Pukul empat pagi, Abizar melirik spion belakang. Mawar sudah terlelap nyenyak, dengkurannya begitu halus. Dengan suara pelan Abizar memerintah Alif untuk membelok arah ke suatu tempat. Abizar menurunkan diri di makam ibunya, Alif yang awalnya ragu akhirnya mengikuti tuannya. Meninggalkan Mawar seorang diri, yang sebelum Abizar turun sudah diselimuti oleh lelaki itu. Sebelum ke Saudi membawa Mawar dan entah kapan pulang, Abizar ingin berpamitan ke makam ibunya terlebih dahulu. Langkah Abizar berhenti saat menemukan seseorang duduk bersimpuh di sebelah makam, lelaki yang menjadi tujuan kenapa Abizar ingin berangkat ke Saudi. "Abi?" Omar menoleh kaget, kitab di tangannya langsung ditutup, bait ayat yang dia baca sambil berlinang air mata sudah berhenti."Abizar?""Abi kenapa di sini? Di Semarang? Di makam Ibu?" Langkah Abizar sedikit mengentak, didekatinya sang Ayah yang tersenyum miris. "Abi hanya ingin berziarah, entah kenapa Abi mendadak merindukan ibumu ...." Mata merah Omar mengal
"Astaghfirullah."Saat menurunkan diri dari mobil Abizar menghela napas lelah ketika mendapati ayah dan calon istrinya sama-sama molor. Hari nyaris Subuh, di bangku yang dia duduki sedari masuk ke dalam mobil Abizar Omar terlelap seperti mati, wajahnya terlihat gelisah dan banjir peluh, seperti dihantui oleh mimpi buruk. Abizar berusaha membangunkannya, karena kendaraan mereka sudah sampai tujuan. Tepukan pelan sudah Abizar layangkan berulang kali ke lengan dan pipi Omar, tapi mata yang seakan dilem tersebut tidak kunjung membuka. Omar masih bergerak gelisah dalam tidurnya, rintihan samar terdengar dari bibirnya, gerak mulutnya seperti menyebut nama Melati tanpa suara. "Abi, sudah sampai Abi." Abizar menarik napas kuat dan menghembuskannya. "Abi," sedikit ditinggikannya suara, tapi Omar susah sekali dibangunkan."Tidak mungkin aku meneriakkan nama Melati hidup lagi agar kamu bangun 'kan?" Berdecak pasrah tak ada pilihan Abizar akhirnya memilih untuk menggendong tubuh kekar Omar. Awa
Masing-masing dada mereka bergemuruh hebat, Omar menatap wajah tersebut penuh cinta. Apalagi saat tangannya membelai kening dan pipinya, membenamkan bibirnya, merengkuhnya dalam pelukan, berguling bersama di atas ranjang, tawa terdengar hangat dan memanjakan.Semuanya bergulir di kepala Omar yang masih terlelap, sekalipun adzan Subuh sudah terlewat, Abizar menyerah membangunkannya. Omar tidur seperti mati. Saat kepalanya mengulang kenangan dengan wujud mimpi, wajah Omar bahagia. Senyum terukir di bibirnya, lelaki itu tertawa senang. Dengan mata berair haru.Guling di sebelahnya menjadi korban—dipeluk, diremuk, diciumi olehnya yang mengigau. Menjadikan daging guling tersebut sebagai dada Melati yang Omar senang sekali menempelkan telinga ke dadanya, untuk mendengarkan detak jantungnya.Tapi kebahagiaan itu surut, saat mimpi yang diremake dari masa lalu tersebut berganti. Wajah Omar berubah keras, kecewa dan tangisnya meledak. Padahal lelaki itu hanya mengigau.Omar mencintai wanita ini
"Jadi semua ini ada hubungannya dengan Aland James Pilli?"Omar terlihat marah, kedua seberang giginya saling menggesek saat terngiang nama tersebut dan membayangkan wajahnya."Dia membeli jantung Melati untuk anaknya? Pertanyaannya kenapa harus Melati?" Abizar yang duduk menghadapnya memerhatikan wajah tersebut. Mata merah Omar mencerminkan kesedihan, air matanya yang mengalir mencerminkan penyesalan. "Ini juga salah Abi 'kan?" Abizar menghela napas, ingin menyalahkan Aland tapi Aland juga kehilangan seorang istri, Samuel juga kehilangan seorang Ibu. Mereka setimpal, keduanya salah dan keduanya 'berhak'.Omar menoleh sendu, teringat kelakuannya. Seharusnya dia tidak memberi harapan palsu kepada Aland, tapi saat itu Omar terdesak, mendadak adiknya juga membutuhkan pedonor jantung setelah kecelakaan karena menyusulnya ke Indonesia."Aku tahu ini salahku, tapi kenapa harus Melati yang terlibat?" Omar terlihat tidak terima, air matanya kembali menetes. "Andai aku tahu Aland sampai segit
