggunakan suara saja, sepertinya tidak akan berefek. "Ayolah bangun Mawar, Mawar. Mawar!" Abizar menghela napas, tak ada respon dari Mawar yang tidur seperti mati. Napas panas Abizar meniup-niup pipi Mawar, berusaha membangunkannya. Beralih ke mata, tapi ternyata tak ada efek sama sekali. Abizar yang lama-kelamaan kesal—mereka sudah terlalu lama berhenti di tepi jalan tanpa tujuan jika Mawar tidak memberi arahan, Abizar menarik kunci mobil dari lubangnya lalu diayunkannya ke kening Mawar. Rasa sakit yang tidak main-main berde
"Owalah!" Wanita tua tersebut terperanjat saat melewati teras dan masuk ke dalam rumah. Sayur-sayuran yang dibelinya terjatuh ke lantai dan berantakan. Langkah kecilnya mendekat, lalu bertanya kepada orang yang asing di matanya. "Kamu siapa, toh? Turis nyasar?" Abizar mengerjap, lalu tersenyum geli. Mungkin ini ibunya Mawar, yang habis pulang dari pasar. Mawar dengan cepat beranjak ke ruang tengah, menggantikan Abizar untuk menjelaskan. "Dia majikanku dari Semarang, Mak." "Mawar!" Wanita tua tersebut terkejut melihat putri sulungnya yang sudah ada di rumah. Mengabaikan 'turis yang nyasar di rumahnya' tersebut, perempuan itu langsung memeluk erat anaknya. Tangis haru terdengar di antara mereka. "Akhirnya kamu pulang, Nak. Kukira kota Semarang membuatmu lupa kampung." Kecupan bertubi ibunya layangkan ke pipi dan kening Mawar. Mawar tidak bisa menahan tangis, sedikit tidak enak saat diliriknya Abizar yang memerhatikan. Semoga Abizar tidak keberatan dengan suasana asing di rumah ini.
"Setelah makan bersama kami, pulanglah Tuan." Mawar memohon. Wajah memelas tersebut sedikit membuat Abizar luluh. "Kenapa begitu terburu-buru mengusirku, hem?" "Aku bukan mengusirmu," Mawar menyangkal, kepalanya merunduk ke bawah. "Baiklah aku akan makan dan pulang setelah selesai," Abizar terlihat patuh. Sedikit rona senang tercerminkan di wajah Mawar. Abizar merundukkan punggungnya, memberikan tangannya untuk Dimas agar disambut oleh bocah itu. Dibantu oleh Abizar, bocah itu bangkit berdiri. Abizar menggerakkan kepalanya ke dalam, begitu saja mereka menjadi akrab. Orang-orang sudah menunggu di meja makan. Mawar mengikuti punggung Abizar yang masuk bersamaan dengan Dimas. Abizar yang 'beruang' membuat Dimas percaya, melalui Abizar dia bisa membalaskan dendam tiga sekawan yang harta orang tua mereka menguasai desa ini. Suasana di meja makan cukup menyenangkan. Abizar mendadak lihai mengambil hati, ayahnya Mawar luluh begitu saja. Menurutnya Abizar adalah tipe calon menantu idaman,
"Permen sama es krimnya mana, Kak Mawar?" Satria merengek-rengek."Ih, kalau bo'ong aku aduin ke Om Izar, loh. Biar nggak jadi nikahin Kak Mawar yang nggak nepatin janji!" Satria memeletkan lidahnya.Mawar yang tengah menyusun piring hanya tersenyum kecil, "tunggu sebentar, ya. Kakak beresin ini dulu. Setelah ini kita ke toko depan, sekalian Kak Mawar mau beli perlengkapan mandi, tubuh Kak Mawar bau soalnya."Akhirnya Satria menunggu dengan sabar. Bocah lelaki bergelayut di kaki jenjang Mawar saat wanita itu masih menyusun piring. Tentu saja ulah Satria membuat Mawar kesusahan dan tidak bisa bergerak dengan leluasa.Setelah semua piring sudah tersusun dengan benar Satria mengulurkan tangannya ke udara, meminta untuk disambut oleh Mawar dan digendong. Mawar langsung mengangkat pinggang mungil bocah tersebut lalu membawanya ke dalam pelukan. Dalam dekapan Mawar 'pun Satria tidak diam, seperti kebiasaannya yang sudah mendarah-daging bocah itu menggesek-gesekkan kepalanya ke dada dan bahu
Tiga hari tak ada Mawar, tiga hari Abizar tidak makan.Bukan tidak lapar, sekalipun perutnya melilit Abizar tidak ada selera.Dia selalu memesan makanan, Alif yang menemaninya di rumah selalu membuatkannya makanan, tapi setelah satu suapan saat semuanya terasa hambar, Abizar berdecak dan segera menjauhkan makanannya.Melihat Mawar yang lahap selama ini selalu membangkitkan nafsu makan Abizar, kata lain tak ada Mawar tak ada alasan Abizar untuk makan."Wajahmu pucat, Tuan. Tiga hari ini Anda hanya makan beberapa suap dan minum air putih, Anda bisa jatuh sakit." Alif terlihat khawatir, dengan nada rendah berusaha dibujuknya sang tuan yang selama tiga hari hanya fokus bekerja dan bekerja, hanya menyela waktu untuk beribadah lima waktu. Bahkan tanpa makan, lelaki itu masih meremas otaknya untuk berpikir keras. Seharusnya apa yang Abizar peroleh dalam keadaan seperti ini, resikonya tidak optimal.Abizar terlihat tidak perduli, tangannya masih menari-nari di atas keyboard. Tatapannya fokus