"Permen sama es krimnya mana, Kak Mawar?" Satria merengek-rengek."Ih, kalau bo'ong aku aduin ke Om Izar, loh. Biar nggak jadi nikahin Kak Mawar yang nggak nepatin janji!" Satria memeletkan lidahnya.Mawar yang tengah menyusun piring hanya tersenyum kecil, "tunggu sebentar, ya. Kakak beresin ini dulu. Setelah ini kita ke toko depan, sekalian Kak Mawar mau beli perlengkapan mandi, tubuh Kak Mawar bau soalnya."Akhirnya Satria menunggu dengan sabar. Bocah lelaki bergelayut di kaki jenjang Mawar saat wanita itu masih menyusun piring. Tentu saja ulah Satria membuat Mawar kesusahan dan tidak bisa bergerak dengan leluasa.Setelah semua piring sudah tersusun dengan benar Satria mengulurkan tangannya ke udara, meminta untuk disambut oleh Mawar dan digendong. Mawar langsung mengangkat pinggang mungil bocah tersebut lalu membawanya ke dalam pelukan. Dalam dekapan Mawar 'pun Satria tidak diam, seperti kebiasaannya yang sudah mendarah-daging bocah itu menggesek-gesekkan kepalanya ke dada dan bahu
Tiga hari tak ada Mawar, tiga hari Abizar tidak makan.Bukan tidak lapar, sekalipun perutnya melilit Abizar tidak ada selera.Dia selalu memesan makanan, Alif yang menemaninya di rumah selalu membuatkannya makanan, tapi setelah satu suapan saat semuanya terasa hambar, Abizar berdecak dan segera menjauhkan makanannya.Melihat Mawar yang lahap selama ini selalu membangkitkan nafsu makan Abizar, kata lain tak ada Mawar tak ada alasan Abizar untuk makan."Wajahmu pucat, Tuan. Tiga hari ini Anda hanya makan beberapa suap dan minum air putih, Anda bisa jatuh sakit." Alif terlihat khawatir, dengan nada rendah berusaha dibujuknya sang tuan yang selama tiga hari hanya fokus bekerja dan bekerja, hanya menyela waktu untuk beribadah lima waktu. Bahkan tanpa makan, lelaki itu masih meremas otaknya untuk berpikir keras. Seharusnya apa yang Abizar peroleh dalam keadaan seperti ini, resikonya tidak optimal.Abizar terlihat tidak perduli, tangannya masih menari-nari di atas keyboard. Tatapannya fokus
"Tuan Abizar?"Mawar baru pulang dari pasar bersama Bu Nau. Di halaman rumahnya, mobil Abizar terparkir rapi sang pemilik tengah main kejar-kejaran dengan Satria di halaman bunga matahari. Abizar yang mengejar Satria menangkapnya lalu menjunjungnya tinggi-tinggi dalam gendongan. Abizar semringah saat menoleh, didapatinya Mawar yang membawa sekeranjang penuh sayur-sayuran dan buah-buahan.Menurunkan Satria dari gendongannya, Abizar meraih tangan Bu Nau dan menyalaminya. Sedangkan untuk Mawar, Abizar hanya melempar senyum sok manis. Yang di baliknya ada niat tersembunyi, semoga Mawar luluh dan tidak mengusir Abizar karena datang di waktu yang tidak tepat."Woalah, baru tiga hari Nak Izar udah datang aja. Bukannya kata Mawar sampai lima hari, ya? Seharusnya lusa 'kan?" Bu Nau bertanya bingung. Meskipun tidak rela Mawar dibawa pergi, tapi dia senang melihat kehadiran lelaki tampan dengan ciri khas timur tengah tersebut.Sebelum Abizar membuka mulut, Mawar langsung menyela. "Tuan, kita bic
Ingin melihat sifat Abizar yang langkah? Bawa dia ke rumah calon mertua, maka sikapnya akan berubah drastis. Yang bahkan tak pernah Mawar lihat sebelumnya.Untuk Mawar sekalipun Abizar tidak pernah tersenyum seramah ini, atau berkata semanis yang dia dengar. Abizar yang Mawar kenal selalu berwajah datar, menatap sinis dan bermulut tajam. Seakan Abizar berevolusi, baik dari mulut, mata dan sikap Abizar benar-benar memanipulasi diri.Semudah itu, dia bisa mengambil hati Pak Ari, Bu Nau, Satria bahkan Arya dan Dimas. Hanya Wulan yang masih sedikit waspada padanya, karena kesan awal mereka bertemu masih melekat di benak Wulan. Sadar yang satu itu belum luluh, Abizar tidak kenal menyerah. Tangannya ringan untuk membuka dompet dan memberi jajan untuk Wulan setiap gadis itu berangkat sekolah, yang bahkan duapuluh kali lipat nominalnya lebih besar dari uang jajan Wulan yang diberikan oleh Bu Nau.Cepat atau lambat, Mawar 'pun yakin Wulan pasti akan jatuh bertekuk dan menerima Abizar sebagai k