Seharusnya mereka tidak datang. Menjadi penyesalan saat mereka menginjakkan kaki ke mari. Penthouse mewah tersebut nampak berkabung, berkibarnya bendera kuning menjelaskan kematian seseorang tanpa kata dan seruan. Ruangan depan yang biasanya lengang ramai oleh penduduk kampung yang membacakan surat Yasin.Aland memang hanyalah seorang agnostic yang sebenarnya tidak percaya akan Tuhan, masuk Islam hanya untuk bisa menikahi Luna, seumur hidupnya tidak pernah salat sama sekali, Al-Qur'an hanya pernah dia sentuh sampulnya tanpa pernah membukanya apalagi membacanya—sekalipun Aland bisa berbahasa Arab karena ahli dalam berbagai bahasa. Meskipun begitu, Aland pernah mengucapkan dua kalimat syahadat. Dan tidak pernah membatalkannya sampai saat ini. Dia masih umat Nabi Muhammad, hambanya Allah, sekalipun ... hanya gelar."Siapa mati?" Suara Abizar berat, jangan bilang Aland. Sekalipun itu kenyataannya, Abizar meringis tidak suka. Dendam memang masih terpupuk untuk lelaki itu namun terlalu cepa
"Siapa kalian berdua?" Satpam tua tersebut bertanya sendu. Kesedihan tercerminkan di mata dan wajahnya, melihatnya Abizar cukup prihatin. Kehilangan seorang majikan yang memberi makan, sekalipun laknat tetap menyedihkan. Abizar teringat satu tahun yang lalu, Abizar pergi ke luar kota hanya sehari dan kecelakaan di tengah jalan. Luka Abizar tidak parah, tapi mendengar kabar Abizar Mawar menangis nyaris gila karena berpikir Abizar mati di tempat, di rumah sakit Abizar mendiami kamar mayat."Lupa wajahku?" Abizar menggerai rambut, meminta satpam tersebut untuk kembali meneliti wajahnya. Satpam tersebut memajukan beberapa langah, diamatinya wajah dan tubuh Abizar, lelaki itu teringat."Yang waktu itu?" Suara paraunya menyahut."Yap, izinkan kami masuk."Pandangan satpam tersebut beralih ke Mawar, dari gerak matanya seperti meminta penjelasan siapa lelaki yang datang bersama Abizar."Dia Omar Hafshan, nama tersebut sudah tidak asing lagi di telinga kalian 'kan?""Ah," berubah menjadi ketak
"Tuan Muda," panggilan lemah dari luar tersebut membuat Samuel mengerang."Ada apa?" Sahut Samuel sinis. Dilepaskannya jeratannya dari tubuh Mawar, Mawar menggeser tubuh menjauh mendekati lemari, wanita itu bersembunyi di sudut—melihatnya Samuel hanya menghela napas.Lelaki tua tersebut diam, seperti ragu untuk mengatakannya. Samuel tidak disuka diganggu tapi saat dia menahan amarah untuk menyahut malah tidak dibalas, lelaki itu bangkit dan menyenderkan tubuh ke kusen pintu setelah membukanya. "Ada apa?" Tanyanya tajam kepada satpam rumahnya."Omar Hafshan ... datang melayat."Samuel menahan napas lalu terkekeh. Lucu sekali, sang pembunuh datang ke rumah korban untuk berduka. Samuel mengabaikan tatapan satpamnya yang heran—melihat Mawar bersembunyi ketakutan di sudut kamar dan penampilan Samuel yang hanya memakai celana pendek. Samuel mengambil kembali pakaiannya, memakainya satu-persatu. Terngiang nama Omar di kepalanya, lelaki itu terlihat begitu emosi."Kulepaskan kamu, lain kali j
"Ayolah, katakan padaku. Abi dimana?" Abizar membujuk. Helaan napasnya terdengar.Sudah di lain kota, Omar tersenyum tipis. "Sudah kubilang, aku sudah tidak ada lagi di sana.""Iya, kalau begitu dimana?" Abizar membalas sinis."Semarang, kota kelahiran ibumu. Tempat yang juga mempertemukan kamu dengan calon istrimu.""Dengan siapa Abi ke sana? Jangan sembarangan mengambil tumpangan. Kalau kamu dibegal, satu keluarga Hafshan akan gaduh.""Tenang saja," Omar tersenyum tipis. "Aku bersama Ahmad, kalau tidak percaya—" Omar mendekatkan layar ponselnya ke mulut Ahmad yang duduk di sebelahnya. "Bicaralah, Ahmad. Buktikan kepada anak bebal itu ayahnya baik-baik saja dan akan baik-baik saja, ada kamu yang menjagaku dan ada Akbar yang mengantarku." Ahmad patuh dan membuka mulut, "tenang saja, Tuan Abizar. Ada saya yang menemani Tuan Omar." Omar menjauhkan ponsel keemasannya dari wajah Ahmad, lelaki itu mengulum senyum. "Awas kalau Abi kenapa-napa. Katakan dimana kamu menginap, setelah sampai