Setelah tenggelam, berenang ke atas, mengambil napas lalu terbatuk, Mawar mendelik kesal. Abizar seenaknya menyeretnya terjun ke sungai dan nyaris membuatnya mati tenggelam. Mawar melempar air ke wajah Abizar, tertawa saat semburan air yang dia berikan memerahkan mata Abizar dan masuk ke dalam lubang telinganya."Mawar!" Abizar membentak kesal, Mawar kabur dari kejaran Abizar. Tak tertangkap, Mawar kembali menyiram wajah Abizar dengan air.Abizar mengusap wajah basahnya, matanya semakin memerah karena percikan air yang masuk ke dalam matanya. Awas kalau Mawar tertangkap, Abizar akan menenggelamkannya di dalam air.BYURR! Dimas meloncat di atas kepala Mawar dan menenggelamkan kepalanya. Melihat Mawar yang malang Abizar tertawa puas. "Dimas!" Mawar menjerit setelah berhasil naik kembali ke permukaan. Plak! Mawar menepuk keras punggung terbuka adiknya, Dimas meringis dan langsung kabur dengan tawa lepas. Mawar cekatan mengejar Dimas yang jelas berpihak ke lelaki beruang daripada kakaknya
"Sabar, Nak Hafshan."Aland menyeringai."Tenangkan dirimu dan beri kesempatan untuk kita berdua membicarakan ini. Agar kamu tidak hanya menyalahkan pihakku saja."Mata Abizar memerah. Dari ujung irisnya sudah berair, lelaki itu mengeraskan rahang.Memilih menahan diri dan emosi, Abizar menurut saat dituntun Aland ke ruangan yang lebih pribadi. Sepanjang jalan Aland terus memamerkan senyumnya yang sebenarnya miris.Diikuti oleh Dimas dan Alif, Abizar sampai di sebuah ruangan yang sangat tertutup. Jarang ditemukan jendela dan ventilasi, hanya beberapa untuk jalur udara. Tidak seperti ruangan luar lainnya, yang dimana-mana full dengan kaca. Aland menepuk tangannya dari dalam, beberapa pelayannya datang. Dalam bahasa Inggris, Aland menyuruh mereka membawakan minuman dan makanan.Bagi Aland, Abizar adalah 'tamu spesial' yang patut 'dimuliakan'."Silahkan duduk, Nak Hafshan. Cari letak nyamanmu, agar lebih rileks dengan obrolan ki
"Izinkan saya masuk," Mawar memelas ke arah satpam di depan gerbang. Pak tua tersebut menatap Mawar lalu menggeleng tegas, "maaf, Nona. Jika tidak ada keperluan dengan Tuan Besar jangan menginjakkan kaki kemari." "Saya mohon ...." suara parau Mawar meminta iba. Kedua tangan mungil tersebut mencekram jeruji gerbang. "Maaf, Nona." Melihat wajah lesu Mawar, sebenarnya lelaki tua tersebut kasihan. Tapi ini perintah, sembarang orang juga tidak bisa masuk. Tak ada pilihan, Mawar terpaksa menjadi wanita tidak tahu malu yang mengaku-ngaku. "Calon suamiku ada di dalam 'kan? Tuan Abizar Hafshan, aku calon istrinya. Izinkan aku masuk dan bertemu kekasihku." Mendengar pengakuan Mawar, Pak tua tersebut terlihat ragu. "Kumohon," wajah Mawar semakin memelas, sekalipun di dalam itu berbahaya. Ada Samuel, sama saja memasukkan diri ke dalam kadang singa. Tapi Mawar berani karena ada Abizar yang akan melindunginya. "Apa salahnya bertemu calon suamiku sendiri? Ak
"TUAN AWAS!"Karena jeritan Mawar Abizar kehilangan keseimbangan, ban sepeda tua Pak Ari menabrak batu dan akhirnya mereka jatuh ke tanah. Sebelum tubuh Mawar menabrak tanah dengan sigap Abizar menangkup punggung kepala wanita itu, menyelamatkan kepalanya agar tidak terbentur sekalipun anggota tubuhnya yang lain kelu.Mereka terkapar di rumput, Mawar meringis karena kakinya keram, sedangkan Abizar pasrah saat merasakan punggungnya remuk. Karena ditimpa oleh dua tubuh mereka, kebun bunga matahari di halaman rumah Pak Ari nampak mengenaskan. Bunga-bunga yang awalnya menjulang tinggi, tangkainya patah dan kelopak-kelopak bunganya berhamburan.Abizar menghembuskan napas, wajahnya menatap langit. Diliriknya wajah Mawar yang kusut terbaring di sebelahnya, "mau tidur di halaman saja malam ini, Mawar?" Lelaki itu terkekeh. Dilonggarkannya sarung yang menggantung di pinggangnya, bersisakan celana di bawah lutut. Abizar menggunakan sarung tersebut untuk menyelimuti mereka."Apaan, sih Tuan?" Ma